Surah An Nisa (Wanita) merupakan surah yang sangat sentral dalam kerangka syariat Islam, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak sosial, keluarga, dan tentu saja, warisan. Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi hukum paling mendasar dan terperinci, Ayat 11 menjadi tonggak utama, mendiktekan bagaimana kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang Muslim harus didistribusikan kepada ahli waris utama: anak-anak.
Hukum waris Islam, atau yang dikenal sebagai Ilmu Fara'id, bukanlah sekadar aturan pembagian harta, melainkan merupakan perintah langsung dari Allah SWT yang telah ditetapkan secara rinci, tanpa memberikan ruang bagi interpretasi manusia untuk mengubah proporsi dasar yang telah ditetapkan. Ayat 11 ini datang sebagai revolusi sosial, menghapus tradisi jahiliyah yang hanya mewariskan harta kepada anak laki-laki yang mampu berperang, serta memastikan bahwa perempuan dan anak-anak yang lemah juga mendapatkan bagian yang adil dan pasti.
Pembahasan mengenai An Nisa Ayat 11 memerlukan ketelitian tinggi, karena ketetapan inilah yang sering kali disalahpahami atau bahkan ditentang oleh beberapa pandangan modern yang tidak memahami konteks filosofis dan tanggung jawab finansial yang menyertai pembagian tersebut. Ayat ini adalah manifestasi dari keadilan ilahi yang sempurna, yang mempertimbangkan tidak hanya hak penerimaan tetapi juga kewajiban pengeluaran.
Terjemahan Standar: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka dia memperoleh setengah (separuh) harta. Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (besarnya) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Pilar utama dari Ayat 11 adalah penetapan proporsi pembagian waris antara anak laki-laki dan anak perempuan, yang termaktub dalam frase kunci: لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ (Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah hukum yang mutlak (nash qath'i) dan menjadi dasar perhitungan bagi seluruh kasus warisan yang melibatkan keturunan langsung.
Hukum ini sering menjadi subjek pertanyaan dari sudut pandang kesetaraan gender kontemporer. Namun, para fuqaha (ahli fikih) dan mufassir (ahli tafsir) menekankan bahwa proporsi 2:1 ini bukan didasarkan pada nilai intrinsik laki-laki versus perempuan, melainkan pada perbedaan tanggung jawab finansial yang ditetapkan syariat Islam atas keduanya.
Keadilan dalam Islam diukur bukan pada kesamaan hasil (equality of outcome), melainkan pada kesamaan hak yang dihubungkan dengan kewajiban (equity based on responsibility). Ayat 11 memastikan bahwa keseimbangan ekonomi keluarga tetap terjaga setelah kematian pewaris.
Ketika pewaris meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan, mereka semua dikategorikan sebagai Ashabah bil Ghair (Ahli waris penerima sisa karena didampingi oleh orang lain). Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pewaris meninggalkan Harta Bersih (Tirkah) Rp 300.000.000. Ahli waris terdiri dari 2 Anak Laki-laki dan 1 Anak Perempuan.
Perhitungan:
Hasilnya konsisten: Bagian Laki-laki (Rp 120 juta) adalah dua kali lipat bagian perempuan (Rp 60 juta).
Ayat 11 tidak hanya menetapkan proporsi ketika anak laki-laki dan perempuan ada bersamaan, tetapi juga menentukan bagian pasti (Fardh) ketika pewaris hanya meninggalkan anak perempuan tanpa anak laki-laki.
Ayat tersebut berbunyi: "Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan."
Jumhur ulama (mayoritas) sepakat bahwa frasa "lebih dari dua" (فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ) juga mencakup dua anak perempuan. Jadi, jika pewaris meninggalkan dua anak perempuan atau lebih (tiga, empat, dst.), total bagian mereka adalah dua pertiga (2/3) dari total harta peninggalan. Bagian 2/3 ini kemudian dibagi rata di antara mereka.
Ayat tersebut melanjutkan: "Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka dia memperoleh setengah (separuh) harta."
Jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak perempuan, maka bagian pastinya adalah setengah (1/2) dari harta peninggalan.
Ayat 11 juga secara tegas mengatur hak waris bagi ayah dan ibu pewaris, yang memiliki kedudukan fardh (bagian pasti) yang berbeda tergantung pada keberadaan anak pewaris.
"Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak (atau cucu laki-laki dari anak laki-laki)."
Jika pewaris meninggalkan keturunan (anak laki-laki, anak perempuan, atau cucu dari anak laki-laki), maka hak waris kedua orang tua adalah:
"Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga."
Dalam kasus ini, jika pewaris tidak memiliki keturunan, dan tidak memiliki saudara, pembagiannya adalah:
"Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Keberadaan saudara (walaupun saudara tersebut terhalang mendapatkan warisan oleh ayah) dapat mengurangi bagian ibu dari 1/3 menjadi 1/6. Ini adalah mekanisme penghalang (Hajb Nuqsan). Saudara-saudara di sini bertindak sebagai penghalang saja, bukan penerima waris, karena Ayah lebih kuat kedudukannya (Ashabah Muqaddam) dan menghalangi saudara kandung.
Ayat 11 menutup penetapan fardh (bagian pasti) dengan sebuah klausul yang sangat krusial, yang menentukan urutan pelaksanaan hak-hak yang melekat pada harta peninggalan sebelum warisan dapat dibagi.
"(Pembagian-pembagian tersebut) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya."
Urutan prioritas pengeluaran harta (Tirkah) sebelum dibagi kepada ahli waris adalah sebagai berikut (disepakati oleh mayoritas ulama, walaupun urutan debt dan wasiat berbeda mazhab):
Penting untuk dicatat bahwa dalam teks Ayat 11, wasiat disebutkan sebelum utang, namun secara praktis dan ijma' (konsensus) ulama, utang harus didahulukan karena utang adalah hak makhluk yang mutlak.
Ayat 11 ditutup dengan penegasan teologis yang mendalam, mengingatkan manusia bahwa penetapan hukum waris ini adalah kebijaksanaan mutlak dari Allah, yang melampaui perhitungan manusia.
"Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (besarnya) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Penutup ini mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mengetahui secara pasti siapa di antara kerabatnya yang akan memberikan manfaat paling besar, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, tugas manusia hanyalah menerima dan menjalankan ketetapan ilahi ini (fariidhatan minallah) dengan keikhlasan. Hukum waris ini ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui (Al-Alim) dan Maha Bijaksana (Al-Hakim), menjamin keadilan yang holistik.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai penerapan An Nisa Ayat 11, perlu dianalisis beberapa kasus kompleks yang melibatkan berbagai kombinasi ahli waris yang disebutkan dalam ayat ini.
Pewaris (Laki-laki) meninggal, meninggalkan: Istri, Ibu, Ayah, 1 Anak Laki-laki, 1 Anak Perempuan. Harta Bersih: Rp 600.000.000.
Langkah 1: Menetapkan Fardh (Bagian Pasti)
Langkah 2: Menetapkan Ashabah (Sisa)
KPK dari penyebut fardh (8 dan 6) adalah 24. (Asal Masalah = 24)
Sisa untuk Ashabah (Anak-anak): 24 - 11 = 13 bagian.
Pembagian Sisa (13 bagian):
Kita kalikan Asal Masalah (24) dengan total bagian sisa anak (3): Asal Masalah Baru = 24 x 3 = 72.
Pembagian Harta dari 72 Bagian:
Sisa Harta (13 x 3 = 39 bagian) dibagi 39/72:
Total: 72/72 = Rp 600.000.000. (Terlihat jelas Anak Laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari Anak Perempuan, sesuai Ayat 11).
Pewaris (Perempuan) meninggal, meninggalkan: Suami, Ibu, Ayah. Harta Bersih: Rp 120.000.000.
Dalam kasus ini, tidak ada anak. Ayat 11 mengatur bagian ibu (1/3) jika tidak ada anak dan tidak ada saudara. Suami mendapat 1/2 karena tidak ada anak (An Nisa Ayat 12).
KPK dari 2 dan 3 adalah 6. (Asal Masalah = 6)
Total bagian yang sudah keluar: 3 + 2 = 5 bagian. Sisa untuk Ayah: 6 - 5 = 1 bagian.
Pembagian Uang (Rp 120 juta):
Ayat 11 menampakkan keadilannya: Meskipun Ibu awalnya berhak 1/3, dalam kombinasi ini, para sahabat Nabi menetapkan (berdasarkan Tafsir yang disepakati) bahwa Ayah harus mendapat sisa yang dua kali lebih besar dari Ibu setelah bagian pasangan diambil, untuk menjaga proporsi umum 2:1 dalam konteks kekeluargaan dekat.
