Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah surah yang kaya akan pembahasan mendalam mengenai hak-hak, kewajiban, warisan, dan tata kelola sosial yang adil dalam masyarakat. Di tengah-tengah ayat-ayat yang mengatur hukum pernikahan dan pembagian harta, terdapat sebuah ayat yang memiliki makna psikologis dan spiritual yang sangat dalam, yaitu Ayat 32. Ayat ini bukan sekadar aturan, melainkan pedoman moral universal yang mengajarkan prinsip fundamental dalam hubungan manusia dengan Tuhannya dan dengan sesama, yakni prinsip keridhaan, usaha, dan doa.
Ayat 32 berfungsi sebagai penyeimbang bagi jiwa manusia yang cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang pembagian warisan yang spesifik dan seringkali berbeda antara laki-laki dan perempuan, ayat ini datang untuk mencegah timbulnya rasa iri atau keinginan yang tidak sehat terhadap bagian orang lain. Pesan intinya adalah: Jangan menginginkan apa yang telah diberikan Allah kepada orang lain, tetapi berusahalah dan mintalah karunia-Nya yang tak terbatas.
Ayat ini dibagi menjadi tiga pilar utama yang saling menguatkan: larangan terhadap *taman-ni* (keinginan iri), penegasan prinsip usaha (*kasabat*) dan hak kepemilikan, dan perintah untuk meminta karunia (*fadhl*) langsung kepada Allah SWT. Ketiga pilar ini membentuk landasan psikospiritual bagi seorang mukmin untuk menjalani hidup dengan penuh rasa cukup dan optimisme yang berbasiskan tauhid.
Kata kunci pertama dalam ayat ini adalah "wa lā tatamannau" (dan janganlah kamu iri hati/berangan-angan). *Taman-ni* merujuk pada keinginan yang bersifat pasif dan destruktif, yaitu menginginkan agar nikmat yang dimiliki orang lain berpindah kepada diri kita, atau setidaknya, menginginkan agar kita memiliki persis seperti apa yang orang lain miliki tanpa melalui usaha yang sepadan. Ini berbeda dengan *ghibtah*, yaitu keinginan untuk memiliki kebaikan seperti yang dimiliki orang lain, tetapi tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari pemiliknya.
Ayat ini secara eksplisit melarang kita menginginkan "mā faḍḍala Allāhu bihi ba‘ḍakum ‘alā ba‘ḍin" (karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain). Penggunaan kata *fadhl* (karunia/kelebihan) menunjukkan bahwa perbedaan rezeki, status, kecerdasan, atau keturunan yang kita lihat di dunia ini adalah hasil dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi. Karunia ini bersifat fleksibel dan beragam, karena Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana dalam pembagian-Nya.
Ketika seseorang mulai menginginkan *fadhl* yang ada pada orang lain, ia secara tidak langsung mulai mempertanyakan keadilan dan kebijaksanaan Allah dalam pembagian rezeki dan ketentuan. Ini adalah awal dari penyakit hati yang merusak. Iri hati, atau *hasad*, yang merupakan bentuk ekstrem dari *taman-ni*, adalah dosa besar karena mencerminkan ketidakpuasan terhadap takdir dan ketentuan Tuhan.
Larangan ini bertujuan untuk melindungi keharmonisan internal individu. Jika hati dipenuhi dengan iri hati, maka ia akan senantiasa merasa kurang, tidak pernah bersyukur atas apa yang sudah dimiliki, dan hidupnya dipenuhi kecemasan dan ketidakbahagiaan. Ayat ini mengarahkan fokus energi spiritual dan mental dari memandang apa yang ada di tangan orang lain, menuju apa yang bisa diusahakan oleh diri sendiri, sebuah pergeseran paradigma yang fundamental dalam etika Islam.
Penting untuk dipahami bahwa *fadhl* tidak selalu berbentuk materi. Ia dapat berupa:
Setelah melarang *taman-ni* yang destruktif, ayat tersebut kemudian memberikan alasan logis dan prinsip keadilan: "Lillir-rijāli naṣībun mimmā iktasabū, wa linnisā'i naṣībun mimmā iktasabna" (Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan).
