Prinsip ketaatan (Thaa’ah) merupakan pilar fundamental yang menopang seluruh bangunan akidah dan syariat Islam. Ketaatan ini tidak bersifat relatif atau kondisional, melainkan absolut, terpusat pada sumber hukum tertinggi: Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan manifestasinya melalui Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam deretan ayat-ayat yang menegaskan prinsip ini, Surah Al Ahzab ayat 36 berdiri tegak sebagai landasan teologis yang menghapus ruang bagi keraguan atau pilihan pribadi setelah ketetapan Ilahi dan kenabian diberikan. Ayat ini bukan hanya sekadar instruksi, melainkan penetapan batas antara keimanan sejati dan penyimpangan yang nyata.
Ayat mulia ini merumuskan sebuah kaidah universal yang harus dipegang teguh oleh setiap mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, mencakup seluruh spektrum kehidupan, mulai dari persoalan ibadah, muamalah, hingga urusan sosial yang paling privat sekalipun. Kepatuhan yang dituntut adalah kepatuhan yang menyeluruh, tanpa reserve, menolak segala bentuk negosiasi antara kehendak pribadi dan perintah Tuhan.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Terjemahan: Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.
Untuk memahami kedalaman perintah yang terkandung dalam Al Ahzab 36, kita perlu membedah setiap frasa yang menyusun ayat ini, sebab setiap kata membawa bobot makna teologis yang besar:
Frasa pembuka ini bersifat inklusif dan universal, mencakup seluruh individu yang mengaku beriman. Penggunaan kata "tidaklah pantas" (wa maa kaana) menyiratkan bahwa tindakan memilih di luar ketetapan adalah sesuatu yang secara moral dan keimanan tidak sepadan dengan status seorang mukmin. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran bahwa keimanan dapat dipisahkan dari kepatuhan. Sebutan "mukmin" dan "mukminah" menunjukkan bahwa beban kewajiban ini sama beratnya, menegaskan kesetaraan dalam pertanggungjawaban di hadapan syariat.
Ini adalah kondisi penentu. Kata Qadha (menetapkan) dalam konteks ini merujuk pada penetapan hukum, perintah, atau keputusan, baik yang bersumber langsung dari Al-Qur'an (Allah) maupun yang diinterpretasikan atau diwujudkan melalui Sunnah (Rasulullah). Penyebutan keduanya secara bersamaan (Allah dan Rasul-Nya) berfungsi untuk menguatkan otoritas Sunnah sebagai sumber hukum yang wajib diikuti, menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah perwujudan ketaatan kepada Allah.
Imam At-Thabari menjelaskan bahwa penetapan ini bisa berupa perintah, larangan, atau bahkan solusi atas masalah yang dihadapi umat. Begitu ketetapan itu turun, ia menjadi final. Tidak ada ruang bagi umat untuk berdiskusi apakah penetapan tersebut sesuai dengan logika atau preferensi pribadi mereka.
Ini adalah inti larangan dalam ayat. Kata Al-Khiyarah berarti 'pilihan' atau 'hak untuk memilih'. Ayat ini secara tegas mencabut hak otonomi individu dalam menentukan pilihan ketika berhadapan dengan keputusan Ilahi. Setelah perintah jelas datang, pintu ijtihad (usaha mandiri) atau penundaan ditutup. Konsep al-Khiyarah dalam konteks ini adalah penolakan terhadap sikap seolah-olah hamba memiliki kedudukan yang setara dengan Pencipta dalam menentukan mana yang terbaik bagi dirinya.
Jika seorang hamba diberikan hak untuk memilih antara ketetapan Allah dan keinginan pribadinya, maka hakikat keimanan yang ia miliki masih cacat. Keimanan sejati mensyaratkan penyerahan total (taslim) tanpa melihat apakah perintah tersebut sesuai dengan hawa nafsu atau tidak. Inilah titik krusial yang membedakan mukmin yang tulus dari mereka yang beriman secara parsial.
Bagian kedua ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras (Tahdzir) dan konsekuensi logis. Ya'shi berarti menentang, tidak patuh, atau melanggar. Pelanggaran ini, sekecil apa pun, terhadap hukum yang telah ditetapkan, dianggap sebagai pembangkangan serius karena ia merupakan penolakan terhadap otoritas sumber hukum.
