Surah Al-Qiyamah

Penegasan Hari Kebangkitan dan Kondisi Manusia

Surah Al-Qiyamah (Hari Kiamat) adalah surah ke-75 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 40 ayat, dan tergolong sebagai surah Makkiyah. Dinamakan Al-Qiyamah karena surah ini dibuka dengan sumpah Allah atas nama Hari Kiamat, yang menjadi tema sentral dari keseluruhan isinya. Surah ini dengan tegas membantah keraguan kaum kafir terhadap adanya hari kebangkitan dan melukiskan secara gamblang kedahsyatan peristiwa tersebut, serta menggambarkan dua kondisi manusia yang sangat kontras di akhirat: wajah orang-orang beriman yang berseri-seri dan wajah orang-orang kafir yang muram durja.

Melalui argumentasi yang logis dan penggambaran yang kuat, Surah Al-Qiyamah mengajak manusia untuk merenungkan tujuan penciptaannya, konsekuensi dari perbuatannya, dan kepastian akan adanya hari pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Mizan Al-Haqq
Ilustrasi abstrak timbangan keadilan (mizan) pada hari perhitungan.

Sumpah Agung dan Bantahan Terhadap Keraguan (Ayat 1-4)

Bagian awal surah ini dibuka dengan dua sumpah agung dari Allah SWT. Sumpah ini bukan untuk meyakinkan Diri-Nya, tetapi untuk menegaskan sebuah kebenaran mutlak kepada manusia yang sering kali lalai dan ragu. Allah membantah secara telak anggapan bahwa manusia yang telah hancur menjadi tulang belulang tidak mungkin dapat dibangkitkan kembali.

لَآ أُقْسِمُ بِيَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ

lā uqsimu biyaumil-qiyāmah

1. Aku bersumpah dengan hari Kiamat,

Ayat ini dimulai dengan partikel "lā" yang sering kali diterjemahkan sebagai "tidak". Namun, para ulama tafsir menjelaskan bahwa dalam konteks ini, "lā" berfungsi sebagai "lā an-nāfiyah lizā'idah" yang justru memperkuat sumpah, seolah-olah mengatakan "Sungguh, Aku benar-benar bersumpah." Ini adalah gaya bahasa Arab yang tinggi untuk memberikan penekanan luar biasa. Allah bersumpah dengan Hari Kiamat itu sendiri, sebuah peristiwa yang begitu dahsyat dan pasti, untuk menegaskan keberadaannya. Menggunakan sesuatu sebagai objek sumpah menunjukkan betapa agung dan pentingnya hal tersebut di sisi Allah.

وَلَآ أُقْسِمُ بِٱلنَّفْسِ ٱللَّوَّامَةِ

wa lā uqsimu bin-nafsil-lawwāmah

2. dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).

Sumpah kedua adalah dengan "an-nafsil-lawwāmah" atau jiwa yang amat menyesali. Jiwa ini memiliki dua makna yang saling melengkapi. Pertama, ia adalah jiwa orang beriman yang senantiasa mencela dirinya sendiri atas setiap kekurangan dalam ketaatan kepada Allah dan menyesali setiap perbuatan dosa yang telah dilakukannya. Jiwa ini selalu merasa kurang dalam beribadah dan terus berintrospeksi. Kedua, ia juga merujuk pada jiwa setiap manusia, baik mukmin maupun kafir, yang pada Hari Kiamat nanti akan mencela dan menyesali dirinya sendiri. Orang kafir akan menyesali kekafirannya, dan orang beriman pun akan menyesal, mengapa ia tidak berbuat lebih banyak kebaikan di dunia. Sumpah dengan jiwa ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dan introspeksi diri sebagai bukti fitrah manusia yang mengakui adanya baik dan buruk, yang puncaknya adalah penyesalan di hari perhitungan.

أَيَحْسَبُ ٱلْإِنسَٰنُ أَلَّن نَّجْمَعَ عِظَامَهُۥ

a yaḥsabul-insānu allan najma'a 'iẓāmah

3. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?

