Tradisi menyekar merupakan salah satu warisan budaya dan spiritual yang mengakar kuat dalam denyut nadi masyarakat Nusantara, melampaui batas-batas suku, geografis, dan bahkan interpretasi keagamaan yang kaku. Secara harfiah, menyekar merujuk pada aktivitas menaburkan bunga (sekar) di atas makam. Namun, dalam konteks sosial dan spiritual, menyekar adalah sebuah ritual ziarah kubur yang komprehensif, melibatkan pembersihan fisik makam, pemanjatan doa, tahlil, serta refleksi mendalam mengenai kehidupan dan kematian.
Ritual ini bukan sekadar kunjungan rutin; ia adalah jembatan penghubung antara dunia yang ditinggalkan oleh leluhur dan kehidupan yang dijalani oleh keturunan mereka. Menyekar menjadi momen introspeksi, pengingat akan kefanaan, sekaligus manifestasi rasa bakti dan cinta kasih yang tidak terputus oleh tirai kematian. Kehadiran di pusara, membersihkan nisan dari gulma, dan wangi semerbak kembang yang ditebar, semuanya membentuk sebuah siklus spiritual yang memberi makna mendalam bagi eksistensi manusia di dunia.
Untuk memahami kedalaman tradisi menyekar, kita harus menelusuri akarnya jauh ke belakang, sebelum masuknya pengaruh agama-agama besar ke Nusantara. Jauh sebelum Islam, Hindu, atau Buddha berkembang, masyarakat asli kepulauan ini telah memegang teguh keyakinan animisme dan dinamisme, di mana penghormatan terhadap roh leluhur adalah inti dari kehidupan komunal. Makam atau punden berundak dianggap sebagai tempat suci, wadah berkumpulnya kekuatan spiritual para pendahulu.
Ketika Islam menyebar di Nusantara, para wali dan ulama menggunakan metode akulturasi yang halus. Tradisi penghormatan leluhur tidak dihilangkan, melainkan diselaraskan dengan ajaran tauhid. Ritual menyekar dan ziarah kubur kemudian diberi makna baru, yaitu sebagai sarana untuk mendoakan almarhum (bukan menyembahnya), mengambil pelajaran (iktibar) dari kematian, dan mengingat hari akhir. Praktik ziarah kubur yang awalnya sempat dilarang pada masa awal Islam (untuk menghindari kemusyrikan), kemudian dianjurkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW dengan tujuan untuk melembutkan hati dan mengingatkan pada kematian.
Filosofi utama dari menyekar adalah Tiga Pilar Refleksi:
Bunga dan air yang digunakan dalam menyekar juga membawa makna filosofis yang mendalam. Bunga melambangkan keindahan dan kemuliaan yang fana, mengingatkan bahwa meskipun hidup itu indah, ia bersifat sementara dan akan layu. Air melambangkan kesucian dan harapan agar pusara almarhum selalu mendapat rahmat dan kesejukan. Kombinasi keduanya menegaskan siklus kehidupan, kematian, dan harapan kebangkitan.
Menyekar bukanlah kegiatan spontan; ia memerlukan persiapan yang matang, baik dari segi spiritual maupun material. Kesiapan ini mencerminkan keseriusan dan penghormatan terhadap prosesi suci tersebut.
Perlengkapan material adalah elemen yang paling mudah dikenali dari tradisi menyekar. Di antara semua perlengkapan, 'Bunga Tujuh Rupa' (kadang disebut Kembang Setaman) memegang peran sentral, meskipun jumlahnya bisa bervariasi di beberapa daerah.
Selain bunga, diperlukan pula peralatan kebersihan sederhana seperti sapu lidi, kantong plastik untuk sampah gulma, dan lap bersih untuk nisan. Semua persiapan ini dilakukan dengan niat tulus, bukan sekadar memenuhi ritual tanpa makna.
Aspek spiritual jauh lebih penting. Sebelum berangkat, penziarah harus meluruskan niat (niat ziarah kubur) bahwa kunjungannya semata-mata untuk mendoakan, mengambil pelajaran, dan bukan untuk meminta berkah yang bersifat duniawi kepada almarhum.
