Surah An-Nahl, yang secara harfiah berarti 'Lebah', adalah salah satu surah Makkiyah dalam Al-Qur'an. Surah ini kaya akan bukti-bukti kekuasaan Allah, mulai dari penciptaan alam semesta, rezeki yang berlimpah, hingga hukum-hukum moral dan etika. Nama surah ini sendiri, yang merujuk pada makhluk kecil yang pekerja keras dan menghasilkan madu yang membawa kesembuhan, adalah metafora kuat tentang wahyu ilahi—sebuah sumber yang menghasilkan kebaikan universal dan penyembuhan spiritual bagi jiwa yang sakit.
Di tengah konteks pameran kebesaran ilahi dan pemaparan ajaran tauhid, munculah ayat ke-64, yang berfungsi sebagai poros sentral dalam memahami tujuan utama di balik penurunan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini tidak hanya menegaskan status Al-Qur'an sebagai kitab suci, tetapi juga mendefinisikan tiga peran fundamentalnya dalam kehidupan manusia: sebagai penjelas perselisihan, sebagai petunjuk (hidayah), dan sebagai rahmat.
Manusia, sebagai makhluk yang diberikan kebebasan berkehendak dan akal, secara inheren cenderung berbeda pandangan. Perbedaan ini, meskipun seringkali menjadi sumber dinamika dan kemajuan, tanpa panduan yang mutlak, dapat berujung pada perpecahan, konflik, dan kekacauan. Sebelum wahyu terakhir ini sempurna, berbagai komunitas dan generasi sering kali tersesat dalam lautan interpretasi, tradisi yang bercampur, dan syariat yang terdistorsi. Oleh karena itu, kebutuhan akan standar kebenaran yang tidak ambigu adalah mutlak, dan inilah yang dijawab oleh Surah An-Nahl ayat 64.
Tinjauan awal terhadap struktur ayat ini menunjukkan bahwa tujuan penurunan Al-Qur'an ditekankan melalui sebuah kalimat pengecualian yang kuat: إِلَّا (melainkan). Hal ini memastikan bahwa meskipun Al-Qur'an memiliki banyak aspek, fungsi inti yang disebutkan dalam ayat ini adalah yang terpenting dalam konteks perselisihan umat manusia. Tiga kata kunci utama—litubayyin (untuk menjelaskan), Hudan (petunjuk), dan Rahmah (rahmat)—menjadi fondasi kajian mendalam ini.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, perlu dibedah tiga istilah sentral dalam konteks linguistik Al-Qur'an:
1. Litubayyin (لِتُبَيِّنَ): Akar kata 'Bayan' berarti menjelaskan, memperjelas, atau menyingkapkan sesuatu yang samar. Dalam konteks ini, ia menuntut kejelasan yang menghilangkan keraguan dan memisahkan kebenaran dari kebatilan. Ketika Allah menurunkan Kitab, Dia memastikan bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk kehidupan spiritual dan sosial mereka telah dijelaskan, terutama hal-hal yang menjadi sumber perselisihan. Tugas Nabi Muhammad SAW di sini adalah menyampaikan penjelasan ini, yang terkadang memerlukan penafsiran atau aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut.
2. Ikhtalafu Fihi (اخْتَلَفُوا فِيهِ): Istilah ini merujuk pada perbedaan pendapat, perselisihan, atau kontroversi. Perbedaan ini sangat luas, mencakup perselisihan tentang hakikat Tuhan, kenabian, hari akhir, hingga hukum-hukum sosial. Penggunaan kata kerja lampau ini juga menunjukkan bahwa perselisihan sudah ada sebelum Al-Qur'an diturunkan, baik di antara kaum yang berbeda maupun di antara para pengikut agama terdahulu.
3. Hudan (هُدًى): Makna hidayah atau petunjuk. Ini bukan sekadar informasi, melainkan bimbingan yang membawa seseorang keluar dari kegelapan menuju cahaya. Hudan yang ditawarkan oleh Al-Qur'an bersifat komprehensif, meliputi petunjuk akidah (keyakinan), syariah (hukum), dan akhlak (moral).
4. Rahmah (وَرَحْمَةً): Kasih sayang atau belas kasih. Jika Al-Qur'an adalah petunjuk yang rasional, ia juga diimbangi dengan rahmat yang emosional dan spiritual. Rahmat ini termanifestasi dalam keringanan hukum, janji pahala, dan harapan ampunan. Ia menjamin bahwa petunjuk ilahi tidak pernah bersifat kejam atau memberatkan di luar batas kemampuan manusia.
