Surat An-Nisa ayat ke-43 merupakan salah satu ayat fundamental dalam hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan syarat sahnya salat (Thaharah) dan kewajiban menjaga kesadaran penuh saat beribadah. Ayat ini tidak hanya menetapkan aturan mengenai bersuci dari hadas besar dan kecil, tetapi juga memainkan peran penting dalam sejarah pelarangan minuman keras. Pemahaman menyeluruh terhadap ayat ini memerlukan tinjauan tafsir, asbabun nuzul (sebab turunnya), dan implikasi fiqih yang sangat luas.
Ayat 43 dari Surah An-Nisa memiliki kaitan erat dengan proses bertahapnya pelarangan minuman keras (khamr) dalam Islam. Tahapan ini menunjukkan hikmah syariat yang tidak serta merta memutus kebiasaan yang telah mengakar dalam masyarakat Arab, melainkan melalui proses edukasi dan transisi spiritual.
Sebelum ayat ini turun, kebiasaan minum khamr masih umum. Ayat ini muncul sebagai tahap kedua dari tiga tahap pelarangan total:
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ayat ini turun setelah terjadi insiden di mana salah seorang sahabat, saat memimpin salat atau saat salat berjamaah, membaca ayat Al-Qur'an dalam keadaan tidak sadar penuh akibat sisa mabuk, sehingga terjadi kesalahan fatal dalam bacaan. Kejadian ini menegaskan bahwa ibadah tertinggi, yaitu salat, menuntut kehadiran hati, akal, dan lidah yang sinkron. Mustahil mencapai khusyuk jika akal tertutup.
Kebutuhan akan Kesadaran Penuh dalam Salat.
Kata sukara (سُكَارَىٰ) berarti mabuk. Namun, para ulama tafsir memperluas makna larangan ini. Fokus utama ayat ini adalah pada frasa: "hatta ta’lamu ma taqulun" (sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan).
Dengan demikian, larangan ini berlaku bagi setiap kondisi yang menghilangkan atau menutupi kesadaran, meskipun bukan disebabkan oleh minuman keras. Ini mencakup:
Perintah untuk ‘mengetahui apa yang diucapkan’ menyoroti dimensi spiritual salat. Salat bukanlah sekadar ritual fisik, melainkan dialog antara hamba dan Rabb-nya. Jika seseorang tidak mengerti apa yang dibaca (Al-Fatihah, tasbih, tasyahhud), maka inti dari ibadah tersebut hilang. Ayat ini mengajarkan bahwa kualitas ibadah jauh lebih penting daripada kuantitas atau sekadar pelaksanaannya secara fisik.
Perluasan Fiqih: Waktu Tunggu
Berdasarkan ayat ini, jika seseorang minum khamr atau zat lain yang memabukkan, ia harus menunggu hingga efek zat tersebut hilang sepenuhnya dan akalnya kembali normal sebelum diizinkan salat. Ini memastikan rukun khusyu’ (kekhusyukan) terpenuhi.
Bagian kedua dari ayat ini membahas kondisi hadas besar, yaitu junub (جُنُبًا). Junub adalah keadaan tidak suci yang mewajibkan mandi besar (ghusl) sebelum melakukan ibadah tertentu, terutama salat.
Keadaan junub disebabkan oleh dua hal utama:
Ayat ini secara eksplisit melarang mendekati salat dalam keadaan junub “illa ‘aabiri sabiilin hatta taghtasilu” (kecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi junub).
Dalam keadaan junub, terdapat larangan-larangan spesifik yang harus dipatuhi, yang disimpulkan dari ayat 43 dan hadis Nabi:
Pengecualian ini, ‘aabiri sabiilin (orang yang sekadar berlalu/melewati jalan), merujuk pada izin bagi orang junub untuk melewati masjid jika masjid itu adalah jalan pintas atau jika dia membutuhkan sesuatu dari dalamnya tanpa menetap. Pengecualian ini menguatkan larangan utama: orang junub tidak boleh berdiam atau menetap di dalam masjid hingga ia mandi junub. Masjid adalah tempat suci yang harus dijaga kebersihannya, baik secara fisik maupun spiritual.
