Surah Al-Ankabut, ayat ke-57, adalah salah satu dari rangkaian ayat-ayat fundamental dalam Al-Qur'an yang menegaskan sebuah realitas mutlak yang tidak dapat dibantah oleh logika, sains, maupun spiritualitas manapun: kematian. Frasa "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" telah menjadi sebuah mantra universal, bukan sekadar peringatan, melainkan penegasan ontologis mengenai sifat eksistensi manusia di alam dunia yang fana ini. Ayat ini, meskipun singkat, memuat dua pilar utama keyakinan Islam (aqidah): kepastian fana’ (kematian) dan kepastian baqa’ (kebangkitan dan pertanggungjawaban). Konten ini adalah inti dari Tazkiyatun Nafs, penyucian jiwa, karena tanpa memahami kedua pilar ini, tujuan hidup akan kehilangan arah yang hakiki.
Kematian adalah titik balik, sebuah jembatan yang menghubungkan alam syahadah (alam yang tampak) dengan alam ghaib (alam yang tak terlihat). Ia bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan abadi. Ayat ini secara spesifik muncul dalam Surah Al-Ankabut, yang konteksnya banyak membahas perjuangan, ujian, dan pengorbanan di jalan Allah. Setelah Allah SWT menjelaskan bahwa perjuangan pasti akan menghasilkan balasan, baik atau buruk, Allah mengingatkan bahwa kesulitan duniawi (seperti persekusi yang dialami Muslim di Mekah kala itu) adalah hal yang sementara. Mengapa harus takut pada kesulitan jika pada akhirnya, setiap jiwa akan mati dan kembali kepada Penciptanya? Kesadaran akan turja’un (kembali kepada Kami) inilah yang menjadi pemantik bagi ketabahan dan motivasi abadi dalam beramal saleh.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, perlu diuraikan setiap katanya secara terperinci. Kata demi kata memiliki resonansi teologis yang kuat:
1. KULLU (كُلُّ): Setiap, Seluruh. Kata ini adalah penegas keumuman. Kematian tidak mengenal kasta, ras, agama, waktu, atau kondisi. Ia berlaku universal. Baik nabi, raja, orang saleh, orang zalim, kaya, miskin, sehat, sakit—semuanya tercakup dalam istilah "setiap". Inilah egalitarianisme mutlak di hadapan takdir Ilahi. Kesombongan duniawi runtuh seketika di hadapan universalitas kematian.
2. NAFSIN (نَفْسٍ): Jiwa, Diri. Kematian bukanlah kehancuran total materi, tetapi pengalaman yang dirasakan oleh "jiwa" (an-nafs). Ini membedakan manusia dari benda mati. Kematian adalah pemisahan antara ruh (spirit) dan jasad (raga). Raga kembali ke tanah, sementara jiwa memulai perjalanannya. Penggunaan kata "nafs" menunjukkan bahwa yang mengalami rasa sakit, ketakutan, atau ketenangan saat sakaratul maut adalah esensi diri, bukan sekadar organ tubuh yang berhenti berfungsi. Ini adalah pengalaman personal yang paling intim.
3. DZA'IQATU (ذَائِقَةُ): Akan Merasakan, Pencicip. Ini adalah metafora yang paling kuat. Allah tidak mengatakan "setiap jiwa akan mengalami kematian," tetapi "akan merasakan/mencicipi kematian." Rasa adalah pengalaman langsung, personal, dan tak terhindarkan. Sebagaimana kita mencicipi manis, pahit, asin, atau asam, kematian pun harus dicicipi. Hal ini menunjukkan bahwa kematian adalah sebuah 'peristiwa' yang memiliki sensasi, bukan sekadar 'ketiadaan'. Rasa ini mungkin getir, menakutkan, atau sebaliknya, sangat manis, tergantung pada bekal yang dibawa oleh jiwa tersebut.
4. AL-MAUT (الْمَوْتِ): Kematian. Realitas akhir dari kehidupan dunia. Ini adalah kepastian yang membatalkan semua rencana masa depan duniawi. Kesadaran akan al-maut seharusnya menjadi pendorong utama untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, mengubah setiap detak jantung menjadi potensi kebaikan.
