Surah An-Nisa (Wanita) merupakan surah Madaniyah yang diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini secara fundamental membahas fondasi hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan struktur keluarga, hak-hak perempuan, warisan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan, khususnya anak yatim. Ayat-ayat awalnya diturunkan pada periode pasca Perang Uhud, di mana populasi laki-laki dewasa berkurang drastis, meninggalkan banyak janda dan anak yatim tanpa pelindung atau dukungan ekonomi. Dalam kondisi sosial yang penuh gejolak inilah, Allah SWT menurunkan sebuah panduan yang tidak hanya mengatur pernikahan, tetapi juga membatasi praktik poligini yang sebelumnya tidak terbatas dalam masyarakat Jahiliyah.
Fokus utama surah ini adalah menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Ayat 3, yang menjadi pusat kajian ini, bukanlah sekadar izin untuk berpoligami, melainkan merupakan seperangkat batasan, persyaratan etis, dan penekanan mutlak terhadap keadilan. Ayat ini mendefinisikan ulang pernikahan dalam kerangka syariat, menjadikannya sebuah kontrak yang didasarkan pada tanggung jawab dan kesetaraan perlakuan, bukan sekadar pemenuhan hasrat atau kekuasaan.
Memahami An-Nisa Ayat 3 membutuhkan apresiasi terhadap situasi pra-Islam di mana seorang pria dapat menikahi puluhan wanita tanpa batas, seringkali tanpa kewajiban menafkahi atau memberikan hak yang layak. Islam datang untuk memperbaiki kekacauan moral dan sosial ini, membatasi jumlah istri hingga maksimal empat, dan menetapkan sebuah standar yang sangat tinggi: standar keadilan. Jika standar keadilan ini tidak mungkin dipenuhi, maka alternatifnya, yaitu monogami (menikahi satu wanita), menjadi keharusan syariat.
Ayat ini sering kali disalahpahami sebagai "ayat poligami" murni, padahal konteks aslinya berkaitan erat dengan perlindungan terhadap anak yatim perempuan (yatimah) dan harta mereka. Para mufasir klasik, termasuk Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan untuk mengatasi praktik di kalangan kaum Muslimin di masa itu:
Sebelum turunnya ayat ini, adalah umum bagi wali dari seorang anak yatim perempuan yang cantik dan memiliki harta, untuk menikahinya tanpa memberikan mahar (maskawin) yang layak atau tanpa memperlakukannya dengan adil, semata-mata karena ingin menguasai hartanya. Allah SWT melarang praktik eksploitatif ini.
Jika seorang wali khawatir tidak bisa memberikan keadilan penuh kepada yatimah yang dinikahinya—baik dalam hal mahar, perlakuan, atau hak-hak lainnya—maka Allah menawarkan alternatif: Nikahi wanita lain yang bukan di bawah perwalianmu (yang tidak rentan terhadap eksploitasi harta), dengan batasan maksimal empat. Ayat ini secara efektif menutup pintu eksploitasi dan menuntut standar keadilan yang sama tingginya, bahkan jika itu adalah pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kekayaan.
Pembatasan jumlah istri hingga empat adalah salah satu revolusi sosial terbesar yang dibawa oleh Islam. Dalam masyarakat Arab, tidak ada batasan. Dengan menetapkan batas maksimal, Islam mengakui kapasitas manusia dan memprioritaskan kualitas keadilan (Al-'Adl) di atas kuantitas. Batasan ini adalah prasyarat formal, sementara syarat substantif yang mendasarinya adalah kemampuan untuk menegakkan keadilan.
Untuk mencapai pemahaman lebih dari 5000 kata mengenai ayat ini, kita harus membedah setiap frasa kunci dan implikasi hukumnya. Ayat 3 memiliki dua kondisi utama, masing-masing diperkenalkan dengan kata "wa in khiftum" (dan jika kamu khawatir/takut):
Kata "tuqsithu" berasal dari al-qisth (القسط), yang berarti keadilan yang sempurna dan merata. Bagian awal ayat ini secara spesifik merujuk pada keadilan dalam hak-hak material dan perlakuan terhadap anak yatim perempuan yang berada di bawah perwalian. Kekhawatiran ini mencakup:
Kesimpulan dari bagian ini adalah perintah untuk menjauhi pernikahan yang berpotensi melukai hak orang lain. Jika risiko ketidakadilan terhadap yatimah itu ada, maka carilah wanita lain yang tidak berada dalam posisi rentan tersebut.
