(Ilustrasi Batasan Suci dalam Ikatan Pernikahan)
Surah An-Nisa ayat 23 adalah salah satu ayat fundamental dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menetapkan batasan-batasan suci dalam ranah pernikahan. Ayat ini merupakan pedoman utama yang menggariskan siapa saja wanita yang haram (mahram) dinikahi, sehingga memastikan kemurnian garis keturunan, menjaga kehormatan keluarga, dan memelihara tatanan sosial yang sehat. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan kajian tidak hanya dari segi terjemahan literal, tetapi juga dari perspektif tafsir klasik (tafsir) dan hukum Islam (fiqh) yang sangat rinci.
Ayat ini dikenal sebagai pilar dalam hukum keluarga Islam, membagi larangan pernikahan menjadi tiga kategori utama: larangan karena hubungan darah (nasab), larangan karena hubungan persusuan (rada'ah), dan larangan karena ikatan pernikahan (mushaharah). Ketiga pilar ini saling melengkapi, menciptakan jaring perlindungan yang komprehensif atas ikatan kekerabatan.
Bagian awal dari An-Nisa ayat 23 secara tegas menyebutkan tujuh kategori wanita yang diharamkan dinikahi karena hubungan darah atau nasab. Larangan ini bersifat abadi (mahram mu'abbad), artinya haram dinikahi selama-lamanya. Para ulama tafsir sepakat bahwa penetapan larangan ini bertujuan menjaga ikatan darah dan keharmonisan keluarga inti, serta menjauhkan potensi konflik psikologis yang dapat timbul dari percampuran peran.
Ini mencakup ibu kandung, nenek dari pihak ibu, dan nenek dari pihak ayah, dan seterusnya ke atas. Larangan ini adalah yang paling fundamental dan universal. Penggunaan kata "ibu-ibu" (jama') mencakup seluruh jalur keturunan perempuan ke atas, tanpa batas.
Meliputi anak kandung, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah, dari jalur anak laki-laki maupun anak perempuan. Sebagaimana larangan pada jalur ke atas, larangan pada jalur ke bawah ini juga bersifat mutlak dan abadi. Larangan ini melindungi kemurnian garis keturunan langsung.
Mencakup saudara perempuan sekandung (seayah dan seibu), saudara perempuan seayah saja, dan saudara perempuan seibu saja. Hukum ini didasarkan pada ikatan darah yang sangat dekat. Apabila terjadi pernikahan di antara mereka, hal itu akan merusak struktur kekeluargaan inti.
Bibi dari pihak ayah, yang merupakan saudara perempuan ayah, baik sekandung, seayah, atau seibu dengan ayah. Larangan ini meluas hingga ke atas, mencakup bibi dari nenek, dan seterusnya.
Bibi dari pihak ibu, yaitu saudara perempuan ibu, baik sekandung, seayah, atau seibu dengan ibu. Sama seperti bibi dari ayah, larangan ini juga berlaku pada jalur nenek dan buyut.
Keponakan perempuan dari pihak saudara laki-laki. Larangan ini mencakup anak perempuan dari saudara laki-laki dan semua keturunannya ke bawah (cucu keponakan perempuan). Larangan ini memastikan bahwa generasi yang lebih tua tidak mengambil peran sebagai suami dari generasi muda yang secara struktural sangat dekat dengannya.
Keponakan perempuan dari pihak saudara perempuan, termasuk semua keturunannya ke bawah. Ayat ini memperlakukan keponakan perempuan, baik dari pihak ayah maupun ibu, setara dengan anak sendiri dalam hal larangan pernikahan, karena hubungan nasab yang sangat erat.
Kesimpulan dari Mahram Nasab ini adalah bahwa larangan pernikahan berlaku pada Ushul (asal/keturunan ke atas), Furu' (cabang/keturunan ke bawah), dan Hawasyi (samping/saudara dan keturunannya).
Ayat 23 kemudian memperluas larangan nasab kepada larangan persusuan: "dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan."
