(Ilustrasi perlindungan dan pengelolaan harta)
Surah An Nisa, yang berarti wanita, tidak hanya fokus pada hukum pernikahan dan warisan, tetapi juga secara mendalam membahas fondasi masyarakat yang adil, terutama dalam hal ekonomi dan pengelolaan kekayaan. Salah satu ayat kunci yang menetapkan prinsip-prinsip stewardship (perwalian) dan perlindungan terhadap kaum yang rentan secara finansial adalah ayat kelima. Ayat ini merupakan cetak biru (blueprint) syariah mengenai bagaimana harta benda, yang merupakan urat nadi kehidupan, harus diperlakukan, terutama ketika berada di bawah pengawasan orang lain.
Ayat ini menetapkan tiga instruksi utama yang saling terkait bagi wali (pengampu atau pengawas) harta: larangan menyerahkan harta kepada *safih*, kewajiban menafkahi mereka, dan keharusan bersikap baik dalam perkataan.
Untuk memahami kedalaman hukum yang terkandung dalam ayat ini, penting untuk menelaah makna leksikal dari setiap istilah kunci dalam konteks bahasa Arab Al-Qur'an dan penerapannya dalam Fiqh.
Kata As-Sufaha' adalah bentuk jamak dari kata *safih*. Secara bahasa, *safih* berarti orang yang ringan akalnya, bodoh, atau dungu. Dalam konteks syariat dan ekonomi, istilah ini merujuk pada tiga kategori utama individu yang belum memiliki kecakapan penuh dalam mengelola harta:
Ayat ini secara spesifik ditujukan untuk melindungi harta mereka dari penyalahgunaan oleh diri mereka sendiri atau eksploitasi oleh pihak lain.
Kata ini berarti "harta kalian." Para ulama tafsir, seperti Mujahid dan Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa meskipun konteks kalimatnya adalah "harta kalian," makna sebenarnya adalah "harta mereka (anak yatim/safih) yang berada di bawah pengawasan kalian." Namun, Tafsir Ibnu Katsir juga mencatat pandangan bahwa kata 'Amwalakum' dapat berarti bahwa harta milik *safih* secara kolektif dianggap sebagai 'harta masyarakat' karena kerusakan harta individu akan mempengaruhi stabilitas ekonomi sosial secara keseluruhan. Harta adalah pilar kehidupan, dan menjaganya adalah kewajiban sosial.
Qiyaman (atau *Qiwam* dalam qiraat lain) berarti 'sandaran hidup,' 'penopang,' atau 'pokok kehidupan.' Allah menjadikan harta sebagai tiang penyangga keberlangsungan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif. Penekanan pada kata *qiyaman* menunjukkan bahwa harta bukan hanya alat transaksi, tetapi fondasi vital yang harus dijaga dari kerusakan. Ayat ini menegaskan bahwa merusak harta adalah merusak pilar kehidupan itu sendiri.
Ini berarti 'perkataan yang baik,' pantas, dan sesuai dengan adab serta syariat. Ini mencakup janji yang baik (tentang pengembalian harta setelah mereka mencapai *rushd*), nasihat yang santun, dan penghindaran dari kata-kata kasar atau menghina, meskipun si *safih* mungkin bersikeras meminta hartanya. Ayat ini mengajarkan bahwa pengelolaan finansial harus dibarengi dengan etika sosial dan psikologis.
Ayat 5 dari Surah An Nisa diturunkan dalam konteks perlindungan terhadap hak-hak anak yatim dan mereka yang lemah dalam masyarakat awal Islam. Ayat sebelumnya (Ayat 2-4) berbicara tentang kewajiban menyerahkan hak anak yatim ketika mereka mencapai usia nikah, sementara Ayat 5 bertindak sebagai peringatan keras: jangan menyerahkan harta tersebut jika kematangan akal (*rushd*) belum tercapai.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah melarang para wali (walaupun mereka adalah kerabat) untuk menyerahkan harta kepada *safaha'* karena kekhawatiran bahwa mereka akan menyia-nyiakannya melalui pengeluaran yang tidak bijaksana. Allah memerintahkan para wali untuk menjaga harta tersebut dan menggunakannya untuk menafkahi serta memberi pakaian kepada pemiliknya (si *safih*) dengan cara yang wajar dan tidak berlebihan.
Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah kewajiban yang berulang: pertama, jaga harta; kedua, penuhi kebutuhan dasar; ketiga, jaga perasaan si *safih* dengan perkataan yang baik, memberikan harapan bahwa harta akan dikembalikan saat kecakapan terbukti.