Hukuman yang dijatuhkan bagi pembangkang adalah kesesatan (Dhalal), dan yang lebih ditekankan lagi adalah "kesesatan yang nyata" (dhalalan mubinan). Mubinan berarti jelas, gamblang, dan terang. Ini menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi akibat menolak ketetapan adalah penyimpangan yang sangat terang benderang, mudah dikenali, dan tidak dapat dibela atau dimaafkan dengan alasan ketidaktahuan, karena ia menyangkut penolakan terhadap dasar keimanan itu sendiri.
Visualisasi ini menunjukkan bahwa jalan lurus (ketaatan mutlak) telah ditetapkan. Upaya mencari 'pilihan lain' atau menyimpang dari garis ketetapan (garis putus-putus merah) secara otomatis menempatkan individu pada kesesatan yang nyata.
Meskipun ayat ini membawa prinsip universal, pemahamannya diperkuat oleh konteks turunnya (Asbabun Nuzul), yang secara luas dikaitkan dengan kisah Zaynab binti Jahsh dan Zayd bin Harithah radhiyallahu 'anhuma. Kisah ini adalah contoh dramatis bagaimana ketetapan Ilahi menembus sekat-sekat tradisi sosial yang paling kental.
Zayd bin Harithah adalah mantan budak yang kemudian dibebaskan dan diangkat sebagai anak angkat oleh Nabi Muhammad SAW (sebelum Islam melarang adopsi yang menyamakan anak angkat dengan anak kandung). Ketika Nabi SAW diperintahkan untuk menikahkan Zayd dengan sepupu Nabi, Zaynab bint Jahsh, muncul penolakan, terutama dari Zaynab dan keluarganya. Zaynab berasal dari suku bangsawan Quraisy, sementara Zayd adalah mantan budak. Dalam pandangan sosial Jahiliyah, pernikahan seperti itu dianggap merendahkan status sosial Zaynab.
Penolakan ini didasarkan pada 'pilihan' (al-khirah) yang didorong oleh standar sosial yang tidak Islami. Saat perintah pernikahan turun dari Allah dan disampaikan melalui Rasul-Nya, Zaynab dan keluarganya harus segera menanggalkan preferensi sosial mereka. Ayat Al Ahzab 36 ini turun sebagai teguran keras dan penetapan hukum, menegaskan bahwa begitu Allah dan Rasul-Nya menetapkan sesuatu, status sosial, kebanggaan kabilah, atau preferensi pribadi tidak lagi relevan.
Oleh karena itu, konteks historis ini bukan hanya tentang pernikahan, tetapi tentang pembersihan total masyarakat dari nilai-nilai Jahiliyah. Ayat ini menjadi palu godam yang memecahkan benteng kesombongan sosial, menetapkan bahwa satu-satunya standar yang berlaku dalam Islam adalah ketaatan murni.
Al Ahzab 36 adalah manifestasi langsung dari dua pilar utama akidah Islam: Tawhid (Keesaan Allah) dan Risalah (Kenabian).
Ayat ini menuntut Taslim, yang artinya penyerahan total dan ikhlas. Taslim adalah lawan dari Khiyarah (pilihan). Apabila seseorang masih mencari "pilihan lain" setelah ketetapan syariat, itu menunjukkan bahwa ia masih memegang sisa-sisa kedaulatan pribadi yang ia anggap lebih unggul dari kedaulatan Allah. Dalam Islam, kedaulatan mutlak (Hakimiyyah) hanya milik Allah.
Jika ketetapan Allah dirasa berat, tidak masuk akal, atau bertentangan dengan kepentingan duniawi, seorang mukmin sejati harus tunduk sepenuhnya, meyakini bahwa kebijaksanaan Ilahi jauh melampaui keterbatasan akal manusia. Ketidakmauan untuk menerima hukum tanpa pilihan adalah bentuk kesombongan spiritual.
Para ulama tafsir menekankan bahwa taslim ini harus bersifat batiniah dan lahiriah. Tidak cukup hanya patuh secara fisik, tetapi hati pun harus menerima keputusan tersebut dengan lapang dada. Bahkan, rasa berat atau ketidaknyamanan batin akibat ketetapan itu harus segera dienyahkan, sebagaimana firman Allah dalam ayat lain: "Mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan." (An-Nisa: 65). Al Ahzab 36 memastikan bahwa keimanan adalah penerimaan total terhadap putusan, baik ia terasa pahit maupun manis.
Penyebutan "Allah dan Rasul-Nya" secara simultan dalam konteks penetapan hukum memberikan otoritas mutlak pada Sunnah Nabawiyah. Ayat ini membatalkan argumen yang mencoba memisahkan ketaatan kepada Allah (Al-Qur'an) dari ketaatan kepada Rasul (Sunnah). Keduanya adalah satu kesatuan otoritas. Mengingkari perintah Rasul adalah sama dengan mengingkari perintah Allah, yang berujung pada dhalalan mubinan.
