Surah An-Nisa, ayat 36, adalah salah satu ayat sentral dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menghubungkan prinsip tauhid (keesaan Allah) dengan pelaksanaan etika sosial yang komprehensif. Ayat ini bukan hanya instruksi ibadah, melainkan sebuah piagam agung yang mendefinisikan hubungan ideal seorang individu dengan Penciptanya dan, selanjutnya, dengan seluruh ekosistem sosial di sekitarnya. Struktur ayat ini—dimulai dengan perintah paling mendasar (Tauhid) dan diikuti oleh delapan kategori manusia yang wajib diperlakukan dengan *Ihsan* (kebaikan paripurna)—menegaskan bahwa keimanan sejati tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial yang aktif dan penuh kesadaran.
Ayat mulia ini berbunyi:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Terjemahannya secara umum:
Ayat 36 dari Surah An-Nisa dimulai dengan perintah yang paling sakral dan fundamental, yang merupakan poros utama seluruh ajaran Islam: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun." Penempatan perintah ini di awal daftar tanggung jawab etis menunjukkan hierarki nilai yang jelas. Sebelum seseorang dapat mengklaim dirinya sebagai pribadi yang bermoral atau bertanggung jawab secara sosial, ia harus terlebih dahulu membenahi hubungannya dengan Sang Pencipta.
Perintah untuk menyembah Allah (Wa’budullāh) mencakup pengakuan terhadap dua aspek keesaan utama: Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam penciptaan, pengaturan, dan kepemilikan) dan Tauhid Uluhiyyah (Keesaan Allah dalam ibadah). Penyembahan yang dimaksud adalah ketaatan total, baik dalam ritual (salat, puasa) maupun dalam kehidupan sehari-hari (muamalah). Setiap tindakan kebaikan yang diperintahkan selanjutnya dalam ayat ini dianggap sebagai bagian integral dari ibadah itu sendiri, asalkan dilakukan semata-mata karena Allah.
Syirik (mempersekutukan Allah) adalah dosa terbesar karena ia merusak fondasi etika. Ketika seseorang menganggap ada kekuatan lain yang setara atau melebihi Allah, maka standar moralnya menjadi relatif dan mudah berubah. Tauhid, sebaliknya, memberikan titik jangkar absolut bagi moralitas. Kesadaran bahwa hanya Allah yang disembah menumbuhkan kejujuran, kerendahan hati, dan rasa tanggung jawab yang konsisten, yang menjadi prasyarat untuk memperlakukan manusia lain dengan adil dan penuh *ihsan*.
Kesinambungan ini harus dipahami secara mendalam. Apabila seseorang mengklaim memiliki spiritualitas yang tinggi tetapi gagal dalam etika sosialnya—seperti berbuat buruk kepada orang tua atau menzalimi yang lemah—maka ibadahnya dianggap cacat. An-Nisa 36 menunjukkan bahwa ketulusan ibadah diukur dari seberapa baik ia diterjemahkan menjadi tindakan kasih sayang dan keadilan terhadap makhluk Allah.
Para ulama juga menafsirkan perintah ini mencakup pencegahan terhadap syirik yang bersifat tersembunyi (Riya’ atau pamer). Seseorang yang melakukan kebaikan sosial (seperti memberi kepada yatim) tetapi motivasinya adalah pujian manusia, telah memasukkan unsur syirik kecil dalam tindakannya. Ayat ini, dengan menuntut kesempurnaan (Ihsan), secara implisit menuntut keikhlasan total. Jika kebaikan sosial didasarkan pada Tauhid yang murni, maka ia akan berkelanjutan, tidak diskriminatif, dan tidak mengharapkan balasan, yang merupakan kunci bagi terciptanya masyarakat yang harmonis.
Setelah perintah Tauhid, Ayat 36 segera menyebutkan hak dua kategori yang paling dekat dengan individu, yang membentuk inti dari unit sosial pertama: keluarga.
Kewajiban "Berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak" (Birrul Walidain) adalah perintah kedua terbesar dalam Islam. Dalam konteks An-Nisa 36, ini diletakkan setara pentingnya dengan Tauhid, menekankan bahwa hubungan vertikal (dengan Allah) harus selaras dengan hubungan horizontal (dengan orang tua). Para ulama tafsir menyoroti bahwa penggunaan kata *Ihsan* (kebajikan, kesempurnaan dalam berbuat baik) di sini menuntut lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar; ia menuntut penghormatan, kelembutan, dan pengorbanan emosional yang tinggi.
