I. Pendahuluan: Pilar Kehidupan Berumah Tangga
Surah An Nisa, sebagai surah yang banyak membahas regulasi sosial dan hukum, khususnya yang berkaitan dengan wanita, yatim, dan pembagian warisan, memuat salah satu ayat paling fundamental mengenai hak-hak istri dalam perkawinan. Ayat ke-4 dari Surah An Nisa bukan hanya sekadar instruksi tentang pemberian materi, melainkan sebuah deklarasi tentang status, kehormatan, dan kemandirian finansial seorang wanita di mata syariat Islam. Ayat ini meletakkan dasar bahwa mahar (*shaduqaat*) adalah hak penuh istri dan harus diberikan dengan kerelaan hati, bukan sebagai harga jual atau imbalan jasa.
Kewajiban pemberian mahar merupakan pembeda utama antara pernikahan yang sah dan praktik hubungan yang tidak diakui dalam syariat. Melalui penelusuran mendalam terhadap An Nisa ayat 4, kita akan mengungkap bagaimana Al-Qur'an secara revolusioner mentransformasi kedudukan wanita dari objek menjadi subjek yang memiliki kedaulatan penuh atas harta bendanya, bahkan sebelum adanya hukum modern yang menjamin hak tersebut.
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Artinya: “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib (atau dengan penuh kerelaan). Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 4)
Ayat ini sarat makna hukum (*ahkam*) dan hikmah (*wisdom*). Untuk memahami kedalaman perintah ini, diperlukan analisis linguistik terhadap istilah kunci, tinjauan komparatif mazhab fikih, serta relevansi sosial ekonominya dalam konteks kehidupan kontemporer.
II. Tafsir Linguistik dan Terminologi Kunci
Pemahaman yang tepat terhadap ayat ini bermula dari penguraian dua istilah sentral yang digunakan oleh Al-Qur'an, yaitu 'shaduqaat' dan 'nihlah'. Kedua kata ini memiliki nuansa makna yang sangat spesifik dan esensial.
A. Makna Termasuk 'Shaduqaat'
Kata 'shaduqaat' (صَدُقَاتِ) adalah bentuk jamak dari 'sadaq' (صَدَق) atau 'sidaq'. Akar kata ini sama dengan 'sidq' (kejujuran atau kebenaran). Para mufasir, termasuk Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa penggunaan kata ini sangat signifikan. Mahar disebut sadaq karena ia merupakan simbol dan bukti nyata dari kejujuran niat seorang pria dalam menikahi wanita tersebut, bukan sekadar untuk kepuasan sementara atau eksploitasi.
Dengan demikian, shaduqaat berfungsi ganda:
- Penghargaan Material: Nilai atau harta benda yang dialihkan.
- Penegasan Spiritual: Simbol keseriusan dan komitmen moral suami.
Istilah ini menolak pandangan bahwa wanita dibeli. Sebaliknya, mahar adalah pengakuan atas haknya dan martabatnya, serta beban kewajiban yang diemban oleh suami dalam menyediakan nafkah.
B. Signifikansi Kata 'Nihlah'
Kata kunci berikutnya adalah 'nihlah' (نِحْلَةً), yang diterjemahkan sebagai ‘pemberian yang wajib’ atau ‘pemberian dengan kerelaan hati’ (*at-tabarru' bihi*). Dalam bahasa Arab, nihlah seringkali merujuk pada pemberian yang murni, tanpa imbalan, dan secara sukarela.
Para ulama tafsir memiliki beberapa penafsiran mendalam mengenai nihlah:
- Pendapat Mayoritas (Wajib dan Kerelaan): Mayoritas ulama seperti Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa nihlah menekankan bahwa mahar harus diberikan kepada istri sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah (fardhu), bukan sekadar kebiasaan adat atau harga yang dinegosiasikan. Lebih lanjut, ia harus diberikan tanpa disertai pemaksaan atau penekanan.
