Surah An-Nisa, yang berarti ‘Wanita’, adalah surah keempat dalam Al-Qur'an dan secara luas membahas struktur masyarakat, hukum keluarga, warisan, dan hak-hak kelompok rentan. Di tengah berbagai aturan hukum yang rinci ini, terdapat sebuah ayat yang bertindak sebagai jembatan antara fikih (hukum) dan etika moralitas tertinggi, yaitu Ayat 9. Ayat ini bukanlah sekadar perintah hukum, melainkan penanaman kesadaran spiritual yang mendalam, menyeru setiap Muslim untuk bercermin pada masa depannya sendiri sebelum bertindak atas hak orang lain, khususnya anak yatim.
Terjemahan maknanya: "Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (lurus, sadida)."
Ayat ini adalah salah satu manifestasi paling kuat dari prinsip Taqwā (ketakwaan) yang diterapkan langsung dalam urusan muamalah (interaksi sosial dan finansial). Ia mengajarkan empati profetik, menempatkan para wali (pengampu atau pengelola harta) pada posisi almarhum, memaksa mereka merenungkan konsekuensi etis dari setiap keputusan yang mereka ambil. Konteks ayat ini, seperti banyak bagian dari Surah An-Nisa, sangat erat kaitannya dengan perlindungan harta benda dan kehormatan anak yatim pasca-perang atau kematian mendadak, di mana seringkali harta mereka menjadi sasaran eksploitasi oleh kerabat yang tidak jujur.
Visualisasi Tanggung Jawab dan Keadilan yang Tulus.
Kata kunci pertama adalah "Walyakhsha", yang berasal dari akar kata *khawf* (rasa takut). Namun, dalam konteks Al-Qur'an, rasa takut ini seringkali merujuk pada ketakutan yang disertai dengan pengetahuan dan penghormatan, yaitu rasa takut yang menghasilkan tindakan pencegahan yang etis. Ketakutan di sini bukan berarti teror, melainkan kesadaran mendalam akan pertanggungjawaban di hadapan Ilahi. Allah SWT mengarahkan ketakutan ini bukan pada hukuman duniawi semata, melainkan pada sebuah situasi hipotetis yang sangat personal dan emosional: bagaimana jika posisi mereka dibalik?
Penggunaan perintah takut ini sangat spesifik. Ini ditujukan kepada orang-orang yang, saat ini, berkuasa atas harta anak yatim. Rasa takut ini harus menjadi rem moral utama. Jika seorang wali merasa sedikit pun tergoda untuk memanfaatkan harta yang bukan miliknya, ingatan akan ayat ini harus segera mengembalikannya pada kesadaran bahwa ia mungkin suatu hari berada di posisi almarhum, meninggalkan anak-anaknya yang lemah tanpa perlindungan, rentan terhadap eksploitasi oleh wali yang tidak jujur.
Inti filosofis ayat ini terletak pada prinsip cermin atau resiprositas etis. Allah meminta para wali untuk memproyeksikan diri mereka ke masa depan. Mereka diminta membayangkan skenario terburuk: mereka meninggal, dan anak-anak mereka (keturunan yang lemah, *dhurriyyatan dhi’āfan*) ditinggalkan. Kelemahan di sini merujuk pada usia yang belum balig, ketidakmampuan mengelola harta, atau ketiadaan kekuatan sosial. Apa yang paling mereka takuti untuk anak-anak mereka? Tentu saja, adalah perlakuan buruk, pengabaian, atau pencurian hak oleh pengurus yang diamanahi.
Konsep *dhurriyyatan dhi’āfan* menguatkan fokus pada kerentanan. Anak yatim piatu, secara definisi, adalah lemah, baik secara finansial maupun emosional. Ayat ini menjadikan empati sebagai basis hukum. Hukum yang didirikan atas dasar empati diri sendiri adalah hukum yang paling kokoh dan sulit untuk dilanggar secara batiniah. Setiap kali seorang wali berurusan dengan harta yatim, ia harus bertanya: "Apakah saya ingin orang lain melakukan ini pada anak saya sendiri?" Ayat ini dengan sempurna menggabungkan *khawf minannar* (takut neraka) dengan *khawf 'alā al-dhurriyyah* (takut akan nasib keturunan sendiri).
Bagian ini adalah kesimpulan dari premis rasa takut sebelumnya. Jika mereka takut akan nasib buruk bagi keturunan mereka, maka langkah yang logis dan wajib adalah *Taqwā*. Taqwa adalah perisai. Dalam konteks ayat ini, Taqwa berarti menempatkan pembatas antara diri sendiri dan potensi dosa dalam mengelola harta yatim. Ini mencakup integritas total, transparansi, dan niat yang murni.
