Pendahuluan: Fondasi Hukum Keluarga dalam Al-Qur'an
Surah An-Nisa, yang berarti 'Perempuan', merupakan surah yang banyak membahas tentang hukum, hak-hak perempuan, warisan, dan tata kelola keluarga. Di antara ayat-ayat yang paling fundamental dan sering menjadi fokus kajian—baik dalam konteks klasik maupun kontemporer—adalah ayat ke-34. Ayat ini berfungsi sebagai panduan utama dalam menetapkan struktur kepemimpinan, tanggung jawab, serta langkah-langkah etis untuk menjaga keharmonisan rumah tangga ketika terjadi perselisihan serius.
Pemahaman yang utuh terhadap An-Nisa ayat 34 menuntut lebih dari sekadar terjemahan harfiah. Ia memerlukan analisis linguistik mendalam terhadap istilah-istilah kunci seperti qawwamun, nusyuz, dan tahapan penanganan konflik yang disebutkan di dalamnya. Tujuan utama dari ajaran ini bukanlah penindasan, melainkan penjagaan terhadap institusi pernikahan sebagai mitsaqan ghalizhan (ikatan yang kuat) di hadapan Allah SWT.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan berbuat nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak menyakitkan, sebagai pelajaran). Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS An-Nisa [4]: 34)
I. Analisis Linguistik dan Konsep Kunci
A. Makna Asasi Ar-Rijal Qawwamun 'ala An-Nisa
Istilah sentral dalam ayat ini adalah Qawwamun (bentuk jamak dari Qawwam), yang berasal dari akar kata Qama (berdiri). Dalam konteks ini, Qawwamun mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekadar 'pemimpin' atau 'penguasa'.
1. Definisi Qawwamun: Pelindung, Pengurus, dan Penanggung Jawab
Dalam tradisi tafsir klasik, seperti yang dijelaskan oleh Imam At-Tabari, Qawwamun merujuk pada tiga dimensi utama:
- Al-Qiyam bi al-Ushul: Berdiri di atas dasar-dasar, yang berarti melaksanakan hak dan kewajiban secara penuh. Suami bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan hidup istri dan keluarga, termasuk nafkah, tempat tinggal, dan keamanan.
- Al-Qiyam bi al-Hifz: Penjagaan dan perlindungan. Suami bertindak sebagai pelindung moral, fisik, dan ekonomi bagi istrinya.
- Ar-Ri'ayah wa at-Tawjih: Pengawasan dan pengarahan. Dalam hal ini, suami memikul tanggung jawab kepemimpinan dalam mengambil keputusan strategis keluarga, namun harus berdasarkan musyawarah.
Konsep ini menegaskan bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah beban dan tanggung jawab (taklif), bukan hak istimewa (tasyri') untuk sewenang-wenang. Jika tanggung jawab ini diabaikan, maka status Qawwamun secara otomatis gugur.
2. Dasar Penetapan Qawwamun (Dua Sebab)
Ayat ini secara eksplisit memberikan dua alasan fundamental mengapa laki-laki ditetapkan sebagai Qawwamun:
a. Bima Fadhdhalallahu ba'dhahum 'ala ba'dh (Keutamaan atau Perbedaan Anugerah Ilahi)
Poin ini sering disalahartikan sebagai superioritas total laki-laki atas perempuan. Namun, para mufasir modern seperti Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Qutb menekankan bahwa 'keutamaan' di sini bersifat fungsional dan spesifik, bukan keutamaan mutlak dalam hal kemanusiaan atau spiritualitas. Allah SWT memuliakan hamba-Nya berdasarkan ketakwaan, bukan gender.
