Kajian Mendalam Surah An-Nisa Ayat 3: Keadilan, Batasan, dan Konteks Sejarah

I. Pengantar Ayat dan Konteks Awal

Surah An-Nisa (Wanita), yang merupakan surah madaniyah, secara fundamental membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan tatanan sosial, hukum keluarga, warisan, serta hak-hak perempuan dan anak yatim. Ayat ketiga dari surah ini berdiri sebagai salah satu pijakan hukum paling penting dalam Islam yang mengatur institusi pernikahan, khususnya mengenai praktik poligini. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini tidak hanya memerlukan telaah tekstual semata, tetapi juga pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan historis masyarakat Arab pada masa permulaan Islam, terutama pasca-perang yang banyak meninggalkan janda dan anak yatim piatu. Ayat ini hadir bukan sebagai dorongan, melainkan sebagai sebuah regulasi dan pembatasan ketat terhadap praktik yang sudah lazim dan tak terbatas di masa Jahiliyah.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Terjemahan Teks: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat curang." (QS. An-Nisa: 3).

Ayat ini secara eksplisit menghubungkan dua isu yang tampaknya terpisah namun memiliki keterikatan konteks yang sangat kuat: perlakuan adil terhadap anak yatim dan aturan dalam pernikahan (termasuk poligini). Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa rangkaian ayat 2 hingga 3 ini diturunkan berkaitan dengan praktik di kalangan kaum Muslimin yang sering menikahi anak-anak yatim yang berada di bawah perwalian mereka—terutama yatim perempuan yang memiliki harta—namun tanpa memberikan mahar yang pantas atau tanpa memperlakukan mereka secara adil, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pengelolaan harta mereka.

II. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) dan Korelasi Historis

Untuk memahami inti dari Surah An-Nisa Ayat 3, kita harus menyelami latar belakang historisnya, yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, ayat ini secara langsung terkait dengan isu anak yatim yang terlantar pasca-perang, terutama Perang Uhud, yang meninggalkan banyak korban syahid dan, akibatnya, meninggalkan banyak janda dan anak yatim. Praktik umum di masa itu adalah wali atau kerabat akan menikahi anak yatim perempuan yang di bawah pengawasan mereka, terutama jika anak yatim tersebut mewarisi kekayaan. Namun, niat pernikahan tersebut sering kali tercemar oleh ketidakadilan. Mereka menikahi si yatim karena hartanya, tidak memberinya hak mahar yang layak, atau memperlakukannya dengan buruk, karena merasa tidak ada pihak yang akan membela si yatim.

Ketika para Sahabat mengeluhkan kepada Nabi Muhammad (صلى الله عليه وسلم) tentang kekhawatiran mereka terhadap keadilan dalam urusan harta anak yatim (sebagaimana ayat 2), Allah merespons dengan ayat 3, yang secara mendadak menggeser fokus dari harta yatim ke praktik pernikahan secara umum. Korelasi ini, menurut para mufasir seperti Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, adalah sebagai berikut: Jika seorang wali khawatir tidak bisa berbuat adil kepada satu wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya (misalnya, takut menyalahgunakan harta atau haknya), maka ia diberikan alternatif untuk menikahi wanita lain yang ia sukai—hingga batas maksimal empat—tetapi dengan syarat keadilan mutlak. Artinya, jika keadilan sulit dipenuhi pada satu wanita yang rentan, bagaimana mungkin bisa berlaku adil pada lebih banyak istri? Ayat ini secara implisit menantang para lelaki pada masa itu: Jangan gunakan pernikahan sebagai sarana eksploitasi. Jika kekhawatiran akan ketidakadilan dalam satu pernikahan saja sudah muncul, maka pertimbangkan batasan jumlah.

Ayat ini berfungsi sebagai sebuah kunci transformasi hukum. Sebelum Islam, poligini dilakukan tanpa batasan. Seseorang bisa menikahi puluhan wanita tanpa batas dan tanpa kewajiban yang jelas. Ayat ini memberikan dua batasan fundamental: Batasan kuantitas (maksimal empat) dan Batasan kualitas (keharusan keadilan). Hal ini menegaskan bahwa poligini bukanlah anjuran, melainkan sebuah kelonggaran yang sangat terkontrol, yang diberikan untuk mengatasi masalah sosial yang spesifik (menyelamatkan janda/yatim) pada masa itu, sambil mencegah ketidakadilan yang merajalela.