Tayammum: Solusi Peringanan dalam Thaharah.
Ayat An-Nisa 43 beralih dari larangan menjadi solusi, memperkenalkan konsep Tayammum (bersuci dengan debu) sebagai rukhsah (keringanan) dalam kondisi tertentu. Ayat ini mencakup empat kondisi utama yang membolehkan Tayammum, baik untuk hadas kecil (wudu) maupun hadas besar (ghusl).
Jika penggunaan air dapat membahayakan kesehatan, memperlambat proses penyembuhan, atau menyebabkan penyakit bertambah parah, maka Tayammum diperbolehkan. Ini memerlukan keyakinan (bukan sekadar dugaan) yang didukung oleh pengalaman pribadi atau nasihat dokter Muslim yang terpercaya.
Contoh Fiqih Lanjut: Jika hanya sebagian tubuh yang sakit (misalnya, luka di tangan), maka wajib wudu pada anggota tubuh yang sehat, dan Tayammum hanya untuk bagian yang sakit atau hanya mengusap perban (masah ‘alal jaba’ir), tergantung mazhabnya.
Seseorang yang sedang bepergian (musafir) dan kesulitan mendapatkan air yang cukup untuk bersuci, diizinkan Tayammum. Kesulitan di sini diartikan sebagai air tidak ada, air ada tetapi terlalu jauh untuk dijangkau, atau air ada tetapi hanya cukup untuk kebutuhan vital (minum, memasak), sehingga air tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Ini adalah kondisi hadas kecil (batalnya wudu) setelah buang air besar atau kecil, yang mewajibkan wudu. Jika pada saat itu air tidak tersedia, Tayammum menjadi pengganti wudu.
Ayat ini merujuk pada hadas kecil (membatalkan wudu) atau hadas besar (menyebabkan junub), tergantung pada penafsiran kata lāmasstumu (لَامَسْتُمُ).
Perbedaan Tafsir Kata Lāmasstumu:
Semua kondisi di atas baru membolehkan Tayammum jika diikuti oleh syarat inti: “falam tajidu ma’an” (kemudian kamu tidak mendapatkan air). ‘Tidak mendapatkan air’ di sini mencakup:
Setelah kondisi Tayammum terpenuhi, ayat ini menjelaskan prosedurnya secara ringkas: “fatayammamū ṣa‘īdan ṭayyiban famsaḥū biwujūhikum wa’aydīkum” (maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu).
Kata sa‘īdan ṭayyiban (صَعِيدًا طَيِّبًا) diterjemahkan sebagai permukaan bumi yang baik atau suci. Para ulama sepakat bahwa ini tidak hanya merujuk pada debu murni, tetapi juga segala sesuatu yang merupakan jenis bumi:
Syarat utamanya adalah suci (tahir) dan tidak najis. Tidak sah bertayammum dengan debu yang kotor atau tercampur dengan material lain yang najis.
Meskipun ayat ini sangat ringkas (menyebut wajah dan tangan), hadis-hadis Nabi SAW memperjelas tata caranya. Terdapat variasi utama dalam jumlah pukulan tangan:
Mazhab-mazhab ini umumnya berpegangan pada hadis yang menyebutkan dua kali pukulan:
Mazhab Hanafi cenderung berpegangan pada hadis yang lebih ringkas, yang memungkinkan Tayammum hanya dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua tangan (biasanya hingga pergelangan tangan saja).
Ketelitian dalam mengikuti sunnah menunjukkan bahwa tujuan Tayammum adalah simbolis, yaitu memenuhi syarat kesucian (thaharah) untuk sahnya salat, menunjukkan kepatuhan terhadap perintah Allah, bukan membersihkan kotoran fisik seperti air.