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya yang berorientasi hukum, menguraikan Ayat 5 sebagai dasar penetapan perwalian (hajar) dalam syariat. Beliau membahas secara ekstensif siapa yang berhak menjadi *safih* dan kapan perwalian itu dicabut. Beliau menyoroti dua syarat utama untuk diizinkannya seseorang mengelola hartanya sendiri:
Al-Qurtubi juga memperkuat pandangan bahwa harta milik *safih* tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Jika si *safih* adalah yatim, hartanya wajib diinvestasikan dan dikembangkan oleh wali, asalkan investasinya aman (*mudharabah* atau sejenisnya) agar harta tersebut tidak habis oleh nafkah harian.
Ayat 5 dari Surah An Nisa adalah sumber utama dalam Fiqh Muamalat (hukum transaksi) mengenai perwalian dan pembatasan hukum (hajar). Diskusi fiqhiyyah yang muncul dari ayat ini sangatlah luas dan mendalam, menyentuh berbagai mazhab hukum.
Ayat "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (safih) harta kalian..." adalah dalil utama pensyariatan *Hajar*. *Hajar* adalah pembatasan hak seseorang untuk bertindak hukum atas hartanya demi menjaga harta tersebut dari kerugian. *Hajar* diterapkan pada:
Kecakapan hukum dalam Islam tidak hanya ditentukan oleh usia biologis (baligh) tetapi juga oleh kecakapan finansial (*rushd*). *Rushd* didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengelola hartanya dengan bijaksana, menghindari pemborosan, dan mampu membedakan antara keuntungan dan kerugian dalam transaksi.
Ayat ini secara implisit menuntut adanya ujian kecakapan. Walaupun ayat ini mendahului An Nisa ayat 6 (yang menyebutkan ujian yatim), An Nisa 5 menegaskan bahwa *rushd* adalah syarat mutlak. Jika seseorang telah baligh tetapi masih *safih* (boros), perwaliannya harus dilanjutkan demi kemaslahatan harta tersebut. Ini adalah pandangan yang dipegang kuat oleh Mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Perbedaan mazhab muncul di sini:
Kewajiban wali tidak hanya terbatas pada menjaga harta, tetapi juga pada penggunaan harta tersebut untuk kepentingan si *safih*. Bagian "Warzuquhum fiha wa iksuhum" (Berilah mereka belanja/nafkah dan pakaian di dalamnya) menunjukkan bahwa:
Perintah "wa qulu lahum qaulan ma'rufa" (dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik) mencerminkan dimensi etika dan psikologis yang mendalam dalam syariat Islam. Islam tidak memisahkan antara keadilan ekonomi dan keadilan moral.
Orang yang berada di bawah perwalian (terutama anak yatim atau pemboros dewasa) sering kali merasa frustrasi, dicurigai, atau tidak dihargai. Perkataan yang baik berfungsi sebagai penenang. Ini bisa berupa:
Seorang wali mengelola harta milik orang lain, sebuah tugas yang menantang. Terkadang, si *safih* menuntut harta secara tidak masuk akal. Wali diperintahkan untuk merespons tuntutan ini dengan kesabaran dan kelembutan. Ini adalah bentuk *ihsan* (kebajikan) yang menyempurnakan keadilan dalam pengelolaan harta.
Ayat 5 Surah An Nisa tidak hanya mengatur hubungan antara wali dan *safih*, tetapi juga meletakkan prinsip-prinsip universal bagi tata kelola ekonomi dan sosial dalam Islam.
Penegasan bahwa harta adalah *qiyam* (penopang kehidupan) memberikan status hukum yang sangat tinggi terhadap perlindungan kekayaan. Islam memandang harta yang sah sebagai salah satu dari lima kebutuhan pokok yang wajib dilindungi (*maqashid syariah*): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (*Hifz al-Mal*).
Oleh karena itu, tindakan yang menyebabkan kerusakan harta, baik melalui kejahatan (pencurian) maupun melalui kecerobohan (pemborosan), dianggap sebagai pelanggaran terhadap fondasi masyarakat.
Ayat ini menetapkan mekanisme pendelegasian kekuasaan dan tanggung jawab. Wali bertindak sebagai pemegang amanah. Kewajiban wali adalah akuntabilitas total. Mereka harus mencatat semua pemasukan dan pengeluaran, dan pada saat penyerahan harta, mereka harus mampu mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang diambil selama masa perwalian.