Taqwa di sini tidak hanya bersifat spiritual murni, tetapi juga praktikal dan manajerial. Seorang yang bertakwa dalam pewalian tidak hanya menghindari pencurian langsung, tetapi juga menghindari segala bentuk *israf* (pemborosan), *ghabn* (ketidakadilan harga), atau kelalaian yang bisa merugikan kepentingan jangka panjang anak yatim tersebut. Taqwa menuntut agar wali bertindak lebih dari sekadar "tidak melanggar hukum"; ia menuntut agar wali bertindak seolah-olah harta itu adalah harta yang paling berharga bagi anak-anaknya sendiri.
Bagian terakhir ayat ini sangat penting karena mengaitkan keadilan internal (Taqwa) dengan manifestasi eksternal (ucapan). *Qawlan Sadīdā* berarti perkataan yang benar, lurus, tepat, dan tidak berbelit-belit. Dalam konteks pewalian, ini memiliki beberapa dimensi:
Mengapa Allah menekankan perkataan setelah Taqwā? Karena seringkali kezaliman dimulai dari perkataan. Keputusan yang tidak adil seringkali dibungkus dalam bahasa yang manis, janji palsu, atau pembenaran yang manipulatif. Ayat ini menuntut kejelasan moral dan linguistik. Jika hati sudah dilandasi Taqwā, maka lisannya pun harus mencerminkan kelurusan tersebut.
Ayat 9 dari Surah An-Nisa berfungsi sebagai konstitusi mini yang mendasari seluruh interaksi sosial terkait hak orang lain. Kita dapat menguraikannya menjadi tiga pilar etis yang saling menguatkan dan menjangkau jauh melampaui sekadar urusan anak yatim.
Pilar pertama adalah penggunaan rasa takut sebagai alat introspeksi moral. Ayat ini menggunakan ketakutan yang paling alami pada manusia—ketakutan akan nasib buruk anak sendiri—untuk memotivasi kebaikan. Ini adalah metodologi psikologis yang genius. Allah tidak hanya berkata, "Jadilah baik," tetapi, "Bayangkan dirimu yang paling rentan, dan kemudian bertindaklah." Prinsip cermin ini meluas ke semua bentuk keadilan. Jika kita ingin diperlakukan adil dalam perdagangan, kita harus memperlakukan orang lain adil. Jika kita ingin nama baik kita dijaga, kita harus menjaga nama baik orang lain. Dalam konteks pewalian, prinsip ini mutlak: wali tidak boleh melakukan tindakan apa pun terhadap harta anak yatim yang akan membuat mereka murka jika tindakan itu dilakukan terhadap anak mereka sendiri.
Keadilan yang lahir dari empati, sebagaimana ditekankan dalam ayat ini, jauh lebih stabil daripada keadilan yang lahir hanya dari paksaan hukum. Hukuman luar mungkin bisa dihindari, tetapi pengawasan internal yang didorong oleh "law tarakū min khalfihim" menciptakan sistem pengawasan diri yang hampir mustahil untuk dikelabui, karena setiap orang tahu seberapa besar cintanya terhadap keturunan lemahnya.
Pilar kedua berfokus pada aplikasi praktis Taqwā dalam manajemen aset. Taqwā dalam konteks harta yatim menuntut:
Ayat ini menegaskan bahwa menjadi seorang wali adalah sebuah jabatan mulia sekaligus berisiko tinggi. Risikonya bukan hanya kerugian finansial, tetapi kerugian spiritual yang permanen. Kesadaran Taqwā adalah pengingat bahwa pengelolaan harta ini adalah ujian, dan kegagalan dalam ujian ini memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar denda duniawi. Taqwā manajerial adalah etos yang harus diintegrasikan ke dalam seluruh sistem keuangan dan administrasi seorang wali.