Ihsan mencakup aspek-aspek berikut secara mendalam:
Pengabaian terhadap orang tua, terutama di masa tua mereka ketika mereka paling membutuhkan kasih sayang dan perawatan, dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap perjanjian etika yang ditetapkan oleh ayat ini. Kebaikan ini harus terus dipelihara seumur hidup, melewati batas-batas geografis dan waktu, memastikan bahwa keutamaan orang tua diakui dan dihormati sebagai jembatan langsung menuju keridhaan Allah.
Dalam masyarakat modern yang semakin individualistis, penekanan pada Birrul Walidain ini berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap keretakan keluarga, mengingatkan bahwa ikatan darah adalah tanggung jawab spiritual yang tak terhindarkan. Melayani orang tua dengan penuh hormat adalah latihan kesabaran dan kerendahan hati yang mempersiapkan individu untuk berinteraksi dengan kategori sosial yang lebih luas.
Karena orang tua adalah sebab eksistensi seseorang. Kebaikan mereka, khususnya pengorbanan ibu, adalah manifestasi terdekat dari kasih sayang Ilahi yang dialami seorang manusia di dunia. Jika seseorang gagal menghargai dan membalas jasa orang yang menjadi perantara keberadaannya, bagaimana mungkin ia dapat menghargai hak-hak orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dengannya?
Setelah orang tua, ayat ini menyebut "karib kerabat". Kewajiban ini dikenal sebagai *Silaturahim* (menghubungkan rahim/ikatan keluarga). Kerabat di sini mencakup semua garis keturunan dari pihak ayah dan ibu, seberapa pun jauhnya.
Tanggung jawab terhadap kerabat bersifat dua dimensi:
Ayat ini mengajarkan bahwa keluarga besar adalah jaring pengaman sosial pertama. Kesejahteraan masyarakat dimulai dari soliditas hubungan kekeluargaan. Kegagalan memelihara hubungan ini tidak hanya merusak ikatan sosial, tetapi juga dikategorikan sebagai dosa yang dapat menghalangi penerimaan amal saleh.
Elaborasi tentang Silaturahim harus mencakup penekanan bahwa hal ini tidak bergantung pada timbal balik. Kewajiban Ihsan terhadap kerabat tetap berlaku bahkan jika kerabat tersebut memutus hubungan atau bersikap tidak adil. Kualitas Ihsan yang dituntut adalah inisiatif proaktif untuk menjaga jalinan kasih sayang dan perhatian.
Transisi dari keluarga inti menuju masyarakat luas dimulai dengan dua kelompok yang paling membutuhkan perlindungan dan perhatian khusus.
"Anak-anak yatim" merujuk pada anak yang kehilangan ayah sebelum mencapai usia baligh. Ayah biasanya adalah penanggung nafkah utama, sehingga kehilangan ayah menempatkan anak tersebut dalam kerentanan finansial dan emosional yang ekstrem.
Perintah Ihsan terhadap yatim memiliki aspek hukum dan etika. Secara hukum, Al-Qur'an sangat ketat dalam melindungi harta anak yatim. Ayat ini menuntut agar hak-hak mereka dijamin, pendidikan mereka dipenuhi, dan mereka diperlakukan dengan penuh kasih sayang, bukan sekadar belas kasihan.
Pengelolaan harta mereka harus dilakukan dengan itikad baik dan transparansi. Eksploitasi atau konsumsi harta yatim secara tidak sah adalah salah satu dosa besar yang dilarang keras, mencerminkan betapa tingginya nilai keadilan bagi kelompok yang tidak berdaya ini dalam pandangan Islam. Ihsan kepada yatim adalah memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan terhormat, bukan sekadar objek amal.
Perlakuan yang baik ini tidak berhenti pada materi. Kelembutan emosional, penghormatan, dan pengajaran adalah komponen penting dari Ihsan. Ayat ini merupakan panggilan kepada masyarakat untuk menjadi 'ayah' kolektif bagi anak-anak yang telah kehilangan penjaganya.