Inti dari An Nahl 64 adalah peran Al-Qur'an sebagai wasit tertinggi dalam setiap perselisihan. Mengapa manusia berkonflik? Konflik mendasar berakar pada tiga hal: ketidakjelasan informasi, kepentingan diri, dan penyimpangan akidah. Al-Qur'an hadir untuk mengatasi ketiga akar masalah ini secara fundamental dan tuntas.
Perselisihan paling kuno dan mendasar yang dihadapi umat manusia adalah mengenai hakikat ketuhanan. Apakah Tuhan itu banyak? Apakah Dia memiliki sekutu? Bagaimana sifat-sifat-Nya? Komunitas terdahulu terbagi karena interpretasi yang menyimpang dari wahyu awal, atau karena mencampur adukkan ajaran murni dengan takhayul dan filsafat lokal.
Al-Qur'an datang dengan konsep tauhid yang sangat jelas—penjelasan yang tak terlukiskan tentang keesaan Allah, sifat-sifat-Nya yang sempurna (Asmaul Husna), dan penolakan tegas terhadap segala bentuk penyekutuan. Sura Al-Ikhlas, misalnya, adalah manifestasi kemurnian penjelasan yang menghilangkan perselisihan mengenai esensi ilahi. Penjelasan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi menjadi pondasi bagi seluruh tatanan hidup. Ketika akidah jelas, tujuan hidup pun jelas, mengurangi perselisihan internal dan eksternal.
Dalam urusan hukum, manusia sering berbeda pendapat tentang apa yang adil, apa yang benar, dan bagaimana seharusnya masyarakat diatur. Perbedaan sosial, budaya, dan geografis sering memunculkan sistem hukum yang saling bertentangan.
Al-Qur'an menjelaskan prinsip-prinsip syariah yang universal dan abadi. Meskipun Al-Qur'an tidak memberikan detail mikro untuk setiap situasi yang mungkin terjadi—karena itu adalah peran Sunnah Nabi SAW—ia menetapkan batasan (hudud) dan nilai-nilai inti (maqashid syariah) yang mengatasi perselisihan hukum fundamental. Contohnya, larangan riba, penegasan keadilan dalam warisan, dan kewajiban berlaku adil kepada musuh. Ini adalah penjelasan ilahi yang mengakhiri argumen tentang dasar-dasar moral hukum.
Ayat 64 juga secara implisit merujuk pada perselisihan yang terjadi di antara umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Yahudi dan Nasrani, mengenai kitab suci mereka, status nabi mereka, dan hukum-hukum agama mereka. Al-Qur'an, sebagai wahyu terakhir, berfungsi sebagai Muhaymin (penjaga dan penentu kebenaran) atas kitab-kitab sebelumnya. Ia meluruskan narasi sejarah kenabian yang telah disalahartikan dan mengembalikan fokus kepada pesan tunggal yang dibawa oleh semua nabi: penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa.
Dengan demikian, peran Al-Qur'an sebagai penjelas adalah multi-dimensi. Ia berfungsi sebagai pembeda (Al-Furqan) yang memisahkan kebenaran dari kebatilan, memberikan otoritas tertinggi yang menghentikan siklus debat tak berujung yang didasarkan pada spekulasi manusia semata. Ketiadaan Al-Qur'an sebagai penjelas akan meninggalkan manusia dalam keadaan 'jahiliyah modern' di mana setiap kelompok mengklaim kebenaran mutlak berdasarkan hawa nafsu dan akal yang terbatas.
Tanggung jawab ini kemudian diemban oleh Rasulullah SAW untuk menerjemahkan teks menjadi realitas hidup. Tafsir dan aplikasi yang dilakukan oleh Nabi adalah langkah operasional pertama dalam proses "litubayyin" (menjelaskan) yang diamanahkan dalam ayat ini. Tanpa Sunnah, kemampuan Al-Qur'an untuk menyelesaikan perselisihan akan berkurang drastis, karena detail aplikasi sering kali merupakan sumber perselisihan sekunder yang juga memerlukan kejelasan ilahi.