Perbedaan fungsional ini merujuk pada aspek penciptaan yang membuat laki-laki umumnya lebih siap secara fisik dan emosional untuk memikul beban ekonomi yang berat dan tanggung jawab di luar rumah (menurut struktur sosial saat wahyu diturunkan). Keutamaan ini adalah 'keutamaan tugas' yang selaras dengan peran tanggung jawab. Dalam bidang lain, seperti spiritualitas, pengasuhan, atau kecerdasan, perempuan bisa jadi memiliki 'keutamaan' yang berbeda.
b. Wa Bima Anfaqu min Amwalihim (Tanggung Jawab Ekonomi)
Inilah pilar utama dan paling konkret dari Qawwamun. Laki-laki memegang peran kepemimpinan karena mereka diwajibkan oleh Syariat untuk menafkahkan harta mereka (memberi nafkah) kepada istri dan keluarga, tanpa memandang status ekonomi istri. Kewajiban nafkah ini mencakup mahar, makanan, pakaian, tempat tinggal, dan biaya pengobatan.
Mufasir kontemporer menekankan bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu atau lalai memenuhi kewajiban nafkah ini, maka hak Qawwamun-nya menjadi lemah atau bahkan hilang. Sebaliknya, istri, meskipun ia kaya raya dan bekerja, tidak memiliki kewajiban untuk menafkahkan hartanya untuk kebutuhan rumah tangga, kecuali atas dasar kerelaan.
B. Sifat-Sifat Istri Salehah
Ayat ini kemudian beralih kepada peran istri dengan menetapkan standar bagi perempuan yang salehah: Fa Shalihah Qanitat Hafizhatun lil Ghaibi Bima Hafizhallah.
1. Qanitat (Taat)
Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan kepada Allah SWT, dan kemudian ketaatan kepada suami dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Ketaatan ini berpusat pada pemeliharaan hak-hak suami dan menjalankan peran sebagai mitra dalam keluarga.
2. Hafizhatun lil Ghaibi (Penjaga Rahasia dan Kehormatan)
Seorang istri yang salehah wajib menjaga kehormatan dirinya, harta suaminya, anak-anaknya, dan rahasia rumah tangga, terutama saat suami tidak berada di rumah. Penjagaan ini, sebagaimana disebutkan dalam ayat, dilakukan "Bima Hafizhallah" (karena Allah telah menjaganya), menyiratkan bahwa kekuatan untuk menjaga kehormatan datang dari taufik dan perlindungan Ilahi.
Gambar 1: Prinsip Qawwamun sebagai Timbangan Keadilan dan Tanggung Jawab dalam Rumah Tangga.
II. Mekanisme Penanganan Nusyuz (Konflik Serius)
Bagian kedua ayat ini membahas masalah Nusyuz (ketidaktaatan atau pembangkangan serius) dan menawarkan solusi bertahap. Ini adalah salah satu bagian yang paling memerlukan interpretasi hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan.
A. Definisi dan Batasan Nusyuz
Secara bahasa, Nusyuz berarti 'mengangkat diri' atau 'meninggikan diri'. Dalam konteks fikih, Nusyuz pada istri merujuk pada pembangkangan yang disengaja terhadap kewajiban pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan hak suami, tanpa alasan syar’i yang jelas. Penting ditekankan bahwa Nusyuz bukanlah sekadar perbedaan pendapat, rasa kesal, atau bahkan pertengkaran biasa.
Contoh Nusyuz klasik meliputi: menolak pindah ke rumah yang disiapkan suami, keluar rumah tanpa izin penting, atau menolak hak biologis suami tanpa alasan yang sah (sakit, haid, dll.). Apabila istri melakukan Nusyuz, suami diizinkan mengambil tindakan korektif yang bersifat edukatif dan preventif, bukan hukuman balas dendam.
B. Tahapan Korektif yang Diperintahkan (Tiga Langkah)
Syariat Islam menetapkan tiga tingkatan penanganan Nusyuz yang harus dilakukan secara berurutan, dimulai dari yang paling ringan:
1. Tahap Pertama: Al-Wa'z (Nasihat dan Peringatan)
Ini adalah langkah pertama dan terpenting. Suami diwajibkan memberikan nasihat yang baik (mau’izhah hasanah) dengan penuh kasih sayang, mengingatkan istri akan kewajiban di hadapan Allah, dan dampak negatif dari Nusyuz terhadap keutuhan rumah tangga. Para mufasir sepakat bahwa nasihat harus disampaikan secara lembut, privat, dan bertujuan untuk perbaikan, bukan penghinaan.