- Pemberian Murni: Al-Qurthubi dan mufasir lainnya menekankan aspek ‘hadiah murni’ atau ‘anugerah’. Artinya, mahar bukan kompensasi atas manfaat yang diperoleh suami, tetapi anugerah yang menandai dimulainya hubungan perkawinan yang terhormat.
- Kepemilikan Penuh: Nihlah juga menegaskan bahwa kepemilikan mahar sepenuhnya beralih kepada istri. Ini adalah poin revolusioner di masa itu, di mana sebelumnya, mahar seringkali diambil oleh wali atau ayah wanita.
Ilustrasi ini menunjukkan transfer kepemilikan mahar dari suami kepada istri, melambangkan hak penuh yang ditegaskan dalam An Nisa ayat 4.
C. Implikasi Frasa "Fain Thibna Lakum an Sya’in..."
Bagian kedua ayat, "Fain thibna lakum an syai'in minhu nafsan fakuluuhu hani'an mari'an" (Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya), mengatur tentang pemberian kembali dari istri kepada suami.
Ini adalah pengakuan tertinggi atas kedaulatan finansial wanita. Suami hanya boleh mengambil kembali sebagian dari mahar jika:
- Inisiatif dari Istri: Pengembalian atau pemberian sebagian mahar tersebut harus datang dari kemauan murni istri.
- Kerelaan Jiwa (Thibna Nafsan): Kerelaan ini harus tulus, tanpa paksaan, tekanan sosial, atau rasa malu. Ulama sangat ketat dalam menafsirkan 'thibna nafsan', memastikan bahwa wanita tidak ditekan untuk mengembalikan hartanya demi 'membahagiakan' suami atau keluarga.
Jika syarat kerelaan ini terpenuhi, maka suami diizinkan mengambil harta tersebut, dan Al-Qur'an menggambarkannya sebagai sesuatu yang hani'an mari'an (sedap dan baik akibatnya), menegaskan bahwa harta tersebut menjadi halal dan berkah bagi suami karena berasal dari kerelaan hati pasangan hidupnya.
III. Implikasi Fikih: Hukum dan Penerapan Mahar
Ayat 4 Surah An Nisa menjadi rujukan utama para fuqaha (ahli fikih) dalam merumuskan seluruh hukum terkait mahar. Pembahasan fikih mengenai mahar sangat luas, mencakup jenis, jumlah, waktu pembayaran, dan penanganan sengketa.
A. Kedudukan Mahar (Hukum Wajib)
Semua mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa mahar adalah wajib (*fardh*) dalam akad nikah yang sah, meskipun penamaannya (*tasmiyah*) tidak disebutkan dalam kontrak. Jika mahar tidak disebutkan dalam akad (disebut *tafwidh*), wanita tersebut tetap berhak mendapatkan Mahar Mitsl (mahar standar yang biasa diterima oleh wanita sekelasnya), berdasarkan dalil dari ayat lain dan sunah Nabi Muhammad ﷺ.
Imam Syafi'i menekankan bahwa mahar bukan syarat sahnya nikah, tetapi merupakan konsekuensi wajib dari akad tersebut. Tanpa akad yang sah, kewajiban mahar tidak muncul; namun, tanpa mahar, pernikahan tetap sah tetapi kewajiban mahar secara otomatis melekat pada suami.
B. Jenis-jenis Mahar: Musamma dan Mitsl
- Mahar Musamma (مَهْرٌ مُسَمَّى): Mahar yang jumlah dan bentuknya telah disepakati dan disebutkan secara eksplisit dalam akad pernikahan. Inilah yang ideal dan merujuk langsung pada perintah “Berikanlah mahar...”.
- Mahar Mitsl (مَهْرُ الْمِثْلِ): Mahar yang diberikan jika tidak ada kesepakatan spesifik dalam akad, atau jika akad tersebut fasid (rusak) setelah terjadi hubungan suami istri. Penentuannya didasarkan pada status sosial, kecantikan, dan pendidikan wanita lain dalam keluarga atau komunitasnya.
