Menitipkan: Jembatan Kepercayaan, Amanah, dan Tanggung Jawab Lintas Zaman
Pendahuluan: Ontologi Sebuah Tindakan Menitipkan
Tindakan menitipkan, pada hakikatnya, bukanlah sekadar perpindahan fisik suatu objek dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia adalah transfer energi psikologis, sebuah janji tersirat, dan fondasi paling rapuh namun esensial dalam konstruksi peradaban manusia. Ketika seseorang memutuskan untuk menitipkan, ia sedang melakukan divestasi kontrol sementara, menukarnya dengan harapan yang diproyeksikan pada integritas pihak penerima. Ini adalah momen kerentanan yang dilegitimasi oleh kebutuhan mendasar akan kolaborasi dan spesialisasi fungsional dalam masyarakat.
Dari permulaan sejarah, konsep menitipkan telah berevolusi dari amanah suku yang sederhana—misalnya, menitipkan api agar tidak padam semalaman—menjadi sistem global yang kompleks, mencakup deposit finansial triliunan dolar dan transfer hak asuh anak di tengah mobilitas tinggi. Inti dari tindakan ini selalu sama: penyerahan, kerentanan, dan ekspektasi pemeliharaan. Jika kita telaah secara mendalam, setiap institusi sosial, mulai dari bank, sekolah, hingga lembaga penitipan anak, didirikan di atas pilar-pilar kepecayaan yang dipicu oleh kebutuhan fundamental untuk menitipkan.
Eksplorasi ini akan membawa kita melintasi spektrum menitipkan, menganalisis bagaimana tindakan ini membentuk hukum, etika, dan psikologi kita. Kita akan melihat bagaimana kewajiban menitipkan melahirkan konsep "amanah" yang suci, dan bagaimana pelanggaran terhadap amanah ini dapat meruntuhkan struktur kepercayaan individu dan kolektif. Menitipkan adalah barometer moral sebuah masyarakat; seberapa jauh kita berani menitipkan, menunjukkan seberapa besar kita percaya pada janji kolektif kemanusiaan.
Menitipkan yang Bernyawa: Beban Etika dan Psikologi
Dalam hierarki objek yang bisa dititipkan, yang bernyawa menempati posisi paling sensitif. Menitipkan makhluk hidup—baik itu anak, orang tua yang membutuhkan perawatan khusus, atau hewan peliharaan kesayangan—memaksakan sebuah kontrak yang jauh melampaui klausul finansial atau legal. Kontrak ini bersifat spiritual dan emosional, menuntut bukan hanya pemeliharaan fisik, tetapi juga penjagaan terhadap kesejahteraan jiwa dan hati.
Menitipkan Anak: Transfer Otoritas dan Kasih Sayang
Keputusan untuk menitipkan anak, meskipun bersifat sementara, adalah salah satu keputusan yang paling menghancurkan secara emosional bagi orang tua. Dalam konteks modern, hal ini seringkali terwujud dalam bentuk penitipan di tempat penitipan anak (daycare) atau adopsi sementara. Sejarah mencatat praktik ini, mulai dari fenomena menitipkan anak kepada ibu susu (wet nursing) di Eropa masa lampau—sebuah kebutuhan logistik yang sering kali dibebani oleh stigma sosial dan perbedaan kelas—hingga praktik modern pengasuhan berbasis komunitas.
Ketika orang tua menitipkan anak, mereka secara temporer menyerahkan kedaulatan atas pengalaman hidup anak tersebut. Pihak penerima titipan, dalam hal ini pengasuh atau institusi, harus menjaga kesinambungan ikatan emosional (attachment), yang mana kegagalan dalam tugas ini dapat menimbulkan dampak psikologis jangka panjang pada perkembangan anak. Psikologi perkembangan menegaskan bahwa kualitas titipan ini sangat menentukan pembentukan rasa aman (security attachment) anak. Menitipkan di sini bukan berarti melupakan, melainkan mengintegrasikan pihak ketiga ke dalam lingkaran suci pengasuhan, sebuah tindakan yang menuntut standar integritas tertinggi.