Pakaian haruslah sopan, bersih, dan menutup aurat, sebagai bentuk adab memasuki area pemakaman yang dianggap suci. Ketenangan hati dan pikiran sangat dianjurkan. Penziarah didorong untuk menyingkirkan sejenak urusan duniawi, memasuki dimensi refleksi, dan fokus pada komunikasi spiritual dengan leluhur dan Sang Pencipta.
Alt Text: Ilustrasi skematis sebuah makam dengan nisan abu-abu, tanah yang ditumbuhi rumput hijau, dan taburan bunga berwarna-warni di atasnya, melambangkan ritual menyekar.
Pelaksanaan menyekar harus dilakukan dengan tertib dan adab yang baik. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam urutan doa antar wilayah atau keluarga, struktur intinya umumnya mengikuti langkah-langkah berikut.
Langkah pertama adalah memasuki gerbang pemakaman. Dianjurkan untuk mengucapkan salam saat memasuki area tersebut, baik itu salam umum maupun doa khusus untuk ahli kubur (misalnya: Assalamuāalaikum ya ahlal kubur...). Ketika berjalan menuju makam yang dituju, penziarah harus menjaga pandangan dan tidak melangkahi atau duduk di atas makam lain. Niat harus dikuatkan: bahwa ziarah ini untuk menghormati dan mendoakan, bukan untuk tujuan mencari kekayaan atau kesaktian.
Sebelum doa dimulai, makam harus dipersiapkan secara fisik. Fase ini seringkali dianggap sama pentingnya dengan doa itu sendiri, karena ia adalah wujud nyata dari bakti dan perhatian. Kegiatan membersihkan mencakup:
Proses pembersihan ini dapat memakan waktu yang cukup lama, tergantung kondisi makam. Aktivitas fisik ini memberi kesempatan kepada penziarah untuk merenung dan merasakan koneksi emosional dengan almarhum melalui sentuhan fisik terhadap pusara.
Setelah makam rapi, penziarah duduk atau berdiri di posisi yang tidak menginjak makam. Umumnya, penziarah menghadap kiblat atau duduk di dekat bagian kepala makam.
Pembacaan doa biasanya dimulai dengan surat-surat pendek Al-Qur'an, yang paling umum adalah Al-Fatihah (sebagai pembuka dan permohonan umum), diikuti oleh Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Tujuannya adalah menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada almarhum.
Lalu, dilanjutkan dengan rangkaian Tahlil, yang terdiri dari kalimat-kalimat tauhid (Laa Ilaaha Illallah), tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allahu Akbar). Pembacaan Tahlil seringkali dilakukan secara berulang-ulang, mencapai puluhan hingga ratusan kali, bergantung pada tradisi keluarga atau kelompok yang menyekar.
Setelah Tahlil, doa khusus dipanjatkan. Doa ini adalah inti dari ritual menyekar, berisi permohonan ampunan bagi almarhum, permohonan agar kuburnya dilapangkan, dan permohonan agar keturunan (penziarah) mendapatkan keberkahan dan keteguhan iman. Dalam beberapa tradisi Jawa, doa ini sering disisipkan dengan bahasa Jawa Kuno atau ungkapan hormat yang mendalam terhadap leluhur.
Kedalaman spiritual pada fase ini terletak pada kesungguhan hati. Kehadiran fisik di makam mempermudah konsentrasi dan keikhlasan dalam memohonkan rahmat. Setiap kata yang diucapkan diharapkan menjadi energi positif yang mengalir kepada almarhum di alam barzah.
Ini adalah bagian yang paling identik dengan kata "menyekar." Setelah selesai berdoa, bunga-bunga yang telah disiapkan ditaburkan di atas makam. Urutan penaburan juga sarat makna:
Sebelum meninggalkan makam, penziarah biasanya berdiri sejenak untuk mengucapkan salam perpisahan dan merenungkan kembali pelajaran dari kematian. Refleksi ini meliputi perbandingan antara kondisi fisik almarhum di dalam kubur dengan kesibukan hidup penziarah. Kesadaran akan kefanaan diharapkan mendorong penziarah untuk meningkatkan amal ibadah setelah kembali ke kehidupan sehari-hari.