Pilar ketiga, *Qawlan Sadīdā*, adalah tuntutan untuk menjaga kejujuran dan ketepatan dalam segala bentuk komunikasi terkait pewalian. Dalam jurisprudensi Islam, ini mencakup beberapa hal penting. Pertama, ketika anak yatim mencapai kedewasaan dan kecerdasan (rusyd), wali harus mengembalikan hartanya dan ucapan saat pengembalian haruslah lurus—tidak boleh ada upaya untuk menyembunyikan sebagian harta atau memanipulasi perhitungan. Kedua, jika wali harus menasihati atau menegur anak yatim karena perilakunya, teguran itu harus lurus dan bermanfaat, disampaikan dengan kelembutan namun tegas, tanpa mengandung penghinaan atau keputusasaan. Ketiga, dalam situasi di mana wali menghadapi tekanan untuk menyerahkan harta sebelum waktunya, Qawlan Sadīdā mengharuskannya untuk menolak dengan jujur dan jelas, menjelaskan bahwa tindakan itu melanggar amanah demi kebaikan jangka panjang anak yatim itu sendiri.
Penekanan pada kata-kata ini mengajarkan bahwa lisan adalah gerbang pertama keadilan atau kezaliman. Ketidakjujuran dalam lisan seringkali mendahului ketidakjujuran dalam perbuatan. Oleh karena itu, menjaga lisan tetap lurus (*sadīdā*) adalah prasyarat fundamental untuk menjaga tangan tetap bersih.
Meskipun ayat ini lebih fokus pada aspek etika dan moralitas hati (*Tarbiyah*), implikasinya dalam Fiqh (hukum Islam) sangatlah mendalam, terutama dalam bab-bab yang berkaitan dengan Wilayah (perwalian) dan Fara’id (warisan).
Ayat 9 memperkuat konsep bahwa wali bertindak sebagai pengganti sementara Allah di bumi untuk melindungi orang yang lemah. Tanggung jawab ini tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar (makanan, sandang) tetapi juga meliputi perlindungan modal. Ulama menekankan bahwa wali yang melanggar prinsip Taqwā dan *Qawlan Sadīdā* dalam mengelola harta yatim bukan hanya berdosa, tetapi juga dikenakan kewajiban restitusi penuh di dunia. Jika terjadi kerugian akibat kelalaian atau eksploitasi, wali wajib menggantinya.
Bahkan dalam kasus di mana wali adalah orang miskin dan diperbolehkan mengambil kompensasi yang wajar dari harta yatim (sebagaimana dibahas di ayat lain), Taqwā menuntut agar kompensasi itu minimal dan sesuai dengan jasa yang diberikan, bukan dieksploitasi untuk memperkaya diri. Jika wali kaya, sebagian besar ulama berpendapat ia harus menjaga harta itu secara sukarela sebagai bentuk ibadah, sesuai tuntutan Taqwā.
Meskipun ayat ini secara eksplisit menyebut dhurriyyatan dhi’āfan (keturunan yang lemah), para ahli tafsir seringkali memperluas cakupan etika ini kepada semua pihak yang rentan. Hal ini mencakup masakin (orang miskin), ibn al-sabīl (musafir yang kehabisan bekal), dan semua orang yang tidak memiliki kapasitas untuk membela hak-hak mereka sendiri. Prinsip cermin etis—bertindak seperti Anda ingin anak Anda diperlakukan—menjadi prinsip universal dalam Islam untuk keadilan sosial.
Ayat ini menjadi pendahuluan penting bagi ayat-ayat selanjutnya (misalnya An-Nisa 10), yang secara keras memperingatkan tentang bahaya memakan harta anak yatim secara zalim, menyamakannya dengan memakan api neraka. An-Nisa 9 memberikan motivasi pencegahan sebelum ancaman hukuman datang. Ayat 9 adalah tentang bagaimana Anda seharusnya berpikir (Taqwā), sementara Ayat 10 adalah tentang apa konsekuensinya jika Anda gagal berpikir etis.
Singkatnya, An-Nisa 9 menetapkan standar: kewajiban seorang Muslim adalah menjamin bahwa tidak ada kerugian yang menimpa orang lemah di bawah pengawasannya, seolah-olah mereka adalah perpanjangan darah dagingnya sendiri. Prinsip ini memastikan bahwa keadilan Islam tidak hanya berlaku bagi transaksi antara pihak-pihak yang setara, tetapi juga bagi hubungan antara yang kuat dan yang lemah.
Dalam ilmu psikologi moral, manusia seringkali melakukan rasionalisasi atas tindakan korup. Seorang wali mungkin membenarkan pengambilalihan harta yatim dengan dalih "anak ini tidak akan tahu cara menggunakannya" atau "saya berhak atas upah yang lebih besar." An-Nisa 9 secara preemptif menghancurkan semua bentuk rasionalisasi ini melalui mekanisme ketakutan yang terkontrol dan empati yang terarah.