Bagian ini adalah inti dari penegasan hak ekonomi dan moralitas kerja. Ia mengajarkan bahwa rezeki dan status datang melalui proses usaha (*iktisāb*) dan bahwa hasil dari usaha tersebut diakui secara ilahi, terlepas dari jenis kelamin pelakunya. Kata *iktisāb* (usaha/perolehan) di sini sangat luas, mencakup:
Penggunaan struktur paralel dalam ayat ini (laki-laki memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan, dan perempuan memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan) memberikan landasan kuat bagi kesetaraan hak ekonomi dalam Islam. Meskipun konteks Surah An-Nisa sering membahas perbedaan peran dan tanggung jawab (misalnya, tanggung jawab finansial utama suami), ayat 32 menegaskan bahwa perempuan memiliki hak penuh atas hasil kerja dan usaha mereka, sama seperti laki-laki. Tidak ada pihak yang berhak mengambil hasil usaha pihak lain tanpa keridhaan yang sah.
Penegasan ini sangat progresif. Ia menolak tradisi pra-Islam yang mungkin membatasi hak perempuan untuk memiliki harta atau hasil kerja mereka sendiri. Islam mengakui kemandirian finansial dan profesional bagi setiap individu yang berusaha. Jika seorang perempuan berdagang, mengajar, atau mendapatkan warisan, hasilnya adalah bagiannya (*naṣīb*) yang dilindungi oleh syariat. Demikian pula, seorang laki-laki memiliki hak atas hasil jerih payahnya.
Prinsip ini secara halus menjawab akar dari iri hati. Mengapa harus menginginkan rezeki orang lain jika kita tahu bahwa Allah telah menjamin bahwa "naṣīb" (bagian) kita akan datang dari "kasabat" (usaha) kita sendiri? Kekuatan ayat ini terletak pada menghubungkan hasil (*naṣīb*) langsung dengan aksi (*kasabat*). Jika kita ingin lebih, kita harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas, bukan hanya berharap nikmat orang lain pindah kepada kita.
Kata kerja *kasaba* atau *iktasaba* dalam bahasa Arab membawa konotasi usaha yang disengaja dan berulang. Ini bukan sekadar keberuntungan pasif, melainkan hasil dari upaya yang diinvestasikan. Dalam konteks rezeki, ini berarti rezeki yang halal dan diperoleh melalui cara yang dibenarkan. Dalam konteks pahala, ini berarti amal saleh yang dilakukan dengan niat tulus.
Oleh karena itu, ketika kita melihat rezeki orang lain, ayat ini menginstruksikan kita untuk tidak iri, melainkan untuk bertanya pada diri sendiri: "Seberapa besar usaha yang telah saya tanamkan? Sejauh mana saya telah memanfaatkan potensi yang Allah berikan kepada saya?" Pemahaman bahwa rezeki adalah hasil dari usaha yang sah menghilangkan alasan untuk *taman-ni*.
Keadilan Ilahi memastikan bahwa tidak ada usaha yang sia-sia, baik usaha yang dilakukan oleh pria maupun wanita. Setiap tetes keringat, setiap jam belajar, setiap pengorbanan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, memiliki imbalan yang pasti. Namun, imbalan ini dibentuk tidak hanya oleh usaha, tetapi juga oleh *kehendak* Allah, yang membawa kita pada pilar ketiga.
Setelah memberikan larangan (jangan iri) dan penegasan (usahamu adalah bagianmu), ayat ini memberikan solusi praktis dan spiritual yang sempurna: "Wa sa'alū Allāha min faḍlihi" (Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya).
Ini adalah kunci utama untuk mengatasi iri hati dan ketidakpuasan. Jika seseorang merasa kekurangan atau menginginkan sesuatu yang lebih baik, solusinya bukanlah membandingkan diri dengan manusia lain, melainkan beralih sepenuhnya kepada sumber segala karunia, yaitu Allah SWT. Karunia (Fadhl) Allah tidak terbatas, tak akan pernah habis, dan melampaui segala perbandingan antar manusia.