Ini adalah syarat yang paling krusial dan universal. Setelah diberikan izin untuk menikahi 2, 3, atau 4 wanita, Allah segera memberikan batasan tegas: "Fain khiftum allaa ta’diluu fawaahidatan" (Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja).
Kekhawatiran yang dimaksud (khiftum) adalah kekhawatiran yang beralasan, bukan sekadar waswas. Jika seseorang menilai dirinya tidak memiliki kapasitas finansial, mental, fisik, atau emosional untuk membagi hak secara setara, maka monogami adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar.
Frasa "maka (nikahilah) seorang saja" bukanlah sekadar izin, melainkan penegasan bahwa monogami adalah opsi yang diutamakan oleh syariat jika keadilan terancam. Ini menetapkan monogami sebagai standar dasar dan default dalam hukum pernikahan Islam, sementara poligini adalah pengecualian yang bergantung pada pemenuhan syarat yang sangat ketat.
Ayat ditutup dengan: "Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim (atau tidak menanggung beban/kesulitan)." Lafaz "ta'ulu" (تَعُولُوا) memiliki dua tafsir utama:
Keadilan (Al-'Adl) adalah prasyarat utama (syarat sah) bagi poligini. Para fuqaha (ahli fikih) dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memiliki pandangan yang ketat mengenai cakupan keadilan yang dituntut dalam konteks An-Nisa Ayat 3.
Ini adalah keadilan yang wajib dipenuhi dan dapat diukur. Jika keadilan ini dilanggar, maka suami berdosa besar dan melanggar hukum syariat. Keadilan material meliputi:
Sebagaimana disinggung di atas, para ulama menyimpulkan bahwa keadilan hati (cinta dan kecenderungan) tidak wajib dipaksakan, karena hati adalah urusan Allah SWT. Hal ini didasarkan pada An-Nisa Ayat 129. Namun, ini tidak berarti suami bebas menunjukkan kecenderungan hatinya secara terang-terangan yang merusak hak istri lain.
Apabila seorang suami melanggar keadilan material (seperti tidak membagi malam secara adil atau mengurangi nafkah salah satu istri), istri yang dirugikan memiliki hak hukum (hak fasakh) untuk menuntut pembubaran pernikahan (perceraian) di pengadilan syariah. Pelanggaran keadilan dalam konteks poligini dianggap sebagai bahaya (ضرر) yang menjadi alasan kuat bagi istri untuk meminta cerai.
Ayat ini menekankan prinsip kehati-hatian dalam syariat Islam, yang dikenal sebagai Sadd adz-Dzara'i (menutup pintu menuju keburukan). Perintah untuk menikahi satu saja (فَوَاحِدَةً) jika ada kekhawatiran tidak adil, adalah manifestasi tertinggi dari prinsip ini.
Islam tidak menunggu hingga ketidakadilan terjadi. Ayat ini menuntut adanya introspeksi dan evaluasi diri sebelum mengambil keputusan. Jika calon suami memiliki keraguan serius tentang kemampuannya untuk adil, ia harus memilih monogami.
Para ulama kontemporer sering menekankan bahwa di zaman modern, di mana sistem sosial dan ekonomi lebih kompleks, standar keadilan menjadi semakin sulit dicapai. Misalnya, keadilan waktu: jika suami harus bepergian jauh untuk mencari nafkah, pembagian waktu menginap (al-qasm) menjadi tantangan logistik yang besar. Dalam kasus ini, risiko melanggar 'adl sangat tinggi, sehingga pilihan monogami menjadi jauh lebih aman dan lebih sesuai dengan semangat ayat.
Ayat ini juga memberikan kritik tersirat terhadap mereka yang menggunakan kekayaan sebagai pembenaran untuk berpoligami tanpa memikirkan tanggung jawab keadilan. Kekayaan hanya memenuhi sebagian kecil dari syarat 'adl (yaitu nafkah), tetapi tidak menjamin keadilan dalam hal waktu, perhatian, atau perlindungan emosional. Oleh karena itu, kemampuan finansial semata tidak pernah cukup untuk membenarkan poligini. Keadilan harus bersifat holistik.