Ayat ini mengajarkan self-monitoring tingkat tinggi. Dengan mengaitkan perlakuan terhadap anak yatim dengan nasib keturunan sendiri, Al-Qur'an menciptakan umpan balik moral instan. Ini adalah bentuk golden rule yang diperkuat oleh dimensi transendental (Taqwā kepada Allah). Setiap kali godaan muncul, memori tentang dhurriyyatan dhi’āfan akan mengaktifkan alarm internal yang jauh lebih kuat daripada ancaman hukuman polisi atau pengadilan duniawi.
Rasa takut ini (khawf) adalah rasa takut yang produktif. Ini mendorong tindakan pencegahan dan kehati-hatian, bukan kelumpuhan. Wali yang bertakwa tidak hanya menjaga harta, tetapi secara aktif berusaha memperbaiki kondisi anak yatim, termasuk pendidikannya, moralnya, dan integrasinya ke dalam masyarakat, memastikan bahwa ketika ia mencapai usia dewasa, ia bukan lagi seorang yang "lemah" (dhi'āfan) dalam arti kemampuan sosial dan finansial.
Penekanan pada perkataan lurus juga memiliki fungsi psikologis penting. Konsistensi antara pikiran (Taqwā), ucapan (Qawlan Sadīdā), dan perbuatan adalah tanda integritas spiritual. Ketika seorang wali dipaksa untuk selalu berbicara secara jujur dan transparan tentang manajemen harta, ia secara bertahap memperkuat karakter integritasnya. Jika ia mulai berbohong tentang transaksi kecil, hal itu akan membuka jalan bagi penipuan yang lebih besar. Oleh karena itu, *Qawlan Sadīdā* adalah pelindung karakter wali, sekaligus pelindung harta anak yatim.
Meskipun diturunkan dalam konteks masyarakat Madinah, prinsip-prinsip An-Nisa 9 memiliki resonansi yang luar biasa dalam masyarakat modern yang kompleks, terutama dalam konteks korupsi, tata kelola perusahaan (corporate governance), dan trust fund.
Dalam hukum modern, wali atau pengelola dana (trustee) memiliki kewajiban fidusia—kewajiban untuk bertindak demi kepentingan terbaik penerima manfaat. An-Nisa 9 adalah formulasi spiritual tertinggi dari kewajiban fidusia. Ia menuntut lebih dari sekadar kepatuhan hukum; ia menuntut niat suci yang digerakkan oleh Taqwā. Seorang manajer investasi yang mengelola dana pensiun, seorang pejabat publik yang mengelola anggaran negara, atau seorang direktur yang bertanggung jawab atas aset perusahaan, semuanya berada di bawah lingkup moral *khawf* (rasa takut) yang sama: bagaimana jika aset yang saya kelola adalah aset yang menjadi sandaran masa depan anak-anak saya sendiri?
Tuntutan untuk *Qawlan Sadīdā* sangat relevan dalam tata kelola modern. Dalam laporan keuangan, pengungkapan publik, dan komunikasi antara manajemen dan pemegang saham (termasuk saham minoritas yang lemah), ucapan harus lurus. Tidak boleh ada penyimpangan informasi, penutupan fakta, atau penggunaan bahasa teknis yang menyesatkan untuk menyembunyikan kebenaran. Keterbukaan dan kejujuran yang dituntut Al-Qur'an pada abad ke-7 kini menjadi dasar bagi undang-undang anti-korupsi dan standar akuntansi internasional.
Hari ini, konsep "keturunan yang lemah" dapat diperluas untuk mencakup generasi mendatang dan masyarakat yang termarginalkan. Ketika negara kaya membuat kebijakan yang berdampak pada lingkungan global atau perekonomian negara berkembang, mereka harus bertindak dengan Taqwā. Mereka harus bertanya: "Apakah tindakan ini akan meninggalkan keturunan (di negara-negara lemah) yang rentan?" Prinsip cermin ini mendorong tanggung jawab lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keadilan dalam perdagangan internasional. Setiap orang yang memegang kekuasaan atas sumber daya apa pun, baik itu air, energi, atau dana publik, harus menginternalisasi etos An-Nisa 9.
Pelaksanaan ajaran An-Nisa 9 dalam masyarakat modern memerlukan kesadaran bahwa kekuasaan, sekecil apa pun itu, adalah amanah, bukan hak istimewa. Wali yang berhasil dalam mengurus harta yatim tidak hanya mendapatkan pahala yang besar tetapi juga membangun masyarakat yang saling percaya dan berkeadilan. Mereka memastikan bahwa transisi kekayaan tidak menjadi sumber kezaliman, melainkan jaminan stabilitas sosial.