Prinsip umum dalam fiqh adalah: "Diharamkan karena persusuan apa yang diharamkan karena nasab." Artinya, semua tujuh kategori yang dilarang karena darah (ibu, anak, saudara, bibi ayah, bibi ibu, keponakan) juga dilarang jika hubungan tersebut terjalin melalui persusuan.
Untuk menetapkan status mahram melalui persusuan, para ulama menetapkan beberapa syarat yang ketat, meskipun terdapat perbedaan madzhab:
Mayoritas ulama (Jumhur) menetapkan bahwa persusuan yang menjadikan mahram harus terjadi ketika anak masih berada dalam usia menyusu. Batas usia ini adalah:
Jika persusuan terjadi setelah anak melewati usia dua tahun, hal tersebut tidak menimbulkan status mahram. Ini adalah poin penting dalam fiqh, membedakan antara persusuan yang berfungsi sebagai nutrisi murni versus persusuan yang membentuk ikatan kekeluargaan.
Ketika seorang anak (laki-laki atau perempuan) menyusu pada seorang wanita, maka:
Pengecualian penting adalah bahwa saudara kandung dari anak yang disusui (saudara kandung seayah dan seibu) tidak menjadi mahram bagi keluarga susuan. Mereka hanya bersaudara dengan anak yang disusui itu saja.
Kompleksitas hukum persusuan muncul ketika mempertimbangkan beberapa tingkat pernikahan yang mungkin terjadi. Misalnya, jika dua orang saudara kandung disusui oleh wanita yang berbeda, mereka tetap sah menikah. Namun, jika mereka disusui oleh satu wanita, mereka menjadi saudara sesusuan dan haram menikah. Analisis mendalam terhadap syarat-syarat ini menegaskan betapa rumit dan rinci hukum Islam dalam menjaga batasan keluarga, bahkan pada ikatan non-biologis.
Bagian ketiga dari An-Nisa ayat 23 membahas larangan yang timbul akibat ikatan pernikahan (mushaharah). Larangan ini berlaku pada empat jenis wanita yang haram dinikahi karena adanya kontrak nikah, baik yang telah berakhir (cerai atau wafat) maupun yang masih berlangsung.
Seorang ibu mertua menjadi mahram mu'abbad (abadi) bagi menantunya segera setelah akad nikah putrinya. Para ulama sepakat bahwa tidak disyaratkan harus terjadi hubungan seksual (dukhul) dengan istri. Cukup dengan sahnya akad, ibu mertua langsung menjadi mahram selamanya. Jika pernikahan dibatalkan sebelum dukhul, ibu mertua tetap haram dinikahi.
Anak tiri perempuan (anak dari istri dari suami sebelumnya) menjadi mahram, namun dengan syarat yang sangat penting: "...yang berada dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (berhubungan badan)."
Ayat ini menetapkan dua syarat agar anak tiri menjadi mahram abadi:
Syarat dukhul ini membedakan hukum anak tiri dari hukum ibu mertua, menunjukkan kehati-hatian syariat dalam membatasi hubungan yang bisa terjalin. Apabila akad sudah sah tetapi belum dukhul, larangan belum final.
Menantu perempuan menjadi mahram abadi bagi ayah mertua segera setelah akad nikah dengan anaknya. Sama seperti ibu mertua, larangan ini bersifat permanen dan tidak memerlukan dukhul. Menantu tetap haram dinikahi oleh ayah mertua meskipun ia telah diceraikan oleh suaminya (anak kandung ayah tersebut).
Ayat ini secara spesifik menambahkan "الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ" (yang dari sulbi kalian/anak kandung kalian). Tambahan ini menurut para mufassir menunjukkan bahwa istri dari anak angkat (anak yang bukan dari sulbi) tidak termasuk dalam larangan ini. Oleh karena itu, seseorang boleh menikahi bekas istri anak angkatnya, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW setelah Zaid bin Haritsah menceraikan Zainab binti Jahsy.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit sebagai item ke-4 dalam daftar, ulama tafsir memasukkan larangan menikahi bekas istri ayah (ibu tiri) ke dalam kategori mahram mushaharah, berdasarkan ayat sebelumnya (An-Nisa: 22). Larangan ini berlaku abadi bagi anak laki-laki terhadap ibu tirinya, segera setelah ayahnya mengadakan akad, terlepas dari telah terjadi dukhul atau belum.