Ayat ini secara brilian menyeimbangkan antara dua konsep:
Permohonan ini mengubah energi negatif dari iri hati menjadi energi positif berupa optimisme dan doa. Daripada menghabiskan waktu meratapi nasib atau membenci orang lain, seorang mukmin diajak untuk mengangkat tangan dan meminta langsung kepada Yang Maha Kaya. Ini adalah ibadah yang mulia, karena menunjukkan keyakinan penuh kepada kekuasaan Allah untuk memberikan tanpa batas.
Ketika kita diperintahkan untuk meminta *min faḍlihi* (dari karunia-Nya), ruang lingkup permintaannya adalah tak terbatas. Kita tidak hanya meminta uang atau kedudukan, tetapi segala bentuk karunia yang dapat memperbaiki diri kita di dunia dan akhirat, termasuk:
Permintaan kepada Allah harus selalu disertai dengan niat yang bersih dan optimisme. Jika karunia yang kita minta telah diberikan kepada orang lain, kita harus mendoakan keberkahan bagi mereka, dan pada saat yang sama, memohon agar Allah juga melimpahkan karunia serupa atau yang lebih baik kepada kita melalui jalan yang sah dan halal.
An-Nisa Ayat 32 bukan hanya sekadar ajaran ritual, melainkan cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang sehat secara moral dan psikologis. Ketika individu mempraktikkan ajaran ini, konsekuensinya sangat besar:
Larangan *taman-ni* secara langsung memaksa individu untuk berfokus pada apa yang sudah mereka miliki. Fokus pada karunia sendiri melahirkan rasa syukur. Rasa syukur ini adalah benteng terkuat melawan iri hati. Ketika seseorang ridha dengan ketentuan Allah, ia akan melihat setiap kondisi, baik kaya atau miskin, sebagai kesempatan untuk beribadah dan memperoleh pahala.
Sikap ridha ini bukan berarti pasrah tanpa berusaha. Justru, ridha membebaskan energi yang sebelumnya terbuang untuk iri hati menjadi energi yang produktif untuk beramal saleh (*kasabat*) dan berdoa (*sa’alu*). Ini adalah lingkaran kebaikan: Usaha menghasilkan bagian, yang menumbuhkan rasa syukur, yang menguatkan doa, yang menarik lebih banyak Karunia Ilahi.
Dalam masyarakat modern yang serba kompetitif, seringkali persaingan didorong oleh keinginan untuk melampaui atau meniru orang lain secara persis. Ayat 32 mengajarkan prinsip persaingan sehat (*ghibtah*) dalam kebaikan, bukan persaingan yang didorong oleh *hasad*. Jika setiap orang fokus pada peningkatan usahanya sendiri dan meminta *Fadhl* Allah, energi kolektif masyarakat akan diarahkan pada produksi dan kontribusi, bukan pada kecemburuan sosial.
Ayat ini mendorong setiap individu untuk mengakui jalannya sendiri. Bagian laki-laki telah ditentukan melalui jalannya, bagian perempuan telah ditentukan melalui jalannya. Meskipun ada tumpang tindih dalam usaha, hasil akhirnya adalah penentuan Ilahi yang harus diterima. Pemahaman ini mengurangi konflik horizontal antar sesama manusia yang sering dipicu oleh kesenjangan sosial.
Ayat ini berfungsi sebagai penguat prinsip keadilan (Adl). Meskipun pembagian warisan dan tanggung jawab sosial mungkin tampak berbeda (misalnya, hak waris pria lebih besar karena tanggung jawab finansialnya lebih besar), ayat 32 memastikan bahwa di mata Allah, baik laki-laki maupun perempuan, dihargai sepenuhnya atas usaha mereka. Ini memastikan bahwa nilai seseorang di hadapan Tuhan tidak diukur dari jumlah harta yang dimiliki orang lain, tetapi dari kualitas usaha dan niat yang telah ditanamkan.
