Ayat Al-Quran Tentang Toleransi: Prinsip Tasāmuh dalam Islam

Toleransi, atau dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah Tasāmuh, bukanlah sekadar konsep etika sosial yang bersifat tentatif, melainkan sebuah prinsip teologis fundamental yang tertanam kokoh dalam sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran. Dalam konteks masyarakat majemuk, pemahaman yang benar dan mendalam mengenai fondasi toleransi menjadi krusial untuk menjaga kedamaian, harmoni, dan stabilitas peradaban. Al-Quran secara eksplisit dan implisit memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai bagaimana seorang Muslim harus berinteraksi dengan pemeluk agama lain, menekankan batas antara akidah dan muamalah (hubungan sosial).

Simbol Harmoni dan Perbedaan

Ilustrasi prinsip tasāmuh dan penerimaan keragaman.

Untuk memahami kedalaman konsep ini, kita perlu merenungkan beberapa ayat kunci (Ayat al-Tasāmuh) yang sering dijadikan rujukan utama. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur hubungan individu, tetapi juga membentuk dasar kebijakan negara Islam terhadap minoritas. Pemahaman yang komprehensif atas ayat-ayat ini menuntut kita untuk meninjau konteks pewahyuan (Asbabun Nuzul), interpretasi linguistik (Tafsir Lughawi), dan implikasi hukum (Fiqh) yang ditawarkan oleh ulama klasik hingga kontemporer.

I. Kebebasan Berakidah: Fondasi Utama Toleransi (La Ikraha fid Din)

Ayat yang paling sering dikutip dan menjadi pilar utama dalam mendefinisikan toleransi beragama adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah:

1. Surah Al-Baqarah (2:256)

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ

Artinya: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."

Analisis Semantik dan Teologis

Ayat ini secara eksplisit menegaskan larangan pemaksaan dalam urusan agama. Kata kunci di sini adalah Ikrah (إِكْرَاهَ), yang berarti pemaksaan atau kekerasan. Larangan ini universal dan mencakup segala bentuk tekanan, baik fisik, psikologis, maupun material, yang bertujuan untuk memaksa seseorang berpindah keyakinan. Penekanan pada ‘agama’ (fid Din) menunjukkan bahwa keyakinan adalah urusan hati yang tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan manusia.

Pernyataan ini diikuti oleh frasa, "Qad tabayyanar rusydu minal ghayy" (telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat). Kalimat kedua ini berfungsi sebagai justifikasi teologis atas larangan pemaksaan. Karena kebenaran (rusyd) Islam telah terbukti melalui argumen rasional, bukti empiris, dan mukjizat kenabian, maka pemaksaan menjadi tidak relevan. Iman yang didasarkan pada paksaan bukanlah iman sejati di hadapan Allah; iman hanya sah jika muncul dari kesadaran, kebebasan memilih (ikhtiyar), dan keyakinan hati (iqrar bil qalb).

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Para mufasir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, mencatat bahwa salah satu konteks penurunan ayat ini berkaitan dengan praktik yang dilakukan oleh sebagian kaum Ansar di Madinah. Sebelum masuk Islam, beberapa keluarga Ansar yang memiliki anak laki-laki seringkali menitipkan anak-anak mereka kepada komunitas Yahudi Madinah (Bani Nadhir atau Bani Quraizah), agar anak-anak tersebut dididik dalam tradisi Yahudi. Ketika Ansar masuk Islam, mereka berkeinginan untuk memaksa anak-anak mereka yang telah dewasa untuk mengikuti agama baru mereka.

Ketika kasus ini diajukan kepada Rasulullah SAW, ayat 2:256 turun sebagai koreksi ilahi. Allah menetapkan bahwa meskipun niat para orang tua baik, pemaksaan akidah adalah pelanggaran terhadap kebebasan berkehendak yang dianugerahkan Tuhan. Ayat ini mengajarkan bahwa tanggung jawab terbesar orang tua adalah menyampaikan dan menunjukkan kebenaran, namun hasil akhirnya, yaitu keyakinan, sepenuhnya milik individu dan Allah SWT.