Ilustrasi Keseimbangan dan Keadilan dalam Pernikahan sesuai Surah An-Nisa Ayat 3 Hak Wanita Kewajiban Adil QS. An-Nisa: 3 (Prinsip Keadilan)

Ilustrasi Keseimbangan dan Keadilan dalam Pernikahan sesuai Surah An-Nisa Ayat 3. Keadilan (Al-'Adl) adalah poros utama.

III. Analisis Lafadz Kunci dan Tafsir Linguistik

Analisis setiap lafadz (kata) dalam ayat 3 ini sangat penting karena mengandung implikasi hukum yang mendalam. Para mufasir memberikan perhatian khusus pada beberapa frasa kunci:

A. Frasa Pembuka: "وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى"

Frasa ini berarti "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim." Ini adalah kondisi awal (syart). Kata تُقْسِطُوْا (tuqsitū) berasal dari kata qist, yang berarti keadilan yang sempurna dan setara, berbeda dengan ‘adl (adil secara umum) yang akan dibahas kemudian. Penggunaan kata ini di awal menunjukkan bahwa motivasi awal bagi para wali untuk menikahi yatim di bawah perwaliannya seringkali didasarkan pada ketidakjujuran atau ketidakadilan finansial. Jika niatmu terhadap hak finansial satu yatim perempuan saja sudah meragukan, maka beralihlah ke pernikahan lain yang sah.

B. Pilihan Pernikahan: "فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم"

Ini diterjemahkan sebagai "maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi." Frasa مَا طَابَ لَكُم (mā ṭāba lakum) memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar 'yang kamu senangi'. Kata ṭāba mengandung arti sesuatu yang baik, halal, dan bersih. Ini menyiratkan bahwa pilihan pernikahan haruslah didasarkan pada niat yang baik dan sesuai syariat, bukan hanya dorongan nafsu atau keuntungan materi. Ayat ini memberikan izin secara umum kepada laki-laki untuk mencari pasangan, tetapi segera dibatasi oleh batasan kuantitas.

C. Batasan Kuantitas: "مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ"

Kata-kata ini secara harfiah berarti "dua, tiga, atau empat." Ini adalah penetapan batas tertinggi yang mutlak dalam Islam. Sebelum ayat ini, para pria bisa memiliki istri lebih dari sepuluh. Ayat ini membatasi jumlah secara definitif. Penempatan angka-angka ini (dua, tiga, dan empat) bukan berarti izin mutlak untuk menikahi empat sekaligus, melainkan izin untuk menikahi hingga batas tersebut, di mana keadilan harus selalu menjadi prasyarat.

D. Syarat Mutlak: "فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً"

Ini adalah jantung dari ayat tersebut: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja." Kata تَعْدِلُوا (ta‘dilū) (berlaku adil) di sini adalah penentu utama. Ketakutan akan ketidakadilan (karena keadilan adalah kondisi yang sangat berat) segera membatalkan izin poligini, menjadikannya wajib untuk menikah dengan فَوَاحِدَةً (fawāḥidah), yaitu satu istri saja. Ini secara kuat menempatkan monogami sebagai standar dan preferensi, sementara poligini adalah pengecualian yang bergantung pada kemampuan keadilan.

E. Tujuan Utama: "ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا"

Artinya: "Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat curang/tidak menyimpang." Kata تَعُولُوا (ta‘ūlū) memiliki dua penafsiran utama yang sama-sama kuat. Tafsir pertama (majoritas): 'berbuat curang' atau 'berbuat zalim'. Tafsir kedua (oleh beberapa mufasir, seperti Asy-Syafi’i dan Az-Zajjaj): 'memperbanyak tanggungan' atau 'menjadi miskin karena banyaknya tanggungan'. Kedua tafsir ini menguatkan prinsip bahwa membatasi diri pada satu istri adalah jalan terbaik untuk menghindari dosa (kezaliman) dan menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga.