Ketaatan ini bukan sekadar mengikuti instruksi, melainkan mengakui bahwa Nabi SAW adalah penerjemah praktis syariat. Tanpa ketaatan kepada Sunnah, syariat hanya akan menjadi teori tanpa implementasi yang benar. Oleh karena itu, menolak Sunnah atau mencari pilihan lain di luar petunjuk kenabian adalah secara otomatis memilih kesesatan yang nyata.
Prinsip yang terkandung dalam Al Ahzab 36 memiliki dampak hukum yang luas dan mendalam, membentuk cara umat Islam berinteraksi dengan syariat dalam berbagai bidang:
Konteks historis ayat ini telah menetapkan kaidah besar dalam pernikahan: Tidak ada hak bagi wali, calon suami, atau calon istri untuk menolak pernikahan yang diperintahkan atau yang memiliki landasan syar'i kuat. Jika seorang mukminah diperintahkan atau disarankan untuk menikah oleh Rasulullah (atau oleh wali yang bertindak sesuai syariat), menolak hanya karena perbedaan status sosial, harta, atau latar belakang, berarti melanggar ruh ayat ini.
Lebih jauh, ayat ini menjadi dasar pelarangan bagi seorang muslim untuk mencari pasangan hidup dari kalangan non-mukmin jika hal itu bertentangan dengan hukum yang ditetapkan. Pilihan pasangan, yang merupakan urusan pribadi, tunduk pada batas-batas syariat.
Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan bahwa suatu bentuk transaksi (misalnya riba, gharar, atau judi) dilarang, maka tidak ada pilihan bagi mukmin untuk mencari dalih pembenaran atau mencari "jalan keluar" (hilah) yang masih mengandung esensi larangan tersebut. Seorang mukmin tidak boleh memilih antara keuntungan materiil yang besar dan kepatuhan syar'i yang mutlak.
Prinsip al-Khiyarah ditiadakan di sini: Ketika syariat menetapkan haram, seorang pengusaha mukmin wajib meninggalkannya, bahkan jika secara ekonomi hal itu merugikannya, karena keyakinan bahwa ketetapan Allah pada akhirnya membawa keberkahan dan kebaikan yang lebih besar.
Jika suatu perkara telah dibawa ke pengadilan syariah dan hakim (yang memutuskan berdasarkan syariat) telah menjatuhkan vonis, pihak yang bersangkutan tidak memiliki hak untuk menolak atau mencari "pilihan lain" untuk menghindari hukuman. Sikap menolak hukum Allah setelah diputuskan adalah wujud kesesatan yang nyata. Ini menuntut kedewasaan spiritual untuk menerima keadilan Ilahi, bahkan jika itu merugikan diri sendiri.
Ancaman "tersesat, dengan kesesatan yang nyata" adalah peringatan spiritual paling serius. Kesesatan ini bukan hanya kesalahan teknis dalam fiqih, tetapi penyimpangan mendasar dari jalan lurus (Shiratal Mustaqim).
Penolakan terhadap ketetapan Allah atau Rasul-Nya, karena didasarkan pada anggapan bahwa pilihan pribadi lebih baik, merupakan bentuk penyekutuan tersembunyi (Syirik Khafi). Ini adalah syirik dalam ketaatan, di mana kehendak diri sendiri dipertuhankan di atas kehendak Ilahi. Ini merusak inti Tawhid Uluhiyyah (Keesaan dalam ibadah dan kepatuhan).
Kesesatan yang nyata juga termanifestasi dalam kehidupan praktis. Ketika seseorang menolak hukum Allah, ia akan mulai menyusun hukumnya sendiri, yang pasti akan dipengaruhi oleh hawa nafsu (hawa) dan standar masyarakat yang berubah-ubah. Akibatnya, masyarakat yang dibangun di atas penolakan ini akan kehilangan arah moral dan spiritual, terjebak dalam siklus kekacauan sosial dan ketidakadilan.
Jika setiap mukmin diberi kebebasan untuk memilih mana perintah yang nyaman diikuti dan mana yang tidak, maka syariat akan kehilangan konsistensinya. Islam akan tereduksi menjadi agama yang sesuai selera, bukan sebagai sistem hidup yang absolut dan universal. Inilah yang dihindari oleh ayat ini; memastikan keseragaman dan kemurnian hukum.