Tanggung jawab pengasuh meliputi tugas-tugas mikro yang tak terhitung jumlahnya: dari memastikan nutrisi terpenuhi, hingga merespon tangisan di malam hari dengan empati yang sama seperti orang tua kandung. Amanah ini adalah amanah multi-dimensi yang melibatkan kesehatan fisik, stabilitas emosi, dan stimulasi kognitif. Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi, mekanisme formal menitipkan anak berfungsi sebagai jaring pengaman, tetapi jaring ini hanya sekuat benang-benang kepercayaan yang ditenun oleh profesionalisme dan etika para pengasuh.
Studi kasus menunjukkan bahwa perbedaan budaya memengaruhi bagaimana tindakan menitipkan anak dipandang. Di beberapa budaya kolektif, menitipkan anak kepada anggota keluarga besar (grandparenting) adalah hal yang lumrah dan dianggap sebagai pengayaan, bukan penyerahan. Namun, di budaya individualistik, menitipkan kepada pihak eksternal sering kali dibingkai dalam kerangka kompensasi logistik, yang mana interaksi komersial tersebut harus tetap dijalankan dengan kehangatan afeksi non-komersial. Kontradiksi inilah yang menjadi medan etika kompleks dalam ranah menitipkan anak.
Menitipkan Hewan Peliharaan: Komitmen terhadap Kesejahteraan Non-Verbal
Walaupun secara hukum hewan dianggap properti, secara emosional, menitipkan hewan peliharaan juga memikul beban moral yang signifikan. Pemilik yang menitipkan anjing atau kucingnya di hotel hewan atau pengasuh rumah (pet sitter) sedang menyerahkan tanggung jawab atas makhluk yang tidak dapat mengartikulasikan kebutuhannya secara verbal. Kegagalan penitipan di sini dapat berakibat pada penderitaan fisik dan stres emosional yang intens pada hewan.
Proses menitipkan hewan memerlukan transfer informasi yang sangat detail—rutinitas makan, kebutuhan medis, pemicu stres, dan bahasa tubuh spesifik hewan tersebut. Pihak yang menerima titipan harus memiliki keahlian khusus (etologi) dan empati yang mendalam untuk menerjemahkan sinyal-sinyal non-verbal ini. Di sini, amanah tidak hanya tentang menjaga agar hewan tetap hidup, tetapi menjaga kualitas hidupnya—memastikan bahwa hewan tersebut tidak merasa ditinggalkan atau mengalami kecemasan perpisahan yang berlebihan.
Evolusi industri penitipan hewan mencerminkan peningkatan kesadaran etis ini. Dahulu, kandang sederhana sudah cukup. Kini, fasilitas penitipan modern berinvestasi besar pada lingkungan yang menyerupai rumah, interaksi sosial yang terstruktur, dan pemantauan kesehatan 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menghargai bahwa menitipkan yang bernyawa, bahkan jika ia berbulu, menuntut suatu standar kepedulian yang holistik, melampaui sekadar kebutuhan biologis dasar.
Menitipkan Harta dan Nilai Ekonomi: Fondasi Sistem Keuangan Global
Jika menitipkan yang bernyawa melibatkan emosi, menitipkan harta dan nilai ekonomi adalah tulang punggung rasionalitas peradaban kita. Tanpa kemampuan untuk menitipkan aset, baik itu dalam bentuk fisik (emas, dokumen berharga) maupun abstrak (uang digital, saham), sistem ekonomi modern akan runtuh. Tindakan ini memisahkan kepemilikan dari kepengurusan, sebuah diferensiasi yang memungkinkan spesialisasi dan efisiensi pasar.
Sistem Perbankan: Institusi Agung Pemberi Jasa Titipan
Bank, dalam esensinya, adalah institusi penitipan terbesar yang pernah diciptakan. Ketika individu menyimpan uang mereka—uang yang merupakan representasi dari waktu dan kerja keras mereka—mereka sedang menitipkan kekayaan mereka kepada janji stabilitas dan likuiditas. Kepercayaan ini bersifat fundamental; tanpa kepercayaan bahwa bank akan mengembalikan deposit tersebut sesuai permintaan, krisis sistemik akan terjadi. Sejarah Depresi Besar menunjukkan kerapuhan amanah ini; saat kepercayaan runtuh, masyarakat berbondong-bondong menarik titipan mereka, memicu keruntuhan ekonomi.
