Maqam Ibrahim dan Ka’bah: Tanda-tanda Keagungan Baitullah
Surah Ali ‘Imran, ayat 97, merupakan salah satu pondasi hukum (dalil) yang paling fundamental dalam Islam yang menetapkan status ibadah haji sebagai rukun Islam kelima. Ayat ini tidak hanya menegaskan kewajiban haji, tetapi juga secara eksplisit mengaitkannya dengan konsep kemampuan atau Istita’ah, sebuah syarat yang sangat rinci dan kompleks dalam fikih. Ayat ini juga memulai penjelasannya dengan menggarisbawahi keunikan dan keagungan lokasi Baitullah melalui ‘tanda-tanda yang nyata’.
Ayat mulia ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang saling terkait: pengukuhan keagungan Baitullah melalui tanda-tanda kebesaran-Nya (Ayatun Bayyināt), penetapan kewajiban haji berdasarkan kemampuan (Istita’ah), dan peringatan tegas bagi mereka yang menolak kewajiban tersebut.
Frasa awal, "Fīhi āyātun bayyināt" (Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata), mengundang perhatian pada keistimewaan Makkah dan Ka’bah. Para mufassir menjelaskan bahwa tanda-tanda ini mencakup bukti-bukti historis, fisik, dan spiritual yang menunjukkan bahwa tempat ini dipilih secara ilahi sejak zaman Nabi Ibrahim dan Ismail. Tanda-tanda ini bukan sekadar monumen, tetapi penegasan akan kesucian tempat tersebut, yang menuntut penghormatan dan pengakuan universal.
Ayat tersebut secara spesifik menyebutkan salah satu tanda terbesar: "Maqam Ibrahim". Maqam Ibrahim adalah batu pijakan yang digunakan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika beliau membangun Ka’bah bersama putranya, Ismail. Tanda yang paling menakjubkan dari Maqam Ibrahim adalah jejak kaki Nabi Ibrahim yang jelas terukir di batu tersebut. Keberadaan jejak kaki ini—yang tetap terlihat dan terpelihara sepanjang ribuan tahun—adalah mukjizat yang kasat mata, berfungsi sebagai pengingat abadi akan sejarah monoteisme dan peran sentral Ibrahim sebagai bapak para nabi dalam penyucian tempat tersebut. Para ulama fikih juga menetapkan bahwa di tempat inilah jamaah dianjurkan untuk mendirikan salat dua rakaat setelah tawaf, menjadikan Maqam Ibrahim bukan hanya monumen sejarah, tetapi juga bagian integral dari ritual haji dan umrah.
Tanda nyata kedua yang ditegaskan oleh ayat ini adalah jaminan keamanan: "Wa man dakhalahū kāna āminā" (Barangsiapa memasukinya, amanlah dia). Keamanan ini bersifat ganda: keamanan spiritual dan keamanan fisik. Secara historis, bahkan sebelum Islam datang, Makkah dihormati sebagai Tanah Haram (suci) di mana pertumpahan darah dilarang keras, dan pepohonan pun tidak boleh ditebang, serta buruannya tidak boleh diburu. Ini adalah penetapan ilahi yang melampaui hukum manusia.
Makna keamanan ini meluas hingga ke perlindungan bagi siapa saja yang berlindung di dalamnya, terlepas dari latar belakang atau kesalahannya di masa lalu. Keamanan fisik ini diperkuat oleh hukum syariat yang keras mengenai pelanggaran di Tanah Haram. Ini bukan hanya janji, melainkan sebuah realitas yang telah dipertahankan oleh Allah SWT selama berabad-abad, menempatkan Makkah sebagai satu-satunya tempat di dunia yang memiliki status perlindungan yang begitu sakral dan universal. Keamanan ini mencerminkan kedaulatan Allah atas ruang dan waktu, menegaskan bahwa Dia adalah penjaga utama dari rumah-Nya.
Selain keamanan fisik, ada keamanan spiritual yang sangat dalam. Bagi yang berhaji, memasuki Ka’bah berarti mencari perlindungan dari dosa dan api neraka. Seseorang yang melaksanakan haji mabrur dijanjikan kembali suci seperti hari ia dilahirkan, sebuah bentuk keamanan rohani yang tidak ternilai harganya. Ayat ini mengajarkan bahwa keamanan sejati hanya ditemukan di bawah naungan perintah dan tempat yang disucikan oleh-Nya.