Walaupun poligini diperbolehkan, para ahli spiritual dan etika sering menempatkan monogami sebagai keadaan ideal dan paling minim risiko zalim. Imam Al-Ghazali, misalnya, dalam pandangannya mengenai pernikahan, menekankan bahwa fokus pada satu ikatan memungkinkan suami mencurahkan seluruh energi spiritual dan emosionalnya, yang pada gilirannya akan menghasilkan keluarga yang lebih harmonis dan fokus pada ibadah.
Ketika Allah SWT menutup ayat ini dengan frasa, "Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim," ini adalah rekomendasi etis dan hukum tertinggi. Pilihan yang paling menjamin keselamatan spiritual (yakni terhindar dari dosa zalim) adalah monogami. Ini adalah sebuah isyarat tegas bahwa jalan yang paling aman adalah yang paling sederhana dan paling fokus.
Pada abad ke-20 dan ke-21, banyak negara Muslim telah menerapkan peraturan hukum yang membatasi dan mengawasi praktik poligini, bahkan di luar syarat fiqh klasik, sebagai upaya untuk menegakkan keadilan yang dituntut oleh An-Nisa Ayat 3.
Hampir semua yurisdiksi Islam kontemporer (seperti di Indonesia, Mesir, dan Pakistan) telah mensyaratkan izin dari pengadilan agama sebelum seorang pria diizinkan berpoligami. Izin ini diberikan hanya jika syarat-syarat berikut terpenuhi:
Pembatasan hukum ini didasarkan pada pemahaman bahwa menjaga keadilan ('Adl) adalah tanggung jawab kolektif masyarakat, yang diwakili oleh pengadilan. Tujuan utamanya adalah mencegah penyalahgunaan ayat 3 yang dapat menyebabkan penderitaan bagi wanita dan anak-anak.
Tantangan keadilan ('Adl) dalam poligini modern tidak hanya terbatas pada pembagian uang atau malam, tetapi juga mencakup integrasi sosial dan emosional di tengah masyarakat yang cenderung monogamis. Keadilan harus mencakup:
Jika suami merasa bahwa ia tidak bisa mempertahankan citra dan martabat semua istrinya secara setara di mata sosial, maka kembali ke opsi ‘seorang saja’ adalah langkah yang dianjurkan oleh ayat ini.
An-Nisa Ayat 3 mengangkat keadilan dari sekadar prinsip moral menjadi pondasi hukum yang mengikat. Dalam Islam, Al-'Adl adalah salah satu sifat utama Allah SWT, dan penegakannya adalah tujuan fundamental (maqashid) dari Syariat. Dalam konteks pernikahan, keadilan bukan hanya tentang hak, tetapi tentang hakikat ketaatan kepada Tuhan.
Ayat ini menggunakan dua istilah berbeda untuk keadilan: al-qisth (di bagian yatimah) dan al-'adl (di bagian poligini). Meskipun keduanya berarti adil, beberapa mufasir melihat perbedaan halus:
Dengan menggunakan kedua kata ini, Al-Qur'an menekankan bahwa dalam masalah pernikahan, pria harus memastikan keadilan yang bersifat eksak (Qisth) dan keadilan yang bersifat seimbang (Adl) secara menyeluruh.
Kebalikan dari 'Adl adalah Az-Zulm (kezaliman). Ayat ini memberi peringatan keras bahwa ketidakadilan terhadap istri adalah kezaliman, dan kezaliman adalah dosa besar yang tidak hanya merusak kehidupan duniawi tetapi juga mendatangkan konsekuensi di Akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang memiliki dua istri, lalu ia cenderung kepada salah satunya dan tidak berlaku adil, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan bahunya miring sebelah." (HR. Abu Dawud dan An-Nasai).
Ancaman ini menunjukkan bahwa syarat keadilan bukanlah sekadar rekomendasi, tetapi sebuah kewajiban hukum yang memiliki konsekuensi eskatologis (akhirat). Kesadaran akan ancaman ini harus menjadi rem spiritual terkuat bagi setiap pria yang mempertimbangkan poligini. Jika kekhawatiran akan miringnya bahu di hari Kiamat itu muncul, maka pintu monogami harus segera dipilih.