Konsep titipan dalam perbankan meluas ke berbagai layanan: Safe Deposit Box untuk barang berharga, layanan escrow dalam transaksi properti, hingga kustodian dalam pasar modal. Dalam setiap kasus, bank atau lembaga keuangan bertindak sebagai pihak ketiga yang netral, menjamin bahwa aset akan dikelola dan ditransfer sesuai dengan instruksi yang telah dititipkan. Kewajiban fidusia (fiduciary duty) yang melekat pada peran ini adalah yang tertinggi dalam hukum komersial, menuntut bahwa pihak yang menerima titipan harus selalu bertindak demi kepentingan terbaik si pen titip.
Menitipkan Kekayaan kepada Waktu: Konsep Investasi
Investasi dapat dilihat sebagai bentuk menitipkan kekayaan kepada masa depan melalui tangan manajer dana atau melalui pasar itu sendiri. Investor menitipkan modal mereka, menukarnya dengan janji pengembalian yang lebih besar di masa depan. Proses ini melibatkan pemahaman yang mendalam tentang risiko dan kepercayaan pada mekanisme pasar. Manajemen investasi adalah praktik menjalankan amanah finansial ini, di mana setiap keputusan harus dipertimbangkan secara cermat untuk melindungi pokok titipan sambil mencari pertumbuhan optimal.
Namun, kompleksitas ekonomi global melahirkan risiko baru dalam tindakan menitipkan. Skema Ponzi dan penipuan investasi lainnya adalah contoh pelanggaran fundamental terhadap amanah penitipan. Pelaku kejahatan ini menyalahgunakan kerentanan dan kepercayaan yang melekat pada tindakan menitipkan. Oleh karena itu, regulasi keuangan (seperti OJK di Indonesia atau SEC di AS) didirikan untuk memperkuat hukum penitipan, memastikan bahwa pihak yang menerima titipan diawasi dan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kegagalan fidusia.
Dalam ranah logistik dan perdagangan, tindakan menitipkan barang untuk dikirimkan (shipping/freight forwarding) merupakan bentuk kontrak penitipan yang vital. Produsen menitipkan produk mereka, yang bernilai ekonomi besar, kepada perusahaan logistik, yang bertanggung jawab atas integritas fisik, waktu, dan keamanan barang hingga sampai ke penerima. Rantai pasok global adalah jaringan amanah yang masif; setiap kontainer, setiap palet, adalah titipan yang perjalanannya harus didokumentasikan dan dilindungi dari risiko. Kegagalan dalam rantai titipan ini dapat menyebabkan kerugian finansial yang parah dan gangguan ekonomi berskala luas.
Kerangka Hukum Amanah: Dari Hukum Romawi hingga Hukum Modern
Karena tindakan menitipkan melibatkan kerentanan dan potensi kerugian, peradaban manusia dengan cepat mengkodifikasikannya ke dalam hukum. Konsep titipan (dalam bahasa Latin: *depositum*) sudah dikenal luas dalam Hukum Romawi kuno. Hukum ini membedakan secara tegas antara pemegang (custodian) dan pemilik (dominus), menetapkan bahwa pemegang titipan memiliki kewajiban untuk merawat barang seperti miliknya sendiri, dan yang terpenting, tidak boleh menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin eksplisit.
Definisi Kontrak Titipan (Bailment)
Dalam sistem hukum Common Law dan Civil Law (seperti KUH Perdata Indonesia, Bab Titipan), tindakan menitipkan dikategorikan sebagai kontrak *bailment* atau kontrak titipan. Kontrak ini bersifat unilateral (seringkali) atau bilateral, di mana properti (benda bergerak) diserahkan oleh pen titip (bailor) kepada penerima titipan (bailee) untuk tujuan spesifik (penyimpanan, perbaikan, atau pengangkutan). Kewajiban penerima titipan bervariasi tergantung pada siapa yang mendapatkan keuntungan dari titipan tersebut. Jika titipan dilakukan demi kepentingan pen titip murni (misalnya, menyimpan gratis), standar perawatan mungkin lebih rendah. Namun, jika penerima titipan mendapatkan keuntungan (misalnya, bank yang mengenakan biaya penitipan), standar perawatan yang dituntut akan sangat tinggi, mendekati tanggung jawab mutlak.