Sejalan dengan perintah Taqwā dan *Qawlan Sadīdā*, ada implikasi edukatif. Seorang wali yang bertanggung jawab harus memastikan bahwa anak yatim menerima pendidikan terbaik agar mereka tidak selamanya menjadi "lemah." Ini berarti investasi dalam pendidikan finansial, kejuruan, dan moral. Upaya proaktif untuk memperkuat kapasitas anak yatim adalah bukti nyata dari Taqwā wali, yang jauh melampaui sekadar menjaga saldo rekening bank mereka.
Para mufasir klasik memberikan penekanan yang luar biasa pada kedalaman psikologis dari An-Nisa 9. Imam Al-Thabari, misalnya, sangat menyoroti aspek ketakutan hipotetis (khawf) sebagai mekanisme pencegahan. Menurut beliau, ayat ini berfungsi sebagai obat pencegah korupsi moral. Ia mengingatkan bahwa setiap orang cepat atau lambat akan menghadapi kematian dan meninggalkan warisan, dan bagaimana ia memperlakukan warisan orang lain akan menjadi barometer bagaimana warisannya sendiri akan diperlakukan setelah ia tiada. Ini adalah hukum kausalitas etis yang bersifat transendental.
Sementara itu, Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya memperjelas bahwa *Qawlan Sadīdā* menuntut ketegasan yang adil. Jika anak yatim mulai menunjukkan perilaku boros atau mencoba mengambil harta sebelum waktunya, wali harus menggunakan ucapan yang lurus untuk menegur mereka. *Sadīdā* di sini berarti kata-kata yang memandu menuju kebenaran dan kebaikan, bahkan jika itu berarti mengatakan 'tidak' dengan tegas dan penuh hikmah. Ini menyeimbangkan antara kelembutan (yang dibutuhkan yatim) dan ketegasan manajerial (yang dibutuhkan harta).
Ayat ini juga sering dihubungkan dengan prinsip Islam tentang perencanaan keuangan yang bijaksana. Ketika seseorang khawatir meninggalkan keturunan yang lemah, Taqwā menuntutnya untuk membuat perencanaan warisan yang adil dan transparan sebelum meninggal. Ayat ini mendorong Muslim untuk tidak hanya memikirkan saat ini, tetapi juga bagaimana tindakannya akan memengaruhi masa depan jauh setelah kepergiannya. Pengelolaan wasiat yang baik dan pembagian warisan yang sesuai Syariah adalah manifestasi tertinggi dari Taqwā yang diajarkan dalam An-Nisa 9.
Perluasan konsep dhurriyyatan dhi’āfan juga mencakup kerentanan non-finansial. Keturunan yang lemah mungkin juga merujuk pada anak-anak yang lemah secara pendidikan moral dan agama. Oleh karena itu, Taqwā menuntut wali untuk menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk memastikan bahwa anak yatim itu tumbuh dengan fondasi spiritual yang kuat, karena kelemahan moral dapat jauh lebih merusak daripada kelemahan finansial.
Ayat 9 ini melengkapi dan menguatkan ayat-ayat warisan. Saat seseorang membuat wasiat (pesan terakhir), ia harus memastikan bahwa wasiat itu tidak bersifat merugikan ahli warisnya, terutama yang lemah. Keengganan untuk bersikap adil dalam wasiat atau niat buruk saat membuat perjanjian pra-kematian juga termasuk dalam kategori kegagalan untuk bertindak dengan Taqwā yang dirujuk oleh ayat ini. Ayat ini mengajak setiap individu untuk menjadi wali yang baik bagi anak-anaknya sendiri, bahkan sebelum mereka menjadi wali bagi anak orang lain.
Bahkan ketika tidak ada harta yang dikelola, Taqwā dan *Qawlan Sadīdā* tetap berlaku. Dalam konteks sosial yang lebih luas, An-Nisa 9 adalah seruan universal bagi semua pemimpin, pendidik, dan pemangku kepentingan untuk selalu menggunakan otoritas mereka dengan penuh rasa tanggung jawab, menyadari bahwa setiap keputusan memiliki dampak jangka panjang pada masa depan orang lain yang mungkin tidak memiliki suara atau kekuatan untuk membela diri.