IV. Prinsip Keadilan (Al-'Adl) dalam Poligini

Syarat keadilan adalah batu uji yang membedakan pernikahan Islami dari praktik-praktik pernikahan di masa pra-Islam. Ayat 3 tidak memberikan keadilan sebagai pilihan, tetapi sebagai prasyarat mutlak. Para ulama telah membagi konsep keadilan yang diwajibkan oleh syariat menjadi dua jenis utama, dan pemahaman ini adalah kunci untuk mencapai interpretasi 5000 kata yang komprehensif:

A. Keadilan Material (Al-'Adl Al-Maddi)

Ini adalah jenis keadilan yang wajib dipenuhi oleh seorang suami dan yang sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Keadilan material meliputi:

  • Nafaqah (Nafkah dan Pemeliharaan): Suami wajib memberikan nafkah yang setara kepada semua istrinya, termasuk makanan, pakaian, dan kebutuhan primer lainnya, disesuaikan dengan status sosial dan ekonomi masing-masing istri.
  • Mabit (Pembagian Malam/Waktu Bermalam): Pembagian waktu bermalam harus dilakukan secara adil dan setara di antara semua istri. Mayoritas ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sepakat bahwa keadilan dalam pembagian waktu adalah kewajiban yang tidak boleh dilanggar. Jika suami lebih banyak menghabiskan waktu bersama satu istri tanpa alasan syar’i (seperti sakit), ia telah melanggar syarat keadilan.
  • Tempat Tinggal (Maskan): Setiap istri berhak atas tempat tinggal yang layak dan terpisah (jika istri menginginkannya) yang setara dengan istri-istri lainnya. Standar tempat tinggal harus mencerminkan kemampuan ekonomi suami.
Keadilan material ini dapat diukur, dihitung, dan dipastikan oleh hukum. Jika suami melanggar keadilan jenis ini, istri berhak mengajukan gugatan cerai (fasakh) atau menuntut pemenuhan haknya di pengadilan agama.

B. Keadilan Emosional (Al-'Adl Al-Qalbi)

Ini adalah keadilan yang berkaitan dengan kasih sayang, cinta, dan kecenderungan hati. Para ulama sepakat bahwa keadilan emosional tidak diwajibkan karena hal tersebut berada di luar batas kemampuan manusia. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa Ayat 129: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."

Ayat 129 seringkali disalahpahami sebagai pembatalan terhadap syarat keadilan pada ayat 3. Namun, para mufasir menjelaskan bahwa Ayat 129 merujuk pada keadilan yang mustahil dicapai, yaitu keadilan dalam hal kecenderungan hati (cinta), sementara Ayat 3 merujuk pada keadilan yang wajib dan berada dalam jangkauan manusia (keadilan material). Jika Ayat 129 membatalkan Ayat 3, maka seluruh praktik poligini dalam sejarah Islam akan menjadi haram. Oleh karena itu, konsensus adalah bahwa keadilan yang disyaratkan dalam Ayat 3 adalah keadilan dalam tindakan lahiriah dan material.

Meskipun demikian, suami tetap diwajibkan untuk tidak menunjukkan kecenderungan hati yang berlebihan secara lahiriah sehingga menyebabkan istri lain terabaikan atau 'tergantung' (mu’allaqah). Jika suami secara terang-terangan menunjukkan ketidakadilan kasih sayang (misalnya selalu memuji satu istri di depan istri lain), hal itu bisa dikategorikan sebagai kezaliman dalam perlakuan, yang masuk dalam kategori keadilan material yang diwajibkan.

V. Debat Fiqih Klasik dan Modern Mengenai Penerapan

Meskipun prinsip keadilan sudah jelas, implementasinya telah menjadi subjek perdebatan yang intens di sepanjang sejarah fikih Islam dan lebih-lebih di era modern. Perdebatan ini berputar pada dua poros utama: interpretasi 'ketakutan' (khiftum) dan batasan otoritas negara.

A. Tafsir Klasik (Mazhab Empat)

Mazhab-mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) pada dasarnya sepakat bahwa poligini diperbolehkan bagi yang mampu menunaikan keadilan material. Mereka melihat keadilan adalah kewajiban suami dan bukan prasyarat persetujuan istri pertama. Namun, mereka juga sangat keras dalam mendefinisikan batas keadilan. Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal menekankan bahwa jika seseorang ragu sedikit saja tentang kemampuannya untuk adil (bukan hanya kecintaan), maka haram baginya menambah istri. Ketakutan (khauf) di sini ditafsirkan sebagai dugaan kuat atau keraguan yang beralasan.