Selain larangan abadi (mahram mu'abbad) yang telah dibahas di atas, An-Nisa ayat 23 juga menyebutkan satu bentuk larangan yang bersifat sementara (mu'aqqatah), yaitu larangan yang dapat hilang seiring hilangnya sebab pelarangan.
Ayat tersebut melarang seorang pria menikahi dua wanita yang bersaudara (sekandung, seayah, atau seibu) dalam waktu bersamaan. Larangan ini adalah demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Jika dua wanita bersaudara dinikahi oleh satu pria, potensi konflik dan permusuhan antara kedua saudara tersebut sangat tinggi, yang bertentangan dengan tujuan syariat untuk memelihara kasih sayang.
Namun, larangan ini bersifat sementara. Jika salah satu saudari meninggal dunia atau diceraikan (dan telah selesai masa iddahnya), maka pria tersebut boleh menikahi saudari yang lain. Inilah yang membedakannya dari mahram abadi.
Meskipun ayat 23 hanya menyebutkan dua saudara perempuan, para ulama fiqh dengan ijma' (konsensus) memperluas larangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW:
Alasannya sama, yaitu status kekerabatan mereka begitu dekat sehingga pernikahan bersamaan akan menyebabkan salah satu dari mereka (keponakan atau bibi) dianggap lebih tinggi atau lebih rendah, menciptakan ketegangan yang merusak ikatan kekeluargaan. Larangan ini juga bersifat sementara; setelah salah satu dicerai atau wafat, yang lain boleh dinikahi.
Keindahan dan ketelitian hukum dalam An-Nisa ayat 23 tercermin dalam pemilihan kata-kata (lafazh) yang sangat spesifik. Analisis mendalam terhadap struktur kalimatnya mengungkapkan hikmah (kebijaksanaan) di balik penetapan mahram.
Penggunaan bentuk pasif hurrimat (diharamkan) menunjukkan bahwa larangan ini adalah ketetapan langsung dari Tuhan, bukan sekadar anjuran sosial. Kata ini memberikan otoritas hukum yang mutlak, menjadikannya dosa besar jika dilanggar.
Ayat ini diakhiri dengan pengecualian untuk larangan penggabungan dua bersaudara: "kecuali yang telah terjadi pada masa lampau." Pengecualian ini merujuk pada praktik masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliyyah) yang kadang-kadang menikahi dua saudara perempuan secara bersamaan. Syariat Islam tidak menghukum pernikahan yang sudah terjadi sebelum penetapan hukum ini, tetapi mengharuskan pemutusan salah satu pernikahan setelah turunnya ayat. Ini menunjukkan sifat syariat yang bertahap dan pengampunan Allah (Ghafurur Rahim) terhadap masa lalu.
Mengapa Allah SWT menetapkan larangan permanen atas mahram nasab, rada'ah, dan mushaharah? Para ulama dan filsuf hukum Islam mengemukakan beberapa hikmah utama:
Dalam hubungan mahram, interaksi yang longgar (seperti tidak wajib menutup aurat secara ketat, boleh bepergian bersama) diperbolehkan. Jika pernikahan diizinkan dalam hubungan ini, potensi ketegangan seksual akan merusak peran alami (ibu, saudara, anak), mengganggu struktur psikologis individu dan stabilitas rumah tangga. Larangan ini memastikan kasih sayang antara mahram murni dari unsur ikatan darah, bukan nafsu.
Dengan melarang pernikahan dalam lingkaran keluarga inti yang sangat dekat, syariat secara efektif memaksa individu untuk mencari pasangan di luar klan terdekat. Ini mendorong terjalinnya aliansi, persatuan, dan ikatan sosial yang lebih luas antar suku atau kelompok, memperkaya masyarakat Islam secara keseluruhan.