Al-Qur'an (Kitab Terbuka) memancarkan cahaya (Klarifikasi dan Petunjuk)
Setelah menyelesaikan perselisihan, langkah berikutnya adalah memberikan arah yang benar. Inilah peran Al-Qur'an sebagai Hudan (Petunjuk). Kata Hudan dalam Al-Qur'an sering dipasangkan dengan kata 'Nur' (Cahaya), menunjukkan bahwa petunjuk ini tidak pasif, melainkan sebuah energi yang menerangi jalan menuju kebenbasan abadi.
Petunjuk ini memulai perjalanannya dengan membebaskan akal manusia dari belenggu taklid buta, mitos, dan spekulasi yang tidak berdasar. Al-Qur'an mendorong refleksi (tafakkur) terhadap alam semesta dan sejarah. Ini adalah petunjuk metodologis yang mengajarkan manusia bagaimana berpikir secara benar tentang eksistensi, penciptaan, dan tujuan akhir. Ia mengarahkan akal untuk memahami batasan dan potensi dirinya, memastikan bahwa pencarian ilmu didasarkan pada premis tauhid.
Petunjuk intelektual ini sangat penting karena banyak perselisihan timbul dari cacat metodologi berpikir. Ketika standar kebenaran diverifikasi melalui wahyu, akal manusia dapat bekerja secara maksimal tanpa tersesat dalam relativisme yang nihilistik. Al-Qur'an memberikan kerangka berpikir (paradigma) yang mengatur bagaimana manusia harus memahami dirinya sendiri, hubungannya dengan Sang Pencipta, dan hubungannya dengan makhluk lain.
Petunjuk Al-Qur'an tidak hanya teoritis tetapi sangat praktis, membentuk karakter moral individu dan kolektif. Konsep-konsep seperti ihsan (berbuat baik seolah-olah melihat Allah), taqwa (kesadaran diri), dan adalah (keadilan) adalah pilar-pilar etika yang ditanamkan melalui wahyu.
Ayat 64 menekankan bahwa petunjuk ini adalah jawaban atas kebingungan moral yang melanda masyarakat yang kehilangan kompas ilahi. Hukum-hukum yang dibawa Al-Qur'an, meskipun kadang tampak ketat, bertujuan untuk memelihara lima kebutuhan esensial manusia (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta)—inilah manifestasi nyata dari Hudan. Petunjuk ini memastikan bahwa tindakan individu berkontribusi pada kemaslahatan umum, bukan sekadar memuaskan keinginan sesaat.
Petunjuk Al-Qur'an adalah teks, namun implementasinya adalah kehidupan. Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah penjelmaan hidup dari Hudan ini. Ia menjelaskan bagaimana shalat didirikan, bagaimana zakat diberikan, dan bagaimana prinsip-prinsip keadilan diterapkan dalam konteks pemerintahan dan perdagangan. Tanpa aplikasi Sunnah, Hudan akan tetap menjadi ideal yang sulit dipahami. Oleh karena itu, petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam mencapai kejelasan dan arah hidup yang benar.
Sebagai petunjuk, Al-Qur'an menawarkan peta jalan menuju kebahagiaan sejati. Ia menggarisbawahi jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim) dan memperingatkan terhadap jalan-jalan menyimpang yang mengarah pada kerugian. Ini adalah fungsi kuratif dan preventif: menyembuhkan penyakit spiritual akibat perselisihan (ikhtilaf) dan mencegah tersesatnya manusia di masa depan. Kualitas petunjuk ini adalah universalitasnya; ia relevan di setiap waktu dan tempat, karena fitrah manusia tidak berubah.
Petunjuk (Hudan) Al-Qur'an berfungsi untuk mengatasi tiga bentuk kegelapan utama yang menjadi sumber perselisihan:
Puncak dari penjelasan dan petunjuk adalah rahmat. Al-Qur'an diturunkan sebagai rahmat bagi kaum yang beriman. Ini menunjukkan bahwa meskipun wahyu ilahi menetapkan standar yang tinggi dan menuntut kepatuhan, motivasi di baliknya adalah cinta dan belas kasih Allah terhadap ciptaan-Nya.
Bagaimana hukum yang ketat bisa disebut rahmat? Rahmat dalam syariat terletak pada kemudahan dan tujuan akhir. Hukum Islam didasarkan pada prinsip Taysir (memudahkan) dan penolakan terhadap Haraj (kesulitan yang tidak perlu).
Rahmat Al-Qur'an juga terkait erat dengan konsep harapan dan pengampunan. Al-Qur'an adalah kabar gembira (Bisyarah). Ia memberikan jaminan bahwa pintu tobat selalu terbuka, tidak peduli seberapa besar dosa seseorang. Rahmat ini memberikan motivasi dan ketenangan jiwa bagi orang yang berjuang untuk taat. Tanpa rahmat ini, tuntutan petunjuk akan terasa membebani dan sia-sia.