Ayat An-Nisa 43 mengintegrasikan solusi Tayammum baik untuk hadas kecil (setelah buang air) maupun hadas besar (junub). Ini menegaskan bahwa Tayammum adalah pengganti sempurna bagi Wudu dan Ghusl ketika air tidak tersedia. Artinya, satu kali Tayammum dapat menggantikan mandi wajib jika seseorang junub dan tidak menemukan air.
Pentingnya Niat: Semua ulama sepakat bahwa niat (niyyah) adalah syarat sah Tayammum. Seseorang harus berniat menghilangkan hadas atau berniat agar diizinkan melakukan salat. Tanpa niat, Tayammum tidak sah.
Tayammum batal jika terjadi salah satu dari kondisi berikut:
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk membedah beberapa istilah kunci dalam ayat 43, yang menjadi dasar perselisihan fiqih.
Ketika Allah memerintahkan, “famsaḥū biwujūhikum wa’aydīkum” (sapulah mukamu dan tanganmu), terdapat keraguan mengenai batasan tangan yang diusap. Dalam ayat Tayammum, kata yad (tangan/أَيْدِيكُمْ) tidak diikuti oleh batasan ilal marāfiq (sampai siku) sebagaimana dalam ayat wudu (Al-Ma’idah: 6).
Argumentasi yang mendukung hanya sampai pergelangan tangan lebih kuat, karena jika Allah bermaksud sampai siku, Dia pasti akan menambahkannya seperti pada ayat Wudu. Ini menegaskan keringanan (rukhsah) dalam Tayammum.
Makna ‘Aabiri Sabiil diperluas oleh beberapa mufasir menjadi ‘musafir’. Jika diartikan musafir, maka ayat ini berarti: janganlah kamu salat dalam keadaan junub, kecuali kamu junub di perjalanan, dan tidak ada air, maka kamu bertayammum. Namun, pandangan yang lebih kuat dari sisi linguistik dan fiqih adalah pengecualian dari larangan berdiam di masjid bagi orang junub.
Kedalaman Fiqih: Jika masjid itu adalah musala di tengah padang pasir (masjid ghair jami’), apakah hukumnya sama dengan masjid jami’ (masjid utama)? Pada umumnya, larangan menetap berlaku untuk semua tempat yang ditujukan sebagai masjid, untuk menjaga kesuciannya.
Ayat ini adalah manifestasi luar biasa dari keseimbangan syariat Islam antara tuntutan kesucian, realitas kehidupan manusia, dan nilai ibadah itu sendiri. Ada beberapa hikmah besar yang bisa ditarik:
Pelarangan salat saat mabuk menunjukkan bahwa akal adalah karunia yang harus dijaga. Salat yang sah harus lahir dari kesadaran penuh, memahami makna, dan menghayati kehadiran Tuhan. Syariat memprioritaskan kualitas di atas formalitas.
Hubungan dengan Kesehatan Mental: Ayat ini bisa menjadi dasar fiqih untuk memberikan keringanan bagi individu yang menderita penyakit mental parah yang menghilangkan kesadaran. Ibadah mereka baru diwajibkan ketika kesadaran penuh (sehat akal) kembali.
Tahapan pelarangan khamr mengajarkan metode dakwah yang bijak dan bertahap. Larangan salat saat mabuk adalah langkah pencegahan (sadd adz-dzari'ah) untuk menghentikan kebiasaan yang bertentangan dengan inti Islam, sebelum akhirnya diharamkan total. Ini adalah pelajaran penting dalam reformasi sosial.
Thaharah (kesucian) adalah pintu masuk kepada ibadah formal. Tanpa kesucian fisik, ibadah tidak diterima. Ini menggarisbawahi pentingnya kebersihan dan kemurnian, yang bukan hanya tuntutan ritual, tetapi juga kebersihan lahiriah dan batiniah. Keyakinan bahwa mandi besar adalah penyucian total dari hadas menunjukkan bahwa penyucian ini adalah pembaruan spiritual sebelum berdiri di hadapan Allah.
Thaharah: Kunci untuk Mendekat kepada Allah.