Klausul hukum ini penting karena ia menetapkan batas-batas etis dan praktis dari kewajiban. Jika sebuah barang dititipkan dan rusak atau hilang, hukum titipanlah yang menentukan siapa yang menanggung kerugian. Dalam kasus penitipan profesional (seperti jasa penyimpanan berbayar), sering kali terdapat batasan liabilitas yang tertuang dalam kontrak, yang harus dipahami oleh pen titip. Namun, batasan ini tidak pernah menghapus kewajiban fundamental untuk bertindak dengan *itikad baik* dan *kehati-hatian* yang wajar.
Amanah di Ranah Digital: Menitipkan Data
Di era digital, tindakan menitipkan telah bertransformasi menjadi menitipkan data. Ketika kita menggunakan layanan cloud, media sosial, atau menyimpan informasi sensitif di server pihak ketiga, kita secara efektif menitipkan identitas dan aset digital kita. Kewajiban fidusia digital ini memiliki dimensi baru: kerahasiaan, integritas data, dan ketersediaan (Confidentiality, Integrity, Availability - CIA Triad). Kegagalan dalam menjaga titipan data, yang terwujud dalam kebocoran data atau serangan siber, adalah pelanggaran amanah yang dapat memiliki konsekuensi finansial, reputasi, dan bahkan geopolitik.
Hukum privasi data modern (seperti GDPR di Eropa atau undang-undang perlindungan data lokal) didasarkan pada prinsip bahwa individu menitipkan data mereka, dan perusahaan yang menerima titipan tersebut (data processors) memiliki kewajiban legal untuk melindungi titipan tersebut sesuai standar tertinggi. Dalam konteks ini, menitipkan data bukanlah penyerahan kepemilikan, melainkan transfer hak penggunaan terbatas yang terikat ketat oleh persetujuan dan regulasi. Kepercayaan adalah mata uang digital yang baru, dan praktik menitipkan data adalah mekanisme perdagangannya.
Kompleksitas muncul ketika data dititipkan melintasi batas negara, menciptakan konflik yurisdiksi mengenai standar perawatan apa yang berlaku. Siapa yang bertanggung jawab ketika server yang menyimpan data titipan berada di negara X, pemilik data di negara Y, dan perusahaan pemroses di negara Z? Isu-isu ini menunjukkan bahwa filosofi kuno mengenai *depositum* harus terus diperbarui agar relevan dengan realitas teknologi yang memungkinkan kita untuk menitipkan kekayaan tak berwujud dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menitipkan Amanah dan Warisan Tak Benda
Melampaui barang fisik dan uang, tindakan menitipkan juga berlaku pada domain nilai-nilai, tradisi, dan spiritualitas. Dalam banyak budaya, konsep amanah (seringkali dilekatkan dengan konotasi religius) adalah bentuk titipan tertinggi. Amanah adalah janji yang dititipkan oleh generasi sebelumnya kepada yang sekarang, atau dalam konteks spiritual, janji yang dititipkan oleh Pencipta kepada manusia.
Amanah Lingkungan: Menitipkan Bumi kepada Generasi Mendatang
Filosofi keberlanjutan (sustainability) dapat dipahami sebagai kewajiban menitipkan lingkungan. Generasi sekarang adalah pemegang sementara (bailee) planet ini. Kita tidak memilikinya; kita hanya dititipkan pengelolaannya. Kewajiban fidusia di sini meluas melintasi waktu, menuntut agar kita bertindak dengan cara yang tidak merusak pokok titipan (sumber daya alam dan ekosistem) sehingga ia dapat diwariskan dalam kondisi prima kepada generasi mendatang (bailor masa depan).
Ketika kita mengelola hutan, air, atau emisi karbon, kita sedang memenuhi kontrak amanah lingkungan ini. Kegagalan dalam amanah ini, yang diwujudkan dalam polusi atau deforestasi, adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan intergenerasi. Konsep ini menantang model ekonomi tradisional yang hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek, memaksa kita untuk menginternalisasi biaya penitipan jangka panjang ke dalam keputusan ekonomi saat ini.