"Orang-orang miskin" adalah mereka yang membutuhkan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mendasar. Perintah Ihsan di sini menuntut redistribusi kekayaan yang adil.
Ayat ini berfungsi sebagai dasar teologis bagi sistem jaminan sosial Islam. Kebaikan terhadap orang miskin harus sistematis, bukan sporadis. Ini mencakup pemberian sedekah, zakat, dan menciptakan peluang agar mereka dapat keluar dari kemiskinan. Keadilan terhadap orang miskin tidak hanya tentang memberi uang, tetapi juga tentang memberikan martabat dan kesempatan.
Sangat penting untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Ihsan menuntut kita untuk memastikan kebutuhan pokok orang miskin terpenuhi, yang mencakup pangan, papan, sandang, dan pendidikan. Ini adalah pengujian nyata apakah ketaatan seseorang kepada Allah telah berhasil membebaskan dirinya dari sifat kikir dan egois. Kebaikan ini harus dilakukan tanpa merendahkan atau mempermalukan penerima.
Setelah lingkup internal keluarga dan kelompok rentan, ayat ini memperluas kewajiban Ihsan ke lingkup geografis yang lebih luas, yaitu para tetangga.
Ini merujuk pada tetangga yang memiliki kedekatan ganda: kedekatan rumah (geografis) dan kedekatan darah (kekeluargaan). Jika tetangga juga adalah kerabat, haknya menjadi berlipat ganda, dan kewajiban Ihsan menjadi lebih ditekankan lagi. Dalam hierarki sosial, mereka memiliki hak yang paling kuat setelah kerabat dekat.
Ini adalah tetangga yang dekat secara geografis tetapi tidak memiliki hubungan darah. Atau, dalam penafsiran yang lebih luas, tetangga yang jauh secara fisik tetapi mungkin memiliki hubungan lain (seperti tetangga dalam pekerjaan, atau rekan bisnis). Penafsiran lain juga menyebutkan bahwa ini bisa merujuk pada tetangga non-Muslim.
Kehadiran kategori tetangga dekat dan jauh menunjukkan bahwa etika Islam melampaui batas-batas suku atau agama dalam konteks hubungan bertetangga. Hak-hak tetangga sangat ditekankan dalam ajaran Nabi Muhammad SAW, bahkan beliau pernah bersabda bahwa Jibril terus menerus berwasiat tentang tetangga hingga ia mengira tetangga akan dimasukkan sebagai ahli waris.
Ihsan kepada tetangga meliputi:
Jika lingkungan terdekat tidak merasakan kebaikan dari seseorang yang mengaku taat beribadah, maka klaim ketaatan itu patut dipertanyakan. Ayat ini menempatkan tetangga sebagai barometer utama kualitas keimanan seseorang. Perintah ini relevan di era modern, di mana anonimitas dan individualisme sering kali menghilangkan rasa komunitas. An-Nisa 36 memaksa umat untuk kembali membangun ikatan sosial yang kuat dari tingkat paling dasar.
Ayat ini kemudian menggeser fokus dari hubungan rumah tangga dan lingkungan langsung ke hubungan yang lebih cair dan sementara: rekan, musafir, dan mereka yang berada di bawah otoritas.
"Teman sejawat" (sahib bil janbi) secara harfiah berarti "teman di sisi Anda" atau "orang yang duduk di sebelah Anda." Para mufassir menafsirkannya sebagai teman dalam perjalanan, rekan kerja, pasangan hidup (suami/istri), atau bahkan orang yang duduk di samping kita dalam majelis, di masjid, atau di kendaraan umum.
Ihsan terhadap kategori ini menuntut akhlak yang baik dalam interaksi sosial dan profesional:
Ayat ini mengajarkan bahwa lingkungan kerja dan persahabatan juga merupakan ladang ibadah dan pelaksanaan etika. Kualitas interaksi harian kita, bahkan yang bersifat sementara, harus mencerminkan Ihsan. Keharmonisan sosial sangat bergantung pada bagaimana individu memperlakukan orang-orang yang berinteraksi dengannya secara rutin atau temporer.