Para fuqaha klasik menegaskan bahwa tujuan syariat bukanlah memfasilitasi nafsu, tetapi mengatasi kebutuhan sosial dan membatasi praktik kejam di masa Jahiliyah. Mereka melihat izin poligini (hingga empat) sebagai reformasi radikal yang bertujuan melindungi wanita, bukan merugikannya. Penekanan pada perlindungan harta anak yatim di awal ayat menunjukkan bahwa perlindungan finansial dan hak-hak istri adalah prioritas Ilahi.

B. Tafsir Modernis dan Tantangan Sosial

Dalam dua abad terakhir, terutama sejak era reformasi Islam (misalnya, Muhammad Abduh, Rashid Rida), muncul interpretasi baru terhadap Ayat 3 yang sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi sosial-ekonomi. Para pemikir modernis berpendapat bahwa keadilan yang disyaratkan dalam Ayat 3 harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, termasuk konteks zaman.

Mereka sering merujuk pada Ayat 129 ("Kamu tidak akan mampu adil…") bukan hanya sebagai pengecualian emosional, tetapi sebagai penekanan filosofis bahwa keadilan sempurna mustahil dicapai. Argumentasi ini kemudian dikembangkan: Jika di masa Rasulullah (صلى الله عليه وسلم), yang merupakan masa kejujuran dan kesederhanaan, keadilan sudah menjadi syarat yang sulit, maka di zaman modern, di mana kompleksitas kehidupan, tuntutan ekonomi, dan perbedaan budaya antar istri semakin besar, mencapai keadilan material dan psikologis yang menyeluruh nyaris tidak mungkin.

Tokoh-tokoh modernis ini sering berpendapat bahwa syarat keadilan telah menjadi syarat yang praktis melarang poligini bagi mayoritas umat Islam. Mereka melihat bahwa tujuan tertinggi (Maqashid Syariah) dari ayat ini adalah keadilan dan perlindungan, bukan perluasan jumlah istri. Oleh karena itu, banyak negara Muslim (seperti Tunisia) telah menafsirkan Ayat 3 sedemikian rupa sehingga secara hukum melarang poligini, atau sangat membatasinya (seperti Indonesia, yang mewajibkan izin ketat dari pengadilan dan persetujuan istri pertama).

Perbedaan pandangan ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bergantung pada interpretasi kondisi sosial. Namun, esensinya tetap: monogami adalah prinsip dasar; poligini adalah solusi sosial yang bersifat kondisional dan terikat pada keadilan mutlak.

VI. Maqashid Syariah (Tujuan Hukum Islam) dalam Ayat 3

Ayat 3 Surah An-Nisa dapat ditelaah melalui lensa Maqashid Syariah, yaitu tujuan-tujuan agung yang ingin dicapai oleh hukum Islam. Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga Maqsad utama yang terkandung dalam ayat tersebut:

A. Hifdz Ad-Din (Menjaga Agama)

Dengan menetapkan batasan dan syarat keadilan, syariat menjaga kesucian institusi pernikahan agar tidak direndahkan menjadi sekadar pemenuhan hawa nafsu tanpa tanggung jawab. Pernikahan yang adil dan berlandaskan tanggung jawab merupakan bagian integral dari menjaga moral dan tatanan agama.

B. Hifdz An-Nafs (Menjaga Jiwa/Keturunan)

Ayat ini diturunkan dalam konteks melindungi anak yatim (jiwa yang rentan) dan janda. Dengan memberikan solusi pernikahan yang adil dan bermartabat, Islam menjaga martabat perempuan yang rentan, memastikan mereka mendapat pemeliharaan (nafaqah) yang layak, dan menjaga kelangsungan keturunan dalam lingkungan yang stabil (seorang ayah yang bertanggung jawab).

C. Hifdz Al-Mal (Menjaga Harta)

Korelasi antara pernikahan dan harta anak yatim di ayat 2 dan 3 sangat jelas menunjukkan perhatian syariat terhadap perlindungan harta. Syarat 'qist' (keadilan sempurna) di awal ayat berfungsi untuk memastikan bahwa pernikahan tidak digunakan sebagai alat untuk mengambil atau menzalimi harta orang lain. Poligini diizinkan hanya jika tidak mengorbankan stabilitas finansial dan hak-hak kekayaan istri-istri, menegaskan bahwa integritas ekonomi adalah bagian dari keadilan.