5. TSUMMA (ثُمَّ): Kemudian. Kata sambung ini menandakan adanya jeda waktu, yaitu kehidupan di alam Barzakh, sebelum fase kedua dan terpenting dari ayat ini dimulai.
6. ILAINA (إِلَيْنَا): Kepada Kami. Penegasan mutlak bahwa tujuan akhir bukan kuburan, bukan nihilisme, bukan alam semesta yang tak peduli, melainkan Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Ini menegaskan konsep tauhid rububiyah dan uluhiyah.
7. TURJA’UN (تُرْجَعُونَ): Kalian Dikembalikan. Kata ini adalah inti pertanggungjawaban. Kita tidak pergi, kita dikembalikan. Ini menyiratkan bahwa kita memiliki ‘pemilik’ dan bahwa kita sedang ‘dipinjamkan’ waktu di dunia. Pengembalian ini adalah untuk dihisab (dihitung) segala amal perbuatan, besar maupun kecil. Ini adalah fase di mana rahasia-rahasia hati akan dibongkar.
Pemahaman tentang Al-Ankabut 57 tidak lengkap tanpa memahami fase ‘jeda’ yang disimbolkan oleh kata “tsumma” (kemudian). Setelah jiwa mencicipi kematian dan berpisah dari raga, ia memasuki alam Barzakh. Barzakh secara harfiah berarti ‘penghalang’ atau ‘pemisah’. Ini adalah dimensi transisional antara kehidupan dunia dan Hari Kebangkitan (Yaumul Qiyamah).
Di alam Barzakh, jiwa tidak lagi terikat oleh hukum fisik duniawi, tetapi ia sepenuhnya sadar dan mengalami konsekuensi awal dari amal perbuatannya. Jika ia adalah jiwa yang saleh, kuburnya akan menjadi taman dari taman-taman surga, merasakan kenikmatan (na’imul qabr). Sebaliknya, jika ia adalah jiwa yang zalim dan kufur, kuburnya menjadi lubang dari lubang-lubang neraka, merasakan siksa kubur (adzabul qabr).
Kesadaran akan Barzakh memperkuat urgensi beramal. Sebab, balasan tidak menunggu hingga Hari Kiamat. Peringatan awal sudah dimulai segera setelah dimakamkan. Refleksi ini mengajarkan kita bahwa kematian bukanlah istirahat total, melainkan permulaan evaluasi yang tidak terhindarkan. Ketika seseorang memahami bahwa ‘kemudian’ (tsumma) ia akan segera merasakan dampaknya, ia akan lebih termotivasi untuk menjaga lidah, harta, dan anggota tubuhnya dari hal-hal yang dapat memberatkannya di alam Barzakh.
Salah satu peristiwa terpenting di Barzakh adalah pertanyaan dari dua malaikat, Munkar dan Nakir. Pertanyaan mereka—Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Apa Agamamu?—bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan hafalan lisan. Jawaban yang benar akan keluar secara otomatis dari jiwa yang terbiasa mengamalkan tauhid dan sunnah dalam hidupnya. Ini adalah ujian keimanan yang sesungguhnya. Ketegasan ini mengajarkan bahwa iman harus meresap ke dalam tindakan, bukan sekadar klaim verbal.
Bayangkanlah kedahsyatan situasi ini: jiwa ditinggalkan sendirian dalam kegelapan, dihadapkan pada pertanyaan yang menentukan nasib awal. Jika kita gagal dalam ujian ini, siksa Barzakh dimulai seketika. Oleh karena itu, persiapan menghadapi kematian harus dimulai sejak dini, melalui pembersihan hati, peningkatan ibadah wajib, dan perbanyak sedekah serta amal jariah yang cahayanya dapat menerangi kegelapan kubur.