Implikasi Hukum (Fiqh) dan Modernitas

Dari segi fiqh, ayat "La Ikraha fid Din" membentuk fondasi bagi konsep Dhimmah (perlindungan minoritas). Ayat ini memastikan bahwa dalam wilayah kekuasaan Islam, minoritas agama (Ahlul Kitab dan bahkan penganut agama lain yang damai) memiliki hak penuh untuk mempraktikkan keyakinan mereka tanpa gangguan. Mereka dibebaskan dari kewajiban ibadah Muslim, dan hukum-hukum agama mereka (seperti pernikahan dan makanan) dihormati sejauh tidak bertentangan dengan keamanan publik.

Dalam konteks modern, ayat ini menjadi argumen utama melawan ekstremisme dan terorisme. Kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan untuk menyebarkan Islam atau memaksa konversi secara nyata telah menyalahi prinsip dasar yang ditegaskan oleh Al-Quran. Toleransi di sini adalah pengakuan bahwa keragaman adalah kehendak Ilahi, dan tugas manusia hanyalah menyampaikan risalah, bukan memaksa penerimaannya.

Kajian mendalam para ahli tafsir, khususnya dari mazhab rasionalis seperti Mu'tazilah dan kemudian dianut oleh banyak cendekiawan modern, menekankan bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk membedakan yang benar dan salah (al-rusyd min al-ghayy). Karena akal berfungsi sebagai sarana utama untuk memahami wahyu, maka kebebasan akal (yang terwujud dalam kebebasan berkeyakinan) harus dijamin. Pemaksaan akan meniadakan peran akal dalam proses keimanan.

Lebih jauh lagi, para fuqaha (ahli hukum Islam) menegaskan bahwa larangan pemaksaan ini berlaku tidak hanya bagi non-Muslim agar masuk Islam, tetapi juga bagi Muslim sendiri dalam hal praktik ibadah yang bersifat sunnah atau khilafiyah (perbedaan pendapat). Prinsip kebebasan ini mendorong pluralisme pemikiran dan praktik dalam batas-batas syariat.

II. Pengakuan Terhadap Perbedaan dan Batasan Akidah (Lakum Dinukum wa Liya Din)

Surah Al-Kafirun merupakan surah yang secara singkat namun padat merangkum batasan tegas antara akidah Muslim dan non-Muslim, sekaligus menetapkan model hubungan sosial yang damai berdasarkan prinsip non-intervensi dan pengakuan timbal balik.

2. Surah Al-Kafirun (109:1-6)

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Artinya: "Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Analisis Linguistik dan Konteks Sejarah

Surah ini diwahyukan di Mekah pada masa-masa awal dakwah, ketika kaum Quraisy mencoba mencari jalan kompromi dengan Nabi Muhammad SAW. Mereka menawarkan agar Nabi menyembah berhala mereka selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun berikutnya. Tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh wahyu ilahi, yang berpuncak pada ayat penutup: "Lakum Dinukum wa Liya Din" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku).

Pengulangan penolakan (ayat 2-5) bukan hanya retorika, tetapi penegasan mutlak bahwa tidak ada ruang kompromi dalam masalah tauhid (keesaan Tuhan) dan ritual ibadah. Toleransi dalam Islam tidak berarti sinkretisme atau pencampuran keyakinan. Justru, toleransi sejati muncul dari pengakuan akan perbedaan yang fundamental.

Prinsip Batasan (Separation of Creeds)

Ayat keenam adalah inti dari toleransi aktif. Ia menuntut pengakuan eksistensial terhadap agama lain. "Untukmu agamamu" adalah sebuah deklarasi kemerdekaan beragama bagi pihak lain. Hal ini menetapkan prinsip bahwa meskipun akidah Islam dianggap sebagai kebenaran, namun Muslim wajib menghormati ruang teologis non-Muslim. Pengakuan ini memisahkan secara jelas ranah akidah (keyakinan) dari ranah muamalah (hubungan sosial).

Seorang Muslim harus tegas dalam akidahnya, namun lembut dalam perilakunya. Ketegasan akidah tidak boleh diterjemahkan menjadi kebencian atau diskriminasi sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, Surah Al-Kafirun adalah representasi terbaik dari al-bara’ah (pemisahan diri) dari praktik syirik, tetapi pemisahan ini tidak menghalangi kewajiban moral untuk bersikap adil dan berbuat baik kepada semua manusia.