Dengan demikian, An-Nisa Ayat 3 bukanlah sekadar izin hukum, tetapi sebuah etika sosial dan ekonomi yang mendalam. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang adil, di mana hak-hak individu, terutama yang lemah (yatim dan wanita), terlindungi di bawah payung hukum pernikahan yang bertanggung jawab. Pelanggaran terhadap syarat keadilan sama dengan melanggar Maqashid Syariah, karena menyebabkan kezaliman dan kerusakan (fasad) dalam tatanan keluarga.

VII. Implementasi Hukum dan Peran Negara dalam Menjamin Keadilan

Dalam fikih kontemporer, penegakan keadilan yang disyaratkan oleh Surah An-Nisa Ayat 3 tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada hati nurani individu. Sebagian besar negara Muslim, termasuk Indonesia, telah mengintegrasikan syarat keadilan ini ke dalam undang-undang perkawinan mereka, menuntut intervensi yudisial untuk memastikan bahwa keadilan terpenuhi.

A. Persyaratan Hukum di Indonesia

Di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ketat mengatur praktik poligini sebagai pengecualian yang sangat terbatas. Seorang pria yang ingin melakukan poligini wajib mengajukan permohonan ke pengadilan agama. Persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh calon suami, yang secara eksplisit mencerminkan tuntutan keadilan Ayat 3, meliputi:

  1. Kemampuan Finansial: Suami harus dapat menjamin kebutuhan nafkah semua istrinya dan anak-anak mereka. Ini adalah manifestasi langsung dari 'ketidakberbuat curang' (illa ta‘ūlū) dan keadilan material.
  2. Jaminan Keadilan Lahiriah: Suami harus menyatakan kesanggupan dan keyakinan akan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Walaupun keadilan emosional tidak bisa dijamin, keadilan dalam perlakuan, nafkah, dan waktu harus diikrarkan.
  3. Persetujuan Istri Pertama: Meskipun secara tekstual dalam Al-Qur'an tidak disebutkan persetujuan istri pertama, hukum positif modern mewajibkannya sebagai cara untuk memitigasi potensi kezaliman dan melindungi hak-hak istri yang sudah ada. Jika istri pertama menolak, pengadilan akan menimbang alasan penolakan tersebut sejalan dengan potensi ketidakadilan.

Intervensi negara ini diperlukan karena, seiring berjalannya waktu dan kompleksitas masyarakat, risiko penyalahgunaan izin poligini demi kepentingan pribadi dan mengorbankan hak istri semakin besar. Pengadilan bertindak sebagai filter yang memastikan bahwa izin tersebut hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar memenuhi kriteria keadilan yang ditetapkan oleh syariat, sehingga praktik tersebut tetap berada dalam koridor Maqashid Syariah.

B. Ancaman Kezaliman (Zhulm)

Ayat 3 secara tegas menyatakan bahwa jika takut tidak adil, maka cukuplah satu. Hal ini menunjukkan bahwa risiko kezaliman (Zhulm) dalam konteks poligini sangat tinggi dan harus dihindari dengan segala cara. Dalam terminologi Islam, Zhulm adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan dalam konteks pernikahan, Zhulm berarti mengambil hak istri atau tidak memenuhi kewajiban secara setara.

Konsekuensi dari Zhulm dalam poligini sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) bersabda, "Barang siapa memiliki dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan salah satu pundaknya miring." (HR. Abu Dawud dan An-Nasai). Hadis ini menegaskan ancaman keras bagi mereka yang melanggar keadilan material, memperkuat pesan peringatan yang terdapat dalam Surah An-Nisa Ayat 3.

Keadilan yang dituntut oleh ayat ini bukan sekadar upaya, tetapi sebuah pencapaian yang nyata. Jika seseorang tidak dapat menyediakan rumah yang layak dan nafkah yang setara, atau jika ia tidak dapat membagi waktu secara merata tanpa memihak, maka ia wajib menghindari poligini. Oleh karena itu, bagi mayoritas umat Islam yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan tantangan emosional, memilih satu istri (monogami) adalah implementasi paling taat dari perintah Ilahi yang terdapat dalam ayat ini: "Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat curang."