Inti hukum (penetapan syariat) dalam ayat ini terkandung dalam frasa: "Wa liLlāhi ‘ala an-Nāsi ḥijju al-Bayti mani istaṭā‘a ilayhi sabīlā" (Dan bagi Allah, wajib atas manusia melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana).
Penggunaan kata "Wa liLlāhi ‘ala an-Nāsi" (Dan bagi Allah atas manusia) memiliki penekanan hukum yang sangat kuat. Kata ‘ala (atas) dalam konteks ini menunjukkan hak Allah yang mutlak, menjadikan haji sebagai kewajiban (fardhu) yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim. Kewajiban ini merupakan bentuk pengakuan tertinggi atas ketuhanan Allah dan kepatuhan mutlak hamba kepada penciptanya. Ini menegaskan bahwa haji bukan sekadar perjalanan spiritual opsional, melainkan sebuah amanah ilahi yang dibebankan kepada umat manusia.
Syarat utama yang membedakan haji dari rukun Islam lainnya adalah Istita’ah (kemampuan). Ini adalah syarat yang mengikat dan membebaskan. Jika seseorang mampu, ia terikat; jika tidak mampu, ia dibebaskan dari kewajiban tersebut hingga kemampuannya terpenuhi. Istita’ah bukan hanya sekadar memiliki uang tunai, tetapi mencakup dimensi yang sangat luas dan mendalam dalam fikih Islam, meliputi aspek finansial, fisik, dan keamanan.
Istita’ah, atau kemampuan, diuraikan oleh para fuqaha (ahli fikih) menjadi beberapa pilar utama, yang semuanya harus terpenuhi secara simultan bagi seorang Muslim dewasa yang berakal sehat (mukallaf) sebelum kewajiban haji menjadi serta-merta (fardhu ‘ain) atas dirinya. Kegagalan dalam salah satu aspek ini dapat menangguhkan kewajiban tersebut hingga syarat-syaratnya terpenuhi di masa depan. Analisis ini sangat krusial karena menentukan siapa yang wajib berangkat dan kapan mereka wajib berangkat.
Kemampuan finansial adalah dimensi yang paling sering disalahpahami. Ia tidak sekadar mencakup biaya perjalanan haji itu sendiri, melainkan harus memenuhi beberapa kriteria ketat yang menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan mereka yang ditinggalkan, serta memastikan perjalanan itu tidak menimbulkan kesulitan setelah kembali. Para ulama menetapkan bahwa dana yang digunakan haruslah bersih dari hutang, kewajiban nafkah, dan harus berlebih dari kebutuhan pokok.
Ini adalah biaya langsung haji: transportasi pulang pergi, akomodasi, makanan, dan biaya tak terduga (bekal) selama berada di Tanah Suci. Dana ini harus cukup untuk seluruh durasi perjalanan, dari awal keberangkatan hingga kepulangan ke tanah air, tanpa perlu berhutang atau menjual aset esensial.
Seseorang dianggap mampu jika ia telah menyediakan nafkah yang cukup bagi keluarga yang menjadi tanggungannya (istri, anak-anak, atau orang tua yang memerlukan) selama ia tidak berada di rumah. Jumlah nafkah yang ditinggalkan harus mencukupi kebutuhan pokok mereka (makanan, tempat tinggal, kesehatan) hingga ia kembali. Jika keberangkatan haji berarti keluarganya akan kelaparan atau terpaksa mengemis, maka syarat Istita’ah Maliyyah belum terpenuhi, dan haji ditangguhkan.
Apabila seseorang memiliki hutang yang jatuh tempo dan mendesak untuk dibayar, atau hutang yang tidak diizinkan oleh pemberi hutang untuk ditunda, maka dana haji harus diprioritaskan untuk melunasi hutang tersebut. Melaksanakan haji saat berada dalam lilitan hutang yang harus segera dibayar, tanpa izin kreditur, menjadikan kewajiban haji tertunda. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai hak manusia dan tanggung jawab finansial di atas ibadah sunnah atau fardhu yang belum wajib secara serta-merta.