Meskipun hikmah ini merupakan interpretasi modern, ilmu pengetahuan mendukung fakta bahwa perkawinan yang terlalu dekat (inbreeding) dapat meningkatkan risiko munculnya penyakit genetik resesif yang berbahaya. Larangan nasab yang sangat ketat berfungsi sebagai proteksi alami terhadap kesehatan keturunan umat manusia.
Meskipun ayat 23 memberikan kerangka yang jelas, interpretasi mendalam oleh madzhab fiqh menghasilkan beberapa detail yang memengaruhi penerapan hukum sehari-hari, terutama dalam kasus mushaharah.
Hukum yang menyangkut larangan menikahi anak tiri (rabibah) sangat bergantung pada terjadinya dukhul (jima'). Muncul pertanyaan: apakah sekadar sentuhan dengan syahwat atau ciuman sudah dianggap setara dengan dukhul dalam konteks ini?
Pertanyaan lain yang muncul di kalangan fuqaha adalah apakah anak perempuan yang lahir dari hubungan zina menjadi mahram bagi pelaku zina itu? Karena anak tersebut tidak terhitung sebagai anak syar'i (sepenuhnya), apakah ia terlarang dinikahi oleh ayahnya yang berzina?
Mayoritas ulama (Jumhur) menetapkan bahwa meskipun secara hukum anak zina tidak mendapatkan hak waris atau nasab penuh dari ayah biologisnya, ia tetap haram dinikahi oleh ayah biologisnya. Larangan ini didasarkan pada prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dan kemiripan biologis (khilqah). Jika hubungan nasab (biologis) ada, maka larangan pernikahan harus diberlakukan, meskipun status hukum anak tersebut berbeda.
Hukum mahram yang timbul dari mushaharah memiliki implikasi yang signifikan terhadap perceraian. Contoh paling jelas adalah istri ayah (ibu tiri) dan istri anak (menantu). Sekali akad terjadi, meskipun istri ayah diceraikan oleh ayah, atau menantu diceraikan oleh anak, mereka tetap mahram abadi. Ketetapan ini menguatkan ikatan perkawinan sebagai ikatan yang menciptakan jaringan kekerabatan permanen, bukan hanya sementara.
Karena perbedaan pendapat yang cukup signifikan mengenai persusuan, perluasan hukum mahram melalui rada'ah adalah area yang membutuhkan pendalaman lebih jauh untuk memenuhi kerangka komprehensif kajian An-Nisa ayat 23.
Landasan hukum rada'ah didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW: "Haram karena persusuan apa yang haram karena kelahiran (nasab)." Ayat 23 hanya menyebutkan dua kategori: ibu susuan dan saudara perempuan susuan. Namun, hadis tersebut memastikan bahwa semua tujuh kategori nasab diimpor ke dalam hukum persusuan.
Madzhab Syafi'i dan Hanbali sangat ketat dalam mensyaratkan lima kali susuan. Mereka berargumen bahwa hadis yang menyebutkan lima kali susuan (hadis Aisyah) merupakan nasikh (penghapus) bagi hadis atau keumuman dalil yang mengindikasikan bahwa sedikit susuan pun mengharamkan. Mereka menekankan bahwa lima kali susuan haruslah terpisah, di mana anak melepaskan sendiri puting susu dan kembali menyusu untuk kedua kalinya, dan seterusnya hingga lima kali, bukan hanya sekali susuan yang panjang.
Madzhab Hanafi, di sisi lain, mengutamakan keumuman hadis dan ayat. Mereka berpendapat bahwa jika syariat bertujuan menciptakan ikatan kekeluargaan melalui rada'ah, maka esensinya adalah masuknya air susu ke tubuh anak, bukan jumlahnya. Filosofi mereka cenderung mengedepankan ihtiyat (kehati-hatian) dalam melarang pernikahan. Jika ada keraguan tentang kemahraman, lebih baik dilarang.