Untuk memahami kedalaman keadilan Ayat 11, kita harus melihat konteks sejarah di mana ia diturunkan. Sebelum kedatangan Islam (masa Jahiliyah), hukum waris didasarkan pada kekuatan militer dan kemampuan mempertahankan klan. Aturan utama saat itu adalah:
Ayat 11 menghancurkan sistem diskriminatif ini secara fundamental. Dengan menetapkan hak waris yang pasti (fardh) bagi anak perempuan (1/2 atau 2/3) dan memberikan bagian bagi orang tua, Islam memastikan bahwa seluruh anggota keluarga inti—termasuk yang paling rentan (wanita, anak kecil, dan orang tua)—memiliki hak yang dilindungi oleh Allah.
Penetapan warisan ini adalah salah satu reformasi sosial terbesar Islam, mengangkat derajat perempuan dari objek warisan menjadi subjek penerima warisan yang sah dan dijamin. Ini membuktikan bahwa syariat Islam tidak hanya mengatur ritual ibadah, tetapi juga membentuk struktur keadilan sosial-ekonomi yang mendalam dan permanen.
Proporsi 2:1 bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari peran sosial dan ekonomi yang berbeda, yang jika dilihat secara keseluruhan dalam sistem syariah, menghasilkan keadilan yang menyeluruh. Mari kita bahas lebih lanjut mengenai aspek-aspek tanggung jawab yang mendasari perbedaan porsi ini.
Dasar hukum mengenai kewajiban nafkah laki-laki bukan berasal dari Ayat 11 itu sendiri, melainkan dari ayat selanjutnya dalam Surah An Nisa, yaitu Ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Ayat 34 ini mengukuhkan bahwa keunggulan finansial dan sosial laki-laki (yang termanifestasi dalam porsi waris 2:1) adalah terkait langsung dengan kewajiban mereka untuk mengeluarkan harta (nafkah). Ketika laki-laki menerima dua bagian, ia harus menggunakan sebagian besar bagian tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga barunya, sedangkan perempuan bebas menginvestasikan atau membelanjakan seluruh harta warisannya.
Sistem waris yang bijaksana ini juga memberikan bantalan ekonomi kepada laki-laki untuk menghadapi krisis atau kewajiban mendadak. Misalnya, dalam kasus perceraian, laki-laki masih wajib memberikan nafkah iddah dan hadiah (mut'ah) kepada mantan istrinya. Sementara itu, jika perempuan bercerai, harta warisannya tetap utuh, dan ia akan kembali ke bawah tanggungan ayahnya atau walinya.
Dalam situasi di mana orang tua menjadi tua dan lemah, kewajiban utama untuk menanggung biaya pengobatan dan hidup kembali jatuh kepada anak laki-laki. Oleh karena itu, bagian yang lebih besar ini adalah dana yang disiapkan oleh Allah untuk menjamin keberlangsungan sosial dan perlindungan ekonomi keluarga secara umum.
Seringkali di masa kontemporer, muncul argumen bahwa perempuan juga bekerja dan mencari nafkah, sehingga proporsi waris 2:1 dianggap tidak relevan. Namun, para ulama fiqh kontemporer menegaskan bahwa prinsip 2:1 tetap wajib diterapkan karena:
Oleh karena itu, Ayat 11 adalah hukum universal yang berlaku tanpa memandang kondisi pekerjaan individu, karena ia mengatur peran struktural dalam keluarga Islam.
Ayat 11 Surah An Nisa tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian pertama dari tiga ayat utama (Ayat 11, 12, dan 176) yang secara kolektif membentuk kerangka dasar Ilmu Fara'id.
Setelah menetapkan hak anak-anak dan orang tua, Ayat 12 berlanjut mengatur hak waris pasangan (suami dan istri) serta saudara seibu. Keterkaitannya sangat erat: bagian-bagian fardh yang disebutkan dalam Ayat 12 (1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 1/6) harus diambil terlebih dahulu dari harta peninggalan sebelum sisa harta (Ashabah) diberikan kepada anak-anak (yang pembagiannya diatur 2:1 oleh Ayat 11).