Dalam banyak kasus konflik, tahap nasihat ini sudah cukup untuk menyelesaikan masalah. Kegagalan nasihat menunjukkan bahwa masalah tersebut mungkin berakar lebih dalam atau istri tidak menyadari keseriusan perilakunya.
2. Tahap Kedua: Al-Hajr fi al-Madaji' (Memisahkan Ranjang)
Jika nasihat tidak berhasil, langkah berikutnya adalah isolasi emosional, yaitu memisahkan tempat tidur (Hajr fil Madaji’). Tujuan dari pemisahan ranjang ini adalah memberikan waktu refleksi dan mengirimkan pesan bahwa suami sangat serius dengan kondisi rumah tangga tersebut. Langkah ini berfungsi sebagai tekanan psikologis ringan.
Para ulama seperti Imam Malik berpendapat bahwa pemisahan ranjang ini idealnya dilakukan di dalam rumah yang sama, bahkan di kamar yang sama, tetapi suami memalingkan punggungnya atau tidur di tempat tidur yang terpisah, tujuannya agar istri merasa 'ditinggalkan' secara emosional tanpa meninggalkannya secara fisik atau meninggalkan rumah.
Lama waktu pemisahan ini juga dibatasi oleh fikih. Ini bukan hukuman permanen, melainkan tindakan sementara. Apabila pemisahan ranjang justru memperparah keadaan atau tidak membuahkan hasil dalam waktu yang wajar (misalnya seminggu), maka suami diperbolehkan beralih ke tahap terakhir, atau, yang lebih dianjurkan, segera melibatkan pihak ketiga (hakam/mediator), sebagaimana diatur dalam An-Nisa ayat 35.
3. Tahap Ketiga: Ad-Dahrb (Pukulan Edukatif Simbolis)
Ini adalah langkah paling kontroversial dan paling sering disalahpahami, bahkan dalam sejarah Islam. Ayat ini menggunakan kata Ad-Dahrb (pukulan). Namun, interpretasi terhadap kata ini sangat ketat dan membatasi, hingga nyaris menjadi simbolis.
C. Analisis Mendalam Mengenai Ad-Dahrb dan Batasannya dalam Syariat
a. Kriteria Fiqih Klasik Mengenai Dahrb
Seluruh mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) menetapkan batasan yang sangat ketat mengenai pukulan, sehingga secara efektif menghilangkan potensi kekerasan fisik:
- La Tabrih (Tidak Melukai): Pukulan tidak boleh menyebabkan sakit parah, patah tulang, memar, atau meninggalkan bekas.
- Al-Mubarakhah (Pukulan Simbolis): Pukulan harus ringan, seolah-olah hanya sentuhan. Imam Al-Syafi’i dan Ibnu Katsir menyebut bahwa pukulan tersebut harus dilakukan dengan siwak (ranting kecil untuk bersikat gigi) atau lipatan kain.
- Takhayyun al-Wajh (Larangan pada Wajah): Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang memukul wajah atau area vital tubuh lainnya, karena wajah adalah tempat kemuliaan dan martabat seseorang.
- Tujuan Edukatif: Tujuannya bukan menghukum fisik, tetapi memberikan 'syok' emosional sebagai tanda kemarahan yang serius terhadap Nusyuz, setelah semua cara lain gagal.
b. Pandangan Kenabian (As-Sunnah)
Meskipun ayat mengizinkan dahrb yang terbatas, Sunnah Nabi SAW menunjukkan keengganan yang mendalam terhadap praktik ini. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah memukul istrinya. Beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik terhadap istriku.” Beliau juga menegaskan, “Apakah salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukul budak, lalu ia tidur bersamanya di malam hari?” (HR Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa praktik memukul harus dihindari oleh mereka yang ingin mencapai derajat kesempurnaan moral.