Ayat Al Ahzab 36 tetap relevan dan vital dalam menghadapi tantangan kontemporer, terutama di tengah arus globalisasi yang sering menuntut kita untuk mengkompromikan prinsip-prinsip Islam demi "kemajuan" atau "toleransi" yang didefinisikan secara sekuler.
Di era modern, banyak tren budaya dan sosial yang bertentangan secara eksplisit dengan hukum Islam (misalnya, isu pakaian, pergaulan bebas, atau orientasi hidup tertentu). Ayat ini mengingatkan mukmin bahwa ketika ketetapan syariat (misalnya kewajiban hijab bagi wanita) telah jelas, tekanan sosial, mode, atau cemoohan tidak memberikan hak untuk mencari pilihan lain. Ketaatan kepada Allah harus diutamakan di atas penerimaan sosial.
Ayat ini berfungsi sebagai batas tegas dalam politik dan hukum. Seorang mukmin tidak boleh tunduk pada sistem legislasi buatan manusia yang secara jelas menentang hukum Allah. Jika suatu negara atau institusi menetapkan hukum yang melegalkan apa yang diharamkan Allah, seorang mukmin wajib secara batin menolaknya dan berusaha untuk tidak terlibat dalam penerapannya, sejauh kemampuannya, karena memilih hukum buatan manusia yang bertentangan dengan wahyu berarti memilih dhalalan mubinan.
Prinsip Hakimiyyah (kedaulatan hukum milik Allah) adalah konsekuensi logis dari ayat ini. Ketidakpatuhan terhadap hukum Allah tidak hanya dilihat sebagai dosa individu, tetapi sebagai pengakuan implisit bahwa hukum lain lebih unggul, yang merupakan bentuk kesesatan akidah.
Penting untuk membedakan antara "pilihan" (khayrah) yang dilarang dalam Al Ahzab 36 dengan kebebasan memilih yang memang diberikan dalam syariat. Allah memberikan manusia kehendak bebas (ikhtiyar) dalam urusan yang bersifat mubah (diperbolehkan) atau dalam memilih metode terbaik untuk melaksanakan suatu perintah (ijtihad).
Pilihan yang Dilarang (Khayrah): Ini adalah memilih untuk tidak taat sama sekali pada perintah atau larangan yang telah ditetapkan secara jelas (nass qath'i). Contoh: Menetapkan riba sebagai halal, atau menolak shalat fardhu karena dianggap merepotkan.
Pilihan yang Sah (Ikhtiyar/Ijtihad): Ini adalah memilih di antara opsi-opsi yang sama-sama dibolehkan syariat. Contoh: Memilih jenis pekerjaan halal, memilih waktu terbaik untuk melaksanakan shalat dalam rentang waktu yang diizinkan, atau memilih metode dakwah yang paling efektif.
Inti dari Al Ahzab 36 adalah bahwa ranah ikhtiyar (kebebasan memilih) seorang mukmin berakhir begitu batasan qadha (ketetapan) Allah dan Rasul-Nya dimulai. Di hadapan ketetapan, ikhtiyar harus bertransformasi menjadi taslim.
Para ulama terdahulu (salaf) telah memberikan penekanan luar biasa pada ayat ini sebagai penentu keimanan yang sejati. Mereka melihatnya sebagai pemisah antara orang yang tunduk secara total dan orang yang masih menyisakan sedikit ruang untuk ego atau preferensi duniawi.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mengandung ancaman keras bagi siapa pun yang berani membayangkan bahwa dirinya memiliki pilihan. Seseorang yang mengaku beriman namun keberatan terhadap ketetapan Rasulullah, maka pengakuannya itu palsu. Kualitas iman seseorang diukur dari kecepatan dan keikhlasan penundukan dirinya terhadap perintah, bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan kebiasaan atau kemaslahatan sesaat yang ia bayangkan.
Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup semua urusan. Begitu ada perintah dari Allah dan Rasul, maka tidak ada yang boleh memilih jalan lain. Ia mengaitkan ayat ini dengan ayat-ayat lain yang memerintahkan ketaatan total, seperti "Ambillah apa yang aku berikan kepadamu, dan jadilah dari orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 144). Bagi Ibn Katsir, penolakan terhadap ketetapan adalah pengkhianatan terhadap janji keimanan yang telah diikrarkan.
Salah satu penyakit kontemporer yang diatasi oleh Al Ahzab 36 adalah sikap tawar-menawar (mu'aradhah) terhadap syariat. Ini terjadi ketika seseorang menerima Islam sebagai agama, tetapi menuntut agar syariat beradaptasi dengan kenyamanan dan perkembangan zaman, bukan sebaliknya.