Dalam kasus di mana suami meninggal sebelum sempat menentukan mahar musamma, wanita tersebut berhak mendapatkan Mahar Mitsl. Jika suami menceraikannya sebelum *dukhul* (bersenggama), maka menurut fikih, ia hanya berhak mendapatkan *mut'ah* (hadiah penghibur), kecuali jika mahar musamma sudah ditentukan, di mana ia berhak atas separuh mahar tersebut (berdasarkan QS. Al-Baqarah: 237).
C. Kepemilikan dan Waktu Pembayaran (Ta’jil dan Ta’jil)
Ayat 4 menekankan bahwa mahar adalah hak penuh istri. Suami tidak memiliki hak atas mahar tersebut kecuali dengan kerelaan istrinya. Mengenai waktu pembayarannya, terdapat dua kategori utama yang diakui secara fikih:
- Mahar Mu’ajjal (مُعَجَّلٌ): Mahar yang dibayar tunai pada saat atau sebelum akad nikah. Inilah bentuk yang paling dianjurkan karena memenuhi perintah “Wa aatuu an-nisaa’a shaduqaatihinna nihlah” (dan berikanlah).
- Mahar Mu’ajjal (مُؤَجَّلٌ): Mahar yang ditangguhkan atau dicicil, biasanya dibayarkan pada tanggal tertentu, atau saat terjadi perceraian/kematian.
Para ulama menyepakati bahwa penangguhan mahar hukumnya boleh, asalkan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, sebagian besar ulama berpendapat bahwa kepemilikan mahar penuh terjadi dengan salah satu dari dua kondisi: 1) Akad yang sah diikuti dengan persetubuhan, atau 2) Kematian salah satu pihak setelah akad yang sah. Jika istri meninggal setelah akad tetapi sebelum persetubuhan, mahar tersebut menjadi warisannya.
D. Hukum Pengembalian Mahar (Khulu')
Ayat 4 memiliki implikasi hukum saat terjadi perceraian atas permintaan istri (*khulu'*). Dalam khulu', istri meminta cerai dan biasanya menawarkan untuk mengembalikan seluruh atau sebagian mahar yang pernah diterima sebagai kompensasi bagi suami. Ini sesuai dengan bagian kedua ayat 4: jika istri memberikan mahar kembali dengan kerelaan hati, itu dibolehkan.
Pengembalian mahar dalam khulu' harus dilakukan dengan dasar kerelaan istri (thibna nafsan), memastikan bahwa suami tidak menzalimi atau menekan istri agar ia terpaksa mengembalikan hartanya demi mendapatkan kebebasan dari ikatan pernikahan yang bermasalah.
IV. Hikmah dan Fungsi Sosial Ekonomi Mahar
Di luar dimensi hukum (fikih), perintah dalam An Nisa ayat 4 membawa hikmah yang mendalam bagi struktur sosial masyarakat Muslim, menegaskan peran wanita sebagai entitas ekonomi yang berdaulat dan terhormat.
A. Pengakuan Kedaulatan Finansial Wanita
Pemberian mahar langsung kepada istri – dan bukan kepada walinya – adalah langkah revolusioner yang menjamin kedaulatan finansial wanita. Sebelum Islam, di berbagai peradaban, wanita seringkali diperlakukan sebagai harta yang diwariskan atau diperjualbelikan, dengan kompensasi (jika ada) diserahkan kepada ayah atau wali.
Ayat ini secara tegas memutus tradisi tersebut. Mahar menjadi harta pribadi istri, yang dapat ia kelola, investasikan, dan gunakan tanpa campur tangan suami atau keluarga. Ini adalah fondasi penting bagi hak kepemilikan properti wanita dalam Islam.