Ayat 9 dari Surah An-Nisa menunjukkan keseimbangan yang indah dalam Islam antara Khawf (rasa takut) dan Rajā' (harapan). Rasa takut yang ditanamkan adalah rasa takut akan ketidakadilan, bukan ketakutan yang melumpuhkan. Rasa takut ini, ketika dipatuhi, akan menghasilkan keadilan dan *Qawlan Sadīdā*, yang pada akhirnya akan menghasilkan harapan—harapan bahwa Allah akan melindungi anak-anak kita sendiri, sebagaimana kita melindungi anak-anak orang lain.
Keseimbangan ini adalah kunci untuk integritas moral. Tanpa *Khawf* (rasa takut akan konsekuensi), manusia cenderung berlaku sewenang-wenang. Tanpa *Rajā'* (harapan akan pahala), kewajiban akan terasa berat. An-Nisa 9 memberikan kedua-duanya. Ia mengancam secara tidak langsung melalui nasib keturunan sendiri, dan pada saat yang sama, menjanjikan keamanan spiritual bagi wali yang menjaga amanah dengan sempurna, menunjukkan bahwa Allah melihat dan menghargai kejujuran yang murni, terlepas dari pengawasan manusia.
Kewajiban untuk bertakwa di sini bukan hanya untuk menghindari hukuman, tetapi untuk mencapai derajat kesempurnaan etika yang disukai Allah. Orang yang memenuhi amanah ini telah melewati ujian spiritual yang fundamental, yaitu ujian kekuasaan dan harta benda. Dalam masyarakat di mana kekayaan seringkali menjadi penentu status, kemampuan untuk menangani kekayaan yang bukan miliknya dengan integritas penuh adalah puncak dari karakter Islami.
Setiap transaksi yang melibatkan harta anak yatim harus diselimuti oleh aura ketulusan yang mendalam. Ketulusan ini (*Ikhlas*) adalah manifestasi batin dari Taqwā. Jika seorang wali melakukan kebaikan semata-mata untuk dilihat orang lain, ia mungkin memenuhi standar hukum duniawi, tetapi ia gagal dalam standar Taqwā yang ditetapkan dalam An-Nisa 9. Ayat ini mendorong agar integritas ini murni, berakar pada kesadaran bahwa ia berhadapan langsung dengan Allah, yang melihat niat di balik setiap perkataan lurus atau bengkok.
Implikasi jangka panjang dari pemahaman mendalam atas An-Nisa 9 ini adalah pembentukan individu dan komunitas yang sangat peka terhadap hak orang lemah. Ini adalah jaminan sosial yang dibangun di atas fondasi agama dan moralitas, memastikan bahwa dalam sistem Islam, tidak ada ruang bagi keserakahan yang merusak masa depan mereka yang tidak berdaya. Sebaliknya, sistem ini mengabadikan keadilan sebagai praktik sehari-hari, didorong oleh cermin etis dari kekhawatiran pribadi terhadap masa depan anak cucu.
Pada akhirnya, An-Nisa 9 memperkuat konsep universal Amanah (trust). Hidup itu sendiri adalah amanah, begitu juga dengan harta, kekuasaan, dan orang-orang yang berada di bawah pengawasan kita. Jika kita dapat menjalankan amanah pewalian harta anak yatim dengan Taqwā dan *Qawlan Sadīdā*, maka kita telah melatih diri untuk menjalankan semua amanah hidup dengan standar tertinggi. Ini adalah pelatihan karakter yang menyeluruh, memastikan bahwa ketaatan ritualistik didukung oleh integritas etis dalam interaksi sosial dan ekonomi.
Keagungan ayat ini terletak pada cara ia menyatukan hukum dan moralitas, dunia dan akhirat, kekhawatiran pribadi dan kewajiban sosial. Ia tidak hanya memberitahu kita apa yang harus dilakukan, tetapi mengapa kita harus melakukannya, dengan menyentuh inti terdalam dari naluri manusia: melindungi keturunan kita sendiri. Dengan memproyeksikan rasa takut ini ke luar, kita menciptakan masyarakat di mana setiap anak, yatim maupun tidak, mendapatkan perlindungan, keadilan, dan kesempatan untuk tumbuh kuat, bukan lemah.
Seluruh ayat ini berputar pada poros kesadaran. Kesadaran akan kerentanan, kesadaran akan pengawasan Ilahi, dan kesadaran akan kekuatan destruktif dari perkataan yang tidak lurus. Bagi setiap Muslim yang terlibat dalam pengelolaan harta orang lain, An-Nisa 9 harus menjadi pedoman hidup dan etos profesional mereka, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah langkah yang lurus, adil, dan diberkahi Allah SWT. Ini adalah panggilan untuk membangun warisan keadilan yang melampaui kematian kita sendiri.