Prinsip keadilan ini sangat mendalam. Ketika seseorang melihat orang lain dilebihkan hartanya (sebagai *Fadhl* dunia), mereka diingatkan bahwa mungkin kelebihan mereka yang sesungguhnya terletak pada hal lain, misalnya kesabaran, kesehatan, atau kemudahan dalam ibadah. Allah mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hamba-Nya, dan inilah yang disiratkan dalam penutup ayat: "Inna Allāha kāna bikulli syay'in ‘alīmā" (Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu).
Ayat 32 ditutup dengan pernyataan yang sangat kuat dan menenangkan: "Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." Penutup ini bukan sekadar kalimat penutup, melainkan fondasi teologis yang membenarkan seluruh perintah dan larangan dalam ayat tersebut. Kita dilarang iri (*taman-ni*) dan diperintahkan berusaha (*kasabat*) serta berdoa (*sa’alu*) karena Allah Maha Mengetahui.
Allah mengetahui:
Ayat ini mengajarkan bahwa karena Allah Maha Mengetahui, maka pembagian *Fadhl* yang tampak tidak setara di mata manusia adalah pembagian yang adil dan bijaksana menurut Ilmu-Nya yang sempurna. Ketenangan sejati datang ketika kita menyadari bahwa rezeki yang kita dapatkan adalah yang terbaik yang Allah tetapkan bagi kita berdasarkan usaha dan pengetahuan-Nya.
Kajian mendalam Surah An-Nisa Ayat 32 membawa kita dari sekadar etika sosial menuju prinsip tauhid yang murni. Penyakit iri hati (*taman-ni*) adalah bentuk syirik tersembunyi, karena ia secara implisit mengkritik pembagian yang dilakukan oleh Allah. Sebaliknya, usaha dan permohonan (*kasabat wa sa’alu*) adalah manifestasi tauhid yang jelas.
Ayat 32 adalah salah satu formulasi terbaik mengenai integrasi antara usaha keras (*iktisāb*) dan tawakal (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah). Seseorang tidak boleh hanya berdoa tanpa berusaha (ini adalah kemalasan), dan ia tidak boleh hanya berusaha tanpa berdoa (ini adalah kesombongan atau ketidakpercayaan kepada Karunia Ilahi).
Perintah untuk berusaha ("bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan") menunjukkan pentingnya peran aktif manusia di dunia. Kita harus memaksimalkan segala potensi dan sumber daya yang diberikan Allah.
Sementara itu, perintah untuk memohon ("Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya") memastikan bahwa hati tetap terikat pada Allah sebagai satu-satunya Pemberi Rezeki sejati. Hasil akhir yang melampaui usaha adalah murni anugerah dari *Fadhl* Ilahi. Tawakal berarti kita menyadari bahwa setelah semua usaha dilakukan, yang menentukan keberkahan dan kelimpahan adalah kehendak Allah, yang Maha Mengetahui segala kondisi kita.
Sebagai antitesis dari *taman-ni* yang dilarang, umat Islam didorong untuk mempraktikkan *Ghibtah*, yaitu iri yang terpuji. Jika kita melihat seseorang dilebihkan dalam hal ilmu, ketekunan dalam ibadah, atau kemampuan untuk bersedekah, kita boleh dan bahkan dianjurkan untuk menginginkan kebaikan yang sama, asalkan kita berusaha menempuh jalan yang sama dan tidak berharap nikmat itu hilang dari mereka.
An-Nisa 32 memberikan kerangka untuk *Ghibtah* yang sah:
An-Nisa Ayat 32 adalah mutiara kebijaksanaan yang mengatasi masalah psikologis, sosial, dan teologis dalam masyarakat. Ia menyajikan peta jalan menuju kehidupan yang penuh keridhaan, yang dibangun di atas dasar aktivitas produktif dan ketergantungan spiritual yang mutlak kepada Sang Pencipta. Ayat ini mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan Ilahi (*Fadhl*) yang harus diterima. Kebebasan sejati ditemukan bukan dalam menyamakan nasib dengan orang lain, melainkan dalam menyadari bahwa setiap jiwa memiliki tanggung jawab usahanya sendiri, dan pintu *Karunia Ilahi* senantiasa terbuka lebar bagi siapa saja yang mau meminta dengan tulus.