Toleransi vs. Sinkretisme

Ayat ini penting untuk membedakan antara toleransi dan sinkretisme (peleburan agama). Toleransi adalah hidup berdampingan secara damai sambil mempertahankan identitas masing-masing. Sinkretisme adalah mengorbankan identitas akidah demi kesamaan palsu. Islam menuntut toleransi; Islam melarang sinkretisme. Penggunaan kata 'Din' (agama/cara hidup) yang berbeda untuk masing-masing pihak menunjukkan bahwa jalur spiritualitas dan hukum yang diikuti oleh Muslim dan non-Muslim adalah terpisah, dan tidak boleh dipaksakan untuk bersatu.

Analisis mendalam terhadap kata Din dalam konteks ini menunjukkan bahwa ia mencakup keseluruhan sistem keyakinan, moral, ritual, dan hukum. Dengan mengakui bahwa pihak lain memiliki 'Din' mereka sendiri, Al-Quran mewajibkan Muslim untuk tidak mencampuri ritual ibadah non-Muslim, dan sebaliknya, menuntut agar ritual Muslim tidak dicampuri.

Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer terkait hak-hak minoritas. Dengan menjamin ruang otonomi bagi agama lain, Islam menciptakan kerangka kerja pluralis di mana perbedaan diakui sebagai fakta kehidupan yang sah di bawah izin Ilahi.

Buku Wahyu dan Cahaya

Ilustrasi Al-Quran sebagai sumber cahaya dan petunjuk toleransi.

III. Perintah Universal untuk Keadilan dan Kebajikan (Al-Mumtahanah dan An-Nisa)

Toleransi dalam Islam tidak hanya tentang menahan diri dari paksaan, tetapi juga tentang aktif berbuat baik dan berlaku adil kepada semua, tanpa memandang latar belakang keyakinan. Dua ayat berikut memperluas cakupan toleransi dari ranah teologis ke ranah etika sosial dan politik.

3. Surah Al-Mumtahanah (60:8-9)

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ وَظَٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (9)

Artinya: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Klasifikasi Hubungan Sosial

Ayat-ayat ini adalah panduan emas dalam hukum Islam mengenai hubungan internasional dan sosial. Allah membedakan secara tegas antara dua kelompok non-Muslim:

  1. Non-Muslim yang Damai (Ghāyr Muqātilīn): Mereka yang tidak memerangi Muslim dan tidak mengusir mereka dari tanah air mereka.
  2. Non-Muslim yang Agresif (Muqātilīn): Mereka yang aktif memerangi Muslim, menganiaya, atau membantu pengusiran.

Perintah Berbuat Baik (Al-Birr) dan Keadilan (Al-Qist)

Terhadap kelompok pertama (non-Muslim yang damai), Allah tidak melarang umat Islam untuk melakukan dua hal utama: An Tabarrūhum (untuk berbuat baik kepada mereka) dan wa Tuqsithū Ilayhim (untuk berlaku adil terhadap mereka).

  • Al-Birr (Kebajikan): Kata ini dalam bahasa Arab digunakan untuk merujuk pada kebajikan yang paling tinggi, seringkali dikaitkan dengan perlakuan terhadap orang tua. Ketika diterapkan pada non-Muslim, ia mengindikasikan tingkat perlakuan yang sangat mulia, termasuk membantu mereka yang membutuhkan, mengunjungi mereka yang sakit, dan menunjukkan keramahan yang tulus. Ini menunjukkan bahwa hubungan sosial berbasis kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah) harus melampaui batas-batas keyakinan.
  • Al-Qist (Keadilan Absolut): Perintah untuk berlaku adil adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Keadilan (al-qist) di sini berarti memberikan hak-hak mereka secara penuh, memperlakukan mereka setara di mata hukum, dan tidak menzalimi mereka, meskipun ada perbedaan agama. Allah menekankan, "InnalLaha yuhibbul muqsithīn" (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil). Keadilan adalah sifat yang dicintai Allah, dan ia harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Toleransi sebagai Etika Negara

Ayat ini menetapkan bahwa toleransi tidak bersifat pasif (hanya membiarkan orang lain), melainkan bersifat aktif (secara proaktif memberikan kebajikan dan keadilan). Dalam sejarah Islam, ayat ini menjadi dasar bagi perlakuan terhadap komunitas Kristen, Yahudi, dan Zoroaster yang hidup di bawah kekuasaan Muslim, memastikan hak-hak sipil, kebebasan beribadah, dan perlindungan properti mereka.