Meskipun inti dari menyekar adalah ziarah dan doa, pelaksanaannya di berbagai daerah di Indonesia diperkaya oleh adat lokal, menciptakan ritual-ritual yang unik dan kaya akan simbolisme.
Di Jawa, menyekar seringkali terintegrasi dalam perayaan besar yang disebut Nyadran atau Sadranan. Nyadran adalah ritual bersih makam massal yang biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan (Ruwahan). Ini bukan hanya ritual individu, tetapi melibatkan seluruh komunitas desa.
Selain Nyadran, ada juga tradisi Haul, yaitu peringatan hari wafatnya tokoh besar (ulama, wali, atau raja). Haul melibatkan menyekar secara massal ke makam tokoh tersebut, diiringi pembacaan manaqib (riwayat hidup) dan tausiyah keagamaan. Haul menekankan pada peneladanan sifat-sifat baik almarhum.
Dalam konteks Jawa, filosofi menyekar sangat kental dengan konsep harmoni kosmis dan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan penciptaan), di mana makam dianggap sebagai gerbang menuju dimensi lain, namun tetap dalam pengawasan Tuhan Yang Maha Esa.
Di Jawa Barat, menyekar erat kaitannya dengan Munggahan, tradisi menyambut bulan Ramadhan. Masyarakat Sunda melakukan ziarah kubur untuk meminta izin dan restu kepada para leluhur, sebuah simbolisasi permohonan maaf sebelum menjalankan ibadah puasa.
Tata cara Sunda seringkali lebih fokus pada air dan doa. Air kembang bukan hanya ditaburkan, tetapi kadang juga dioleskan ke nisan. Munggahan menegaskan pentingnya hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan sesama dan leluhur) sebelum memasuki masa penyucian diri.
Di wilayah Melayu, seperti Sumatra dan Kalimantan, menyekar disebut juga sebagai Kenduri Arwah atau Tolak Bala yang bertepatan dengan momen-momen tertentu, seperti pertengahan bulan Sya'ban (Nisfu Sya'ban). Ritualnya seringkali diakhiri dengan sedekah atau makan bersama di sekitar area makam, memastikan bahwa doa dan pahala yang dihasilkan dari sedekah tersebut sampai kepada almarhum.
Keunikan di beberapa komunitas Melayu adalah penggunaan dupa atau kemenyan selama doa. Meskipun praktik ini telah disaring dan diselaraskan dengan Islam, wangi-wangian tradisional ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari penghormatan, diyakini dapat membantu menciptakan suasana khusyuk dan membawa aura suci.
Sebagaimana ritual sakral lainnya, menyekar memiliki serangkaian adab dan etika yang harus ditaati. Adab ini tidak hanya bertujuan untuk menghormati almarhum, tetapi juga untuk menjaga kesakralan kompleks pemakaman secara keseluruhan. Pelanggaran terhadap adab ini dapat merusak esensi spiritual dari ritual tersebut.
Penting untuk diingat bahwa adab dalam menyekar adalah cerminan dari hati yang ikhlas dan rendah diri. Kunjungan ke makam seharusnya meruntuhkan kesombongan dan mengingatkan akan kesamaan nasib akhir setiap manusia.
Menyekar, khususnya dalam penggunaan bunga dan air kembang, kadang memunculkan perdebatan dalam masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagian kelompok mengkhawatirkan praktik menyekar berpotensi mengarah pada praktik syirik (menyekutukan Tuhan) jika niatnya bergeser dari mendoakan menjadi meminta sesuatu kepada almarhum.