Dalam tradisi Sufi, keadilan tidak hanya dilihat sebagai pembagian material, tetapi sebagai keseimbangan batin. Seorang suami yang tidak mampu mengatur hatinya dan menenangkan nafsunya tidak akan pernah mampu mengatur rumah tangga yang plural. Keadilan sejati berasal dari kesucian niat dan kemampuan mengendalikan diri (mujahadah). Poligini hanya cocok bagi mereka yang telah mencapai tingkat disiplin diri yang sangat tinggi, di mana nafsu pribadi telah tunduk pada hukum Allah.
Kajian mendalam terhadap An-Nisa Ayat 3, yang secara eksplisit memberikan pilihan: "dua, tiga, atau empat," namun secara implisit sangat menganjurkan "satu saja," menunjukkan bahwa Syariat Islam jauh lebih mementingkan kualitas hubungan dan pencegahan kerugian daripada pemenuhan hasrat. Ayat ini adalah tolok ukur tertinggi moralitas pernikahan dalam Islam.
Secara tradisional, para ulama fiqh membahas apakah kemampuan berbuat adil itu sekadar syarat sah atau syarat sunnah. Namun, dalam konteks modern, pandangan yang dominan adalah bahwa kemampuan berbuat adil (terutama yang terukur) adalah syarat mutlak (syarat wujub) bagi kebolehan poligini. Jika seseorang mengetahui (atau khawatir secara kuat) bahwa ia tidak akan adil, maka melakukan poligini adalah haram (dosa).
Mazhab Syafi'i sangat menekankan pada pembagian giliran (al-qasm). Mereka berpendapat bahwa jika suami secara sengaja melanggar jadwal gilirannya tanpa izin istri, ia harus mengqadha' (mengganti) waktu yang hilang tersebut. Ketegasan ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran hak waktu dalam pandangan syariat.
Sementara itu, Mazhab Hanafi, meskipun terkenal dengan pendekatannya yang lebih luwes dalam beberapa aspek, tetap memandang keadilan nafkah sebagai kewajiban yang tidak boleh dikompromikan. Jika kemampuan finansial suami menurun setelah poligini, sehingga ia tidak lagi mampu menafkahi secara layak, pernikahan dapat dipertimbangkan untuk dibubarkan demi melindungi hak istri.
Keadilan waktu (Al-Qasm) bukan hanya tentang tidur di rumah yang berbeda, tetapi juga tentang interaksi kualitatif. Seorang suami tidak boleh menghabiskan waktu di rumah satu istri hanya untuk tidur, sementara seluruh waktu luang, rekreasi, atau kegiatan sosial penting dihabiskan bersama istri yang lain. Keadilan menuntut bahwa istri-istri secara bergantian mendapatkan hak atas waktu luang dan perhatian sosial suami. Pelanggaran terhadap keadilan waktu ini adalah bentuk kezaliman yang secara langsung melanggar semangat Ayat 3.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada laki-laki yang berencana menikah, Surah An-Nisa secara keseluruhan juga memberikan hak dan perlindungan yang sangat kuat bagi perempuan, termasuk hak untuk menuntut keadilan. Jika seorang wanita merasa suaminya tidak adil, ia memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai (khulu’ atau fasakh) atau menuntut kompensasi. Ini menunjukkan bahwa syarat ‘Adl bukan hanya urusan pribadi suami, tetapi hak yang dapat dipaksakan oleh istri melalui mekanisme hukum syariah.
Dengan demikian, An-Nisa Ayat 3 tidak hanya membatasi jumlah istri, tetapi juga memberdayakan wanita dengan hak untuk menuntut standar perlakuan tertinggi. Jika standar itu gagal ditegakkan, wanita memiliki jalan keluar yang diakui syariat.
Secara keseluruhan, An-Nisa Ayat 3 adalah fondasi etika dan hukum yang mendalam. Ia mengatur kapasitas spiritual dan material seorang pria, menekankan perlindungan terhadap yang rentan (yatimah), dan secara tegas menjadikan keadilan sebagai filter utama. Tanpa keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan, pilihan yang diberikan Allah adalah "satu saja," menegaskan bahwa monogami adalah jalan yang paling aman menuju ketaatan dan keselamatan spiritual.