Sebaliknya, Surah Al-Mumtahanah juga memberikan batasan toleransi: Muslim dilarang menjadikan kelompok yang memerangi Islam sebagai ‘kawan akrab’ (tawallūhum). Larangan ini bukan larangan interaksi sosial atau bisnis, tetapi larangan loyalitas politik dan militer yang dapat membahayakan komunitas Muslim. Ayat ini mengajarkan bahwa toleransi sosial harus berjalan seiring dengan pertimbangan keamanan dan pertahanan diri.

4. Surah An-Nisa (4:135)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran."

Keadilan Melampaui Batas Hubungan

Ayat ini, meskipun tidak secara langsung berbicara tentang non-Muslim, namun memperkuat prinsip keadilan universal yang menjadi prasyarat bagi toleransi sejati. Keadilan harus ditegakkan bahkan jika itu merugikan kepentingan pribadi, keluarga, atau kaum kerabat. Dalam konteks toleransi, ini berarti bahwa keadilan harus diberikan kepada non-Muslim (atau bahkan musuh) secara objektif dan tanpa bias emosional atau agama.

Toleransi sebagai Tanggung Jawab Hukum

Imam Al-Ghazali dalam karya-karyanya sering menekankan bahwa keadilan adalah fondasi *siyasah syar’iyyah* (tata kelola berdasarkan syariat). Jika seorang Muslim harus bersaksi jujur melawan orang tuanya sendiri demi keadilan, maka sudah pasti ia harus bersikap adil terhadap orang yang berbeda agama. Keadilan yang dituntut di sini adalah keadilan yang bersifat mutlak, yang tidak dipengaruhi oleh status sosial (kaya atau miskin) maupun ikatan emosional.

Kewajiban menegakkan keadilan ini membatalkan setiap pembenaran untuk diskriminasi sistemik atau penganiayaan terhadap minoritas. Toleransi dalam bingkai An-Nisa 135 adalah penegasan bahwa hak-hak dasar manusia dijamin oleh Allah, terlepas dari keyakinan mereka.

IV. Keragaman Sebagai Kehendak Ilahi (Al-Hujurat dan Hud)

Selain ayat-ayat yang mengatur batasan interaksi, Al-Quran juga menyediakan landasan filosofis mengapa keragaman itu ada. Keragaman bukan hanya diterima; ia adalah desain ilahi yang memiliki tujuan.

5. Surah Al-Hujurat (49:13)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Tujuan Penciptaan Keragaman (Li Ta’arafu)

Ayat ini menegaskan kesetaraan asali seluruh umat manusia (semua berasal dari Adam dan Hawa) dan menjelaskan tujuan dari pembagian mereka menjadi suku dan bangsa. Tujuannya adalah Li Ta’arafu (supaya saling kenal-mengenal atau saling memahami).

Kata Ta'aruf memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar mengetahui nama. Ia mencakup upaya untuk memahami budaya, kebiasaan, sejarah, dan bahkan pandangan dunia orang lain. Ini adalah perintah aktif untuk terlibat dalam dialog dan interaksi yang mendalam, yang merupakan prasyarat mutlak bagi toleransi yang berbasis rasa hormat.

Standar Kemuliaan yang Murni

Ayat 49:13 menghilangkan semua dasar diskriminasi lain (ras, kekayaan, keturunan, atau bahkan afiliasi agama) sebagai penentu kemuliaan di sisi Allah. Satu-satunya kriteria kemuliaan adalah ketakwaan (atqaakum). Karena takwa adalah urusan hati yang hanya diketahui oleh Allah, manusia tidak berhak menghakimi kemuliaan orang lain berdasarkan penampilan luar atau kelompok sosial mereka.

Prinsip ini secara radikal menolak rasisme, tribalisme, dan chauvinisme agama. Dengan menetapkan kesamaan kemanusiaan universal dan standar moralitas individu sebagai tolok ukur, Al-Quran mewajibkan umat Islam untuk memperlakukan setiap individu dengan martabat yang sama.

Keragaman Akidah sebagai Ujian

Al-Quran juga menegaskan bahwa perbedaan keyakinan terjadi atas kehendak Allah sebagai ujian bagi umat manusia. Allah berfirman dalam Surah Hud (11:118):

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً وَٰحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

Artinya: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat."

Ayat ini mengajarkan bahwa keragaman adalah suatu ketetapan kosmik (sunnatullah). Jika Allah ingin seluruh manusia seragam dalam keyakinan, hal itu mudah bagi-Nya. Namun, kenyataannya adalah bahwa perbedaan akan terus ada hingga akhir zaman. Menerima perbedaan sebagai kehendak Tuhan adalah esensi dari toleransi teologis. Tugas Muslim adalah mengelola perbedaan ini dengan damai dan produktif.