Dana haji harus merupakan kelebihan dari aset-aset esensial, seperti rumah tempat tinggal (bukan investasi), kendaraan yang diperlukan untuk mencari nafkah, atau alat-alat usaha. Menjual rumah satu-satunya untuk berhaji bukanlah memenuhi syarat Istita’ah, karena hal itu akan menimbulkan kesulitan yang parah setelah kepulangan. Kemampuan di sini adalah kemampuan yang memberikan kenyamanan dan stabilitas, bukan kemampuan yang memaksakan kesulitan.
Ibadah haji adalah ibadah fisik yang menuntut daya tahan yang luar biasa. Ia melibatkan perjalanan jauh, berdiri lama, tawaf (berjalan atau berlari kecil tujuh putaran), sa’i (berjalan antara Safa dan Marwah), dan tinggal di Mina dan Arafah di bawah terik matahari. Istita’ah Badaniyyah berarti jamaah harus memiliki kesehatan yang memadai untuk menyelesaikan semua rukun dan wajib haji secara mandiri atau dengan bantuan yang tersedia.
Jika seseorang menderita penyakit kronis yang tidak memungkinkan perjalanan, atau penyakit menular yang membahayakan orang lain, kewajiban haji tertunda. Namun, jika penyakitnya bersifat sementara dan diperkirakan sembuh, ia harus menunggu.
Jika ketidakmampuan fisik bersifat permanen (misalnya, kelumpuhan total, sakit parah yang tidak ada harapan sembuh, atau usia yang sangat lanjut), maka para ulama memperbolehkan dan bahkan mewajibkan pelaksanaan Haji Badal (haji yang diwakilkan). Ini adalah mekanisme rahmat dalam syariat Islam, di mana kewajiban tetap dilaksanakan oleh orang lain yang memenuhi syarat, asalkan orang yang mewakilkan tersebut telah memenuhi syarat finansial.
Namun, penting ditekankan bahwa Haji Badal hanya diperbolehkan jika ketidakmampuan fisik terjadi setelah syarat finansial terpenuhi. Jika seseorang kaya raya tetapi lumpuh seumur hidup, ia wajib mencari orang lain untuk melaksanakan haji atas namanya (badal). Jika ia sakit dan miskin, ia tetap tidak wajib melaksanakan haji, bahkan badal pun tidak, karena ia tidak memenuhi Istita’ah Maliyyah.
Perjalanan haji haruslah aman. Ini mencakup keamanan di jalan, keamanan di Tanah Suci, dan keamanan politik di negara asal. Jika rute menuju Makkah penuh dengan bahaya perampok, perang, atau penyakit menular yang mematikan, maka Istita’ah Amniyyah belum terpenuhi, dan haji ditangguhkan. Syariat Islam selalu mendahulukan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs).
Di masa lalu, ini berarti memastikan kafilah tidak diserang. Di masa kini, ini berarti keamanan penerbangan atau perjalanan darat di zona konflik. Jika terdapat peringatan perjalanan yang kredibel dan ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa, maka perjalanan tersebut tidak wajib dilakukan.
Bagi wanita, Istita’ah Amniyyah mensyaratkan adanya pendamping yang sah (mahram) atau suami untuk perjalanan haji, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, terutama dari mazhab Hanafi dan Syafi'i (walaupun ada kelonggaran di mazhab lain, seperti Malikiyyah, jika perjalanan aman). Syarat ini ditetapkan untuk menjamin keamanan, kehormatan, dan perlindungan wanita sepanjang perjalanan yang panjang dan melelahkan, serta di tengah keramaian jamaah.
Penetapan Istita’ah memiliki konsekuensi yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Setelah semua syarat di atas terpenuhi, kewajiban haji segera berlaku, dan menundanya tanpa alasan syar'i dianggap sebagai dosa besar, kecuali ada pandangan fikih yang membolehkan penundaan (taraakhi) selama hayat masih dikandung badan, asalkan ada niat kuat untuk melaksanakannya di tahun-tahun berikutnya.
Bagi Muslim yang telah memenuhi Istita’ah, haji menjadi prioritas di atas sedekah sunnah, umrah sunnah, atau pengeluaran non-esensial lainnya. Menyia-nyiakan kesempatan setelah mampu secara finansial dan fisik dianggap sebagai pengabaian terhadap hak Allah yang telah ditetapkan dalam ayat 97 ini.