Bagian kedua dari ayat, "tsumma ilaina turja’un" (Kemudian, hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan), adalah fokus utama dari seluruh konsep kehidupan. Kematian adalah inevitabilitas, tetapi pengembalian adalah tujuan. Jika kematian hanyalah akhir, maka hidup adalah nihil. Namun, karena ada ‘pengembalian’, maka setiap perbuatan memiliki bobot dan makna abadi.
Pengembalian kepada Allah (SWT) merujuk pada Yaumul Mahsyar, hari dikumpulkannya seluruh makhluk dari awal hingga akhir zaman. Ini adalah saat di mana keadilan Allah ditegakkan tanpa sedikitpun kecurangan. Semua dosa dan pahala dihitung, hak-hak yang terampas dikembalikan, dan takdir abadi seseorang ditetapkan.
Kesadaran akan turja’un memicu introspeksi mendalam mengenai lima pertanyaan inti yang harus dijawab di Hari Hisab, sebagaimana disebutkan dalam hadis, yang mencakup seluruh spektrum eksistensi manusia:
Ayat Al-Ankabut 57 memaksa kita untuk membuat inventarisasi harian atas lima hal ini. Jika seseorang menyadari bahwa setiap menit dan setiap rupiah akan dipertanyakan di hadapan Allah, ia akan menjalani hidupnya dengan kewaspadaan (muraqabah) yang luar biasa. Ini adalah manifestasi tertinggi dari ihsan: beribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa, sadar bahwa Dia melihat kita.
Pertanggungjawaban tidak hanya terbatas pada ibadah ritual (sholat, puasa), tetapi juga meliputi Muamalah (interaksi sosial). Bahkan, pertanggungjawaban terhadap hak-hak sesama manusia (Hak Adam) seringkali lebih sulit di Hari Kiamat karena membutuhkan pengampunan dari korban yang dirugikan.
Ketika kita kembali kepada Allah, setiap fitnah, setiap ghibah, setiap penipuan dalam bisnis, setiap janji yang dilanggar, dan setiap tetes darah yang ditumpahkan secara zalim akan ditampilkan. Orang yang merampas hak orang lain harus membayar di Akhirat dengan amal kebaikannya. Jika amal kebaikannya habis, dosa orang yang dirugikan akan ditimpakan kepadanya. Inilah kepastian keadilan yang terkandung dalam makna turja’un.
Ayat ini berfungsi sebagai regulator moral tertinggi. Ia mengajarkan integritas absolut dalam setiap interaksi, meyakini bahwa tidak ada transaksi duniawi yang luput dari pandangan Dzat Yang Maha Mengembalikan dan Maha Menghitung.
Refleksi konstan terhadap Al-Ankabut 57 adalah kunci utama dalam proses Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa). Jika kematian dan pengembalian adalah pasti, maka fokus hidup harus bergeser dari kenikmatan fana’ menuju persiapan baqa’ (keabadian).
Zuhud seringkali disalahartikan sebagai kemiskinan atau penarikan diri dari dunia. Dalam konteks ayat ini, Zuhud berarti menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Seseorang yang menghayati "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" menyadari bahwa harta dan jabatan tidak dapat dibawa mati. Ini memunculkan sifat Qana'ah (merasa cukup).
Qana'ah adalah kekayaan sejati. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, ia terbebas dari siksaan ambisi duniawi yang tak berkesudahan. Ia bekerja keras, tetapi tidak diperbudak oleh hasilnya. Ketika jiwa dipenuhi kesadaran bahwa ia akan segera "mencicipi kematian," ia tidak akan menukar kebahagiaan abadi dengan kesenangan sesaat yang diwarnai oleh dosa dan keserakahan.
Zuhud yang sejati adalah kesiapan untuk meninggalkan dunia kapan saja tanpa penyesalan mendalam terhadap hal-hal yang terlewatkan, melainkan rasa syukur atas bekal yang telah dikumpulkan.
Kesulitan hidup, kehilangan harta, dan sakit adalah ujian yang dirancang untuk membersihkan dosa-dosa sebelum Hari Hisab. Bagi orang yang meyakini turja’un, musibah adalah rahmat tersembunyi. Mereka bersabar (Shabr) karena mereka tahu bahwa pahala kesabaran di Akhirat jauh melampaui rasa sakit di dunia.