Sikap tawar-menawar ini sering muncul dalam bentuk:
Ayat 36 dari Surah Al Ahzab datang untuk menghancurkan mentalitas ini. Ia menetapkan bahwa begitu seorang hamba memasuki ranah keimanan, ia menyerahkan haknya untuk memilih dalam urusan yang telah ditetapkan. Kebaikan (al-khayr) sejati terletak pada apa yang ditetapkan Allah, bukan pada apa yang dianggap baik oleh akal atau nafsu pribadi.
Ketaatan mutlak yang dituntut oleh Al Ahzab 36 membutuhkan dua modal utama dari seorang mukmin: kesabaran (sabr) dan keikhlasan (ikhlas).
Terkadang, perintah Allah terasa berat. Bagi Zaynab bint Jahsh, menerima pernikahan dengan Zayd adalah beban sosial yang besar. Bagi seorang pedagang, meninggalkan riba adalah tantangan ekonomi yang menakutkan. Di sinilah kesabaran diuji. Kesabaran adalah kemampuan untuk menahan diri dari menolak ketetapan, meskipun hati cenderung condong ke arah pilihan yang lebih mudah.
Kesesatan yang nyata seringkali berawal dari kegagalan dalam bersabar. Seseorang yang tidak sabar akan mencari jalan keluar yang cepat, yang seringkali berarti mengambil pilihan yang bertentangan dengan syariat, sehingga jatuh ke dalam dhalalan mubinan.
Penerimaan harus ikhlas, murni karena mencari wajah Allah, bukan karena tekanan sosial atau takut hukuman semata. Jika seorang mukmin menaati perintah hanya karena takut sanksi, ia mungkin telah menaati secara fisik, tetapi secara spiritual, ia belum sepenuhnya memenuhi tuntutan Al Ahzab 36, karena hatinya masih menyimpan keberatan atau "pilihan" lain. Keikhlasan menuntut agar hati berdamai sepenuhnya dengan putusan Ilahi.
Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari Islam adalah penundukan yang berpusat pada keyakinan bahwa Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, hanya memerintahkan apa yang terbaik bagi hamba-Nya, di dunia maupun di akhirat. Konsep "pilihan terbaik" (khayrah) tidak lagi relevan ketika berhadapan dengan penetapan Sang Pencipta alam semesta.
Surah Al Ahzab ayat 36 adalah penentu standar keimanan. Ia membedakan antara mukmin yang hanya mengakui Allah dan mukmin yang tunduk pada hukum-Nya. Ayat ini adalah panggilan untuk meninggalkan sisa-sisa Jahiliyah, baik yang bersifat sosial, mental, maupun emosional, yang masih berusaha menyisakan ruang bagi ego untuk memilih di hadapan wahyu.
Bagi setiap mukmin, janji keselamatan dan kemenangan sejati (falah) hanya dapat dicapai melalui kepatuhan tanpa syarat. Setiap kali seorang muslim merasa berat atau cenderung mencari "pilihan lain" terhadap suatu ketetapan syariat, ia harus mengingat ancaman keras dari ayat ini: "maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata."
Oleh karena itu, prinsip yang harus dipegang teguh adalah: Ketika Allah telah berfirman, dan Rasul telah menjelaskan, maka ketaatan adalah satu-satunya opsi. Pilihan pribadi telah usai. Inilah jalan yang menjamin keselamatan dari kesesatan, baik di dunia maupun di hari pembalasan.
Pemahaman dan pengamalan ayat ini memastikan integritas syariat dan kemurnian akidah umat. Kepatuhan mutlak adalah fondasi yang kokoh, di mana di atasnya dapat dibangun peradaban yang berlandaskan keadilan dan kebenaran Ilahi. Dengan menerima sepenuhnya dan tanpa keraguan ketetapan Allah dan Rasul-Nya, seorang mukmin telah memilih jalan yang pasti menuju ridha Ilahi dan menghindari bahaya kesesatan yang terang benderang.
Kedalaman makna dari Surah Al Ahzab 36 ini tidak hanya berhenti pada konteks hukum semata, tetapi meresap hingga ke dalam etika dan moral seorang mukmin. Sikap batin yang dihasilkan dari penerimaan ayat ini adalah adab (etika) tertinggi terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adab ini menuntut penghormatan sedemikian rupa sehingga seorang hamba bahkan tidak berani membayangkan bahwa ada cara yang lebih baik, lebih mudah, atau lebih modern daripada apa yang telah ditetapkan. Mengingkari keutamaan syariat adalah mengingkari keutamaan sumbernya, yaitu Allah Yang Maha Bijaksana.