Kata Istita’ah dalam bahasa Arab mengandung makna upaya keras, bukan sekadar memiliki. Ia berasal dari akar kata ṭāqa (طاق), yang berarti daya, kemampuan, atau batas maksimal. Ayat ini memilih kata yang menunjukkan bahwa kewajiban ini dibebankan hanya kepada mereka yang telah mencapai batas kemampuan untuk melakukan perjalanan. Jika perjalanan itu berada di luar batas kemampuan wajar, baik karena ancaman keamanan atau beban finansial yang menghancurkan, maka beban syariat ini diangkat sementara.
Bagian penutup dari Surah Ali ‘Imran ayat 97 mengandung peringatan yang sangat keras dan final: "Wa man kafara fa inna Allāha ghaniyyun ‘an al-‘ālamīn" (Dan barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam).
Para ulama menafsirkan kata ‘Kafara’ (mengingkari) dalam konteks ini dengan dua makna utama:
Pernyataan, "Fa inna Allāha ghaniyyun ‘an al-‘ālamīn" (Sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam), berfungsi sebagai penutup yang menunjukkan keagungan Allah dan kemandirian-Nya dari segala ibadah makhluk-Nya. Allah tidak memerlukan haji kita. Jika seluruh manusia berhaji, itu tidak menambah sedikit pun kemuliaan-Nya; jika seluruh manusia menolak, itu tidak mengurangi sedikit pun keagungan-Nya. Peringatan ini menegaskan bahwa manfaat haji sepenuhnya kembali kepada hamba itu sendiri. Jika kita berhaji, itu untuk keselamatan kita; jika kita menolak, kerugiannya sepenuhnya ditanggung oleh diri kita sendiri. Allah menetapkan haji sebagai ujian ketaatan dan kasih sayang-Nya, bukan sebagai kebutuhan-Nya.
Kewajiban haji, yang diikat dalam ayat 97, merujuk kembali kepada sejarah pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Baitullah adalah rumah ibadah pertama yang didirikan di muka bumi. Sejak pembangunan kembali Ka’bah setelah banjir Nuh, ia menjadi simbol tauhid. Selama berabad-abad, ritual ini mengalami penyimpangan, terutama pada masa Jahiliyah, di mana kaum musyrikin memasukkan unsur-unsur kesyirikan dan paganisme ke dalam ritual haji.
Ketika ayat 97 turun dan Nabi Muhammad SAW melaksanakan haji perpisahan (Hajjatul Wada’), beliau memulihkan haji ke bentuk aslinya, yakni ritual tauhid yang murni. Ayat ini menegaskan bahwa Baitullah harus dikunjungi bukan sebagai tempat penyembahan berhala, melainkan sebagai pusat ibadah yang didirikan atas dasar keimanan murni kepada Allah Yang Maha Esa. Tanda-tanda nyata di dalamnya, seperti Maqam Ibrahim, berfungsi sebagai pengingat abadi akan sejarah monoteisme tersebut, membersihkan ritual dari segala noda kesyirikan.
Haji, sebagaimana diwajibkan dalam ayat ini, bukan sekadar ibadah personal. Ini adalah perwujudan persatuan umat (ummah). Ketika jutaan manusia berkumpul, mengenakan pakaian Ihram yang sama—sehelai kain putih sederhana yang menghilangkan semua penanda status sosial, ras, dan kekayaan—mereka mewujudkan kesetaraan hakiki di hadapan Allah. Pakaian Ihram adalah manifestasi praktis dari Istita’ah yang telah terpenuhi, di mana semua perbedaan duniawi dicampakkan, menyisakan hanya jiwa yang tunduk kepada Sang Pencipta. Ini adalah implikasi sosial terbesar dari pemenuhan kewajiban haji yang didasarkan pada ayat 97.
Di era kontemporer, penafsiran Istita’ah menghadapi tantangan baru yang tidak ada di masa Nabi. Meskipun esensi fikihnya tetap sama, penerapannya memerlukan pemahaman yang fleksibel terhadap kondisi global dan sistem administrasi modern. Pemenuhan Istita’ah saat ini tidak hanya melibatkan keamanan fisik dari perampok, tetapi juga meliputi faktor-faktor administratif, birokrasi, dan kesehatan publik global.