Tawakkal (penyerahan diri sepenuhnya) juga berakar dari ayat ini. Mengapa khawatir berlebihan tentang rezeki atau masa depan yang tidak pasti, jika nasib akhir kita, tempat kita kembali, sepenuhnya di tangan Allah? Tawakkal adalah puncak keyakinan bahwa Allah akan menjamin yang terbaik bagi hamba-Nya yang berusaha dan bertakwa, karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya.
Penting untuk menempatkan ayat ini dalam Surah Al-Ankabut secara keseluruhan. Surah ini dibuka dengan pertanyaan retoris: Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami telah beriman,” tanpa diuji? (QS. 29:2). Ayat 57 berfungsi sebagai jawaban sekaligus penghibur bagi jiwa yang sedang diuji.
Ketika seorang mukmin menghadapi fitnah, penganiayaan, atau kerugian besar di jalan Allah, setan mungkin membisikkan keputusasaan. Ayat 57 datang untuk mengingatkan: apapun kesulitan yang kau hadapi di dunia ini, itu hanyalah sementara. Cicipi kesulitan itu dengan sabar, karena kau akan segera mencicipi kematian, dan setelah itu, hanya ada keabadian di sisi Allah. Maka, ujian dunia menjadi ringan, sebab jangka waktu penderitaan itu sangat terbatas.
Kesabaran Rasulullah SAW dan para sahabat di Mekah, ketika mereka berada di bawah tekanan sosial dan ekonomi yang ekstrem, sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang kepastian Akhirat. Mereka menganggap dunia sebagai penjara bagi mukmin dan surga bagi kafir. Penjara itu, bagaimanapun juga, pasti akan berakhir dengan kepulangan ke tempat yang lebih baik.
Seseorang yang benar-benar menghayati Al-Ankabut 57 tidak akan menunda-nunda taubat, tidak akan menangguhkan amal baik, dan tidak akan menunda pelunasan hutang. Ia hidup dalam keadaan siap mati (isti’dad lil-maut).
Perencanaan hidupnya menjadi terbalik: ia merencanakan Akhirat dengan ketelitian maksimal, dan ia merencanakan dunia dengan secukupnya. Ia memandang waktu (umur) sebagai modal investasi yang paling berharga. Setiap jam adalah kesempatan untuk menanam saham yang akan dipanen di Hari Kepulangan.
Hal ini termasuk: membuat wasiat yang jelas, melunasi semua kewajiban finansial (terutama zakat), memperbaiki hubungan dengan sesama (silaturahmi), dan memastikan catatan amal jariyah terbuka lebar, seperti mendidik anak-anak dalam agama, berwakaf, atau berkontribusi pada ilmu yang bermanfaat.
Meskipun sering digambarkan sebagai peristiwa yang menakutkan, bagi jiwa yang tulus dan penuh takwa, kematian adalah momen yang paling dinanti. Kematian adalah Liqa’ullah, pertemuan dengan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah pun membenci pertemuan dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pencapaian cinta kepada Allah, yang merupakan syarat untuk mencintai pertemuan dengan-Nya, adalah hasil dari pengamalan bagian kedua ayat 57: turja’un. Ketika seorang hamba menjalani hidupnya dengan keyakinan penuh bahwa ia akan kembali dihisab, ia akan berusaha keras untuk memenuhi perintah-perintah-Nya. Ketaatan ini menumbuhkan cinta, dan cinta inilah yang membuat kematian terasa manis, seperti ‘pencicipan’ yang paling nikmat, karena ia membawa jiwa kembali kepada Sang Kekasih Abadi.
Bagi orang-orang yang beriman, ketakutan akan kematian bukanlah ketakutan terhadap akhir, melainkan ketakutan terhadap kurangnya bekal. Rasa cemas ini adalah kecemasan yang sehat, yang mendorong mereka untuk beristighfar dan beramal lebih keras lagi.