Pemahaman ini menolak pandangan populer yang melihat poligini sebagai hak bebas tanpa syarat. Sebaliknya, ia menempatkan poligini sebagai tanggung jawab berat yang dibatasi oleh prasyarat keadilan yang hampir mustahil dicapai oleh sebagian besar individu. Ini adalah bukti bahwa Islam selalu mengutamakan perlindungan terhadap yang lemah (wanita dan anak-anak) di atas hak-hak individu yang dapat disalahgunakan.

C. Memperluas Makna Keadilan dalam Teks Kontemporer

Di era digital dan modern, keadilan yang dituntut dalam Ayat 3 semakin kompleks. Keadilan kini tidak hanya mencakup materi dan waktu, tetapi juga keadilan akses informasi, keadilan dalam status sosial, dan keadilan digital. Suami yang berpoligini diwajibkan memastikan bahwa ia tidak menggunakan kekuasaan, pengaruh, atau asetnya untuk merugikan posisi salah satu istrinya di mata masyarakat atau dalam urusan finansial mereka.

Sebagai contoh, jika suami memberikan aset investasi kepada satu istri tanpa memberikan kesempatan serupa kepada istri lainnya, meskipun kebutuhan dasar terpenuhi, ini bisa dianggap melanggar prinsip keadilan komprehensif yang diinginkan oleh syariat. Keadilan harus bersifat holistik dan mencakup seluruh aspek kehidupan yang berada di bawah kendali suami.

Penekanan berulang pada kewajiban keadilan (baik 'tuqsitū' maupun 'ta‘dilū') menandakan bahwa Al-Qur'an memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap etika rumah tangga. Ayat 3 adalah fondasi bagi hukum keluarga yang berprinsip kesetaraan dan tanggung jawab, menjadikannya salah satu ayat paling fundamental dalam kerangka hukum sosial Islam. Kesimpulannya, Surah An-Nisa Ayat 3 adalah ayat pembatasan, etika, dan keadilan, yang puncaknya adalah penetapan monogami sebagai pilihan yang lebih utama dan aman.

Dengan demikian, perjalanan panjang memahami Surah An-Nisa Ayat 3 membawa kita pada pemahaman bahwa hukum Allah bersifat progresif dan melindungi. Ayat ini merestrukturisasi masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang tertib, mengganti poligini tak terbatas dengan poligini terbatas, dan menaikkan standar moral dan etik dalam pernikahan dengan menetapkan keadilan sebagai syarat yang tidak dapat ditawar. Ini adalah penegasan bahwa setiap hubungan harus dibangun di atas dasar kejujuran dan pemenuhan hak, baik itu hak anak yatim maupun hak istri. Pemahaman ini harus terus diperdalam agar umat Islam dapat mengimplementasikan ajaran Al-Qur'an secara bertanggung jawab dan relevan dalam konteks zaman yang terus berkembang.

Tuntutan keadilan yang luar biasa tinggi ini (sehingga Allah sendiri memberikan jalan keluar berupa satu istri) berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa pernikahan kedua, ketiga, atau keempat, tidak pernah boleh menjadi sumber penderitaan atau ketidakbahagiaan bagi istri yang sudah ada, apalagi anak-anak. Kesejahteraan psikologis, spiritual, dan material dari seluruh anggota keluarga harus menjadi pertimbangan utama, sejalan dengan tujuan syariat untuk menciptakan ketenangan (sakinah) dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dalam ikatan suci pernikahan.

Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang merenungkan implikasi dari Ayat 3, pesan utamanya jelas: prioritaskan keadilan dan tanggung jawab. Jika kemampuan untuk menanggung tanggung jawab yang berlipat ganda itu diragukan, maka jalan yang paling lurus, yang paling dekat kepada ketidakcurangan, adalah jalan monogami. Ini adalah hikmah abadi dari sebuah ayat yang merevolusi status perempuan dalam sejarah Islam.