Konsep pengelolaan harta *safih* mirip dengan struktur hukum modern seperti perwalian (trust) atau wali amanat. Dalam konteks modern, Ayat 5 menjadi dasar hukum untuk melindungi:
Ayat 5 sangat erat kaitannya dengan ayat berikutnya (An Nisa: 6) yang memerintahkan uji coba (ibtila') terhadap anak yatim sebelum harta diserahkan. Uji coba ini perlu dianalisis secara mendalam untuk memenuhi syarat *rushd* yang ditetapkan oleh Ayat 5.
Para fuqaha (ahli fiqh) menjelaskan bahwa uji coba kecakapan harus dilakukan secara bertahap dan mencakup dua dimensi:
Jika, setelah mencapai baligh, si anak yatim/safih menunjukkan kecakapan dalam mengelola uang, maka *rushd* telah terbukti, dan harta wajib diserahkan. Namun, jika ia masih boros, perwalian harus dilanjutkan sesuai dengan prinsip yang ditetapkan dalam Ayat 5, yaitu menjaga harta yang merupakan *qiyam* kehidupan.
Berdasarkan ayat ini, menyerahkan harta yang banyak kepada *safih* (orang yang belum cakap) adalah haram secara mutlak. Tindakan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah Allah dan perusakan pilar ekonomi. Jika seorang wali melanggar perintah ini dan menyerahkan harta, dan harta itu kemudian dirusak oleh si *safih*, sebagian ulama menyatakan bahwa wali tersebut ikut bertanggung jawab atas kerugian tersebut, tergantung pada tingkat kelalaiannya dalam menjalankan amanah.
Dalam masyarakat modern, konsep *safahat* (kebodohan finansial) meluas ke berbagai bentuk pemborosan yang merusak. Ayat 5 memberikan landasan untuk intervensi hukum terhadap:
Seseorang yang kecanduan judi, narkotika, atau kebiasaan konsumtif ekstrem yang menyebabkan harta bendanya habis dalam waktu singkat dapat dikategorikan sebagai *safih* modern. Meskipun ia dewasa, perilakunya merusak harta yang dijamin oleh syariat. Berdasarkan Ayat 5, pengadilan Islam memiliki wewenang untuk menetapkan *hajar* (pembatasan hak) terhadap orang tersebut demi melindungi sisa hartanya, yang merupakan hak keturunan dan masyarakat.
Jika seseorang memiliki kebiasaan mengambil utang dalam jumlah besar (bukan untuk investasi) hanya untuk memenuhi keinginan sementara, yang mana hal ini membahayakan stabilitas keluarganya, hal ini dapat dianggap sebagai bentuk *safahat*. Konsep *qiyaman* menuntut agar harta digunakan untuk stabilitas, bukan kehancuran.
Ayat 5 juga dapat diterapkan pada entitas yang bertindak sebagai wali kolektif. Lembaga keuangan, yayasan, atau pemerintah yang mengelola dana publik atau dana perwalian (seperti dana pensiun) harus beroperasi di bawah prinsip *qiyaman*. Pengelolaan harus konservatif, etis, dan bertujuan untuk menjaga pokok harta, bukan menghabiskannya untuk kepentingan pribadi atau spekulasi yang berisiko tinggi.
Perintah "Warzuquhum fiha wa iksuhum" (Berilah mereka nafkah dan pakaian di dalamnya) memerlukan elaborasi mengenai standar hidup yang layak.
Nafkah harus didasarkan pada *ma'ruf* (kebiasaan yang baik) dan kondisi harta si *safih*. Para ulama sepakat bahwa standar nafkah ini harus disesuaikan. Jika si *safih* adalah anak dari keluarga kaya raya, ia berhak mendapatkan nafkah yang lebih baik daripada anak dari keluarga miskin. Prinsipnya adalah menjaga martabat si *safih* tanpa melampaui batas kewajaran sehingga menghabiskan harta secara cepat.
Ayat ini secara jelas memerintahkan nafkah untuk si *safih*. Lalu, bagaimana dengan upah wali? Ayat 6 dari An Nisa membahas hal ini. Jika wali adalah orang kaya, ia harus mengurus harta tersebut tanpa mengambil upah. Jika ia miskin, ia boleh mengambil upah yang wajar (*bil ma'ruf*). Ini menekankan bahwa nafkah dan upah adalah dua hal yang berbeda. Nafkah adalah hak *safih* atas hartanya; upah adalah hak wali atas jerih payahnya.
Surah An Nisa Ayat 5 adalah salah satu pilar utama yang membentuk etika dan hukum ekonomi dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa pengelolaan harta adalah sebuah amanah suci, bukan hak mutlak yang bebas tanpa batas.