B. Penghargaan (I’zaz) dan Pembeda dengan Praktik Jual Beli
Mahar berfungsi sebagai simbol penghargaan tertinggi suami terhadap pasangannya. Ini adalah demonstrasi bahwa wanita tersebut dihormati dan diinginkan, bukan dibeli. Jika mahar diibaratkan harga, pernikahan akan kehilangan kesuciannya dan menjadi transaksi komersial. Namun, karena mahar diwajibkan sebagai 'nihlah' (hadiah murni), ia mengangkat akad nikah dari sekadar kontrak biologis menjadi kontrak spiritual dan sosial yang mulia.
C. Tanggung Jawab dan Keseriusan Suami
Kewajiban mahar memaksa calon suami untuk serius dan bertanggung jawab secara finansial sebelum memasuki gerbang pernikahan. Pemberian mahar, meskipun terkadang simbolis, menunjukkan kesediaan suami untuk mengeluarkan harta demi membangun keluarga, sekaligus menjadi penjamin bahwa suami memahami beban nafkah yang akan ia tanggung setelah pernikahan. Adanya mahar, terutama yang memiliki nilai substansial, berfungsi sebagai pencegah perceraian yang sewenang-wenang, karena suami telah menginvestasikan hartanya dalam ikatan tersebut.
Keadilan dalam pernikahan dijamin oleh Surah An Nisa 4, menyeimbangkan kewajiban mahar dengan hak kerelaan istri.
D. Kontroversi Mahar yang Mahal (Tabaaruj al-Mahar)
Salah satu tantangan kontemporer adalah praktik mahar yang sangat tinggi atau memberatkan, seringkali didorong oleh tradisi sosial yang salah kaprah. Meskipun tidak ada batas maksimum mahar dalam syariat (kecuali yang dilarang karena berlebihan), ayat 4 dan berbagai hadits menganjurkan kemudahan.
Umar bin Khattab pernah mengingatkan masyarakat agar tidak menetapkan mahar yang terlalu tinggi, karena jika itu merupakan kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, Nabi Muhammad ﷺ lah yang paling pantas melakukannya, namun beliau tidak pernah melakukannya. Tujuan utama mahar adalah memfasilitasi pernikahan, bukan menghalanginya.
V. Analisis Komparatif Mazhab Fikih terhadap An Nisa Ayat 4
Meskipun semua mazhab utama sepakat pada kewajiban mahar, terdapat perbedaan mendasar dalam penafsiran dan penerapannya, terutama terkait batasan minimum mahar.
A. Mazhab Hanafi (Abu Hanifah)
Mazhab Hanafi menetapkan batas minimum mahar, yaitu sepuluh dirham perak. Jika mahar yang disepakati kurang dari sepuluh dirham, akadnya sah, tetapi suami wajib membayar sepuluh dirham (mahar minimum). Dasar penetapan ini diambil dari hadits yang meskipun diperdebatkan validitasnya oleh mazhab lain, digunakan oleh Hanafi untuk memastikan bahwa mahar memiliki nilai minimum tertentu yang mencerminkan keseriusan.
Pandangan Hanafi sangat tegas mengenai kepemilikan: istri memiliki hak penuh atas mahar begitu akad selesai, meskipun kepemilikan totalnya (yang menghalangi suami mengambil kembali separuh jika terjadi talak sebelum dukhul) tergantung pada dukhul atau kematian.
B. Mazhab Maliki (Imam Malik)
Imam Malik menetapkan batas minimum mahar, yaitu seperempat dinar emas (atau setara dengan tiga dirham perak). Penetapan ini didasarkan pada analogi hukum potong tangan bagi pencuri, di mana nilai minimum yang dicuri untuk dikenai hukuman adalah seperempat dinar. Dengan demikian, sesuatu yang nilainya kurang dari batas minimum hukuman pencurian dianggap terlalu remeh untuk menjadi mahar dalam ikatan suci pernikahan.