"Ibnus Sabil" (anak jalanan/musafir) adalah orang yang berada jauh dari rumahnya, kehabisan bekal, atau terdampar, meskipun di tanah airnya sendiri. Mereka mungkin adalah pelancong, pelajar, atau pengungsi.
Kewajiban Ihsan di sini menekankan konsep
Perintah ini mencerminkan pandangan Islam bahwa jalan dan sumber daya alam adalah milik umum, dan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan perjalanan dengan aman. Ini juga mengajarkan empati, karena setiap orang dapat sewaktu-waktu berada dalam posisi musafir yang membutuhkan bantuan.
"Dan hamba sahayamu" atau secara harfiah "mereka yang dimiliki tangan kananmu" adalah frasa yang merujuk pada budak pada masa wahyu diturunkan. Namun, dalam konteks modern dan hukum Islam yang universal, frasa ini ditafsirkan meluas mencakup: pegawai, pekerja, asisten rumah tangga, bawahan, atau siapa pun yang berada di bawah otoritas, pengawasan, atau kontrol seseorang.
Ayat ini memberikan landasan bagi etika buruh yang revolusioner. Ihsan menuntut perlakuan yang manusiawi, bahkan kepada mereka yang secara sosial berada di level paling bawah. Prinsip-prinsip yang ditekankan adalah:
Dalam konteks modern, ini adalah seruan untuk menghilangkan eksploitasi di tempat kerja, menjamin hak-hak buruh migran, dan memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan untuk menindas yang lemah. Keadilan terhadap bawahan adalah salah satu ujian terbesar keikhlasan karena tidak ada tekanan eksternal untuk berbuat baik selain kesadaran spiritual diri sendiri.
Jika seseorang gagal menerapkan Ihsan pada orang yang bekerja untuknya dan yang bergantung sepenuhnya padanya—orang yang tidak dapat membalas atau menuntut—maka klaim kebaikan sosialnya akan runtuh. Kategori ini menyempurnakan daftar, menunjukkan bahwa Ihsan harus diterapkan dari puncak otoritas (Tauhid) hingga dasar interaksi sosial dan ekonomi (perlakuan terhadap bawahan).
Ayat 36 ditutup dengan sebuah peringatan tegas yang berfungsi sebagai kunci spiritual untuk memastikan semua perbuatan Ihsan tadi diterima dan efektif: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Mukhṭālan Fakhūrā)."
Sifat *Mukhṭāl* merujuk pada kesombongan yang terwujud dalam penampilan dan sikap. Orang yang sombong melihat dirinya lebih superior daripada orang lain. Sikap ini adalah antitesis dari *Ihsan*. Ihsan memerlukan kerendahan hati untuk melayani orang lain tanpa melihat status, sedangkan kesombongan menghalangi individu untuk mengakui martabat yang sama pada orang tua, yatim, miskin, apalagi bawahan.
Bagaimana kesombongan merusak Ihsan? Seseorang bisa saja memberi sedekah, tetapi jika ia melakukannya sambil merasa superior atau merendahkan penerima, maka tindakan itu kehilangan rohnya. Peringatan di akhir ayat ini menegaskan bahwa etika sosial harus lahir dari hati yang tunduk (Tauhid), bukan dari keinginan untuk menunjukkan kekayaan atau kebaikan palsu.
*Fakhūr* adalah orang yang suka membanggakan diri, baik karena kekayaan, keturunan, atau capaiannya. Ini adalah kesombongan yang diekspresikan secara lisan, merusak keikhlasan (Riya’). Jika kebaikan yang dilakukan oleh individu hanyalah alat untuk memperoleh pengakuan sosial, maka itu adalah manifestasi dari syirik tersembunyi yang dilarang di awal ayat.
Korelasi antara kesombongan dan kegagalan etika sangatlah kuat. Hanya orang yang rendah hati yang mampu melihat hak-hak orang tuanya, kerabatnya, dan tetangganya. Hanya orang yang tidak sombong yang mau bergaul dan melayani fakir miskin. Ayat 36, oleh karena itu, merupakan cermin spiritual: daftar panjang perintah Ihsan hanyalah penjelmaan praktis dari kerendahan hati yang dituntut oleh Tauhid.