Ketakutan yang tidak sehat terhadap kematian seringkali disebabkan oleh dua hal: keterikatan berlebihan pada dunia dan kesadaran akan dosa yang belum diampuni. Ayat 57 menyediakan solusi untuk keduanya:
1. Mengurangi Keterikatan: Keterikatan pada dunia akan melemah ketika kita secara aktif mempraktikkan zuhud dan qana’ah. Semakin ringan beban dunia yang kita pikul di hati, semakin mudah jiwa dilepaskan dari raga. Pikirkan bahwa semua yang kita miliki adalah pinjaman yang harus dikembalikan, sama seperti kita sendiri harus dikembalikan (turja’un).
2. Bersegera Taubat: Taubat adalah pembersih jiwa paling efektif sebelum momen pencicipan maut tiba. Taubat yang tulus menghapus dosa masa lalu. Ketika seseorang yakin dosanya telah diampuni, ia menatap Barzakh dan Hari Hisab dengan harapan (Raja’) yang besar kepada rahmat Allah, bukan dengan keputusasaan. Taubat adalah persiapan terbaik untuk memastikan pencicipan maut menjadi manis, bukan getir.
Kekuatan Al-Ankabut 57 diperkuat oleh fakta bahwa Al-Qur'an mengulang prinsip universalitas kematian di beberapa tempat lain, menandakan bahwa ini adalah pesan yang tidak boleh dilupakan:
QS. Ali Imran (3): 185: "Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu." Ayat ini menambahkan detail penting: balasan sempurna diberikan di Hari Kiamat.
QS. An-Nisa (4): 78: "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh." Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada tempat berlindung dari kematian, memperkuat universalitas *Kullu nafsin dzaaiqatul maut*.
Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penekanan metodologis yang ditujukan untuk menembus hati manusia yang cenderung lalai. Manusia, dengan sifatnya yang tergesa-gesa, seringkali hidup seolah-olah mereka adalah makhluk abadi di bumi ini. Pengulangan ini adalah alarm yang berbunyi terus menerus, mengingatkan bahwa waktu terbatas dan kepulangan (turja’un) mendekat.
Seorang mukmin harus menyeimbangkan rasa takut (Khauf) terhadap adzab Allah dan rasa harapan (Raja') terhadap rahmat-Nya, terutama dalam konteks kematian dan pengembalian. Al-Ankabut 57 menyajikan dua sisi mata uang ini:
Khauf (Takut): Lahir dari kesadaran bahwa kita akan merasakan kematian dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita (Turja’un). Ketakutan ini menjaga kita dari maksiat.
Raja' (Harapan): Lahir dari kesadaran bahwa kita kembali kepada Yang Maha Pengasih (Ilaina). Harapan ini mendorong kita untuk beramal saleh, bertaubat, dan tidak putus asa dari rahmat-Nya, bahkan di saat-saat terakhir kehidupan.
Keseimbangan ini menciptakan jiwa yang waspada tetapi optimis. Waspada terhadap dosa, optimis terhadap ampunan. Inilah kondisi spiritual ideal saat menghadapi momen 'pencicipan' yang pasti itu.
Karena setiap jiwa pasti mencicipi kematian, dan setelah itu pintu amal ditutup, fokus harus dialihkan pada bagaimana memperpanjang manfaat amal setelah jasad terkubur. Konsep amal jariyah (amal yang terus mengalir pahalanya) adalah strategi paling cerdas dalam menghadapi kepastian Al-Ankabut 57.
Ketika jiwa memasuki Barzakh, amal jariyah adalah satu-satunya hal yang terus menerangi kegelapan dan menambahkan bobot kebaikan sebelum Hari Hisab.
Tiga pilar utama amal jariyah yang harus diupayakan oleh setiap jiwa yang menyadari kepulangannya:
1. Sedekah Jariyah: Sumbangan yang manfaatnya berkelanjutan, seperti pembangunan masjid, sekolah, sumur, atau perpustakaan. Selama manusia mengambil manfaat darinya, pahalanya akan terus mengalir kepada jiwa yang telah wafat. Ini adalah investasi yang keuntungannya terus bertambah hingga Hari Kiamat.