Maliki juga dikenal dengan pandangan uniknya terkait mahar yang ditangguhkan. Mereka cenderung membatasi penangguhan mahar, agar wanita tidak dirugikan jika suami menunda-nunda pembayarannya hingga waktu yang tidak jelas.
C. Mazhab Syafi'i (Imam Syafi'i)
Mazhab Syafi'i, yang paling luas pengaruhnya di Indonesia, berpegangan pada prinsip tidak adanya batas minimum yang ditetapkan secara syar'i untuk mahar. Mereka berargumen bahwa selama sesuatu itu sah dimiliki dan memiliki nilai jual, ia boleh dijadikan mahar, meskipun nilainya sangat kecil (seperti cincin besi, berdasarkan hadits tentang pria yang tidak memiliki apa-apa). Dasar utamanya adalah hadits Nabi ﷺ yang meminta seorang sahabat menikahi wanita dengan mahar berupa hafalan Al-Qur'an.
Pendekatan Syafi'i sangat fleksibel, menekankan bahwa yang terpenting adalah ketaatan terhadap perintah "berikanlah" (aatuu) dan pengakuan hak kepemilikan istri. Segala sesuatu yang disepakati dan memiliki nilai, baik material maupun jasa (seperti mengajarkan Al-Qur'an), dapat menjadi mahar.
D. Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal)
Seperti Syafi'i, Mazhab Hanbali tidak menetapkan batas minimum mahar secara spesifik. Mereka juga membolehkan mahar berupa manfaat atau jasa. Namun, Hanbali menekankan bahwa mahar sebaiknya berupa sesuatu yang pantas dan sesuai dengan kemampuan suami, mengikuti sunah Nabi ﷺ yang memberikan mahar yang sederhana.
Penting bagi Hanbali, dan juga bagi seluruh mazhab, adalah penegasan terhadap kerelaan istri (thibna nafsan) dalam kasus pemberian kembali. Jika pemberian kembali itu dilakukan karena rasa malu atau tekanan, ia tidak sah dan suami wajib mengembalikannya.
Kesimpulan komparatif ini menegaskan bahwa inti dari An Nisa ayat 4 adalah hak kepemilikan istri atas harta tersebut, terlepas dari perbedaan pandangan mengenai nilai minimum yang diperbolehkan oleh syariat. Kerelaan adalah kunci etik dan hukum.
VI. Relevansi dan Tantangan Penerapan Kontemporer
Di era modern, di mana ekonomi global dan struktur sosial telah berubah drastis, perintah dalam An Nisa ayat 4 tetap relevan dan menghadapi tantangan baru dalam penerapannya.
A. Bentuk Mahar di Era Modern
Saat ini, mahar tidak hanya terbatas pada emas, perak, atau uang tunai. Penerapannya meluas mencakup:
- Properti dan Investasi: Tanah, rumah, atau saham, yang menjamin kestabilan finansial istri di masa depan.
- Jasa dan Ilmu Pengetahuan: Mengajarkan Al-Qur'an, bimbingan haji, atau kursus tertentu. Hal ini sejalan dengan pandangan Syafi'i dan Hanbali bahwa manfaat boleh dijadikan mahar.
- Perangkat Ibadah: Peralatan salat atau satu set Al-Qur'an, sering digunakan sebagai simbolis di berbagai budaya, meskipun para ulama menganjurkan agar ada nilai materiil yang menyertai agar hak kepemilikan istri terpenuhi.
Apapun bentuknya, yang krusial adalah nilai tukar yang sah dan kemampuan istri untuk memanfaatkan mahar tersebut sebagai miliknya secara independen.
B. Masalah Penundaan Mahar (Mu'ajjal)
Praktik penangguhan mahar (Mahar Mu'ajjal), yang semakin umum di masyarakat modern, seringkali menimbulkan masalah hukum. Jika mahar ditangguhkan hingga "waktu yang tidak ditentukan" atau "sampai cerai/mati," ini berpotensi merugikan hak istri. Pengadilan Syariah modern umumnya mengharuskan penulisan yang sangat jelas dalam akad mengenai tenggat waktu pembayaran mahar yang ditangguhkan. Jika terjadi perceraian dan mahar belum dibayar, suami wajib segera melunasinya.