Prinsip-prinsip yang tertanam dalam ayat ini—larangan iri, penegasan usaha independen bagi pria dan wanita, dan perintah untuk meminta Karunia Ilahi—membentuk karakter mukmin yang mandiri, produktif, dan sepenuhnya pasrah terhadap kebijaksanaan tak terbatas Allah SWT, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Untuk memahami sepenuhnya perintah "Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya," kita harus merenungkan konsep keberkahan (*barakah*). Karunia Allah yang diminta melalui doa seringkali datang dalam bentuk keberkahan, yang memungkinkan sedikit harta memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada harta yang melimpah namun tidak berkah.
Seseorang yang iri terhadap kekayaan orang lain mungkin hanya melihat jumlahnya. Namun, Allah, Yang Maha Mengetahui, tahu bahwa kekayaan tersebut mungkin tidak memiliki keberkahan, bahkan menjadi sumber musibah bagi pemiliknya. Sebaliknya, seorang mukmin yang berusaha dan berdoa untuk *Fadhl* memohon agar apa pun yang ia dapatkan—sekecil apa pun—diberkahi. Keberkahan inilah yang membuat rezeki terasa cukup, menenangkan hati, dan bermanfaat hingga akhirat.
Kajian yang berulang mengenai *Fadhl* ini penting, karena karunia Allah senantiasa diperbarui dan tidak pernah terbatas. Ketika seorang hamba berdoa, ia mengetuk pintu Samudera Karunia yang tak bertepi. Ini adalah konsep yang sangat kontras dengan mentalitas *taman-ni*, yang hanya melihat apa yang ada di kolam kecil orang lain.
Memohon Karunia Allah juga merupakan bentuk optimisme spiritual. Orang yang berdoa menunjukkan keyakinan bahwa masa depan dapat lebih baik daripada saat ini, dan bahwa Allah mampu memberikan segala sesuatu yang mustahil bagi akal manusia. Keyakinan ini adalah bahan bakar yang mendorong usaha (*kasabat*) seorang hamba untuk tidak pernah berhenti berbuat baik dan mencari rezeki yang halal.
Bagaimana ayat ini diterapkan dalam situasi nyata?
Dalam setiap kasus, Ayat 32 memberikan tiga langkah yang jelas: menahan hati dari perbandingan yang merusak, meningkatkan kualitas usaha, dan memperkuat hubungan vertikal dengan Allah melalui doa yang tak putus-putus. Kepatuhan pada perintah ini adalah jaminan ketenangan hati dan jalan menuju keberhasilan sejati di kedua alam.
Penting untuk terus mengulang dan meresapi makna kalimat penutup, "Inna Allāha kāna bikulli syay'in ‘alīmā". Pengetahuan Allah yang menyeluruh berarti Dia memahami setiap detail perjuangan kita, setiap kerugian yang kita rasakan, dan setiap hasrat yang tersembunyi. Kepercayaan penuh pada Ilmu-Nya menghilangkan kekhawatiran bahwa kita akan diperlakukan tidak adil. Keadilan sejati diukur oleh Dia Yang Maha Mengetahui, dan itulah sumber kedamaian abadi bagi seorang hamba.
Pada akhirnya, Surah An-Nisa Ayat 32 mengajarkan bahwa kekayaan terbesar bukanlah apa yang kita kumpulkan, melainkan kemerdekaan jiwa dari belenggu iri hati. Kemerdekaan ini diperoleh dengan menjadikan Allah sebagai fokus tunggal dari semua harapan dan permohonan kita. Dengan menjauhi *taman-ni* dan berpegang pada *kasabat* dan *sa'alu*, kita menempatkan diri kita pada jalur yang benar untuk menerima Karunia Ilahi yang tak terhingga.
Ayat ini adalah cerminan keindahan Islam yang tidak hanya mengatur hukum, tetapi juga merawat kesehatan batin dan psikologi umatnya, memastikan bahwa perjalanan hidup dipenuhi dengan keridhaan, usaha yang bermakna, dan hubungan yang erat dengan Sang Pencipta.