Penetapan Tayammum adalah bukti fleksibilitas dan kemudahan (yusrun) dalam Islam. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan. Jika air—sarana bersuci yang ideal—tidak tersedia atau berbahaya, Allah menyediakan pengganti yang simbolis. Ayat ditutup dengan: “Innallaha kana ‘afuwwan ghafura” (Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), yang menegaskan bahwa keringanan ini adalah bagian dari rahmat dan kasih sayang-Nya.
Pengampunan ini berlaku bagi mereka yang mungkin telah melakukan kesalahan dalam ibadah sebelum ayat ini turun, atau bagi mereka yang dalam kesulitan (safar, sakit) dan menggunakan rukhsah Tayammum, karena Allah memahami keterbatasan dan niat tulus hamba-Nya.
Tayammum, meskipun merupakan pengganti, memiliki perbedaan mendasar dari Wudu (yang diatur lebih lanjut dalam Al-Maidah: 6). Pemahaman perbedaan ini sangat krusial dalam praktik ibadah sehari-hari.
Wudu membersihkan hadas secara hakiki. Tayammum membersihkan secara hukum atau simbolis. Inilah mengapa ketika air ditemukan, kewajiban bersuci dengan air kembali, dan Tayammum menjadi batal secara otomatis.
Di era modern, kondisi sakit dan ketiadaan air mengalami perkembangan interpretasi yang perlu diakomodasi oleh fiqih.
Bagi pasien yang memiliki kondisi kulit yang sangat sensitif atau luka bakar, di mana air (terutama air yang mengandung klorin atau zat kimia) dapat memperburuk kondisi, Tayammum menjadi sah. Keputusan ini harus didasarkan pada laporan medis atau keyakinan kuat. Syariat bertujuan menjaga jiwa (hifzhun nafs) lebih dulu daripada ritual.
Dalam kondisi musafir yang hanya menemukan air dalam kemasan yang mahal, jika air tersebut dibutuhkan untuk minum, maka air tidak dianggap ‘tersedia’ untuk wudu, dan Tayammum diperbolehkan. Batasan harga air yang dianggap ‘terlalu mahal’ bervariasi antara mazhab, tetapi umumnya disepakati jika harganya melebihi harga pasar yang wajar dan memberatkan.
Seorang musafir yang junub di tempat dengan suhu sangat dingin, di mana mandi (ghusl) berisiko menyebabkan kematian atau sakit parah, juga diperbolehkan Tayammum, meskipun ia memiliki air. Keadaan ini disamakan dengan kondisi sakit, karena bahaya yang ditimbulkan oleh air. Dalil penguatnya adalah hadis tentang Amr bin Ash yang diizinkan Tayammum karena takut mati kedinginan.
Ayat An-Nisa 43 adalah salah satu pilar utama yang menopang fiqih thaharah dan salat. Ia menetapkan aturan ketat mengenai kesadaran, menegaskan pentingnya penyucian dari hadas besar, dan pada saat yang sama, memberikan jalan keluar yang penuh rahmat (Tayammum) ketika kesulitan muncul.
Ayat ini mengajarkan umat Muslim bahwa Islam adalah agama yang realistis dan praktis. Ketika ideal tidak dapat dicapai (ketiadaan air), yang mungkin masih harus dilakukan (Tayammum) tetap sah, asalkan dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai tuntunan. Penutup ayat, "Innallaha kana ‘afuwwan ghafura," berfungsi sebagai jaminan ilahi bahwa keringanan ini diterima dan dipersiapkan bagi hamba-Nya sebagai bukti kasih sayang dan pengampunan-Nya yang tak terbatas.
Ketelitian dalam menjaga thaharah, baik melalui wudu, ghusl, maupun Tayammum, adalah cerminan dari kesungguhan seorang mukmin dalam mempersiapkan diri untuk berdiri di hadapan Sang Pencipta, memastikan bahwa ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang berkualitas, lahir dari jiwa yang suci dan akal yang sadar.
***