Setelah dua sumpah yang agung, Allah mengajukan pertanyaan retoris yang menyindir kesombongan dan keterbatasan akal manusia. Pertanyaan ini ditujukan kepada orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan. Mereka, dengan logika dangkal mereka, berpikir bahwa mustahil bagi tulang-belulang yang telah hancur lebur dan menyatu dengan tanah untuk dikumpulkan dan dihidupkan kembali. Pertanyaan ini membongkar keraguan mendasar mereka, yang berakar pada ketidakmampuan mereka memahami kekuasaan Allah yang tak terbatas.

بَلَىٰ قَٰدِرِينَ عَلَىٰٓ أَن نُّسَوِّىَ بَنَانَهُۥ

balā qādirīna 'alā an nusawwiya banānah

4. Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.

Allah menjawab keraguan mereka dengan jawaban yang telak dan penuh keajaiban. "Balā" (Bukan demikian!) adalah sanggahan tegas. Allah tidak hanya mampu mengumpulkan tulang-belulang yang besar, tetapi bahkan kuasa untuk menyusun kembali "banānahu" (ujung jari jemarinya) dengan sempurna. Pemilihan kata "banān" sangat luar biasa dan merupakan salah satu mukjizat ilmiah Al-Qur'an. Ujung jari adalah bagian tubuh yang sangat kecil dan rumit, namun memiliki sidik jari yang unik bagi setiap individu di seluruh dunia, sepanjang sejarah. Allah menegaskan bahwa Dia mampu menciptakan kembali detail yang paling rumit dan unik dari setiap manusia, apalagi hanya sekadar mengumpulkan tulang-tulang besar. Ini adalah bukti kekuasaan-Nya yang absolut dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Sifat Manusia dan Kedahsyatan Hari Kiamat (Ayat 5-15)

Bagian ini mengupas akar dari pengingkaran manusia, yaitu kecenderungannya untuk terus berbuat dosa tanpa mau dihalangi oleh adanya hari pertanggungjawaban. Kemudian, Allah menggambarkan dengan sangat jelas betapa mengerikannya peristiwa Kiamat yang mereka pertanyakan, di mana tidak ada tempat untuk lari atau berlindung.

بَلْ يُرِيدُ ٱلْإِنسَٰنُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُۥ

bal yurīdul-insānu liyafjura amāmah

5. Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus.

Ayat ini menyingkap motivasi psikologis di balik pengingkaran terhadap Hari Kiamat. Ini bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena keinginan hawa nafsu. Manusia ingin "liyafjura amāmah," yaitu terus menerus berbuat dosa dan maksiat di sepanjang sisa hidupnya. Adanya keyakinan akan hari pembalasan menjadi penghalang bagi kebebasan syahwatnya. Oleh karena itu, cara termudah untuk membebaskan diri dari rasa bersalah dan tanggung jawab adalah dengan mengingkari adanya hari tersebut. Ini adalah bentuk justifikasi diri agar bisa hidup sesuka hatinya tanpa ada konsekuensi.

يَسْـَٔلُ أَيَّانَ يَوْمُ ٱلْقِيَٰمَةِ

yas`alu ayyāna yaumul-qiyāmah

6. Ia bertanya: "Bilakah hari Kiamat itu?"

Pertanyaan "Kapan Hari Kiamat itu?" yang dilontarkan oleh para pengingkar bukanlah pertanyaan tulus untuk mencari tahu, melainkan sebuah bentuk ejekan, pengingkaran, dan anggapan bahwa hal itu mustahil terjadi. Mereka menantang seolah-olah berkata, "Jika memang benar ada, buktikan kapan akan terjadi!" Ini adalah cerminan dari kesombongan dan kebodohan mereka, karena waktu terjadinya Kiamat adalah rahasia Allah yang tidak akan pernah diungkap kepada makhluk-Nya.

فَإِذَا بَرِقَ ٱلْبَصَرُ

fa iżā bariqal-baṣar

7. Maka apabila mata terbelalak (ketakutan),

Allah tidak menjawab pertanyaan "kapan", tetapi menjawab "bagaimana" kondisi saat Kiamat itu tiba. Ini adalah jawaban yang jauh lebih penting. Tanda pertama adalah "bariqal-baṣar," yaitu ketika mata terbelalak karena ketakutan yang luar biasa. Pandangan menjadi silau, nanar, dan bingung menyaksikan kengerian yang terjadi di hadapannya. Semua yang dilihatnya adalah peristiwa-peristiwa dahsyat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, membuat mata tak berkedip karena syok dan ngeri.