c. Tafsir Kontemporer dan Maqasid as-Shari’ah
Mayoritas ulama kontemporer dan lembaga fikih modern (seperti Majma’ al-Fiqh al-Islami) cenderung menginterpretasikan ayat ini dalam kerangka Maqasid as-Shari’ah (Tujuan Hukum Islam), yaitu perlindungan jiwa (hifz an-nafs) dan kehormatan (hifz al-’irdh). Mereka berpendapat:
- Pukulan Dihapuskan (Tarkul Dahrb): Mengingat konteks sosial modern di mana pukulan, sekecil apa pun, hampir selalu dianggap sebagai kekerasan fisik dan dapat menyebabkan kerusakan psikologis atau memicu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), maka opsi dahrb seharusnya ditinggalkan sama sekali demi menjaga tujuan Syariat yang lebih tinggi, yaitu keharmonisan dan keadilan.
- Prioritas Mediator: Jika tahap kedua (pisah ranjang) gagal, harus segera melompat ke tahap mediasi pihak ketiga (An-Nisa: 35), dan melupakan opsi fisik.
Dengan demikian, dalam praktik hukum Islam di banyak negara Muslim modern, penggunaan fisik terhadap istri dilarang keras, dan jika terjadi, itu adalah tindakan kriminal yang bisa dikenakan hukuman pidana. Pukulan dalam konteks An-Nisa 34 harus dipahami sebagai izin yang sangat sempit dan hampir mustahil diimplementasikan sesuai standar etis kenabian.
D. Syarat Ketaatan dan Batas Toleransi
Ayat ditutup dengan peringatan tegas: “Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Setelah istri kembali taat dan meninggalkan Nusyuz, suami dilarang keras untuk menyimpan dendam, mengungkit-ungkit kesalahan lama, atau menggunakan opsi korektif sebagai alat dominasi. Peringatan ini menegaskan bahwa tujuan dari semua tahapan korektif adalah rekonsiliasi, bukan penaklukan. Penutup ayat dengan menyebut nama Allah sebagai Al-Aliyy, Al-Kabir (Mahatinggi, Mahabesar) berfungsi sebagai pengingat keras bagi suami yang mungkin tergoda menggunakan otoritasnya secara zalim. Suami harus ingat bahwa di atas otoritasnya, ada Otoritas yang jauh lebih besar yang akan menghakimi setiap tindakan kecil.
Gambar 2: Urutan Tahapan Penanganan Nusyuz, menekankan sifat bertahap dan edukatif.
III. Reinterpretasi Qawwamun dalam Konteks Kontemporer
Dalam masyarakat modern yang ditandai oleh perubahan peran gender dan partisipasi ekonomi perempuan, konsep Qawwamun memerlukan peninjauan ulang yang cermat, tanpa mengubah esensi ajaran Al-Qur'an.
A. Qawwamun di Era Kerja Ganda Istri
Meskipun istri modern mungkin turut bekerja dan berkontribusi pada pendapatan keluarga, para fukaha kontemporer menegaskan bahwa hal ini tidak secara otomatis membatalkan kewajiban nafkah suami. Kontribusi finansial istri adalah sukarela (tabarru'). Status Qawwamun tetap pada suami selama ia menjalankan tanggung jawab nafkahnya. Namun, kepemimpinan dalam konteks modern harus diartikan sebagai kemitraan yang menuntut konsultasi (syura) dan pembagian tanggung jawab yang fleksibel.
Kepemimpinan Qawwamun hari ini harus lebih dimaknai sebagai 'kepemimpinan fungsional' atau 'kepemimpinan manajerial' yang bertujuan memastikan stabilitas dan kebaikan keluarga (maslahah al-usrah), bukan dominasi. Jika istri mengambil alih sebagian besar peran manajerial rumah tangga atau bahkan keuangan, maka kepemimpinan tersebut menjadi bersifat komplementer dan berbasis peran yang disepakati bersama.
B. Keadilan (Adl) sebagai Payung Utama
Para ulama seperti Yusuf Al-Qaradawi selalu mengingatkan bahwa prinsip tertinggi yang mengatur hubungan suami-istri adalah keadilan (adl) dan kebaikan (ihsan). Jika status Qawwamun digunakan untuk menzalimi atau menindas istri, maka tujuan Syariat telah dikhianati.