Dalam sejarah Islam, kegagalan dalam menerapkan prinsip Al Ahzab 36 seringkali menjadi titik awal perpecahan dan inovasi bid'ah. Ketika umat mulai menganggap remeh perintah-perintah yang detail atau mencoba memodifikasi ajaran Rasulullah SAW agar "sesuai zaman," mereka secara implisit mengklaim memiliki khayrah (pilihan) atas syariat. Inilah yang dihindari oleh para ulama salaf, yang senantiasa berpegangan teguh pada prinsip "sami'na wa atha'na" (kami dengar dan kami taat) tanpa meminta penjelasan yang berlebihan di luar batas yang dibutuhkan, dan tanpa menawar-nawar hukum.
Considerasi terhadap kata amran (suatu ketetapan) dalam ayat ini harus dipahami secara luas. Ia tidak hanya mencakup hukum-hukum wajib yang besar (fardhu), tetapi juga ketetapan-ketetapan yang bersifat anjuran (sunnah) atau bahkan larangan-larangan yang bersifat makruh tahrim (mendekati haram). Semangat ayat ini menuntut agar mukmin berusaha mencari tahu ketetapan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupan, dan kemudian mengikutinya tanpa keberatan.
Para ahli ushul fiqh menggunakan ayat ini sebagai salah satu dalil kuat tentang keharusan menolak istiḥsān (menganggap baik) jika hal itu bertentangan dengan nash yang jelas. Istihsan, yang merupakan penggunaan akal untuk menganggap sesuatu baik meskipun tidak ada nash yang eksplisit, harus tunduk pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jika akal manusia menganggap sesuatu sebagai kebaikan, tetapi wahyu telah menetapkan sebaliknya, maka akal harus menyerah dan tunduk pada wahyu, sebab akal manusia rentan terhadap keterbatasan dan hawa nafsu.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan tentang hierarki nilai. Nilai tertinggi dalam kehidupan seorang mukmin adalah ridha Allah dan ketaatan kepada syariat-Nya. Nilai-nilai lain, seperti kenyamanan pribadi, kekayaan, popularitas, atau persetujuan orang lain, harus diletakkan di bawah nilai ketaatan. Jika terjadi benturan antara ketaatan dan nilai-nilai duniawi, seorang mukmin yang sejati tidak akan memiliki khayrah; ia hanya memiliki satu pilihan: ketaatan mutlak.
Fenomena modern yang menonjolkan individualisme dan otonomi diri seringkali secara halus menyerang prinsip Al Ahzab 36. Ketika masyarakat Barat mempromosikan hak individu untuk menentukan moralitasnya sendiri (moral relativisme), Islam mengajukan tuntutan ketaatan universal dan absolut. Ayat ini berfungsi sebagai benteng yang melindungi mukmin dari bahaya relativisme moral, menegaskan bahwa kebenaran dan kebaikan telah ditetapkan oleh Yang Maha Mutlak.
Kisah tentang Zaynab dan Zayd adalah pengingat abadi bahwa bahkan seseorang yang dekat dengan Nabi SAW pun, yang memiliki status sosial terhormat, masih diuji dengan godaan untuk menggunakan pilihan pribadinya. Ujian ini adalah ujian keikhlasan yang sesungguhnya. Apakah kita mencintai perintah Allah lebih dari kita mencintai kenyamanan dan martabat kita di mata manusia? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan apakah kita termasuk dalam golongan yang meraih taslim atau yang jatuh dalam dhalalan mubinan.
Dalam konteks dakwah, ayat ini mengajarkan bahwa seorang da’i harus menyampaikan hukum Allah apa adanya, tanpa menyembunyikan atau memanis-maniskannya agar lebih mudah diterima. Kewajiban da’i adalah menyampaikan qadha (ketetapan), sementara kewajiban umat adalah melaksanakan taslim (penundukan). Tidak ada ruang bagi kompromi terhadap substansi syariat demi menarik simpati massa.
Ketaatan ini juga meluas pada kepemimpinan yang sah (Ulil Amri). Selama pemimpin tersebut memerintahkan dalam batas-batas syariat, ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Rasulullah SAW. Namun, prinsip ketaatan mutlak tetap berpusat pada Allah dan Rasul-Nya. Jika Ulil Amri memerintahkan kemaksiatan, maka pada titik itu, khayrah untuk menolak perintah mereka muncul, karena ketaatan kepada makhluk tidak boleh melebihi ketaatan kepada Sang Pencipta. Namun, ini adalah pengecualian yang dikontrol oleh hukum yang lebih tinggi, bukan kebebasan memilih dalam arti melanggar ketetapan syariat yang sudah ada.