Surah An-Nisa 36 menyajikan delapan kategori penerima Ihsan. Kombinasi ini sangat sistematis dan mencakup spektrum penuh interaksi manusia:
Kesembilan elemen (Tauhid + delapan hak) membentuk sebuah sistem etika yang saling terkait. Tanpa Tauhid, Ihsan menjadi tindakan sosial tanpa makna spiritual. Tanpa Ihsan, Tauhid menjadi klaim spiritual yang kosong dari bukti praktis di dunia nyata. Ayat ini mengajarkan bahwa kesalehan sejati adalah praktik yang menyeluruh, mencakup setiap aspek kehidupan, dari ruang pribadi hingga ranah publik.
Ihsan adalah tingkat tertinggi dari keimanan, melampaui Islam (kepatuhan lahiriah) dan Iman (keyakinan batiniah). Ketika Allah memerintahkan Ihsan (berbuat baik) kepada orang tua, ia tidak meminta pemenuhan kewajiban minimum, melainkan pelaksanaan kebaikan dengan standar tertinggi. Ini berarti memberikan yang terbaik, bukan sisa-sisa, dari waktu, harta, dan perhatian kita.
Kebaikan yang dituntut oleh An-Nisa 36 adalah kebaikan yang proaktif, bukan reaktif. Ini adalah kebaikan yang mencari peluang untuk membantu dan melayani, bahkan ketika hak-hak tersebut tidak diminta. Ihsan adalah melihat Allah dalam setiap tindakan, dan memperlakukan makhluk-Nya seolah-olah kita melihat Allah, meskipun kita tidak melihat-Nya, karena kita yakin Dia melihat kita.
Tuntutan etika dalam An-Nisa 36 sangat relevan dalam tantangan masyarakat modern:
Urbanisasi dan Anonimitas: Ayat ini menantang budaya individualisme di kota-kota besar, mengingatkan kita bahwa kita memiliki hak dan kewajiban terhadap tetangga, meskipun kita tidak mengenal mereka secara pribadi. Pintu rumah tidak boleh menjadi tembok isolasi dari kebutuhan komunitas.
Kesenjangan Ekonomi: Ayat ini mengutuk kesenjangan kekayaan yang ekstrem dengan mewajibkan perhatian pada yatim dan miskin. Ini mendorong mekanisme filantropi dan keadilan ekonomi yang berkelanjutan.
Hak-Hak Pekerja: Tafsir modern dari *Ma Malakat Aymanukum* memberikan dasar kuat untuk melawan perbudakan modern, perdagangan manusia, dan penindasan buruh. Hal ini menuntut lingkungan kerja yang etis dan manusiawi di seluruh rantai pasokan global.
Ayat ini berada dalam Surah An-Nisa (Wanita), yang dikenal sebagai surah yang membahas hak-hak kelompok yang dilemahkan dalam masyarakat: wanita, anak yatim, dan ahli waris. Penempatan Ayat 36 di sini memperkuat tema sentral surah, yaitu keadilan. Keadilan pertama adalah kepada Allah (Tauhid), dan keadilan kedua adalah kepada makhluk-Nya, dimulai dari yang paling rentan.
Keadilan yang dituntut oleh ayat ini adalah keadilan distributif (hak-hak ekonomi) dan keadilan prosedural (perlakuan yang hormat). Keduanya harus ditegakkan sebagai bagian dari iman.
Kata kerja ‘Abadu (sembah) dalam bahasa Arab tidak hanya berarti ritual doa, tetapi juga ketaatan total. Penyembahan yang sejati adalah ketika seseorang meresapi perintah Allah (Tauhid) sehingga ia memanifestasikannya dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk delapan hubungan sosial yang disebutkan. Jika kita menyembah Allah, maka kita akan menghargai martabat yang Dia berikan kepada setiap manusia yang Dia ciptakan.
Penutup ayat ini mengenai *Mukhṭālan Fakhūrā* adalah diagnostik spiritual yang kritis. Kesombongan adalah sifat Iblis; ia menolak mematuhi perintah Allah karena merasa superior. Dalam konteks sosial, kesombongan menghalangi belas kasihan dan empati. Orang sombong tidak dapat melihat penderitaan orang lain karena ia hanya fokus pada pemujaan diri sendiri.