2. Ilmu yang Bermanfaat: Menyebarkan pengetahuan agama, sains, atau keterampilan yang membawa kebaikan. Baik itu melalui tulisan, pengajaran, atau bimbingan. Selama ilmu itu diamalkan oleh orang lain, pahalanya terus menyertai. Ini menunjukkan bahwa kontribusi intelektual dan spiritual kita adalah bekal yang tak lekang oleh waktu.
3. Anak Salehudan Salehah: Mendidik anak agar menjadi hamba yang bertakwa dan berbakti. Doa anak yang saleh adalah mata air pahala yang tidak pernah kering. Investasi terbesar seorang mukmin adalah dalam pendidikan karakter dan keimanan anak-anaknya, memastikan bahwa ada generasi yang terus mendoakan dan meneruskan estafet kebaikan setelah kita kembali kepada Allah.
Memfokuskan energi pada tiga pilar ini adalah respons praktis terhadap peringatan Al-Ankabut 57. Jika kita tahu bahwa kita akan segera pergi, kita akan memastikan bahwa kita meninggalkan jejak kebaikan yang tidak akan terputus.
Al-Ankabut ayat 57 adalah inti kehidupan dan kematian. Ia adalah janji yang pasti dan peringatan yang tulus. Ayat ini merangkum seluruh drama eksistensi manusia, mulai dari kelahiran yang fana hingga kepulangan yang abadi. Tidak ada yang bisa lari dari kematian; ia adalah cangkir yang harus dicicipi oleh setiap jiwa. Dan tidak ada yang bisa menghindari pertanggungjawaban, karena kita semua akan dikembalikan kepada Pencipta kita.
Kesadaran mendalam akan ayat ini harus menjadi sumber kekuatan, bukan keputusasaan. Ia adalah energi pendorong untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan membersihkan hati dari penyakit dunia. Semoga kita semua termasuk jiwa-jiwa yang ketika mencicipi kematian, mendapat kabar gembira dari Allah, dan ketika dikembalikan kepada-Nya, kita dikumpulkan di antara orang-orang yang beruntung dan diridhai.
Marilah kita renungkan setiap nafas yang kita hirup, setiap detik yang kita lalui, dan setiap keputusan yang kita buat. Apakah semua itu membawa kita semakin dekat kepada-Nya, ataukah menjauh? Karena sesungguhnya, perjalanan ini singkat, tetapi tujuannya adalah keabadian. Dan setiap kita, tanpa terkecuali, akan dijemput pada waktunya untuk memenuhi janji: “Setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Kemudian, hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.”
Dengan kesadaran ini, segala kesulitan duniawi akan terasa remeh, segala kenikmatan duniawi akan terasa sementara, dan segala upaya menuju ketaatan akan terasa sebagai investasi paling bijaksana. Mari kita terus berusaha agar pencicipan maut kelak menjadi momen paling indah, mengantar kita kembali ke hadirat Ilahi dalam keadaan jiwa yang tenang dan damai, In Shaa Allah.
Ayat ini memiliki dampak signifikan pada pembentukan akhlak (etika) seorang Muslim. Kesadaran akan kematian (al-maut) memadamkan api dengki, riya', dan takabur. Bagaimana mungkin seseorang merasa sombong ketika ia tahu bahwa raga yang ia banggakan akan segera menjadi makanan cacing di dalam tanah? Sifat tawadhu (rendah hati) adalah hasil alami dari perenungan terhadap Kullu nafsin dzaaiqatul maut.
Ketika seseorang iri terhadap harta atau kedudukan orang lain, ia harus mengingat bahwa semua itu akan berakhir. Dengki adalah penyakit yang merugikan diri sendiri, padahal waktu yang tersisa harusnya digunakan untuk membangun bekal. Dengan demikian, ayat ini adalah obat spiritual yang meredam emosi negatif yang merusak amal. Ia memfokuskan pandangan pada perlombaan sejati: perlombaan menuju ampunan dan surga, bukan perlombaan mengumpulkan kekayaan fana.