Menitipkan Tradisi dan Identitas Kultural
Setiap ritual, bahasa, dan narasi sejarah adalah titipan budaya yang diterima dan harus dilestarikan oleh komunitas. Proses pewarisan tradisi melibatkan pen titip (tetua, guru) yang secara sadar menyalurkan pengetahuan, dan penerima titipan (generasi muda) yang harus berkomitmen untuk memahami, mempraktikkan, dan akhirnya, menitipkannya kembali kepada anak cucu mereka.
Kegagalan dalam menitipkan tradisi sering kali menyebabkan kepunahan bahasa atau hilangnya identitas kultural. Di sinilah peran pendidikan menjadi krusial. Sekolah, museum, dan lembaga budaya adalah institusi formal yang diberi amanah untuk menyimpan dan menyebarkan titipan intelektual dan artistik ini. Kepercayaan yang diberikan kepada institusi-institusi ini adalah bahwa mereka akan menjaga objektivitas dan integritas warisan yang dititipkan, tanpa melakukan distorsi yang bermotif kepentingan sesaat.
Contoh nyata adalah tindakan menitipkan naskah-naskah kuno (manuskrip) di perpustakaan nasional. Perpustakaan bertindak sebagai kustodian terakhir dari ingatan kolektif. Mereka menerima amanah untuk menjaga keutuhan fisik dokumen rapuh ini sambil memastikan aksesibilitasnya bagi para peneliti masa depan. Dalam konteks ini, menitipkan adalah upaya untuk mengalahkan waktu, memastikan bahwa pengetahuan yang dihargai tetap bertahan melampaui rentang hidup individu.
Ketika Amanah Dilanggar: Patologi Tindakan Menitipkan
Sifat rapuh dari tindakan menitipkan berarti ia selalu berada di bawah ancaman pelanggaran. Pelanggaran amanah (breach of trust) adalah salah satu kejahatan sosial dan legal yang paling merusak, karena ia tidak hanya menyebabkan kerugian materi tetapi juga menghancurkan fondasi psikologis dan sosial. Pengkhianatan titipan menciptakan efek domino yang melampaui para pihak yang terlibat.
Skala dan Dampak Pengkhianatan Amanah
Pengkhianatan dapat terjadi pada berbagai skala. Pada tingkat mikro, menitipkan kunci rumah kepada tetangga yang kemudian menyalahgunakannya adalah pelanggaran pribadi yang menyebabkan trauma dan kehilangan rasa aman. Pada tingkat makro, penyelewengan dana publik oleh pejabat negara adalah pelanggaran amanah yang dititipkan oleh rakyat. Dampak dari pengkhianatan makro ini adalah erosi kepercayaan publik terhadap institusi, yang pada akhirnya dapat mengancam stabilitas politik dan sosial.
Reaksi hukum dan sosial terhadap pengkhianatan amanah biasanya sangat keras. Dalam hukum pidana, penyelewengan (embezzlement) atau penggelapan barang titipan dikenai sanksi berat karena dianggap melanggar kontrak sosial dasar. Hukuman yang berat berfungsi sebagai disinsentif dan penegasan kembali nilai yang dititipkan oleh masyarakat pada integritas dan tanggung jawab.
Di bidang psikologi, kegagalan dalam amanah menitipkan, terutama yang melibatkan hubungan emosional (misalnya, pengasuh yang lalai atau kasar), meninggalkan luka yang dalam. Korban kehilangan kemampuan untuk menitipkan lagi di masa depan. Mereka mengembangkan hiper-vigilansi dan rasa sinisme yang menghambat pembentukan hubungan kolaboratif dan intim. Dalam arti yang paling tragis, pengkhianatan amanah menitipkan adalah penolakan terhadap kebutuhan manusia untuk saling bergantung.
Rekonstruksi Kepercayaan Setelah Pelanggaran
Proses rekonstruksi setelah pengkhianatan amanah sangatlah sulit. Dalam konteks finansial, rekonstruksi memerlukan transparansi ekstrem, reformasi regulasi, dan seringkali, kompensasi penuh kepada pen titip. Di tingkat pribadi, ini membutuhkan waktu yang lama, pertanggungjawaban dari pihak yang melanggar, dan bukti nyata dari perilaku korektif. Kunci untuk memulai proses menitipkan lagi terletak pada kemampuan pihak yang melanggar untuk menunjukkan penyesalan yang tulus dan mengembalikan rasa kontrol kepada pen titip.