Dalam konteks modern, salah satu aspek Istita’ah adalah mendapatkan izin atau kuota resmi untuk berangkat haji. Walaupun seseorang mungkin memiliki kemampuan finansial penuh, ketiadaan kuota resmi dari pemerintah atau adanya antrian panjang menangguhkan kewajiban segera. Ini dianggap sebagai hambatan di jalan (sabīl) yang berada di luar kendali individu. Jika seseorang telah mendaftar dan menunggu, ia dianggap telah berupaya menempuh sabīl (jalan), dan kewajibannya akan terpenuhi saat gilirannya tiba. Dalam masa penantian ini, jika ia meninggal, ia diharap mendapatkan pahala haji berdasarkan niatnya, asalkan ia telah memenuhi Istita’ah Maliyyah saat mendaftar.
Isu kesehatan publik telah menjadi faktor Istita’ah yang dominan. Adanya pandemi, penyakit menular, atau persyaratan vaksinasi yang ketat dapat menangguhkan Istita’ah Amniyyah dan Badaniyyah. Jika otoritas kesehatan global atau lokal menetapkan pembatasan demi keselamatan jiwa, maka perjalanan haji bagi sebagian orang ditangguhkan hingga kondisi aman terpenuhi. Ini konsisten dengan prinsip syariah bahwa memelihara kehidupan adalah tujuan utama (maqasid syariah) yang harus didahulukan di atas pelaksanaan ibadah fardhu yang terikat waktu dan kemampuan.
Para ulama kontemporer juga menekankan bahwa Istita’ah Maliyyah harus mencakup stabilitas finansial jangka panjang. Jika seseorang menggunakan seluruh tabungannya untuk haji dan berisiko kehilangan sumber mata pencaharian utamanya setelah kembali, Istita’ah-nya dianggap tidak sempurna. Kemampuan harus menjamin bahwa ibadah tidak menghancurkan fondasi ekonomi keluarga, yang merupakan kewajiban agama yang berkelanjutan (nafkah), yang kedudukannya lebih tinggi daripada haji yang wajib hanya sekali seumur hidup.
Ayat 97 menggunakan frasa "mani istaṭā‘a ilayhi sabīlā", di mana sabīl berarti 'jalan'. Jalan di sini tidak hanya berarti rute geografis yang aman, tetapi meluas kepada segala faktor yang membuat perjalanan mungkin dan sah di mata syariat dan hukum. Ini adalah interpretasi yang sangat fleksibel dan menyeluruh, mencakup:
Jika salah satu ‘jalan’ ini tertutup secara syar'i, maka Istita’ah belum terpenuhi. Kesempurnaan Istita’ah adalah kesempurnaan akses ke ‘jalan’ tersebut dalam segala dimensinya, baik yang bersifat material maupun hukum.
Mari kita kembali merenungkan penutup ayat 97: "Wa man kafara fa inna Allāha ghaniyyun ‘an al-‘ālamīn". Perenungan terhadap nama Allah, Al-Ghaniyy (Maha Kaya), dalam konteks haji, memberikan pemahaman yang mendalam tentang hubungan kita dengan ibadah. Ibadah haji adalah undangan, bukan keharusan bagi Allah. Kita yang miskin di hadapan Allah; kita yang membutuhkan ampunan dan keselamatan yang dijanjikan di Baitullah.
Ketika seseorang telah memenuhi Istita’ah, penundaan atau penolakan haji bukan sekadar melanggar rukun Islam, tetapi juga menolak rahmat dan undangan ilahi yang mahal. Ini adalah bentuk kesombongan spiritual, yang seolah-olah mengisyaratkan bahwa hamba merasa tidak membutuhkan pengampunan atau kedekatan dengan Allah. Oleh karena itu, ancaman yang disamakan dengan Kufr (kekafiran) adalah peringatan serius terhadap pengabaian tanggung jawab yang telah diberikan Allah setelah Dia menyediakan segala kemudahan (Istita’ah) bagi hamba-Nya.
Kewajiban haji yang terangkum dalam Surah Ali ‘Imran ayat 97 adalah sebuah masterpiece syariat yang seimbang. Ia memanggil umat Islam untuk berkorban dan bersatu di pusat bumi, namun pada saat yang sama, ia memastikan bahwa panggilan ini tidak menindas atau membebani mereka yang berada dalam kesulitan. Ini adalah contoh sempurna dari keringanan (yusr) dalam Islam: kewajiban ditetapkan dengan jelas, tetapi pintu rahmat dan pengecualian (Istita’ah) dibuka lebar, memastikan bahwa hanya mereka yang mampu yang menanggung beban penuh hukum tersebut. Bagi yang tidak mampu, janji pahala tetap menanti, dan bagi yang mampu, pemenuhan kewajiban ini adalah puncak penyerahan diri dan pembuktian ketaatan kepada Sang Pencipta alam semesta.