Kombinasi antara kejelasan (litubayyin), arah (hudan), dan kasih sayang (rahmah) inilah yang membuat Al-Qur'an menjadi sumber kekuatan tak tertandingi dalam menghadapi dinamika kehidupan. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan manfaat ini—petunjuk dan rahmat—hanya bagi "liqawmin yu’minuun" (bagi kaum yang beriman). Ini bukan berarti Al-Qur'an tidak ditujukan untuk seluruh manusia, melainkan bahwa hanya mereka yang memilih untuk berimanlah yang akan mendapatkan manfaat penuh dari hidayah dan rahmat tersebut. Iman adalah kunci pembuka untuk menerima ketiga fungsi fundamental wahyu ini.
Petunjuk tanpa rahmat bisa terasa kejam. Rahmat tanpa petunjuk bisa terasa ambigu. Dalam ayat An Nahl 64, keduanya dipasangkan:
Al-Qur'an adalah rahmat terbesar bagi umat manusia karena ia menyediakan solusi final terhadap krisis eksistensial, krisis moral, dan krisis sosial. Wahyu ini menstabilkan jiwa yang gelisah akibat pertanyaan-pertanyaan besar kehidupan yang tak terjawab, menjadikannya 'Shifa' (penyembuh) bagi penyakit di dalam dada.
Meskipun ayat ini diturunkan di Makkah lebih dari 14 abad lalu, relevansinya tetap mutlak dalam menghadapi perselisihan dan tantangan masyarakat modern. Perselisihan kontemporer mungkin berbeda dalam bentuk—melibatkan teknologi, globalisasi, dan ideologi yang kompleks—tetapi akar perselisihan tetap sama: kurangnya kejelasan dan penyimpangan dari petunjuk ilahi.
Dalam konteks internal umat Islam, Al-Qur'an, dan khususnya ayat ini, harus selalu menjadi referensi akhir ketika terjadi perbedaan pendapat mazhab. Meskipun perbedaan pendapat dalam detail hukum (furu') diakui sebagai rahmat (sebab ia memberikan keluwesan), perbedaan yang menyangkut prinsip-prinsip dasar (ushul) harus diselesaikan dengan merujuk kembali kepada "penjelas" agung ini.
Prinsip litubayyin mengajarkan bahwa ijtihad manusia, seberapa pun briliannya, tidak pernah boleh bertentangan dengan teks Al-Qur'an dan Sunnah yang jelas. Jika ijtihad menghasilkan perselisihan yang membahayakan persatuan, langkah korektifnya adalah kembali kepada sumber otentik untuk klarifikasi. Ini menuntut kejujuran intelektual dan ketundukan total kepada wahyu.
Dunia modern ditandai oleh pertempuran ideologi: sekularisme, ateisme, humanisme radikal, dan berbagai isme lainnya yang saling mengklaim kebenaran. Semua ideologi ini menawarkan solusi parsial terhadap masalah manusia tetapi gagal memberikan jawaban komprehensif mengenai tujuan hidup atau alam semesta.
Peran Al-Qur'an sebagai Hudan adalah untuk menawarkan kerangka ideologi tandingan yang utuh. Ia menjelaskan asal mula manusia, tanggung jawab etis mereka, dan nasib akhir mereka—semua hal yang menjadi sumber perselisihan sengit di antara filsuf dan ilmuwan modern. Dalam menghadapi kekacauan ideologi, Al-Qur'an adalah jangkar yang memberikan stabilitas kebenaran yang tidak bergeser.
Isu-isu seperti keadilan ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia sering menjadi sumber perselisihan global yang tidak terselesaikan. Di sinilah rahmat dan petunjuk Al-Qur'an menawarkan solusi yang adil dan berkelanjutan. Misalnya, prinsip zakat yang diamanatkan adalah solusi ekonomi yang jelas terhadap perselisihan ketidakadilan distribusi kekayaan. Prinsip khalifah fil ardh (mandat sebagai pengurus bumi) adalah petunjuk yang jelas dalam menghadapi krisis lingkungan.