Setiap kali keraguan atau rasa iri muncul di hati, kembali pada tiga pilar An-Nisa 32 adalah terapi spiritual yang paling mujarab: Jangan iri terhadap kelebihan orang lain; ketahuilah bahwa bagianmu datang dari usahamu sendiri; dan mohonlah karunia yang tak terbatas langsung dari Allah yang Maha Luas Karunia-Nya.
Pemahaman yang mendalam terhadap Ayat 32 mendorong kita untuk terus berintrospeksi mengenai kualitas niat dan usaha kita, serta frekuensi dan ketulusan doa kita. Rezeki sejati bukanlah sekadar kuantitas yang dapat dihitung, melainkan kualitas keberkahan yang hanya dapat diberikan melalui *Fadhl* Allah SWT, Yang telah menjanjikan bahwa doa hamba-Nya akan didengar dan dikabulkan sesuai dengan Hikmah-Nya yang sempurna.
Demikianlah, melalui satu ayat yang padat, al-Qur'an memberikan solusi lengkap terhadap salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, mengarahkan umat manusia untuk meraih kejayaan batin yang sejati melalui usaha yang gigih dan tawakal yang utuh.
Lebih jauh lagi, mari kita telaah bagaimana konsep *kasabat* dan *fadhl* ini saling berinteraksi secara dinamis. *Kasabat* adalah benih yang kita tanam; *Fadhl* adalah hujan yang menyuburkannya dan membuatnya tumbuh melampaui ukuran normal. Tanpa benih (usaha), hujan *Fadhl* mungkin tidak memiliki tempat untuk berlabuh. Tanpa hujan (karunia), benih tetap kering dan tidak menghasilkan buah yang maksimal.
Dalam konteks modern, di mana standar kehidupan dan pencapaian terus dipamerkan secara publik, tekanan untuk terlibat dalam *taman-ni* sangat tinggi. Media sosial, misalnya, seringkali hanya menampilkan *fadhl* (hasil dan karunia) orang lain tanpa memperlihatkan *kasabat* (usaha, kesulitan, dan pengorbanan) yang mendahuluinya. Ayat 32 berfungsi sebagai filter digital, mengingatkan kita bahwa setiap pencapaian yang kita lihat adalah akumulasi dari usaha yang sah dan anugerah Ilahi yang spesifik untuk individu tersebut. Tugas kita bukanlah meniru hasilnya, tetapi meniru semangat usaha dan memperluas skala permohonan kita kepada Allah.
Ini adalah ajaran tentang individualitas yang positif. Allah tidak menciptakan kita untuk menjadi salinan satu sama lain. Setiap manusia diciptakan dengan potensi dan ujian yang unik. Oleh karena itu, *fadhl* yang diberikan kepada kita akan unik pula, dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan duniawi kita, sesuai dengan pengetahuan Allah yang sempurna. Mengharapkan *fadhl* orang lain berarti menolak desain unik yang telah Allah tetapkan bagi diri kita sendiri.
Perenungan mendalam terhadap Ayat 32 membawa kita pada pemahaman bahwa kekayaan sejati terletak pada kekayaan jiwa, yaitu *ghina an-nafs*. Jiwa yang kaya adalah jiwa yang tidak pernah iri, yang senantiasa bekerja keras, dan yang selalu merasa cukup dengan Karunia Allah, sambil terus memohon lebih banyak *fadhl* dalam bentuk spiritual. Kekayaan duniawi bisa hilang, tetapi *fadhl* spiritual yang diusahakan melalui ibadah dan doa adalah investasi yang kekal.
Mari kita akhiri dengan merangkum kembali komitmen yang diajarkan ayat ini: Komitmen untuk tidak membiarkan hati kita teracuni oleh iri hati; komitmen untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha kita di setiap aspek kehidupan; dan komitmen untuk menjadikan doa sebagai jembatan utama menuju sumber segala karunia, dengan keyakinan penuh bahwa Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Adil dalam setiap penetapan takdir-Nya.