Penangguhan ini, meskipun dibolehkan, tidak boleh menghilangkan hak kepemilikan istri yang ditegaskan dalam ayat 4. Ia tetap merupakan hutang suami yang wajib dibayar.
C. Melawan Eksploitasi: Kerelaan yang Terpaksa
Tantangan terbesar dalam penerapan ayat 4 adalah memastikan kerelaan istri (thibna nafsan) benar-benar tulus. Di banyak kasus, istri ditekan untuk 'merelakan' atau 'mengembalikan' mahar kepada suami, mertua, atau wali karena tradisi, tekanan emosional, atau kondisi ekonomi sulit. Fikih Islam modern menegaskan bahwa jika ada bukti pemaksaan, intimidasi, atau tekanan signifikan, pengembalian mahar tersebut dianggap batal dan tidak sah.
Hak istri atas mahar adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun, termasuk suaminya sendiri, kecuali dengan izin yang tulus dari dirinya. Ayat 4 adalah benteng pertahanan bagi kedaulatan harta wanita.
VII. Penutup: Penguatan Kontrak Sosial
An Nisa ayat 4 bukanlah sekadar aturan transaksional. Ia adalah inti dari kontrak sosial dalam pernikahan Islam, sebuah deklarasi ilahiah tentang keadilan dan penghargaan terhadap kaum wanita.
Perintah “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib (atau dengan penuh kerelaan)” menekankan bahwa pernikahan yang diberkahi harus didasarkan pada kejujuran (*sidq*), penghormatan, dan pengakuan hak finansial pasangan. Kegagalan memahami dan menerapkan ayat ini dengan benar seringkali menjadi akar masalah dalam sengketa rumah tangga, khususnya yang melibatkan harta benda.
Dengan memegang teguh semangat ayat ini, umat Islam dianjurkan untuk menunaikan mahar dengan nilai yang patut, membayarnya tepat waktu (atau sesuai janji), dan menghormati keputusan istri sepenuhnya, baik ketika ia memilih untuk mempertahankan mahar tersebut maupun ketika ia memilih untuk memberikannya kembali sebagian atau seluruhnya kepada suaminya sebagai hadiah murni (nihlah). Keadilan dalam hal mahar adalah cerminan dari ketaatan menyeluruh dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Pemberian mahar merupakan perwujudan tanggung jawab laki-laki sekaligus penegasan martabat perempuan. Jika hak ini dilaksanakan dengan sempurna, ia menjadi fondasi teguh bagi sebuah ikatan suci yang di dalamnya terdapat kesetaraan hak, meskipun peran dan kewajiban masing-masing pihak berbeda.
VIII. Elaborasi Hukum Khusus: Mahar dan Hukum Waris
Untuk melengkapi telaah mendalam, penting untuk membahas interaksi antara mahar dan hukum waris. Karena mahar adalah harta milik pribadi istri, statusnya dalam konteks waris sangat jelas dan berbeda dari harta bersama atau nafkah.
A. Mahar yang Belum Dibayar Saat Kematian Istri
Jika seorang istri meninggal dunia setelah akad (dan terutama setelah dukhul), tetapi mahar mu'ajjal (yang ditangguhkan) belum lunas dibayarkan oleh suami, mahar yang belum terbayar tersebut berubah status menjadi hutang piutang yang wajib dilunasi oleh suami. Hutang ini harus dibayarkan kepada ahli waris istri, bukan dihapuskan. Ahli waris istri (termasuk suami itu sendiri sebagai salah satu ahli waris) berhak atas bagiannya dari total mahar yang belum dilunasi. Ini menunjukkan betapa kuatnya hak kepemilikan yang diberikan oleh An Nisa ayat 4.