Perluasan tafsir pada konsep Taqwā dalam ayat ini juga menyentuh aspek pencegahan kerusakan sosial. Kerusakan sosial terbesar sering kali dimulai dari pengkhianatan amanah dalam skala kecil. Seorang wali yang berkhianat terhadap satu atau dua anak yatim tidak hanya merusak kehidupan anak-anak tersebut, tetapi juga merusak kepercayaan komunal dalam masyarakat. Oleh karena itu, Taqwā yang dipandu oleh ayat ini adalah fondasi yang menjaga keutuhan struktural masyarakat dari kehancuran yang ditimbulkan oleh keegoisan individual. Ketika setiap wali menjunjung tinggi etika ini, keamanan sosial bagi kelompok rentan terjamin, dan sirkulasi kekayaan menjadi lebih etis dan adil.
Surah An-Nisa Ayat 9 berdiri tegak sebagai salah satu landasan terpenting dalam etika Islam mengenai kepemimpinan dan perwalian. Ayat ini adalah seruan abadi untuk introspeksi profetik. Ia menuntut para pengelola sumber daya, baik itu harta, kekuasaan, atau informasi, untuk mengadopsi sudut pandang yang paling rentan, yaitu keturunan yang ditinggalkan dalam keadaan lemah. Tuntutan untuk bertakwa (*Falyattaqū Allāha*) bukanlah formalitas keagamaan, melainkan syarat praktis bagi integritas manajerial. Dan perintah untuk mengucapkan perkataan yang lurus (*Qawlan Sadīdā*) adalah penegas bahwa keadilan harus transparan, terartikulasi, dan tanpa tedeng aling-aling.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa keadilan sejati dimulai dari sebuah tempat yang sangat pribadi—rasa takut dan cinta kita terhadap anak-anak kita sendiri. Dengan menyalurkan rasa takut alami ini ke dalam tindakan yang saleh terhadap anak-anak orang lain, kita tidak hanya memenuhi kewajiban kita kepada Allah, tetapi kita juga mengamankan masa depan kita sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Implementasi An-Nisa 9 adalah pembangunan peradaban yang didasarkan pada empati mendalam dan tanggung jawab tak terbatas.
Dalam setiap aspek kehidupan, dari dewan direksi hingga urusan keluarga, pesan An-Nisa 9 adalah relevan: bertindaklah dengan kesadaran penuh bahwa Anda adalah pengawas sementara atas hak-hak orang lain, dan pastikan perkataan Anda selalu menjadi cerminan dari hati yang bertakwa.
Taqwa, yang merupakan inti dari Surah An-Nisa 9, bukanlah sekadar menghindari larangan; ia adalah sebuah sikap proaktif untuk mencari ridha Allah dalam setiap keputusan. Dalam konteks pewalian, ini melibatkan tingkat sensitivitas yang ekstrem terhadap harta yang tidak kita miliki. Ulama kontemporer sering menekankan bahwa Taqwa dalam pewalian memerlukan Wara’, yaitu sikap kehati-hatian yang melampaui batas minimum hukum. Seorang wali yang hanya memenuhi batas hukum mungkin lolos dari sanksi dunia, tetapi wali yang memiliki Wara’ akan berusaha memastikan bahwa dirinya tidak mendapat keuntungan sedikit pun dari harta yatim kecuali jika benar-benar diperlukan dan diizinkan secara syariat, serta selalu memilih yang terbaik bagi anak yatim tersebut, meskipun pilihan itu tidak menguntungkan dirinya secara pribadi.
Prinsip Wara’ ini membawa kita pada dimensi spiritual yang lebih halus dari ayat 9. Rasa takut yang tulus (*Walyakhsha*) menciptakan sebuah filter spiritual. Filter ini memastikan bahwa keputusan yang dibuat adalah murni altruistik, bebas dari egoisme tersembunyi. Kekhawatiran akan meninggalkan anak yang lemah di belakang bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral yang digunakan oleh Al-Qur'an untuk memanusiakan wali. Ketika wali melihat dirinya melalui lensa almarhum, batas antara harta pribadi dan harta amanah menjadi jelas terpisah. Kelemahan *dhurriyyatan dhi’āfan* menjadi pengingat abadi akan kelemahan dan keterbatasan manusia itu sendiri di hadapan kekuasaan Ilahi.