وَخَسَفَ ٱلْقَمَرُ

wa khasafal-qamar

8. dan apabila bulan telah hilang cahayanya,

Tatanan alam semesta yang selama ini berjalan teratur mulai runtuh. Bulan, yang menjadi sumber cahaya di malam hari dan penanda waktu, akan kehilangan cahayanya. "Khasafa" berarti gerhana atau hilangnya cahaya secara total. Ini menandakan dimulainya kekacauan kosmik yang masif. Keindahan malam yang diterangi cahaya rembulan akan sirna, digantikan oleh kegelapan dan kengerian.

وَجُمِعَ ٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ

wa jumi'asy-syamsu wal-qamar

9. dan matahari dan bulan dikumpulkan,

Puncak kekacauan kosmik adalah ketika matahari dan bulan, dua benda langit yang sejak awal penciptaan berjalan pada orbitnya masing-masing dan tidak pernah bertemu, akhirnya "dikumpulkan". Para ahli tafsir menafsirkan ini sebagai tabrakan antara keduanya atau keduanya digulung dan dilemparkan, kehilangan fungsinya sebagai penerang. Peristiwa ini melambangkan akhir dari sistem alam semesta yang kita kenal dan dimulainya sebuah tatanan baru yang diatur oleh kehendak mutlak Allah.

يَقُولُ ٱلْإِنسَٰنُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ ٱلْمَفَرُّ

yaqụlul-insānu yauma`iżin ainal-mafarr

10. pada hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat lari?"

Di tengah kedahsyatan itu, manusia yang dahulu sombong dan menantang, kini diliputi kepanikan dan keputusasaan. Ia akan berteriak, "Ainal-mafarr?" (Ke mana tempat untuk lari?). Naluri dasarnya adalah mencari tempat perlindungan, sebuah tempat untuk bersembunyi dari kengerian yang melandanya. Namun, pada hari itu, seluruh bumi dan langit berada dalam genggaman Allah. Tidak ada lagi benteng, gunung, atau tempat persembunyian yang bisa diandalkan.

كَلَّا لَا وَزَرَ

kallā lā wazar

11. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!

Jawaban atas pertanyaan putus asa itu datang dengan sangat tegas: "Kallā!" (Sekali-kali tidak!). Tidak ada tempat berlindung sama sekali. Kata "wazar" berarti tempat perlindungan seperti gunung atau benteng yang kokoh. Ayat ini menegaskan bahwa semua yang dianggap sebagai pelindung di dunia tidak akan ada gunanya. Kekuasaan, harta, keluarga, dan kekuatan fisik menjadi sirna tak berarti.

إِلَىٰ رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ ٱلْمُسْتَقَرُّ

ilā rabbika yauma`iżinil-mustaqarr

12. Hanya kepada Tuhanmulah pada hari itu tempat kembali.

Satu-satunya tujuan dan tempat kembali pada hari itu adalah kepada Allah, Sang Pencipta dan Pemilik hari pembalasan. "Al-Mustaqarr" adalah tempat kembali yang pasti dan permanen. Semua makhluk akan digiring ke hadapan-Nya untuk diadili. Tidak ada jalan lain, tidak ada pilihan lain. Semua akan menghadap Rabb mereka untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

يُنَبَّؤُا۟ ٱلْإِنسَٰنُ يَوْمَئِذٍۭ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

yunabba`ul-insānu yauma`iżim bimā qaddama wa akhkhar

13. Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.

Di hadapan Allah, manusia akan diperlihatkan seluruh catatan amalnya. "Bimā qaddama wa akhkhar" memiliki makna yang luas. "Apa yang ia kerjakan" (qaddama) merujuk pada semua amal baik dan buruk yang telah ia lakukan selama hidupnya. "Apa yang ia lalaikan" (akhkhar) bisa berarti jejak atau pengaruh yang ia tinggalkan setelah kematiannya (baik sunnah hasanah maupun sayyi'ah), atau bisa juga berarti amal-amal yang seharusnya ia kerjakan tetapi ia tinggalkan. Tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apa pun, yang akan terlewat dari catatan.