Ayat terakhir Surah An Nisa mengatur pembagian waris bagi Kalalah, yaitu orang yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan (anak) atau keturunan (ayah). Ayat 176 mengatur hak saudara kandung dan saudara sebapak (Ashabah) serta saudara perempuan (yang mendapatkan fardh 1/2 atau 2/3). Ayat 11, dengan penegasannya mengenai keberadaan anak (walad), berfungsi sebagai penentu apakah Ayat 12 atau Ayat 176 yang akan diterapkan.
Jika walad (anak atau cucu dari anak laki-laki) ada, mereka mendapatkan warisan sesuai Ayat 11, dan saudara-saudara lain (yang diatur Ayat 176) biasanya terhalang (mahjub). Ini menegaskan hierarki warisan: Keturunan mendahului kerabat samping (saudara).
Dalam konteks modern, Ayat 11 tetap menjadi pedoman utama, namun implementasinya memerlukan penyesuaian terkait jenis-jenis harta baru dan kewajiban modern.
Hukum waris Islam (Ayat 11) hanya berlaku atas Harta Bersih, yaitu harta yang tersisa setelah dikurangi kewajiban-kewajiban mendahului (utang, wasiat, biaya perawatan). Di era modern, harta peninggalan mencakup aset fisik, properti, saham, tabungan, dan aset digital. Seluruhnya harus dimasukkan dalam penghitungan Tirkah, termasuk:
Ketelitian dalam menghitung Tirkah sangat penting, sebab kesalahan dalam pelunasan utang atau penentuan wasiat akan mengurangi atau menambah jumlah yang harus dibagi berdasarkan proporsi 2:1 (Ayat 11).
Meskipun Ayat 11 menetapkan hukum yang pasti, sering terjadi kasus di mana ahli waris sepakat untuk mengubah proporsi pembagian (misalnya, menjadi sama rata 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan). Ulama sepakat bahwa, secara hukum, setelah harta bersih dibagi sesuai fardh, ahli waris memiliki hak penuh atas bagian mereka dan bebas untuk menghibahkan (memberikan) sebagian dari hak warisnya kepada ahli waris lain.
Jika anak laki-laki setuju untuk memberikan sebagian warisannya kepada anak perempuan (sehingga proporsi menjadi 1:1), ini diperbolehkan, namun ini adalah tindakan hibah atau sedekah setelah pembagian, bukan perubahan terhadap hukum Fara'id yang ditetapkan Ayat 11. Hukum 2:1 tetap menjadi basis perhitungan sah, dan perubahan hanya dapat dilakukan melalui kerelaan penuh (ridha) oleh penerima hak setelah hak tersebut menjadi miliknya.
Surah An Nisa Ayat 11 adalah manifestasi sempurna dari keadilan Ilahi dalam mengatur urusan warisan. Ayat ini menetapkan fondasi sistem Fara'id, memastikan bahwa hak waris didistribusikan secara adil berdasarkan peran, tanggung jawab, dan kebutuhan ekonomi yang ditetapkan oleh syariat.
Ketentuan 2:1 bagi anak laki-laki berbanding anak perempuan, bagian pasti (fardh) bagi orang tua, dan urutan prioritas utang dan wasiat, semuanya merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Dengan ketaatan pada ketetapan ini, umat Islam dijamin mencapai keadilan sosial-ekonomi, sebagaimana ditegaskan oleh penutup ayat: "Ini adalah ketetapan dari Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Penerapan hukum waris sesuai Ayat 11 adalah ibadah, sebuah pengakuan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan Allah melampaui segala perhitungan manusia, dan bahwa di dalam ketetapan-Nya terdapat kebaikan yang hakiki bagi seluruh keluarga.
Pemahaman mendalam tentang Ayat 11 tidak hanya memastikan distribusi harta yang benar, tetapi juga menjauhkan keluarga dari konflik dan perselisihan yang sering timbul akibat ketidakpastian pembagian warisan. Ketaatan terhadap hukum Fara'id adalah menjaga silaturahmi, menegakkan hak, dan menjalankan salah satu perintah terperinci dalam Al-Qur'an.
Adalah kewajiban bagi setiap Muslim untuk mempelajari dan mengamalkan ilmu Fara'id ini agar harta peninggalan tidak menjadi sumber bencana di antara generasi penerus. Ayat 11 adalah peta jalan yang jelas menuju keadilan warisan yang abadi.