Oleh karena itu, keberhasilan dalam melaksanakan semua delapan kewajiban Ihsan bergantung pada keberhasilan mengalahkan ego dan kesombongan. Jika kita berhasil mengalahkan ego, kita akan mampu memberikan perlakuan terbaik kepada orang tua kita tanpa pamrih, melayani yang miskin tanpa merendahkan, dan memperlakukan bawahan kita dengan penuh keadilan, semata-mata karena kita takut kepada Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia.
Intinya, An-Nisa 36 bukan sekadar daftar periksa, tetapi blueprint untuk menciptakan masyarakat yang adil, penuh kasih sayang, dan didasarkan pada kesadaran ketuhanan yang mendalam. Ayat ini menetapkan bahwa pembangunan spiritual dan pembangunan sosial adalah proyek yang sama, yang dimulai dan diakhiri dengan pengakuan terhadap Keesaan dan Keagungan Allah SWT.
Keseimbangan antara hak Allah dan hak hamba-Nya yang disajikan dalam An-Nisa 36 menjamin bahwa umat tidak akan jatuh ke dalam dua ekstrem: spiritualitas yang mementingkan diri sendiri (mengabaikan sosial) atau aktivisme sosial yang kering spiritual (mengabaikan Tauhid). Jalan tengah, *Al-Ihsan*, adalah kunci kepada kehidupan yang berharga di dunia dan akhirat.
Setiap subjek yang disebutkan dalam ayat ini—dari orang tua hingga pekerja—memiliki hak yang tak dapat dicabut (Dignity and Rights). Mengabaikan hak-hak tersebut adalah pelanggaran terhadap perjanjian etika yang dibuat seorang Muslim dengan Tuhannya.
Jika semua elemen ini dipraktikkan secara konsisten, masyarakat akan mencapai tingkat keharmonisan dan keadilan yang diimpikan. Surah An-Nisa 36 adalah panggilan abadi untuk kesempurnaan etika yang berakar kuat pada ketulusan ibadah. Kajian mendalam terhadap setiap frasa dalam ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati wajib termanifestasi dalam tindakan nyata kasih sayang dan keadilan terhadap semua makhluk, tanpa terkecuali.
Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya setiap kategori sosial ini harus menjadi perhatian utama bagi setiap individu yang berusaha mencapai *maqam* (tingkatan) Ihsan. Tidak ada satu pun dari delapan kategori yang boleh diabaikan, karena setiap elemen berfungsi sebagai kepingan penting dalam mozaik tanggung jawab sosial yang sempurna.
Kesempurnaan Ihsan menuntut pemeliharaan hubungan yang konsisten dengan orang tua, tanpa terpengaruh oleh usia atau kondisi mental mereka. Kerabat harus selalu diperhatikan, meskipun hubungan tersebut menuntut kesabaran yang besar. Yatim dan miskin harus dilindungi tidak hanya oleh negara, tetapi oleh setiap individu yang memiliki kemampuan. Tetangga, baik Muslim maupun non-Muslim, baik dikenal maupun tidak, memiliki hak universal atas keamanan dan kebaikan dari kita.
Teman sejawat dan musafir mengingatkan kita akan kewajiban etika dalam interaksi temporer. Dan terakhir, perlakuan adil terhadap bawahan dan pekerja adalah penentu kualitas moral tertinggi, karena hanya keikhlasan murni yang mendorong kebaikan kepada mereka yang secara hirarki berada di bawah kita. Semua ini—sebuah kurikulum komprehensif tentang kemanusiaan—hanya mungkin terwujud jika fondasinya, yaitu Tauhid yang murni dan bebas dari kesombongan, ditegakkan dengan kukuh.
Sehingga, An-Nisa 36 berdiri sebagai mercusuar yang menerangi jalan menuju kesalehan paripurna, menggabungkan pengabdian kepada Khaliq (Pencipta) dengan kasih sayang yang mendalam terhadap Makhluq (ciptaan), membuktikan bahwa spiritualitas tanpa sosial adalah ilusi, dan sosial tanpa spiritualitas adalah fatamorgana. Ayat ini adalah seruan universal untuk kebaikan, keadilan, dan kerendahan hati abadi.