بَلِ ٱلْإِنسَٰنُ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ بَصِيرَةٌ

balil-insānu 'alā nafsihī baṣīrah

14. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,

Meskipun catatan amal telah diperlihatkan, sesungguhnya setiap manusia sudah mengetahui kondisi dirinya sendiri. "Baṣīrah" berarti bukti yang sangat jelas atau saksi yang melihat. Pada hari itu, anggota tubuh manusia—tangan, kaki, kulit—akan menjadi saksi atas perbuatannya. Hati nuraninya pun akan mengakui semua kebenaran. Manusia tidak akan bisa mengingkari apa yang telah ia lakukan, karena dirinya sendirilah yang menjadi bukti paling nyata.

وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُۥ

walau alqā ma'āżīrah

15. meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.

Semua dalih, alasan, dan justifikasi yang biasa digunakan di dunia untuk menutupi kesalahan tidak akan berlaku lagi. Manusia mungkin akan mencoba berkelit dan mengajukan berbagai macam alasan, tetapi semua itu akan sia-sia. Kebenaran telah terungkap dengan begitu jelas, dan kesaksian dari dirinya sendiri sudah cukup untuk membungkam semua argumen palsunya. Hari itu adalah hari kebenaran mutlak, bukan hari perdebatan.

Petunjuk Allah dalam Menerima Wahyu (Ayat 16-19)

Bagian ini merupakan sisipan (parentesis) yang ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat ini memberikan petunjuk mengenai adab dan cara menerima wahyu Al-Qur'an, sekaligus memberikan jaminan dari Allah bahwa Al-Qur'an akan senantiasa terjaga.

لَا تُحَرِّكْ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِۦٓ

lā tuḥarrik bihī lisānaka lita'jala bih

16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.

Menurut riwayat, ketika Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, Rasulullah SAW akan menggerakkan lidah dan bibirnya dengan cepat untuk mengikuti bacaan Jibril, karena khawatir akan ada bagian yang terlupa. Ayat ini turun sebagai teguran lembut dari Allah. Beliau diperintahkan untuk tenang dan mendengarkan terlebih dahulu, tidak perlu tergesa-gesa, karena Allah-lah yang akan menjamin hafalan dan pemahamannya.

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ

inna 'alainā jam'ahụ wa qur`ānah

17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Allah memberikan jaminan yang menenangkan hati Nabi Muhammad SAW. "Inna 'alainā" (Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah) menunjukkan jaminan yang pasti. Allah menjamin dua hal: pertama, "jam'ahu," yaitu mengumpulkan Al-Qur'an di dalam dada Nabi sehingga beliau tidak akan melupakannya. Kedua, "qur'ānahu," yaitu membuat beliau mampu membacanya dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang diturunkan. Ini adalah penegasan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu yang terjaga, baik dalam hafalan maupun cara membacanya.

فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ

fa iżā qara`nāhu fattabi' qur`ānah

18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

Tugas Nabi SAW adalah mendengarkan dengan saksama bacaan yang disampaikan oleh Jibril hingga selesai. Setelah itu, barulah beliau mengikuti bacaan tersebut. Ini mengajarkan sebuah adab penting dalam menuntut ilmu: dengarkan, simak, dan pahami terlebih dahulu sebelum berbicara atau mengulang. Ketenangan dan kesabaran adalah kunci dalam menerima ilmu ilahi.

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُۥ

ṡumma inna 'alainā bayānah

19. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Jaminan Allah tidak berhenti pada hafalan dan bacaan. Allah juga menjamin "bayānahu," yaitu penjelasan dan pemahaman maknanya. Allah-lah yang akan menjelaskan kepada Nabi Muhammad SAW maksud dari setiap ayat, baik hukum-hukumnya, hikmahnya, maupun rinciannya. Jaminan ini menegaskan bahwa sumber tafsir utama Al-Qur'an adalah Allah sendiri, yang disampaikan melalui Rasul-Nya.

Kecintaan Dunia vs. Wajah-Wajah di Akhirat (Ayat 20-25)

Setelah sisipan tentang wahyu, alur surah kembali kepada tema utama, yaitu penyebab kesesatan manusia. Allah menegaskan bahwa akar masalahnya adalah kecintaan berlebihan pada kehidupan dunia yang fana dan melupakan akhirat yang abadi. Kemudian, dilukiskan dua pemandangan yang sangat kontras di Hari Kiamat.

كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ ٱلْعَاجِلَةَ

kallā bal tuḥibbụnal-'ājilah

20. Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,

"Kallā" di sini berfungsi sebagai sanggahan terhadap perilaku manusia yang mengingkari akhirat. Allah mengungkap penyakit utama mereka: mereka terlalu mencintai "al-'ājilah," yaitu kehidupan dunia yang disegerakan, yang bersifat sementara dan cepat berlalu. Kenikmatan dunia yang bisa dirasakan secara instan lebih memikat hati mereka dibandingkan janji akhirat yang mereka anggap masih jauh dan tidak pasti.

وَتَذَرُونَ ٱلْءَاخِرَةَ

wa tażarụnal-ākhirah

21. dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.

Akibat dari kecintaan pada dunia adalah "tadharūnal-ākhirah," yaitu mereka meninggalkan, mengabaikan, dan melupakan akhirat. Fokus mereka sepenuhnya tercurah untuk mengejar materi, pangkat, dan kesenangan duniawi, seolah-olah mereka akan hidup selamanya. Mereka menukar keabadian yang kekal dengan kesenangan yang fana dan menipu.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

wujụhuy yauma`iżin nāḍirah

22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.

Inilah gambaran pertama di akhirat, yaitu kondisi orang-orang beriman. Wajah mereka "nāḍirah," yang berarti cerah, berseri-seri, indah, dan penuh dengan kebahagiaan. Cahaya ini memancar dari dalam hati mereka yang dipenuhi keimanan dan kegembiraan karena melihat balasan yang dijanjikan Allah. Ini adalah buah dari kesabaran mereka di dunia dalam menahan hawa nafsu dan ketaatan mereka kepada Allah.

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

ilā rabbihā nāẓirah

23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Penyebab utama dari wajah yang berseri-seri itu dijelaskan di ayat ini. Mereka "ilā rabbihā nāẓirah," yaitu memandang kepada Tuhan mereka. Ini adalah puncak kenikmatan tertinggi bagi penduduk surga, sebuah anugerah yang lebih besar dari surga itu sendiri. Ayat ini menjadi dalil yang kuat bagi ahlus sunnah wal jama'ah bahwa orang-orang beriman akan dapat melihat Allah SWT di akhirat kelak. Pandangan ini dipenuhi dengan kerinduan, cinta, dan keagungan yang tak terlukiskan.

وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍۭ بَاسِرَةٌ

wa wujụhuy yauma`iżim bāsirah

24. Dan wajah-wajah (orang-orang kafir) pada hari itu muram,

Sebagai kontras, inilah gambaran kedua. Wajah orang-orang kafir pada hari itu "bāsirah," yang berarti masam, cemberut, muram, dan penuh dengan kesuraman. Wajah mereka menghitam karena debu kehinaan dan kegelapan dosa. Tidak ada sedikit pun tanda kebahagiaan, yang ada hanyalah penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan yang mendalam.

تَظُنُّ أَن يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ

taẓunnu ay yuf'ala bihā fāqirah

25. mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.

Kondisi wajah mereka yang muram itu disebabkan karena mereka "taẓunnu" (yakin) bahwa mereka akan segera ditimpa "fāqirah," yaitu sebuah malapetaka besar yang mematahkan tulang punggung. Mereka sadar bahwa tidak ada harapan lagi. Azab yang pedih sudah menanti di hadapan mereka, dan keyakinan akan datangnya siksa ini sudah cukup untuk membuat wajah mereka menjadi gelap gulita karena ketakutan yang amat sangat.

Detik-Detik Kematian dan Argumentasi Final (Ayat 26-40)

Bagian akhir surah ini membawa pembaca pada sebuah realitas yang pasti akan dihadapi setiap manusia: sakaratul maut. Allah menggambarkan betapa tidak berdayanya manusia di ambang kematian. Kemudian, surah ditutup dengan sebuah argumentasi logis yang tak terbantahkan tentang kekuasaan Allah untuk membangkitkan manusia, dengan merujuk pada asal-usul penciptaannya.

كَلَّآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلتَّرَاقِىَ

kallā iżā balagatit-tarāqī

26. Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan,

Allah mengingatkan kembali, janganlah terus terlena dengan dunia. Karena akan tiba saatnya ketika ruh sampai di "at-tarāqī," yaitu tulang selangka di bagian atas dada, dekat kerongkongan. Ini adalah gambaran dari proses sakaratul maut, ketika nyawa sedang dicabut dan telah sampai di penghujung jalan keluarnya. Pada saat ini, semua kekuatan dan kehebatan manusia sirna.