Perintah untuk menikahi satu wanita jika takut tidak adil adalah perintah hukum yang mengikat, bukan sekadar nasihat moral. Ini adalah bukti bahwa Islam memilih jalan yang meminimalisir kerugian sosial dan domestik. Kekuatan hukum Islam terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan kebutuhan individu dengan perlindungan hak-hak sosial, dan An-Nisa Ayat 3 adalah contoh sempurna dari keseimbangan ini.
Kajian mengenai tafsir dan hukum yang melingkupi An-Nisa Ayat 3 menunjukkan bahwa praktik poligini dalam Islam bukanlah sebuah kebebasan tanpa batas, melainkan sebuah tanggung jawab yang sangat berat. Pria yang memilih jalur ini memikul beban etis dan hukum yang jarang terjadi dalam kontrak sosial lainnya. Oleh karena itu, bagi mayoritas umat Islam, memilih monogami adalah tindakan kehati-hatian yang paling sesuai dengan semangat dan perintah tertinggi dari ayat ini, yaitu menjauhkan diri dari kezaliman (dzulm).
Ayat ini merupakan bukti nyata dari prinsip taysir (kemudahan) yang dibawa Islam, namun kemudahan ini tidak pernah mengorbankan prinsip keadilan. Kemudahan itu terletak pada penawaran alternatif yang lebih ringan (monogami) ketika syarat yang lebih berat (keadilan mutlak) tidak mungkin dipenuhi.
Dalam menghadapi tantangan modern, di mana tekanan hidup, profesionalisme, dan distribusi waktu menjadi sangat kompleks, pemahaman terhadap 'Adl harus semakin diperketat. Keadilan dalam pernikahan multipel hari ini menuntut komitmen yang melebihi kemampuan rata-rata manusia, sehingga kembali kepada prinsip fawaahidatan (satu saja) adalah sikap yang paling bijaksana, paling bertanggung jawab, dan paling mendekatkan diri kepada tujuan utama syariat: tegaknya keadilan di antara sesama manusia.
Perlindungan terhadap perempuan, baik yatim maupun bukan, merupakan inti dari Surah An-Nisa. Ayat 3 adalah deklarasi bahwa martabat perempuan harus dijunjung tinggi, dan tidak ada pernikahan yang sah di mata Tuhan jika didirikan di atas dasar eksploitasi, ketidaksetaraan, atau pengabaian hak-hak. Ayat ini menegaskan kembali bahwa pernikahan dalam Islam adalah ibadah, dan ibadah tidak akan diterima jika dicampuri dengan kezaliman.
Kesimpulan dari kajian ekstensif ini adalah bahwa An-Nisa Ayat 3 berfungsi sebagai penentu standar etika tertinggi dalam hubungan keluarga. Ia merupakan ayat pembatasan, bukan ayat pendorong. Ia membatasi nafsu dan mengangkat tanggung jawab. Kunci dari keseluruhan ayat ini terletak pada kata "khiftum" (jika kamu khawatir). Ini adalah panggilan untuk mawas diri, kejujuran spiritual, dan pengakuan jujur atas keterbatasan diri sebelum mengambil langkah yang memiliki konsekuensi seberat penegakan keadilan Ilahi.
Surah An-Nisa Ayat 3 adalah fondasi hukum keluarga yang mendalam. Ayat ini memulai pembahasannya dengan perlindungan hak-hak anak yatim, lalu beralih ke pembatasan poligini dengan satu syarat mutlak: keadilan ('Adl). Syarat keadilan ini, yang mencakup dimensi material dan perlakuan lahiriah yang setara, ditetapkan sedemikian tinggi sehingga opsi monogami menjadi pilihan yang direkomendasikan secara etis dan hukum untuk mayoritas umat. Keadilan dalam pernikahan adalah manifestasi dari tauhid, sebuah upaya untuk mencerminkan salah satu sifat Allah SWT di bumi. Jika keadilan terancam, maka monogami adalah kewajiban yang menjamin keselamatan dunia dan akhirat.