Ketika masyarakat global terus terpolarisasi, seruan Al-Qur'an untuk kembali kepada prinsip tauhid sebagai penjelas segala hal menawarkan jalan keluar dari konflik. Konflik tidak akan berakhir selama manusia bersikeras menjadikan keinginan pribadi atau kelompok sebagai standar kebenaran. Al-Qur'an, sebagai otoritas yang diakui oleh kaum beriman, berfungsi sebagai titik temu dan resolusi yang mempersatukan.
Proses litubayyin bukan hanya tugas individual, melainkan kolektif. Untuk Al-Qur'an berfungsi sebagai penjelas perbedaan, umat Islam harus secara kolektif berupaya memahami dan menerapkan wahyu dengan metodologi yang benar. Hal ini memerlukan pengembangan ilmu tafsir, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya agar penjelasan Al-Qur'an dapat diterapkan secara tepat pada realitas yang terus berubah.
Jika umat berhenti merujuk Al-Qur'an sebagai penjelas, maka perselisihan akan mengeras, menghasilkan perpecahan yang tidak tersembuhkan. Ayat ini adalah peringatan abadi bahwa solusi bagi krisis sosial dan spiritual terletak pada penerimaan Al-Qur'an dalam tiga fungsinya: sebagai penjelas, petunjuk, dan rahmat. Kegagalan dalam menerima Al-Qur'an dalam peran ini akan membawa umat kembali kepada kondisi sebelum wahyu, terombang-ambing tanpa arah.
Selain perselisihan sosial, perselisihan internal (psikologis) juga menjadi epidemi di era modern. Kecemasan, depresi, dan hilangnya makna hidup adalah gejala dari hilangnya Hudan. Al-Qur'an berfungsi sebagai petunjuk psikologis yang luar biasa. Ia memberikan kerangka kepastian yang dibutuhkan oleh jiwa yang dilanda keraguan.
Rahmat Al-Qur'an dalam konteks ini adalah penyembuhan batin. Ayat-ayat tentang kesabaran (sabr), tawakal, dan janji balasan di akhirat memberikan sumber kekuatan mental yang tak terbatas. Ketika seseorang memahami bahwa setiap kesulitan dijelaskan dalam konteks ujian ilahi (sebagai bagian dari Qadar), perselisihan internal antara harapan dan kenyataan dapat didamaikan.
Penting untuk dipahami bahwa "apa yang mereka perselisihkan" tidak hanya merujuk pada perselisihan antar manusia, tetapi juga mencakup:
Jika kita telaah lebih lanjut, struktur ayat ini menempatkan kejelasan (litubayyin) sebagai tujuan utama (diperkenalkan dengan 'illa' yang berarti 'kecuali/melainkan'), sedangkan Hudan dan Rahmah adalah konsekuensi dari kejelasan tersebut. Artinya, ketika kejelasan ilahi telah ditegakkan melalui Al-Qur'an, barulah petunjuk dan rahmat dapat dirasakan secara penuh oleh kaum yang beriman. Tanpa fondasi kejelasan, petunjuk akan kabur, dan rahmat akan terabaikan.
Untuk memastikan bahwa Al-Qur'an terus menjadi penjelas perbedaan, tradisi Tadabbur (perenungan mendalam) harus dihidupkan kembali. Perenungan yang jujur dan ilmiah terhadap teks suci, dipandu oleh pemahaman Sunnah dan tafsir klasik, memastikan bahwa pesan Al-Qur'an tetap hidup dan relevan dalam menjawab tantangan baru.
Al-Qur'an adalah lautan ilmu yang tak bertepi, yang mengandung lapisan-lapisan makna yang terus terungkap seiring dengan kemajuan pemahaman manusia. Namun, kedalaman ini tidak boleh menjadi alasan untuk perselisihan yang tidak berdasar. Justru, keragaman interpretasi (yang masih dalam batas-batas syariat) harus dilihat sebagai kekayaan, bukan perpecahan. Ayat 64 memanggil kita untuk kembali kepada prinsip, bukan terjebak dalam cabang.
Setiap perselisihan dalam sejarah Islam, yang mampu diselesaikan secara damai, adalah kesaksian atas peran Al-Qur'an sebagai penjelas. Sebaliknya, setiap perpecahan yang berlarut-larut adalah kegagalan umat untuk merujuk kembali kepada Kitab dengan hati yang ikhlas dan niat untuk menerima petunjuk.