VIII. Kedalaman Filosofis Konsep ‘Adil dan Qist

Diskusi mengenai An-Nisa Ayat 3 tidak akan lengkap tanpa memperdalam perbedaan terminologi antara ‘adl (yang digunakan pada bagian kedua ayat, merujuk pada keadilan yang harus dipenuhi oleh suami) dan qist (yang digunakan pada bagian pertama, merujuk pada keadilan terhadap anak yatim). Walaupun sering diterjemahkan serupa, para ahli bahasa dan tafsir memberikan nuansa yang berbeda yang memiliki implikasi hukum yang signifikan.

Qist (قسط) sering dimaknai sebagai keadilan yang bersifat mutlak, sempurna, dan berwujud pembagian yang setara atau porsi yang benar. Kata ini sering kali digunakan dalam konteks transaksi finansial atau pembagian hak, seperti hak warisan atau hak anak yatim. Kekhawatiran pada awal ayat ("khiftum allā tuqsiṭū fī al-yatāmā") secara spesifik merujuk pada ketidakadilan dalam memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada anak yatim, terutama hak mahar dan pengelolaan harta mereka. Ini menunjukkan tingkat sensitivitas syariat terhadap perlindungan finansial kaum yang rentan.

Sebaliknya, ‘Adl (عدل) adalah istilah yang lebih umum dan luas, mencakup keseimbangan, kesetaraan, dan penempatan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks pernikahan majemuk, ‘adl yang wajib dipenuhi suami adalah keadilan dalam hal yang dapat dikontrolnya (nafkah, waktu, tempat tinggal). Penggunaan kedua kata ini dalam satu ayat merupakan retorika Qur’ani yang kuat: jika kamu tidak sanggup memberikan keadilan mutlak (qist) kepada satu yatim perempuan, maka waspadailah kemampuanmu memberikan keseimbangan (adl) kepada lebih dari satu wanita.

Filosofi ini menunjukkan bahwa Islam menuntut standar etika yang sangat tinggi dalam pengelolaan hubungan dan aset. Hubungan antara qist dan ‘adl menggarisbawahi bahwa masalah rumah tangga tidak pernah terpisah dari masalah ekonomi dan sosial. Setiap tindakan pribadi suami dalam pernikahan kedua, ketiga, atau keempat memiliki konsekuensi sosial-ekonomi yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan Tuhan. Kegagalan dalam ‘adl pada akhirnya akan menyebabkan zhulm (kezaliman), yang merupakan antitesis dari tujuan syariat.

IX. Kekuatan Monogami sebagai Pilihan Utama dalam Konteks Sosial Modern

Meskipun Surah An-Nisa Ayat 3 memberikan izin bersyarat untuk poligini, penutup ayat tersebut berfungsi sebagai anjuran kuat (preponderance) terhadap monogami: "فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً" (Jika kamu takut tidak adil, maka satu saja). Penempatan frasa ini, setelah disebutkan izin hingga empat, secara retoris menegaskan bahwa satu istri adalah jalan yang lebih aman, lebih utama, dan lebih dekat kepada ketaatan.

Dalam masyarakat modern yang dicirikan oleh mobilitas tinggi, tuntutan karier yang intens, dan biaya hidup yang tinggi, kemampuan untuk membagi sumber daya material dan waktu secara adil menjadi tantangan yang semakin berat. Dalam kondisi ini, risiko melanggar ‘adl meningkat secara eksponensial. Oleh karena itu, para sarjana kontemporer sering melihat bahwa implementasi paling bijaksana dari Ayat 3 di zaman sekarang adalah memilih monogami, kecuali dalam kasus-kasus darurat sosial yang sangat spesifik (misalnya, di daerah yang mengalami ketidakseimbangan gender ekstrem akibat bencana atau perang, di mana wanita janda memerlukan perlindungan sosial dan ekonomi).

Monogami, dalam pandangan ini, adalah manifestasi tertinggi dari kehati-hatian (wara') dan upaya maksimal untuk menghindari kezaliman. Suami yang memilih satu istri karena takut tidak adil menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang maqashid syariah dan ketaatan terhadap peringatan Ilahi. Ia memilih jalan yang "lebih dekat kepada tidak berbuat curang" (adna allā ta‘ūlū). Ini bukan berarti membatalkan ayat, melainkan menerapkan ayat tersebut secara maksimal berdasarkan kondisi hati dan kemampuan praktis. Kekuatan hukum dalam ayat ini terletak pada pencegahan kerugian (dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih), yang menempatkan menghindari ketidakadilan di atas izin untuk menikah lebih dari satu.