Mengenai aspek dhalalan mubinan (kesesatan yang nyata), ulama menekankan bahwa penyimpangan ini tidak tersembunyi. Sifatnya yang "nyata" menunjukkan bahwa orang yang menolaknya sebenarnya tahu atau seharusnya tahu bahwa ia sedang berbuat salah. Kesesatan ini terjadi bukan karena ketidaktahuan (jahil), melainkan karena penolakan yang disengaja (inad) yang didorong oleh ego, kepentingan, atau ketidakmauan untuk berkorban.
Jika kita menilik kembali pada konteks Surah Al Ahzab secara keseluruhan, surah ini banyak membahas tentang rumah tangga Nabi, etika berinteraksi dengan Nabi, dan penetapan hukum sosial yang kompleks. Ayat 36 berfungsi sebagai kaidah emas yang mengikat semua hukum itu menjadi satu: Tidak peduli seberapa pribadi, rumit, atau tidak biasa suatu ketetapan, penerimaan haruslah total. Ini adalah seruan untuk memutus keterikatan hati dari standar-standar duniawi.
Bagi generasi muda muslim yang tumbuh di tengah persimpangan ideologi, Al Ahzab 36 adalah kompas yang tak pernah bergeser. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti tren global versus tuntutan modest fashion Islami, atau pilihan untuk mengejar karir yang mengandung unsur haram versus mencari rezeki yang halal dan mungkin lebih sederhana, ayat ini memberikan jawaban tegas: Pilihan lain (khayrah) tidak tersedia. Hanya ada ketaatan, yang membawa berkah abadi.
Sikap taslim yang diajarkan oleh ayat ini melahirkan ketenangan batin. Mukmin yang telah sepenuhnya menyerahkan kehendaknya kepada Allah tidak akan lagi gelisah terhadap hasil dari keputusannya, karena ia yakin bahwa ia telah memilih jalan yang benar. Keresahan dan kekacauan batin seringkali berasal dari upaya terus-menerus mencoba menyeimbangkan antara kehendak Allah dan kehendak pribadi, sebuah upaya yang dilarang oleh Al Ahzab 36.
Dalam setiap shalat, kita membaca Surah Al-Fatihah, memohon petunjuk ke Shiratal Mustaqim (Jalan yang Lurus). Al Ahzab 36 adalah definisi praktis dari jalan lurus tersebut. Jalan lurus adalah jalan tanpa "pilihan lain" ketika berhadapan dengan perintah. Ia adalah jalan penundukan total yang menjauhkan dari kesesatan para pembangkang.
Ulama fikih klasik juga menggunakan ayat ini untuk menetapkan prinsip bahwa dalam kasus penetapan hukum yang melibatkan dua pihak yang beriman (misalnya suami dan istri, atau penjual dan pembeli), ketika Rasulullah SAW telah memutuskan, kedua belah pihak kehilangan hak "pilihan" mereka untuk menarik diri dari keputusan tersebut, meskipun dalam transaksi normal mereka mungkin memiliki hak khiyar (hak opsi). Keputusan kenabian bersifat mengikat dan final.
Refleksi filosofis atas ayat ini membawa kita pada pengakuan tentang keterbatasan manusia. Manusia adalah makhluk yang dibatasi oleh pengetahuan, waktu, dan emosi. Hukum Allah, sebaliknya, bersifat sempurna, abadi, dan universal, dirancang oleh Dia yang melampaui segala keterbatasan. Oleh karena itu, mencari khayrah di luar hukum-Nya adalah tindakan meremehkan kebijaksanaan Ilahi.
Jika ada suatu ketetapan yang oleh akal terasa sulit, misalnya larangan memutus tali silaturahim meskipun kerabat menyakiti, maka tugas mukmin adalah mengedepankan ketaatan. Mengambil pilihan untuk memutus tali silaturahim sebagai hukuman pribadi, meskipun ada ketetapan umum untuk menyambungnya, berarti memberikan keutamaan pada kemarahan dan pilihan diri sendiri di atas perintah Ilahi, sebuah manifestasi dari dhalalan mubinan.