Kaitan antara *Qawlan Sadīdā* dan Taqwa adalah bahwa perkataan yang lurus adalah bukti eksternal dari hati yang bertakwa. Jika hati seseorang benar-benar dipenuhi Taqwā, mustahil lisan tersebut dapat mengeluarkan kata-kata manipulatif atau janji palsu, terutama yang berkaitan dengan hak orang yang lemah. Kelurusan ucapan harus dipertahankan dalam forum pribadi (saat berkomunikasi dengan anak yatim) maupun forum publik (saat melaporkan pengelolaan harta). Integritas lisan ini menciptakan sebuah rantai akuntabilitas yang dimulai dari niat di dalam hati, bergerak ke ucapan, dan berakhir pada perbuatan manajerial.
Diskusi tentang warisan dan keturunan yang lemah tidak hanya terbatas pada anak-anak. Dalam beberapa penafsiran yang lebih luas, "keturunan yang lemah" dapat merujuk pada segala sesuatu yang kita tinggalkan dan yang membutuhkan perlindungan: reputasi baik, lembaga sosial yang kita bangun, atau bahkan lingkungan alam. Rasa takut kita terhadap kerusakan warisan ini harus memicu Taqwā kita dalam mengelola sumber daya saat ini. Jika kita gagal memikirkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita, kita telah gagal mengamalkan prinsip An-Nisa 9.
Sikap mental yang dituntut oleh ayat ini adalah sikap yang selalu berjaga-jaga. Seorang wali tidak boleh bersikap santai atau menganggap enteng perannya. Setiap penarikan dana, setiap investasi, atau setiap keputusan pengeluaran harus melalui proses validasi etis yang ketat, di mana wali secara aktif mencari pembenaran di hadapan Allah dan hati nuraninya. Ini adalah etos kerja yang melampaui batasan waktu, berlaku di siang hari saat bertransaksi dan di malam hari saat merenung. Tanggung jawab ini adalah ibadah yang paling berat dan paling mulia.
Dalam Fiqh, seringkali terjadi perdebatan mengenai apa yang merupakan 'kerugian' bagi harta yatim. Apakah investasi yang berisiko tinggi tetapi berpotensi menghasilkan keuntungan besar termasuk pelanggaran? Ayat 9 menyediakan kerangka etis: jika wali merasa ia tidak akan mengambil risiko yang sama untuk harta anaknya sendiri, maka mengambil risiko tersebut atas harta yatim adalah pelanggaran Taqwā. Prinsip Taqwā membatasi wali pada manajemen yang konservatif, aman, dan berorientasi pada pelestarian nilai, bukan spekulasi yang didorong keserakahan. Kelenturan etis yang ditawarkan oleh Taqwā memungkinkan penerapan hukum yang sensitif terhadap situasi individu, tetapi selalu dalam batasan konservasi aset anak yatim.
Jika kita memperluas tafsir ini ke konteks politik, ayat ini menjadi peringatan keras bagi para pemimpin yang mengelola kekayaan negara. Kekayaan negara adalah amanah kolektif, dan warga negara (terutama yang miskin dan tak berdaya) adalah "keturunan yang lemah" yang haknya harus dijaga. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan paling parah terhadap khawf yang dituntut An-Nisa 9. Pejabat yang korup telah gagal memproyeksikan dirinya ke posisi yang rentan, dan gagal berbicara dengan *Qawlan Sadīdā* (ucapan yang lurus) kepada publik tentang bagaimana dana dikelola.
Meskipun ayat ini ditujukan langsung kepada para wali, ada implikasi komunal yang mendalam. Masyarakat harus menciptakan sistem dukungan yang memungkinkan wali melaksanakan Taqwā mereka. Ini bisa berupa lembaga pengawasan yang adil, sistem peradilan yang cepat, atau norma-norma sosial yang menghormati dan melindungi anak yatim. Jika masyarakat gagal mendukung wali yang jujur atau gagal menghukum wali yang berkhianat, maka kolektif itu juga gagal dalam melaksanakan semangat An-Nisa 9. Ayat ini mendorong pembentukan budaya akuntabilitas dan kasih sayang yang terstruktur.
Setiap detail kecil dalam pengelolaan, seperti pencatatan transaksi yang rapi, pemisahan jelas antara dana pribadi dan dana yatim, serta konsultasi dengan pihak yang berpengetahuan, adalah perwujudan praktis dari *Qawlan Sadīdā* dan Taqwā. Kejujuran bukan hanya tentang tidak berbohong, tetapi juga tentang transparansi dan kemampuan untuk membuktikan kebenaran melalui dokumentasi yang memadai. Inilah yang membuat ayat ini menjadi cetak biru abadi bagi etika administrasi dan keuangan.