Konsep kepemimpinan ini tidak memberikan hak kepada suami untuk melanggar hak-hak istri yang telah ditetapkan, seperti hak mendapatkan nafkah yang layak, perlakuan yang baik, dan hak untuk menyuarakan pendapatnya. Keadilan memastikan bahwa otoritas yang diberikan oleh Qawwamun selalu disertai dengan akuntabilitas yang tinggi di hadapan Allah SWT.
IV. Memperluas Cakupan Tafsir: Pendapat Klasik dan Modern
A. Tafsir Klasik: Ibnu Katsir dan At-Tabari
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa alasan pemberian Qawwamun adalah karena kelebihan fisik laki-laki dalam menanggung beban yang berat dan kewajiban mereka untuk menafkahkan harta. Ibnu Katsir menggarisbawahi bahwa wanita salehah (shalihah qanitat) adalah mereka yang menaati suami dalam hal yang dimakrufkan, dan menjaga rahasia suami meskipun ia tidak hadir, sebagai penghormatan terhadap perlindungan yang diberikan Allah kepada mereka.
Mengenai dahrb, At-Tabari menegaskan bahwa pukulan tersebut harus non-destruktif dan dimaksudkan hanya untuk 'peringatan'. Kedua mufasir besar ini, meskipun hidup dalam konteks masyarakat yang berbeda, menekankan bahwa batas antara koreksi dan zalim sangat tipis dan suami harus selalu berhati-hati.
B. Tafsir Modernis: Al-Maraghi dan Rasyid Ridha
Para mufasir dari aliran modernis lebih menekankan dimensi spiritual dan moral dari ayat ini. Syekh Rasyid Ridha, murid dari Muhammad Abduh, berpendapat bahwa keutamaan (fadhala) yang dimiliki laki-laki bersifat terbatas pada tanggung jawab manajerial dan ekonomi. Keutamaan ini tidak berarti laki-laki lebih baik dalam segala hal.
Khusus mengenai dahrb, Ridha menyatakan bahwa izin tersebut hanya relevan dalam situasi dan budaya tertentu di mana wanita mungkin hanya merespons tekanan fisik. Namun, Ridha dan Abduh sama-sama menegaskan bahwa jika pukulan tersebut tidak menghasilkan perbaikan atau jika masyarakat melihatnya sebagai bentuk penghinaan, maka ia harus ditinggalkan (tarkul dahrb), selaras dengan semangat Syariah yang menolak penghinaan dan kekerasan.
V. Integrasi An-Nisa 34 dengan Ayat 35: Mediasi Wajib
Penting untuk diingat bahwa An-Nisa ayat 34 tidak berdiri sendiri. Ia segera diikuti oleh An-Nisa ayat 35, yang menetapkan prosedur wajib mediasi eksternal. Ayat 35 berbunyi: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan..."
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa bahkan setelah tiga langkah korektif internal (nasihat, pisah ranjang, dahrb) gagal, penyelesaian konflik belum berakhir. Syariat segera menuntut intervensi pihak ketiga yang netral dan bijaksana. Hal ini membuktikan bahwa tujuan Syariat adalah penyelamatan pernikahan melalui upaya maksimal, bukan pemutusan hubungan atau kekerasan.
Penggunaan ayat 35 sebagai ‘rem darurat’ terhadap kegagalan ayat 34 menunjukkan bahwa jika seorang suami merasa terpaksa menggunakan langkah terakhir (dahrb), maka sebenarnya masalah sudah terlalu besar untuk diselesaikan secara internal, dan dia harus segera meminta bantuan mediator keluarga. Dengan demikian, praktik dahrb harusnya sangat jarang terjadi, karena intervensi keluarga harus didahulukan begitu konflik mencapai tingkat kronis.