Setiap kata dalam Ayat 11 memiliki bobot hukum yang signifikan:
Ketika pewaris meninggalkan anak, Ayah mendapatkan fardh 1/6. Namun, dalam banyak kasus warisan, Ayah tidak hanya menerima 1/6, tetapi juga memiliki hak sebagai Ashabah (penerima sisa). Status ganda ini disebut Ashabah ma’al Fardh. Ini terjadi ketika pewaris meninggalkan anak perempuan saja (tanpa anak laki-laki).
Pewaris meninggal, meninggalkan: Ayah, Ibu, 1 Anak Perempuan. Harta Bersih: Rp 600 juta.
Total Fardh yang keluar: 1/2 + 1/6 = 3/6 + 1/6 = 4/6 (atau 2/3). Sisa (Ashabah): 1 - 2/3 = 1/3.
Ayah mendapatkan 1/6 (fardh) + 1/3 (sisa) = 1/2 (setengah bagian) atau Rp 300 juta. (Perhatikan bahwa bagian Ayah jauh lebih besar dari Ibu, menunjukkan tanggung jawab Ayah sebagai kepala keluarga waris, meskipun ada anak perempuan.)
Pengaturan ini menunjukkan bahwa Ayat 11 dirancang untuk memberikan jaminan minimum (fardh) kepada orang tua ketika ada keturunan, sambil tetap memberikan Ayah peran sebagai penerima sisa (Ashabah) jika sisa tersebut tidak diambil oleh anak laki-laki (yang kedudukannya lebih kuat dari Ayah dalam hal Ashabah).
Walaupun bagian suami atau istri diatur rinci dalam Ayat 12, Ayat 11 secara implisit memberikan prasyarat vital: keberadaan 'anak' menentukan apakah pasangan mendapat porsi besar atau kecil.
Maka, hukum Ayat 11 mengenai 'anak-anakmu' (Awlādikum) memiliki fungsi ganda: menentukan penerima warisan keturunan langsung, dan menjadi 'penghalang' (Hajb) yang mengurangi atau menghalangi ahli waris lain, seperti porsi pasangan dan porsi ibu.
Ilmu Fara'id memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di antara segelintir orang kaya (sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an mengenai pentingnya distribusi harta), tetapi juga menyebar ke basis keluarga yang lebih luas melalui jaringan fardh yang kompleks.
Pembagian warisan yang wajib dan terperinci sesuai Ayat 11 mencegah penumpukan kekayaan yang berlebihan dalam satu garis keturunan atau satu individu. Jika pewaris memiliki banyak anak, harta yang besar akan terpecah menjadi banyak bagian, memastikan bahwa modal bergerak dan memberikan manfaat bagi banyak individu, yang pada gilirannya akan menunaikan kewajiban nafkah mereka sendiri.
Jika warisan dibiarkan mengikuti hukum adat atau keinginan pribadi pewaris sepenuhnya (kecuali dalam batas wasiat 1/3), risiko konsentrasi modal akan sangat tinggi. Dengan menetapkan 2:1, Islam memberikan keseimbangan antara tanggung jawab struktural (laki-laki) dan hak mutlak kepemilikan (perempuan).
Dalam pandangan spiritual, menjalankan hukum waris sesuai Ayat 11 dianggap sebagai tindakan ketaatan yang membawa keberkahan. Karena ini adalah fariḍatan minallāh (ketetapan dari Allah), kepatuhan terhadapnya diharapkan membawa kemaslahatan bagi pewaris di akhirat, dan menjaga keharmonisan (sakinah) bagi keluarga yang ditinggalkan di dunia. Perselisihan dalam warisan sering kali terjadi karena mencoba mengubah atau melanggar proporsi yang ditetapkan dalam Ayat 11 ini.
Dengan demikian, An Nisa Ayat 11 bukan hanya undang-undang, melainkan juga sebuah pedoman etika dan spiritual yang menjamin keadilan material dan ketenangan jiwa bagi mereka yang tunduk pada hukum-hukum Allah yang Maha Bijaksana.
Tingginya kadar detail dan ketegasan dalam penetapan hukum waris ini harus menjadi perhatian utama bagi setiap Muslim, karena ia menentukan transisi kekayaan lintas generasi yang bersih dari kezaliman dan didasarkan pada perhitungan yang adil dan sempurna.