Adapun riya' (pamer) merupakan dosa tersembunyi yang menghancurkan amal. Mengapa beramal untuk pujian manusia yang fana, padahal hanya keridhaan Allah yang abadi yang akan menolong kita saat dikembalikan kepada-Nya (turja’un)? Kematian memaksa keikhlasan. Ia mengajarkan bahwa hanya amal yang murni (khalis) yang dilakukan semata-mata karena Allah yang akan memiliki bobot di Hari Hisab.
Proses 'pencicipan' kematian dilaksanakan oleh Malaikat Maut, Izrail, dan para pembantunya. Ini menunjukkan bahwa kematian bukanlah peristiwa acak atau kekalahan dari penyakit, melainkan sebuah proses yang diatur secara presisi oleh Allah SWT. Keteraturan ini adalah bagian dari sistem kosmis yang sempurna, yang berakhir pada Hari Kebangkitan.
Dalam tafsir disebutkan bahwa Malaikat Maut akan datang dalam wujud yang menenangkan bagi jiwa yang saleh, dan dalam wujud yang menakutkan bagi jiwa yang kufur. Momen sakaratul maut adalah puncak dari penyesalan atau puncak dari kegembiraan, tergantung pada bekal kehidupan. Bagi yang saleh, ruh dicabut dengan lembut, disambut oleh malaikat rahmat. Bagi yang durhaka, ruh dicabut dengan keras, disambut oleh malaikat adzab.
Inilah puncak dari makna 'pencicipan'. Rasa yang dicicipi adalah rasa transisi ini. Kesadaran ini harus menggerakkan kita untuk hidup dalam ketaatan yang konstan, berharap agar ketika momen itu tiba, kita dapat menyambutnya dengan senyuman dan hati yang penuh kerinduan kepada Rabbul 'Alamin.
Ayat Al-Ankabut 57 juga dapat dilihat dalam konteks yang lebih luas mengenai siklus penciptaan dan kehancuran alam semesta. Sebagaimana setiap makhluk hidup akan merasakan kematian, alam semesta ini pun memiliki batas waktunya. Al-Qur'an menjelaskan bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung akan dihancurkan pada Hari Kiamat. Ini adalah kematian makro kosmos, yang mendahului fase turja’un massal.
Jika struktur fisik alam yang begitu besar dan perkasa pun memiliki akhir, lantas mengapa manusia harus menggantungkan harapan pada benda-benda materi yang jauh lebih rapuh? Perenungan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa satu-satunya yang abadi adalah Dzat Allah, dan satu-satunya tujuan yang layak dikejar adalah keridhaan-Nya. Kematian individu (mikro) mempersiapkan kita untuk memahami kehancuran total (makro) yang akan dialami seluruh eksistensi, yang kesemuanya berujung pada kebangkitan di hadapan Sang Pencipta.
Definisi kebahagiaan (Sa’adah) bagi seorang mukmin diubah total oleh ayat ini. Kebahagiaan duniawi adalah fatamorgana jika ia tidak membawa kita menuju kebahagiaan abadi. Kebahagiaan sejati bukanlah akumulasi harta atau popularitas, melainkan kesuksesan saat momen turja’un tiba.
Seorang yang memahami Al-Ankabut 57 menemukan kebahagiaan dalam ketenangan jiwa, dalam melaksanakan shalat yang khusyuk, dalam memberi tanpa mengharap balasan, dan dalam memaafkan kesalahan orang lain. Kebahagiaan ini adalah bekal yang dapat dibawa melintasi Barzakh dan menjadi cahaya di Hari Hisab. Ketika kematian datang, ia tidak merenggut kebahagiaan, melainkan mentransformasikannya dari kebahagiaan fana menuju kenikmatan abadi di Jannah.
Maka, Al-Ankabut 57 bukanlah sekadar ancaman, melainkan peta jalan menuju kebahagiaan sejati. Ia menggarisbawahi urgensi hidup yang bertujuan, terfokus, dan penuh ketaatan, agar 'pencicipan' maut menjadi pintu gerbang menuju Ridha Ilahi, tempat kepulangan kita yang sesungguhnya.