VI. Implikasi Etis dan Sosial: Pencegahan KDRT
Penafsiran yang benar terhadap An-Nisa 34 adalah benteng melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
A. Membedakan Koreksi dari Kekerasan (Al-Dharb vs. Al-I'tada')
Fiqih Islam secara tegas membedakan antara dahrb yang diizinkan (yang bersifat simbolis, non-melukai, dan bertujuan edukasi) dengan al-i'tada' (penyerangan atau kekerasan). Setiap tindakan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, atau penghinaan psikologis berada di luar batas Syariat dan dikategorikan sebagai kezaliman (kezaliman yang wajib dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat).
Hukum positif di mayoritas negara Islam saat ini menganggap KDRT, bahkan jika pelakunya merujuk pada An-Nisa 34, sebagai pelanggaran hukum. Hal ini didukung oleh pandangan ulama yang memprioritaskan tujuan Syariat (Maqasid) yaitu menjaga martabat manusia dan memastikan keselamatan fisik.
B. Tanggung Jawab Moral Suami
Ayat ini pada akhirnya adalah pengujian moral bagi suami. Allah mempercayakan kepadanya otoritas (Qawwamun) dan serangkaian alat korektif. Namun, penggunaan alat-alat tersebut harus diiringi dengan kesabaran, kelembutan, dan pemikiran jangka panjang.
Dalam hadis, Rasulullah SAW selalu menekankan perlakuan terbaik kepada istri. Beliau mendefinisikan seorang muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik akhlaknya adalah yang paling baik terhadap istrinya. Hal ini menjadikan kebaikan perilaku (husnul khuluq) sebagai tolok ukur utama Qawwamun yang berhasil.
VII. Hak-Hak Perempuan dalam Bingkai Ayat 34
Meskipun ayat ini berbicara tentang kewajiban istri dan otoritas suami, ia secara implisit melindungi hak-hak fundamental perempuan:
- Hak atas Perlindungan Ekonomi: Kewajiban nafkah mutlak suami adalah hak istri. Ini membebaskan istri dari beban mencari penghidupan dan memberinya waktu untuk fokus pada peran lain.
- Hak atas Keadilan dan Perlakuan Baik: Peringatan keras di akhir ayat (jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka) memastikan bahwa suami tidak boleh bertindak sewenang-wenang.
- Hak atas Non-Kekerasan: Interpretasi Syar’i yang melarang pukulan melukai menjamin perlindungan fisik istri.
- Hak Mendapatkan Mediasi: Ayat 35, sebagai kelanjutan, memberikan hak kepada istri untuk mendapatkan perwakilan dari keluarganya dalam menyelesaikan sengketa.
Ayat ini, oleh karena itu, harus dibaca sebagai sebuah konstitusi keluarga yang terintegrasi, yang memberikan peran yang jelas (Qawwamun) namun menuntut kewaspadaan moral yang sangat tinggi dari pihak yang memegang otoritas tersebut.
VIII. Kesimpulan: Keluarga Berlandaskan Mawaddah wa Rahmah
QS An-Nisa ayat 34 adalah pilar penting yang mendefinisikan peran dan tanggung jawab dalam pernikahan. Konsep Qawwamun bukanlah alat dominasi, melainkan kontrak tanggung jawab ekonomi dan perlindungan yang hanya dapat dipertahankan melalui keadilan dan akhlak mulia.
Tahapan penanganan Nusyuz menunjukkan bahwa Syariat Islam selalu mengutamakan solusi paling damai dan edukatif, menempatkan nasihat dan refleksi sebagai prioritas utama. Opsi yang bersifat fisik ditegaskan oleh para ulama harus ditinggalkan atau diinterpretasikan secara simbolis dalam konteks modern untuk mencegah segala bentuk penyalahgunaan yang bertentangan dengan semangat ajaran Rasulullah SAW.
Pada akhirnya, keharmonisan rumah tangga yang diridhai Allah SWT adalah yang didirikan di atas mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), bukan di atas ketakutan atau dominasi sepihak. Pemahaman mendalam terhadap An-Nisa 34 harus selalu membawa kita kembali pada esensi pernikahan: ikatan suci yang dijaga dengan keadilan dan kepemimpinan yang bertanggung jawab penuh.