Hukum mahram persusuan selalu melekat pada sumber air susu (ibu susuan) dan suaminya (ayah susuan) yang menyebabkan air susu itu keluar. Jika seorang wanita menyusui anak dengan air susu yang diakibatkan oleh suaminya (A), maka suami A adalah ayah susuan. Jika wanita itu kemudian menikah lagi, dan menghasilkan air susu baru karena suami barunya (B), air susu ini akan menetapkan suami B sebagai ayah susuan bagi anak yang disusuinya kali ini. Hukum mahram selalu mengikuti sumber air susu yang masuk ke anak.
Dalam praktik kontemporer, kesulitan terbesar dalam hukum rada'ah adalah pembuktian. Hukum syariah mensyaratkan persaksian dua orang yang adil (shahid) atau pengakuan ibu susuan itu sendiri. Seringkali, persusuan terjadi secara personal tanpa saksi, yang menimbulkan masalah saat anak-anak tersebut dewasa dan ingin menikah. Dalam kasus keraguan, nasihat fiqh sering kali mengarah pada kehati-hatian, yaitu menghindari pernikahan tersebut.
An-Nisa ayat 23 bukan hanya daftar larangan, melainkan peta jalan yang dirancang oleh Allah SWT untuk memastikan tatanan keluarga yang kokoh dan suci. Setiap poin larangan, baik yang bersifat abadi (nasab, rada'ah, sebagian mushaharah) maupun sementara (jam'u), bertujuan menjaga martabat manusia, meminimalkan konflik internal, dan mengarahkan masyarakat pada hubungan yang sehat dan produktif.
Pemahaman yang benar terhadap ayat ini mewajibkan kaum Muslim untuk tidak hanya mengetahui daftar mahram, tetapi juga memahami alasan mendalam (hikmah tasyri') di balik setiap penetapan hukum. Ini memungkinkan praktik syariat yang dilakukan tidak hanya berdasarkan kepatuhan buta, tetapi didasari oleh kesadaran penuh akan keadilan dan kebijaksanaan Ilahi.
Ketelitian dalam membedakan antara mahram nasab yang bersifat otomatis, mahram rada'ah yang bergantung pada syarat kuantitas dan waktu, serta mahram mushaharah yang sering kali bergantung pada status dukhul, menunjukkan kompleksitas dan kecermatan syariat Islam. Ayat ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah SWT demi kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Dengan mematuhi batasan suci yang ditetapkan dalam An-Nisa ayat 23, umat Islam memastikan bahwa fondasi keluarga mereka dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, kehormatan, dan kepatuhan mutlak kepada kehendak Sang Pencipta. Ayat ini, yang mengatur aspek paling intim dari kehidupan sosial, berfungsi sebagai benteng yang melindungi kemurnian silsilah dan keharmonisan masyarakat.
Secara ringkas, semua ulama sepakat bahwa menjaga batas-batas yang ditetapkan dalam An-Nisa ayat 23 adalah fardhu 'ain (kewajiban individual) bagi setiap Muslim, karena pelanggaran terhadap larangan pernikahan ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum Allah SWT.
Melalui kajian mendalam ini, diharapkan umat Muslim dapat mengaplikasikan hukum-hukum An-Nisa ayat 23 dengan penuh keyakinan dan pemahaman kontekstual yang benar, sehingga tercipta kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa merujuk pada tafsir dan fiqh yang sahih ketika menghadapi kasus-kasus kekerabatan yang rumit, memastikan bahwa setiap langkah menuju pernikahan telah memenuhi kriteria kemahraman yang ketat sebagaimana digariskan dalam ayat suci tersebut.
Pengajaran inti dari An-Nisa ayat 23 adalah bahwa ikatan pernikahan adalah perjanjian suci yang memiliki batas-batas yang jelas, dan ketaatan terhadap batas-batas tersebut adalah cerminan dari iman yang utuh.