V. Kontekstualisasi Sejarah: Piagam Madinah dan Perlindungan Minoritas

Prinsip-prinsip toleransi yang termaktub dalam Al-Quran tidak hanya berhenti pada teks, tetapi diimplementasikan secara nyata oleh Nabi Muhammad SAW dalam tata kelola negara Islam pertama di Madinah. Dokumen sejarah terpenting yang merefleksikan toleransi ini adalah Shahifah al-Madinah (Piagam Madinah).

A. Piagam Madinah: Konstitusi Pluralis Pertama

Piagam Madinah, yang dibentuk segera setelah hijrah, mengatur hubungan antara komunitas Muslim (Muhajirin dan Ansar) dengan komunitas Yahudi dan suku-suku Arab non-Muslim lainnya di Madinah. Piagam ini mendefinisikan seluruh penghuni Madinah sebagai satu komunitas politik (Ummah Wāhidah) yang memiliki tanggung jawab bersama terhadap pertahanan kota, meskipun keyakinan agama mereka berbeda.

Beberapa poin kunci Piagam Madinah yang mencerminkan prinsip toleransi Al-Quran meliputi:

Tindakan Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan bahwa toleransi adalah model tata kelola negara yang berkelanjutan, bukan sekadar sikap personal. Keberhasilan Piagam Madinah sebagai kerangka koeksistensi menunjukkan bagaimana prinsip keadilan universal dapat mengikat masyarakat yang beragam keyakinan di bawah satu payung keadilan politik.

B. Jaminan Hak Ahlul Kitab (Dhimmah)

Konsep Dhimmah (perlindungan) adalah mekanisme fiqh yang dikembangkan berdasarkan ayat-ayat seperti Al-Baqarah 2:256 dan Al-Mumtahanah 60:8. Minoritas agama yang hidup di bawah perlindungan negara Islam disebut Ahlul Dhimmah. Mereka diberikan jaminan penuh atas:

  1. Keselamatan Jiwa dan Properti: Menyerang atau menzalimi Ahlul Dhimmah dianggap sebagai dosa besar.
  2. Kebebasan Beribadah: Mereka diizinkan memelihara tempat ibadah, mempraktikkan ritual mereka, dan mengatur hukum keluarga mereka sendiri (misalnya, hukum pernikahan dan warisan).
  3. Kewajiban Sosial: Mereka dibebaskan dari kewajiban militer Muslim (jihad) dan zakat, tetapi diwajibkan membayar Jizyah (pajak perlindungan) sebagai imbalan atas perlindungan negara dan hak-hak sipil penuh.

Dalam hadis, Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa menzalimi seorang Mu’āhid (orang yang terikat perjanjian) atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaannya, maka akulah yang akan menjadi penentangnya di hari Kiamat." Hadis ini mempertegas bahwa tanggung jawab toleransi dan keadilan adalah tanggung jawab kenabian yang sangat serius.

VI. Tantangan Kontemporer dan Implementasi Toleransi

Meskipun fondasi toleransi dalam Al-Quran sangat kuat, tantangan interpretasi dan implementasi tetap muncul di era modern. Salah satu isu paling kompleks adalah bagaimana menyelaraskan ayat-ayat yang tampak "lunak" (seperti La Ikraha fid Din dan Al-Mumtahanah 60:8) dengan ayat-ayat yang berisi perintah peperangan atau batasan loyalitas politik (seringkali disalahgunakan oleh kelompok ekstremis).

A. Memahami Konteks Ayat Perang (Ayat al-Qitāl)

Para ulama besar kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi dan Muhammad Asad sepakat bahwa ayat-ayat yang memerintahkan perlawanan atau peperangan (al-Qitāl) dalam Al-Quran harus dipahami secara kontekstual, bukan universal. Ayat-ayat tersebut merujuk pada situasi perang pertahanan diri atau sebagai respons terhadap agresi, pengkhianatan perjanjian, atau penganiayaan (fitnah) yang bertujuan memusnahkan Islam. Ayat-ayat ini tidak pernah menjadi perintah untuk menyerang atau memaksa konversi secara acak.