X. Poligini dalam Pandangan Hukum Keluarga Komparatif

Berbagai negara Muslim telah mengadopsi pendekatan berbeda dalam mengimplementasikan An-Nisa Ayat 3 ke dalam sistem hukum keluarga mereka. Perbedaan ini mencerminkan interpretasi yang berbeda mengenai sejauh mana negara dapat membatasi izin yang diberikan oleh teks suci demi kepentingan umum (maslahah mursalah):

1. Pelarangan Mutlak (Tunisia dan Turki): Negara-negara ini menafsirkan Ayat 3 dan Ayat 129 secara radikal. Mereka berargumen bahwa karena keadilan sempurna mustahil dicapai (QS. 4:129), dan syariat mewajibkan keadilan (QS. 4:3), maka secara hukum poligini harus dilarang untuk mencegah kezaliman sistemik. Dalam kasus ini, tujuan ayat—yaitu keadilan—dianggap lebih penting daripada izin bersyarat yang terkandung di dalamnya.

2. Pembatasan Ketat (Indonesia, Malaysia, Yordania): Negara-negara ini mempertahankan izin poligini tetapi menambah kontrol yudisial yang ketat. Persetujuan pengadilan diperlukan, dan pengadilan hanya memberikan izin jika terbukti suami mampu secara finansial dan mampu berlaku adil secara material, serta seringkali harus mendapatkan persetujuan istri pertama. Ini adalah upaya untuk menyeimbangkan teks dengan realitas sosial dan prinsip pencegahan bahaya.

3. Izin Tanpa Pembatasan Yudisial (Beberapa Negara di Timur Tengah): Negara-negara ini berpegangan pada interpretasi klasik yang menempatkan tanggung jawab keadilan sepenuhnya pada hati nurani suami dan menganggap intervensi negara dalam urusan ini minimal. Namun, pandangan ini semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak perempuan.

Perbedaan implementasi ini menunjukkan bahwa An-Nisa Ayat 3 adalah ayat yang bersifat dinamis. Prasyarat keadilannya memungkinkan hukum keluarga Islam beradaptasi terhadap perubahan zaman dan kondisi sosial-ekonomi. Inti dari semua pendekatan hukum modern adalah upaya untuk menjauhkan praktik poligini dari kezaliman dan menjadikannya benar-benar sebuah solusi sosial yang etis, bukan sekadar pemenuhan keinginan pribadi tanpa batas.

XI. Sintesis: Keadilan sebagai Ibadah

Pada akhirnya, Surah An-Nisa Ayat 3 tidak hanya memberikan hukum, tetapi juga menetapkan standar spiritual dan moral. Keadilan (Al-'Adl) dalam pernikahan majemuk harus dipandang sebagai sebuah ibadah. Suami yang berupaya adil dalam nafkah, waktu, dan perlakuan, meskipun menyadari ketidakmampuan hati untuk mencintai sama rata, sedang menjalankan perintah agama yang sangat berat.

Jika suami menyadari kekurangan dalam dirinya untuk menanggung beban ini, maka kemunduran ke satu istri (monogami) adalah tindakan ketaatan yang lebih besar. Ketaatan ini berakar pada prinsip tauhid, yaitu mengutamakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (kezaliman), bahkan jika itu berarti mengorbankan hak bersyarat yang diizinkan. Pemilihan monogami karena takut ketidakadilan adalah perwujudan dari taqwa (ketakutan kepada Allah) yang sesungguhnya.

Kajian mendalam terhadap Ayat 3 ini mengajarkan kita bahwa hukum Islam dibangun di atas fondasi perlindungan, keadilan, dan keseimbangan. Ia memangkas praktik yang merusak tatanan sosial, memberikan solusi yang etis untuk krisis sosial-ekonomi (yatim dan janda), dan menetapkan standar perilaku yang melampaui sekadar kepatuhan formal, menuntut integritas moral dan spiritual dari setiap individu yang terlibat dalam institusi pernikahan.

🏠 Kembali ke Homepage