Masyarakat yang matang adalah masyarakat yang tidak menghindari risiko menitipkan, melainkan mengelolanya. Masyarakat harus menerima bahwa kerentanan adalah harga yang harus dibayar untuk efisiensi dan kolaborasi. Oleh karena itu, investasi terbesar yang dapat dilakukan oleh sebuah peradaban adalah investasi pada integritas moral dan profesionalisme para pihak yang menerima titipan, karena mereka adalah penjaga kontrak sosial yang paling mendasar.
Masa Depan Menitipkan: Menghadapi Kecerdasan Buatan dan Otomasi
Seiring kita melangkah ke era Kecerdasan Buatan (AI) dan otomatisasi, sifat dari apa yang kita titipkan dan kepada siapa kita menitipkannya sedang mengalami transformasi radikal. Dahulu, menitipkan selalu melibatkan manusia lain yang memiliki kesadaran dan kehendak moral. Kini, kita mulai menitipkan keputusan kompleks, keamanan, dan bahkan aspek emosional kita kepada algoritma dan sistem otonom.
Menitipkan Keputusan kepada Algoritma
Kita menitipkan navigasi kita kepada GPS, diagnosis kesehatan awal kepada sistem AI, dan manajemen energi rumah kita kepada smart grid. Dalam setiap kasus ini, kita menyerahkan kontrol atas keputusan-keputusan vital kepada entitas non-manusia. Pertanyaan etis yang mendesak adalah: dapatkah AI memikul amanah? Jika sebuah sistem otonom membuat kesalahan yang merugikan titipan kita (misalnya, mobil otonom yang gagal melindungi penumpang), siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran amanah tersebut?
Isu ini mendorong perkembangan dalam etika AI (AI Ethics) dan hukum otonomi, di mana fokusnya adalah merancang sistem yang transparan dan akuntabel. Kita harus memastikan bahwa ketika kita menitipkan kekuasaan kepada mesin, kita juga menitipkan mekanisme pengawasan yang memungkinkan kita untuk mengintervensi jika amanah tersebut disalahgunakan atau dijalankan secara keliru. Dalam konteks ini, integritas tidak lagi hanya menjadi sifat manusia, tetapi juga merupakan persyaratan desain teknis.
Kepercayaan dalam Ekosistem Terdesentralisasi
Di sisi lain, munculnya teknologi blockchain dan sistem terdesentralisasi (Decentralized Autonomous Organizations/DAOs) menawarkan alternatif menarik bagi praktik menitipkan. Dalam sistem tradisional, kita menitipkan kepada institusi terpusat. Dalam DAO, amanah didistribusikan ke dalam kode yang transparan dan tak terubah. Kontrak pintar (smart contracts) adalah mekanisme titipan yang paling murni: mereka menyimpan aset atau nilai dan memicu transfer hanya jika kondisi yang dititipkan dalam kode terpenuhi secara otomatis, tanpa memerlukan intervensi pihak ketiga yang berpotensi korup.
Ini adalah pergeseran dari menitipkan berbasis kepercayaan manusia (trust-based) menjadi menitipkan berbasis verifikasi kode (trustless). Meskipun ini menawarkan solusi untuk masalah korupsi dan ketidakjujuran manusia, ia memperkenalkan tantangan baru, yaitu kerentanan terhadap bug kode. Jika kontrak titipan digital memiliki cacat, maka pelanggaran amanah yang terjadi bersifat definitif dan ireversibel. Dengan demikian, meskipun bentuk menitipkan berubah, kebutuhan fundamental untuk menjamin integritas (sekarang integritas kode) tetap menjadi prioritas utama.
Refleksi akhir mengenai praktik menitipkan menegaskan bahwa itu bukan hanya tentang manajemen risiko atau hukum kepemilikan. Menitipkan adalah afirmasi abadi tentang keterbatasan diri dan harapan kita pada kebaikan kolektif. Setiap kali kita menitipkan, kita mengakui bahwa kita tidak dapat melakukan segalanya sendiri dan bahwa kita membutuhkan jembatan—jembatan kepercayaan—untuk menghubungkan masa kini kita dengan masa depan yang kita inginkan.