Prinsip umum (al-asl) dalam hubungan antarmanusia dalam Islam adalah perdamaian (al-silm), sebagaimana ditarik dari ayat 2:256 dan 60:8. Perang adalah pengecualian (istithnā’) yang hanya diizinkan dalam kondisi yang sangat spesifik dan ketat. Ayat Al-Mumtahanah 60:8 secara efektif membatalkan setiap interpretasi yang menganggap Muslim harus memusuhi non-Muslim yang hidup damai.

B. Fiqh Minoritas dan Warga Negara

Dalam masyarakat modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) mendominasi, konsep Dhimmah tradisional telah berevolusi menjadi konsep kewarganegaraan yang setara. Ulama kontemporer menekankan bahwa semua warga negara, terlepas dari keyakinan, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ini adalah konsistensi dengan perintah keadilan universal (al-qist) dalam Surah An-Nisa 4:135.

Toleransi modern, yang berakar pada ajaran Al-Quran, menuntut pengakuan hak-hak sipil minoritas, partisipasi politik, dan jaminan kebebasan beribadah mereka, karena tujuan syariat (Maqasid al-Syari’ah) adalah melindungi agama (Hifz ad-Din), termasuk agama orang lain, selama mereka tidak mengancam ketertiban umum.

Kesimpulan dari kajian komprehensif atas ayat-ayat tentang toleransi adalah bahwa Islam menanamkan prinsip Tasāmuh bukan sebagai pilihan politik yang pragmatis, melainkan sebagai perintah Ilahi yang mengikat setiap Muslim. Kebebasan berkeyakinan adalah hak ilahi bagi setiap individu. Keadilan universal adalah kewajiban etika yang melampaui batas agama. Dan pengakuan terhadap keragaman adalah penerimaan terhadap desain kosmik Allah SWT.

Maka, implementasi toleransi dalam kehidupan sehari-hari harus dimulai dari pemahaman bahwa dakwah harus dilakukan dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik (QS. An-Nahl 16:125), bukan dengan paksaan. Hanya melalui pemahaman dan penerapan prinsip al-Qist (keadilan) dan al-Birr (kebajikan) secara universal, umat Muslim dapat merealisasikan pesan damai yang terkandung dalam Al-Quran.

Al-Quran tidak hanya memberikan izin untuk hidup berdampingan, tetapi secara aktif mendorong terjalinnya ikatan sosial dan kemanusiaan yang kuat dengan semua orang yang memilih jalan perdamaian. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya: sebuah agama yang berakar pada keadilan dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dalam segala keragamannya.

***

Dalam konteks pengembangan teologi sosial Islam, penekanan pada ayat-ayat toleransi ini menjadi benteng utama melawan radikalisme. Kaum radikal cenderung mengisolasi ayat-ayat perang (qitāl) dari konteks historis dan teologisnya, mengabaikan ratusan ayat yang menekankan perdamaian, keadilan, dan kebajikan. Oleh karena itu, tugas intelektual Muslim kontemporer adalah selalu mengedepankan prinsip-prinsip universal Tasāmuh yang melekat pada inti pesan kenabian.

Perluasan makna Ta’aruf (49:13) dalam era globalisasi juga signifikan. Ta’aruf kini mencakup dialog antarbudaya, kerjasama ilmiah, dan pertukaran peradaban. Islam memandang interaksi ini sebagai pengayaan, bukan ancaman. Melalui interaksi yang jujur, kesalahpahaman dapat diatasi, dan jembatan saling pengertian dapat dibangun, sesuai dengan tujuan ilahi dari penciptaan bangsa-bangsa dan suku-suku.

Sebagai penutup, kita kembali merenungkan ayat Surah Yunus (10:99):

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا۟ مُؤْمِنِينَ

Artinya: "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Ayat ini adalah refleksi penutup yang kuat bagi setiap pengemban dakwah dan penguasa Muslim. Ia menanyakan secara retoris: Jika Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memilih untuk memaksa iman, mengapa manusia harus mengambil peran tersebut? Iman adalah anugerah dan pilihan. Toleransi, dengan demikian, adalah pengakuan atas otoritas absolut Allah dalam menentukan keyakinan, dan penyerahan diri Muslim terhadap kebebasan berkehendak yang diberikan kepada manusia.

Ketegasan dalam akidah (sebagaimana dalam Al-Kafirun) harus dibarengi dengan kelapangan hati dalam interaksi sosial (sebagaimana dalam Al-Mumtahanah dan Al-Baqarah). Keseimbangan inilah yang menghasilkan peradaban Islam yang mampu merangkul dan melindungi keragaman selama berabad-abad, menjadikannya contoh nyata dari prinsip Tasāmuh yang dicita-citakan.