Pelajaran utama yang dapat ditarik secara menyeluruh adalah:
Dengan menerapkan hukum yang terkandung dalam An Nisa Ayat 5, masyarakat Islam berupaya menciptakan tatanan ekonomi yang adil, di mana kaum yang lemah (baik karena usia, mental, maupun kebiasaan buruk) tetap terjamin kebutuhan dasarnya dan hartanya tetap terjaga hingga mereka mampu mengurusnya sendiri.
Keagungan syariat tercermin dalam detailnya: menjaga uang memerlukan hati yang lembut dan perkataan yang baik. Ini adalah kombinasi unik antara prinsip ekonomi yang ketat dan etika sosial yang humanis, memastikan bahwa kekayaan berfungsi sebagai berkah dan bukan sebagai sumber malapetaka.
Ayat ini terus relevan sepanjang zaman, mengingatkan setiap orang yang memegang kekuasaan—baik sebagai orang tua, wali, atau pemimpin negara—bahwa harta benda bukanlah untuk dihamburkan, melainkan untuk dikelola demi kemaslahatan, stabilitas, dan kesinambungan kehidupan umat manusia.
Kewajiban untuk menyediakan nafkah dan pakaian dari harta tersebut mencerminkan keseimbangan antara konservasi dan konsumsi yang bertanggung jawab. Wali diinstruksikan untuk menggunakan harta yang ada—namun hanya dalam batas kebutuhan—sehingga *safih* dapat hidup layak tanpa membahayakan masa depan finansialnya. Tugas ini menuntut kecerdasan ganda: kecerdasan finansial untuk mengembangkan harta dan kecerdasan emosional untuk memperlakukan si *safih* dengan penuh penghormatan dan kasih sayang.
***
Elaborasi Mendalam Fiqh: Tafsiran Hukum Mazhab Mengenai Safahat
Salah satu poin perselisihan terbesar di kalangan fuqaha terkait Ayat 5 adalah: Apakah *hajar* (pembatasan) dapat dikenakan kepada orang dewasa yang sudah baligh tetapi boros (*safih*)?
Pandangan Mazhab Hanafi (Tidak Dibatasi Setelah Usia Tertentu):
Mazhab Hanafi cenderung membatasi masa *hajar* karena *safah* setelah seseorang mencapai usia tertentu (umumnya 25 tahun, atau ketika ia mulai mandiri). Dalil mereka adalah bahwa tujuan *hajar* adalah untuk mendidik, dan jika setelah usia tersebut ia masih boros, pendidikan telah gagal, dan ia harus menanggung konsekuensi tindakannya sendiri. Mereka berpendapat, memperpanjang *hajar* tanpa batas akan merampas hak kebebasan bertindak (*tasharruf*) seseorang yang sudah dewasa. Mereka menganggap bahwa perintah dalam ayat ini lebih berfokus pada anak yatim yang belum baligh.
Pandangan Jumhur (Mayoritas Ulama: Syafi'i, Maliki, Hanbali - Dibatasi Selama Safah Berlangsung):
Jumhur ulama menolak batasan usia tetap. Mereka berargumen, teks Al-Qur'an menggunakan istilah umum As-Sufaha', yang mencakup siapa saja yang belum sempurna akalnya dalam mengelola harta, tanpa memandang usia. Mereka berpegang teguh pada dua syarat yang terpisah: baligh (usia) dan *rushd* (kecakapan). Jika kecakapan hilang karena pemborosan, *hajar* harus diberlakukan. Dalil mereka adalah Ayat 5 yang secara eksplisit menyebutkan harta adalah *qiyam* (penopang), dan jika seseorang dewasa merusak *qiyam*-nya, masyarakat dan keluarganya (terutama ahli waris) berhak dilindungi. Ini adalah tindakan pencegahan kerusakan harta yang diutamakan oleh syariat.
Penetapan seseorang sebagai *safih* yang memerlukan *hajar* tidak boleh dilakukan oleh individu, melainkan harus melalui otoritas hukum (*qadhi* atau hakim). Prosedur ini penting untuk menjamin keadilan dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan wali. Ketika seorang *safih* mengajukan gugatan untuk dicabut *hajar*-nya, hakim wajib melakukan penyelidikan dan ujian kecakapan. Jika terbukti *rushd*, hakim wajib mencabut *hajar* dan memerintahkan penyerahan harta, sebagaimana diisyaratkan oleh kewajiban *qaulan ma'rufa* (memberi harapan baik) dalam Ayat 5.