Kesimpulan dari telaah mendalam ini adalah bahwa Al Ahzab 36 bukan hanya sekadar larangan, tetapi adalah identitas dari seorang mukmin. Identitas ini dibangun di atas landasan bahwa keimanan dan kepatuhan adalah sinonim. Tanpa ketaatan yang mutlak dan penolakan terhadap hak untuk memilih di hadapan ketetapan, maka klaim keimanan hanyalah ilusi. Ayat ini menuntut konsistensi spiritual, menjadikan setiap keputusan dalam hidup, besar maupun kecil, sebagai kesempatan untuk menegaskan kembali komitmen kita pada Allah dan Rasul-Nya, meyakini bahwa segala kebaikan dan keberuntungan sejati hanya terletak pada jalan yang telah ditetapkan, jauh dari kesesatan yang nyata.
Penerimaan terhadap prinsip ini juga membawa dampak positif pada solidaritas umat. Ketika semua mukmin tunduk pada satu set hukum yang sama tanpa tawar-menawar, persatuan (ukhuwah) akan terwujud karena tidak ada lagi standar ganda atau hukum yang dipersonalisasi. Ketaatan kolektif menciptakan masyarakat yang harmonis dan terarah, yang tujuannya hanyalah ridha Ilahi, bukan kepentingan faksi atau kelompok tertentu.
Oleh sebab itu, setiap individu muslim, dalam merencanakan masa depannya, dalam mengambil keputusan karirnya, dalam mengelola hartanya, dan dalam membangun keluarganya, harus senantiasa menguji setiap pilihan dengan filter Al Ahzab 36: "Apakah keputusan ini, setelah Allah dan Rasul-Nya menetapkan, masih menyisakan ruang bagi pilihan pribadiku yang bertentangan?" Jika jawabannya iya, maka pilihan itu harus segera ditinggalkan, demi menghindari kesesatan yang nyata.
Keagungan ayat ini terletak pada kesederhanaan formulanya yang universal namun dampaknya yang transformatif. Ia mengubah budak sosial menjadi pahlawan ketaatan (seperti Zayd), dan ia mengangkat martabat orang yang tunduk di atas segala martabat duniawi. Inilah esensi keimanan yang sejati, ketaatan yang tak terbagi, dan penundukan yang menyeluruh kepada Ketetapan Ilahi.
Ayat ini adalah undangan untuk mencapai derajat Muhsinin (orang-orang yang berbuat baik), yang mana perbuatan baik mereka didasarkan pada kepatuhan yang sempurna. Kepatuhan yang sempurna hanya mungkin terjadi ketika tidak ada lagi konflik antara kehendak hamba dan kehendak Rabb-nya. Konflik batin berakhir ketika khayrah ditiadakan. Dan dalam peniadaan pilihan itulah, terletak kemerdekaan sejati seorang hamba, karena ia terbebas dari belenggu hawa nafsu dan kekacauan duniawi.
Pelajaran yang paling mendasar adalah bahwa keimanan (Iman) tidaklah memadai tanpa Islam (Penundukan). Iman adalah pengakuan dalam hati, Islam adalah manifestasi dalam tindakan. Al Ahzab 36 menuntut sinkronisasi sempurna antara keduanya; hati harus menerima (iman), dan perbuatan harus tunduk (Islam). Jika hati masih memilih opsi lain, maka pengakuan keimanan itu rapuh. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah penentu keabsahan status sebagai mukmin dan mukminah yang sejati.
Maka, sungguh, tidak ada pilihan. Jalan telah ditetapkan. Kehidupan seorang mukmin adalah perjalanan di atas ketetapan tersebut, dengan keyakinan penuh bahwa di ujung jalan ketaatan mutlak, terhampar pahala dan keridhaan yang abadi, yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan atau pilihan fana yang ditawarkan oleh dunia yang sementara ini.
Kajian mendalam ini menegaskan kembali betapa vitalnya ayat Al Ahzab 36 sebagai barometer spiritual. Diukur dari kepatuhan terhadapnya, status keimanan seseorang dapat diketahui. Sejauh mana seorang hamba berani menolak keinginan pribadinya demi perintah yang datang dari langit, sejauh itulah kualitas ketaatan dan keikhlasannya. Setiap desahan keberatan, setiap penundaan, dan setiap upaya mencari alternatif adalah indikasi bahwa pintu khayrah masih terbuka, padahal syariat telah menutupnya rapat-rapat. Kesempurnaan iman adalah ketika pintu itu terkunci selamanya, dan yang tersisa hanyalah kepasrahan total dan kebahagiaan dalam menjalankan titah Ilahi.
Pada akhirnya, ayat ini adalah pengingat bahwa Islam adalah agama penyerahan diri, bukan negosiasi. Surah Al Ahzab 36 adalah fondasi dari semua interaksi syar’i dan ujian terberat bagi hati seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.