وَقِيلَ مَنْ ۜ رَاقٍ

wa qīla man rāq

27. dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?",

Di tengah kepanikan, orang-orang di sekelilingnya akan saling bertanya, "Man rāq?" (Siapa yang bisa menyembuhkan?). Mereka akan mencari tabib terbaik, dokter terhebat, atau peruqyah yang paling mumpuni. Ini adalah usaha terakhir yang sia-sia dari manusia untuk melawan ketetapan Allah. Tidak ada seorang pun yang mampu menolak atau menunda datangnya kematian jika waktunya telah tiba.

وَظَنَّ أَنَّهُ ٱلْفِرَاقُ

wa ẓanna annahul-firāq

28. dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia),

Orang yang sedang sekarat itu sendiri "ẓanna" (yakin) bahwa inilah saatnya "al-firāq," perpisahan. Perpisahan dengan keluarga, harta, jabatan, dan segala yang ia cintai di dunia. Ia tahu bahwa perjalanannya di dunia telah berakhir dan ia akan memasuki alam yang lain.

وَٱلْتَفَّتِ ٱلسَّاقُ بِٱلسَّاقِ

waltaffatis-sāqu bis-sāq

29. dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan),

Ayat ini menggambarkan puncak dari penderitaan fisik saat sakaratul maut. "Bertautnya betis dengan betis" bisa dimaknai secara harfiah, di mana kaki menjadi kaku dan tidak berdaya. Bisa juga dimaknai secara kiasan, yaitu berkumpulnya semua kesulitan dan penderitaan dunia dengan kesulitan awal kehidupan akhirat. Dahsyatnya kematian bertemu dengan dahsyatnya alam barzakh.

إِلَىٰ رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ ٱلْمَسَاقُ

ilā rabbika yauma`iżinil-masāq

30. kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau.

Sama seperti pada Hari Kiamat, tujuan akhir dari perjalanan ruh setelah dicabut adalah kepada Allah. "Al-Masāq" berarti tempat penggiringan. Ruh akan digiring menghadap Rabb-nya untuk memulai fase pertama dari pertanggungjawaban. Tidak ada yang bisa menolak atau menghalangi proses ini.

فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّىٰ

fa lā ṣaddaqa wa lā ṣallā

31. Dan ia tidak mau membenarkan (Al Quran dan Rasul) dan tidak mau mengerjakan shalat,

Allah kemudian merinci kembali kejahatan manusia pengingkar yang kini tak berdaya menghadapi kematian. "Falā ṣaddaqa," ia tidak membenarkan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, yaitu tauhid dan risalah. "Wa lā ṣallā," ia juga tidak mengerjakan shalat, yang merupakan tiang agama dan bentuk ketundukan seorang hamba kepada Penciptanya. Ia menolak kebenaran dengan hatinya dan menolak beribadah dengan raganya.

وَلَٰكِن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

wa lākin każżaba wa tawallā

32. tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran),

Sebagai ganti dari membenarkan dan shalat, yang ia lakukan adalah "kadzdzaba" (mendustakan) kebenaran secara aktif, dan "tawallā" (berpaling) atau menolak untuk taat. Ini adalah kombinasi dari dosa hati (mendustakan) dan dosa perbuatan (berpaling).

ثُمَّ ذَهَبَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ يَتَمَطَّىٰ

ṡumma żahaba ilā ahlihī yatamaṭṭā

33. kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong).

Setelah menolak kebenaran, ia kembali kepada keluarga dan kaumnya dengan "yatamaṭṭā," yaitu berjalan dengan angkuh, sombong, dan bangga atas pengingkarannya. Ia merasa hebat karena telah menentang dakwah Rasul. Sikap ini menunjukkan betapa dalamnya kesesatan dan kesombongan yang telah menguasai hatinya.

أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰ

aulā laka fa`aulā

34. Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu,

Ini adalah ancaman yang sangat keras dari Allah. Ungkapan "Aulā laka fa'aulā" adalah ungkapan dalam bahasa Arab yang berarti "Celakalah kamu, maka celakalah!" atau "Siksa itu semakin dekat dan semakin pantas untukmu." Pengulangan ini memberikan penekanan yang sangat kuat, menunjukkan betapa besar murka Allah dan betapa mengerikan azab yang menantinya.