Jika si *safih* melakukan transaksi jual beli atau hibah saat ia berada di bawah *hajar* yang sah, transaksi tersebut secara umum dianggap batal atau tidak sah. Tujuannya adalah untuk menjaga harta. Namun, terdapat pengecualian yang rumit, seperti:
Ayat 5 menjadi payung hukum bagi seluruh bab tentang pembatalan transaksi orang yang inkompeten, demi menjamin kelangsungan pilar kehidupan (*qiyam*).
***
Integrasi Etika dan Ekonomi: Mengelola Amanah dalam Jangka Panjang
Perintah dalam Ayat 5 melampaui sekadar aturan hukum; ia menciptakan sistem pengawasan yang berpusat pada kepedulian. Ini adalah manajemen risiko sosial dan finansial yang menyeluruh.
Meskipun ayat ini melarang pemborosan oleh *safih*, ia juga secara implisit memperingatkan wali agar tidak kikir. Kewajiban Warzuquhum wa iksuhum harus dipenuhi dengan standar yang layak. Jika seorang wali menahan nafkah yang cukup atau memberikan pakaian yang usang padahal harta *safih* berlimpah, wali tersebut telah melanggar perintah Allah. Tafsir menunjukkan bahwa seorang wali yang lalai atau kikir sama berbahayanya bagi harta tersebut dengan *safih* itu sendiri.
Jika harta *safih* adalah uang tunai, para ulama menekankan agar wali tidak membiarkannya menganggur, karena zakat (jika mencapai nisab) akan mengikisnya setiap tahun. Selain itu, inflasi akan mengurangi nilainya. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kelolalah harta anak yatim agar tidak habis dimakan zakat." Meskipun hadis ini fokus pada zakat, prinsip yang lebih luas adalah menjaga *qiyam* harta. Oleh karena itu, wali yang bertanggung jawab (yang bertindak sesuai Ayat 5) wajib menginvestasikan harta tersebut dalam usaha yang aman dan halal untuk menjamin keberlanjutan nafkah dan pertumbuhan pokok harta.
***
An Nisa 5 dalam Konteks Kewarisan Islam
Ayat ini memiliki hubungan fundamental dengan hukum warisan. Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris yang masih *safih* (anak kecil, atau dewasa yang boros), harta warisan tersebut tidak dapat serta-merta diserahkan. Harta tersebut harus segera ditempatkan di bawah perwalian (wali *mal*), yang tugasnya diatur secara tegas oleh An Nisa 5. Tanpa perwalian yang tegas, harta tersebut yang seharusnya menjadi *qiyam* bagi ahli waris akan lenyap, meruntuhkan stabilitas ekonomi keluarga yang ditinggalkan.
Oleh karena itu, kewajiban seorang Muslim yang berharta menjelang wafat adalah memastikan bahwa jika ia memiliki ahli waris yang *safih*, ia telah menunjuk seorang wali yang jujur, amanah, dan kompeten. Jika tidak ada penunjukan, kewajiban ini secara otomatis jatuh kepada wali hakim (pengadilan) untuk memastikan Ayat 5 terlaksana.
Prinsip perlindungan harta bagi yang lemah dalam ayat ini menunjukkan betapa Islam sangat peduli terhadap transfer kekayaan antar generasi dan kesinambungan kehidupan ekonomi keluarga. Ini adalah sistem yang dirancang untuk mencegah kemiskinan dan kerentanan akibat ketidakmampuan, bukan akibat ketiadaan harta.
Ayat 5 adalah deklarasi abadi tentang pentingnya kepemimpinan yang bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya, sebuah amanah dari Allah yang harus dilaksanakan dengan keadilan, kehati-hatian, dan kasih sayang yang tulus.
Pelaksanaan semua perintah dalam ayat ini—mulai dari larangan penyerahan harta, kewajiban nafkah, hingga etika berkomunikasi—menegaskan bahwa syariat Islam adalah sistem yang terintegrasi antara hukum yang keras (melindungi harta) dan etika yang lembut (memperlakukan manusia dengan baik). Harta adalah alat; manusia adalah tujuan. Tugas wali adalah menjamin alat tersebut berfungsi maksimal untuk kesejahteraan si *safih*.
Dalam ringkasan besar, Surah An Nisa Ayat 5 adalah fondasi etos kerja dan manajemen kekayaan dalam Islam, yang menempatkan perlindungan aset di atas kepentingan individu yang belum cakap. Ini adalah manifestasi sempurna dari keadilan ilahi dalam hal kepemilikan dan perwalian.
***