Namun, sebagian besar ulama moderat di Nusantara menegaskan bahwa menyekar adalah tradisi yang baik (bid'ah hasanah) selama niatnya lurus. Bunga dan air dipandang sebagai simbol penghormatan dan keindahan, bukan benda yang memiliki kekuatan magis. Inti dari ritual ini tetaplah doa dan tahlil yang ditujukan kepada Allah SWT.
Untuk mengatasi polemik ini, edukasi tentang Tauhid dalam Ziarah menjadi krusial. Penziarah harus selalu diingatkan bahwa makam adalah tempat pelajaran dan doa, dan bahwa segala kekuatan dan pertolongan hanya datang dari Tuhan.
Di tengah laju kehidupan modern yang serba cepat, tradisi menyekar menghadapi tantangan baru, terutama bagi generasi muda urban yang jauh dari kampung halaman dan tradisi leluhur. Namun, justru di tengah hiruk pikuk, menyekar menawarkan jeda spiritual yang sangat dibutuhkan.
Dalam konteks psikologi modern, menyekar dapat dilihat sebagai proses penanganan duka (grief processing). Mengunjungi makam memberikan penutupan (closure) yang penting bagi mereka yang ditinggalkan. Membersihkan makam secara fisik merupakan bentuk pengabdian yang mengubah rasa duka menjadi tindakan nyata, membantu penziarah memproses kehilangan dan menerima kenyataan kematian.
Menghadiri makam dan berbicara dalam hati kepada almarhum, meskipun tanpa respons, berfungsi sebagai katarsis emosional. Ini adalah cara yang sehat dan diakui secara budaya untuk mempertahankan ikatan emosional tanpa menolak kenyataan fisik bahwa almarhum telah tiada.
Di perkotaan, menyekar seringkali dilakukan secara massal menjelang hari raya (Idul Fitri dan Ramadhan), yang dapat menyebabkan kepadatan dan mengurangi kekhusyukan. Keluarga modern perlu mencari keseimbangan: menjaga tradisi menyekar secara rutin (tidak hanya saat hari besar) dan mengajarkan makna mendalam di balik setiap ritual kepada anak cucu.
Pelestarian tradisi menyekar juga berarti menjaga keberadaan kompleks pemakaman sebagai ruang terbuka hijau dan tempat bersejarah. Pengelolaan pemakaman yang baik, yang menyediakan akses mudah dan kebersihan terjamin, akan mendukung kelanjutan praktik ini.
Pada akhirnya, menyekar adalah tentang warisan nilai. Ketika seseorang menyekar, ia tidak hanya mendoakan almarhum, tetapi juga merenungkan warisan apa yang ingin ia tinggalkan bagi generasi berikutnya. Apakah ia ingin dikenang sebagai pribadi yang baik, yang beramal saleh, yang namanya harum seperti kembang di pusaranya? Tradisi menyekar memastikan bahwa kisah dan nilai-nilai leluhur tidak hilang ditelan zaman.
Menyekar adalah penegasan bahwa kita semua adalah bagian dari rantai tak terputus. Kita datang dari masa lalu yang diwakili oleh leluhur kita, dan kita akan menjadi masa lalu bagi keturunan kita. Kunjungan ke makam adalah pengakuan terhadap kontinuitas eksistensi ini, sebuah ritual yang menghubungkan debu dengan keabadian, dan yang fana dengan harapan abadi.
Menyekar lebih dari sekadar menabur bunga di atas makam. Ia adalah jalinan kuat antara spiritualitas, budaya, dan sejarah yang membentuk identitas bangsa Indonesia. Dari ritual pembersihan fisik makam hingga lantunan doa yang khusyuk, setiap langkah dalam menyekar mengandung pelajaran tentang kerendahan hati, bakti, dan penerimaan akan takdir kematian.
Dalam dunia yang terus berubah, tradisi menyekar tetap relevan. Ia menawarkan tempat berlindung bagi jiwa yang mencari makna, dan sebuah pengingat abadi bahwa hidup adalah persiapan menuju peristirahatan terakhir. Selama masyarakat Nusantara masih menghargai akar dan leluhurnya, aroma kembang dan lantunan doa di pusara akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritual kita.