Dalam menghadapi polarisasi global, kembali kepada fondasi Al-Quran mengenai toleransi adalah langkah mendasar. Toleransi bukan sekadar alat politik, melainkan cerminan dari kemuliaan ajaran Islam yang memandang manusia sebagai ciptaan yang harus dihormati, terlepas dari jalan spiritual yang mereka pilih.

Prinsip-prinsip ini meliputi: (1) Kebebasan Berkeyakinan Mutlak, (2) Kewajiban Keadilan Universal (Al-Qist), (3) Perintah Kebajikan Sosial (Al-Birr), dan (4) Pengakuan Keragaman sebagai Sunnatullah (Hukum Kosmik). Memegang teguh empat pilar ini adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan beradab, sesuai dengan semangat Rahmatan Lil ‘Alamin.

Toleransi bukan berarti setuju dengan keyakinan orang lain, melainkan menghormati hak mereka untuk memegang keyakinan tersebut dan menjamin hak-hak sipil serta kemanusiaan mereka. Ini adalah manifestasi tertinggi dari Islam sebagai agama yang komprehensif, mencakup aspek spiritual dan sosial dengan sempurna.

Kajian mendalam tentang ayat-ayat ini juga mengharuskan kita untuk melihat peran Hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tetangga non-Muslim, larangan menghina sesembahan mereka (agar mereka tidak membalas menghina Allah), dan cerita-cerita tentang kebaikan Nabi kepada para tawanan perang non-Muslim, semuanya berfungsi sebagai penjelasan praktis (bayan amali) terhadap perintah-perintah toleransi dalam Al-Quran.

Misalnya, perintah untuk tidak mencela sembahan agama lain, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-An'am (6:108):

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Artinya: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan."

Ayat ini mengajarkan etika komunikasi antar-agama yang sangat canggih, menekankan bahwa meskipun tauhid adalah prinsip utama, cara dakwah harus menjauhi provokasi dan penghinaan, yang justru dapat menimbulkan reaksi negatif dan penghinaan terhadap Tuhan. Ini adalah bentuk toleransi pragmatis yang bertujuan menjaga perdamaian sosial dan menghindari konflik yang tidak perlu, bahkan dalam urusan penyampaian kebenaran teologis.

Dalam konteks modern, hal ini berarti bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan penghormatan terhadap sensitivitas agama pihak lain. Islam menuntut perlindungan atas perasaan dan kehormatan orang lain, termasuk dalam hal keyakinan mereka, sebagai bagian dari kewajiban kebajikan (al-birr) yang diperintahkan dalam Al-Mumtahanah 60:8.

Keseimbangan antara akidah yang murni dan akhlak yang luhur adalah ciri khas toleransi Islam. Kita memelihara kemurnian tauhid tanpa perlu merusak jalinan kemanusiaan yang universal. Mempertahankan batasan (seperti dalam Al-Kafirun) memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan damai (seperti dalam Al-Baqarah 2:256), karena kita telah melepaskan kebutuhan untuk saling mengkonversi secara paksa. Fokus beralih dari persaingan teologis menjadi kerjasama sosial dan moralitas universal.

Toleransi, oleh karena itu, merupakan bagian integral dari implementasi moral Islam (Akhlaq) dalam ruang publik, menegaskan bahwa keimanan yang kuat harus tercermin dalam perlakuan yang baik terhadap seluruh makhluk, sejalan dengan tujuan penciptaan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan Lil 'Alamin).

Penerapan ayat-ayat toleransi ini memerlukan keberanian intelektual untuk menolak interpretasi sempit yang membatasi pesan universal Al-Quran hanya pada komunitas internal Muslim. Sebaliknya, ayat-ayat ini harus dibaca melalui lensa kemanusiaan yang luas, di mana setiap individu diakui haknya untuk memilih jalan hidup, dan di mana keadilan serta kebajikan menjadi mata uang interaksi sosial.

Kesinambungan ajaran ini, dari Piagam Madinah hingga fatwa-fatwa kontemporer, menunjukkan bahwa toleransi bukanlah penemuan modern, tetapi warisan abadi yang diamanahkan oleh Allah SWT melalui Kitab Suci-Nya.

🏠 Kembali ke Homepage