B. Mahar yang Belum Dibayar Saat Kematian Suami
Sebaliknya, jika suami meninggal dunia dan ia memiliki hutang mahar mu'ajjal kepada istrinya, pelunasan hutang mahar ini menjadi prioritas utama yang harus dikeluarkan dari harta peninggalan suami, bahkan sebelum pembagian warisan kepada ahli waris lainnya. Istri berkedudukan sebagai kreditur (yang berhak menagih hutang), dan setelah hutang lunas, ia juga berhak mendapatkan bagian warisannya sebagai seorang janda.
Aturan yang ketat ini berfungsi sebagai penguat hukum (hujjiyah) bahwa mahar adalah kewajiban finansial yang mutlak, setara dengan hutang lainnya, dan tidak dapat diabaikan atau dianggap sebagai 'hadiah' yang bisa ditarik kembali setelah kematian.
C. Kasus Pengajaran Al-Qur'an sebagai Mahar
Kasus mahar berupa pengajaran Al-Qur'an atau jasa lainnya seringkali menjadi titik perdebatan. Mazhab Syafi'i dan Hanbali membolehkannya berdasarkan kisah sahabat. Namun, implementasinya harus jelas. Apakah suami telah menunaikan kewajiban maharnya jika ia telah mengajarkan Al-Qur'an kepada istrinya? Ya, jika pengajaran itu telah selesai dan akadnya menyebutkan pengajaran sebagai imbalan penuh.
Jika perceraian terjadi sebelum pengajaran selesai, suami wajib memberikan kompensasi tunai yang setara dengan nilai sisa pengajaran yang belum tuntas, atau memberikan setengah dari nilai mahar jasa tersebut jika perceraian terjadi sebelum dukhul. Ini adalah upaya fikih untuk memberikan nilai riil pada setiap bentuk mahar, memastikan bahwa hak istri tidak hilang.
D. Tafsir Ibnu Katsir dan Penekanan pada Pemberian Langsung
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan pentingnya memberi mahar secara langsung kepada wanita yang dinikahi, bukan kepada walinya. Beliau menjelaskan bahwa sebelum Islam, di zaman Jahiliyah, para wali seringkali mengambil mahar dan tidak memberikannya kepada wanita, atau mereka mempergunakan mahar tersebut sesuka hati. Oleh karena itu, perintah “Wa aatuu an-nisaa’a shaduqaatihinna” (Dan berikanlah kepada wanita-wanita itu mahar-mahar mereka) adalah perintah yang mengoreksi praktik sosial yang menindas wanita.
Ini bukan sekadar formalitas, tetapi penegasan hak asasi manusia dan ekonomi. Pemberian langsung ini harus disertai dengan sikap yang baik dan ramah, sesuai dengan semangat nihlah, menjauhkan segala bentuk paksaan atau anggapan bahwa mahar adalah harga seorang wanita.
E. Perbedaan Antara Mahar dan Nafkah
Kesalahpahaman umum adalah mencampuradukkan antara mahar dan nafkah. An Nisa ayat 4 dengan jelas membedakannya. Mahar adalah pembayaran satu kali (atau terbagi) yang menjadi hak milik pribadi istri. Nafkah adalah kewajiban berkelanjutan suami untuk menafkahi istri, mencakup makanan, pakaian, dan tempat tinggal, selama ikatan pernikahan berlangsung.
Istri tidak wajib mengeluarkan maharnya untuk kebutuhan nafkah rumah tangga. Mahar yang ia miliki adalah cadangan finansialnya dan dapat digunakan sesuai kehendaknya. Kewajiban nafkah suami tetap berjalan sempurna, bahkan jika istri sangat kaya dan telah menerima mahar yang besar. Keduanya adalah hak yang terpisah dan tidak dapat saling menggantikan, sebagaimana ditetapkan dalam prinsip-prinsip syariat Islam.