Dalam analisis yang lebih luas, ayat ini menyiratkan perlunya otoritas sentral dalam agama. Otoritas ini bukanlah individu atau lembaga, melainkan teks wahyu itu sendiri. Dengan demikian, setiap upaya untuk memecahkan perselisihan harus dimulai dari pengakuan terhadap otoritas transenden Al-Qur'an. Jika sebuah komunitas memilih untuk mengabaikan Al-Qur'an dalam menyelesaikan masalah fundamentalnya, ia secara otomatis melepaskan diri dari janji Hudan dan Rahmah yang melekat pada Kitab suci tersebut.
Kejelasan yang ditawarkan oleh Al-Qur'an memastikan keadilan. Tanpa kejelasan, tidak ada standar untuk keadilan, dan tanpa keadilan, perselisihan akan terus berkobar. Rahmat Allah mengikat proses ini, menjamin bahwa meskipun terkadang penjelasan itu sulit diterima oleh hawa nafsu, ia selalu bermuara pada kebaikan tertinggi bagi orang yang beriman. Oleh karena itu, bagi orang yang beriman, An Nahl 64 adalah konstitusi spiritual dan sosial.
Penurunan Al-Qur'an adalah intervensi ilahi terbesar dalam sejarah manusia untuk memperbaiki kerusakan yang diciptakan oleh penyimpangan manusia. Ia adalah mercusuar di tengah badai perselisihan. Siapa pun yang berpegang teguh padanya akan diselamatkan dari kegelapan ikhtilaf dan dibimbing menuju cahaya ittifaq (kesatuan).
Surah An-Nahl ayat 64 adalah ayat yang memadatkan misi utama Al-Qur'an dalam tiga fungsi yang saling melengkapi: sebagai Penjelas Perselisihan (Tabayyun), sebagai Petunjuk (Hudan), dan sebagai Rahmat (Rahmah). Ayat ini menetapkan bahwa Al-Qur'an bukanlah sekadar buku sejarah atau kumpulan hukum semata, melainkan otoritas final yang diturunkan khusus untuk menghentikan kekacauan yang timbul dari perbedaan pendapat manusia yang tak berujung.
Dalam setiap aspek kehidupan—baik akidah, syariat, etika, maupun sosial—Al-Qur'an menawarkan kejelasan yang menghilangkan keraguan dan memandu langkah menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Rahmat yang menyertai petunjuk ini memastikan bahwa jalan kebenaran adalah jalan yang penuh kasih, tidak memberatkan, dan menjamin kedamaian batin. Kualitas ini hanya dapat dinikmati sepenuhnya oleh kaum yang beriman, yang membuka hati dan pikiran mereka untuk menerima cahaya ilahi ini sebagai satu-satunya sumber otoritas.
Dengan memahami dan menghayati An Nahl 64, umat Islam diperintahkan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai referensi utama dalam menghadapi setiap kontroversi, baik di masa lalu, kini, maupun di masa depan, demi tercapainya kesatuan, keadilan, dan keberkahan. Kepatuhan terhadap perintah dalam ayat ini adalah kunci untuk membebaskan diri dari belenggu perselisihan dan mewujudkan masyarakat yang dipandu oleh belas kasih Tuhan.
Panggilan ayat ini adalah panggilan abadi kepada ketundukan dan pencarian kebenaran melalui wahyu. Di tengah hiruk pikuk perdebatan yang tak kunjung usai, Al-Qur'an tetap berdiri kokoh, menawarkan solusi yang jelas, petunjuk yang tak pernah salah, dan rahmat yang melimpah bagi siapa pun yang bersedia mendengar dan mentaatinya. Keutamaan Al-Qur'an terletak pada kemampuannya untuk menyembuhkan perpecahan dan menyatukan hati di atas pijakan kebenaran yang satu dan tunggal.
Ayat ini mengingatkan bahwa tugas kita bukanlah menciptakan kebenaran, melainkan menemukan dan menerimanya dari sumber yang tidak mungkin salah. Hanya dengan demikian, tujuan penciptaan—hidup dalam harmoni dan penyembahan yang tulus—dapat tercapai, mengakhiri perselisihan abadi yang membelah manusia. Al-Qur'an adalah kesempurnaan penjelasan, penutup kenabian, dan jaminan rahmat bagi seluruh alam.
Ketundukan kepada Al-Qur'an dalam menyelesaikan perselisihan tidak hanya menegakkan hukum Allah, tetapi juga memenuhi janji ilahi akan hidayah dan rahmat, menjamin kebahagiaan sejati yang dicari manusia di setiap zaman dan tempat.