ثُمَّ أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰٓ

ṡumma aulā laka fa`aulā

35. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.

Ancaman itu diulangi lagi untuk kedua kalinya, menunjukkan bahwa azab yang akan menimpanya berlapis-lapis, berkesinambungan, dan tidak akan pernah berakhir. Kecelakaan di dunia, saat kematian, di alam barzakh, dan puncaknya di neraka Jahannam.

أَيَحْسَبُ ٱلْإِنسَٰنُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

a yaḥsabul-insānu ay yutraka sudā

36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?

Surah ini kembali pada pertanyaan retoris yang menggugah akal sehat, mirip dengan ayat ke-3. "Apakah manusia mengira ia akan dibiarkan 'sudan'?" Kata "sudan" berarti sia-sia, tanpa tujuan, tanpa perintah dan larangan, serta tanpa pertanggungjawaban. Ini adalah pertanyaan yang membantah pandangan hidup kaum ateis dan materialis. Mustahil Pencipta Yang Maha Bijaksana menciptakan manusia dengan segala kompleksitasnya hanya untuk dibiarkan hidup tanpa tujuan dan mati tanpa perhitungan.

أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِىٍّ يُمْنَىٰ

a lam yaku nuṭfatam mim maniyyin yumnā

37. Bukankah dia dahulunya hanya setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, Allah mengajak manusia untuk merenungkan asal-usulnya yang hina. Manusia berasal dari "nuṭfah," setetes air mani yang dipancarkan. Ini adalah pengingat akan kelemahan dan ketidakberdayaan manusia pada awalnya. Dzat yang mampu menciptakan kehidupan dari sesuatu yang begitu sederhana tentu memiliki tujuan yang agung di balik penciptaan tersebut.

ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ

ṡumma kāna 'alaqatan fa khalaqa fa sawwā

38. kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,

Allah merinci proses penciptaan. Dari setetes mani, ia menjadi "'alaqah" (segumpal darah yang melekat di dinding rahim). Kemudian Allah "khalaqa" (menciptakan bentuknya) dan "sawwā" (menyempurnakan ciptaan-Nya) dengan proporsi yang paling indah dan fungsi yang paling sempurna. Proses ini adalah bukti nyata dari ilmu, kekuasaan, dan kebijaksanaan Allah.

فَجَعَلَ مِنْهُ ٱلزَّوْجَيْنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ

fa ja'ala min-huz-zaujainiż-żakara wal-unṡā

39. lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.

Dari asal yang sama, Allah dengan kuasa-Nya menciptakan dua jenis yang berbeda, laki-laki dan perempuan. Kemampuan untuk membedakan dan menciptakan jenis kelamin dari substansi yang sama adalah bukti lain dari kekuasaan-Nya yang mutlak. Ini juga merupakan dasar dari keberlangsungan hidup umat manusia.

أَلَيْسَ ذَٰلِكَ بِقَٰدِرٍ عَلَىٰٓ أَن يُحْىِىَ ٱلْمَوْتَىٰ

a laisa żālika biqādirin 'alā ay yuḥyiyal-mautā

40. Bukankah (Tuhan yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?

Surah ini ditutup dengan sebuah pertanyaan final yang tidak memerlukan jawaban selain pembenaran. Jika Allah berkuasa menciptakan manusia dari ketiadaan, dari setetes air mani yang hina, melalui proses yang begitu rumit dan sempurna, "Bukankah Dzat yang demikian itu berkuasa pula untuk menghidupkan orang yang telah mati?" Tentu saja. Mengembalikan ciptaan jauh lebih mudah daripada menciptakannya dari awal. Argumentasi ini begitu kuat dan logis, membungkam semua keraguan dan menegaskan sekali lagi tema utama surah ini: kepastian Hari Kebangkitan. Disunnahkan bagi yang membaca atau mendengar ayat ini untuk menjawab, "Balā, wa anā 'alā dzālika minasy syāhidīn" (Benar, dan aku termasuk orang-orang yang bersaksi atas hal itu).

🏠 Kembali ke Homepage