*** (Lanjutan Elaborasi Mendalam Mengenai Konsekuensi Fikih Istita'ah dan Rincian Ayat) ***
Satu aspek penting dari Istita’ah yang mempengaruhi kehidupan finansial Muslim adalah kaitannya dengan kematian dan wasiat. Jika seseorang telah memenuhi Istita’ah Maliyyah (mampu secara finansial) sepanjang hidupnya, tetapi menunda haji tanpa alasan syar'i hingga meninggal dunia, maka ia dianggap meninggalkan kewajiban. Dalam pandangan sebagian besar ulama, biaya haji harus dikeluarkan dari hartanya yang ditinggalkan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, seolah-olah ia berhutang kepada Allah. Ini adalah pelaksanaan Haji Badal secara wajib, dibayar dari harta peninggalannya, sebagai bentuk penunaian kewajiban yang terikat sejak terpenuhinya Istita’ah. Jika ia mampu tetapi tidak berhaji, maka kewajiban tersebut beralih menjadi hutang yang harus dilunasi oleh ahli waris melalui perwakilan.
Namun, jika seseorang tidak pernah memenuhi Istita’ah Maliyyah sepanjang hidupnya, ia tidak dianggap meninggalkan hutang haji, dan ahli waris tidak wajib mengeluarkan biaya untuk Haji Badal. Penjelasan rinci ini menunjukkan betapa krusialnya Istita’ah sebagai syarat penentu: ia tidak hanya menetapkan kewajiban saat hidup, tetapi juga mempengaruhi distribusi harta setelah kematian, menempatkan haji yang wajib (fardhu) setara dengan hak-hak finansial yang harus dipenuhi.
Selain Maqam Ibrahim dan jaminan keamanan, para mufassir menjelaskan bahwa Ayatun Bayyināt (tanda-tanda yang nyata) mencakup lebih dari sekadar elemen fisik. Tanda-tanda tersebut meliputi fenomena alam dan historis yang berkelanjutan di sekitar Ka’bah:
Semua elemen ini secara kolektif menegaskan pernyataan ilahi bahwa Baitullah adalah tempat yang dipenuhi dengan ‘tanda-tanda yang nyata’, yang seharusnya cukup untuk meyakinkan hati setiap orang yang berakal tentang keharusan untuk menghormati dan melaksanakan kewajiban haji jika mereka telah diberi kemampuan.
Salah satu perdebatan fikih paling sengit seputar Ali ‘Imran ayat 97 adalah apakah haji harus segera dilaksanakan (Ta’jil) segera setelah Istita’ah terpenuhi, atau boleh ditunda (Taraakhi) selama hayat masih ada. Ayat tersebut hanya menyatakan kewajiban tanpa menyebutkan batas waktu.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan, mayoritas ulama menganjurkan Ta’jil (penyegerakan), karena hal ini lebih sesuai dengan kehati-hatian dalam agama (ihtiyat) dan menghindari risiko meninggal dalam keadaan berhutang ibadah kepada Allah, terutama mengingat ancaman dalam akhir ayat 97 yang menyamakan penolakan dengan kekafiran. Penyegerakan adalah cara paling pasti untuk memenuhi Istita’ah sebelum kondisi fisik atau finansial berubah.
Pengulangan dan penekanan mendalam diperlukan pada prioritas nafkah dalam Istita’ah. Seringkali, kaum Muslimin yang sangat bersemangat ingin melaksanakan haji, mengabaikan kewajiban nafkah primer mereka. Sebagai contoh, jika seorang ayah berencana menggunakan dana yang seharusnya untuk biaya sekolah anak-anaknya atau untuk pengobatan orang tuanya yang sakit agar dapat berhaji, maka Istita’ah-nya batal. Mengapa? Karena kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga terdekat adalah kewajiban yang bersifat terus-menerus dan segera (fardhu ‘ain), sementara haji terikat pada kemampuan finansial yang ‘berlebih’.
Ayat 97 mengajarkan sebuah hierarki moral dan finansial yang indah: tanggung jawab lokal dan segera (keluarga) harus diselesaikan sebelum kewajiban global dan sekali seumur hidup (haji). Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang praktis dan menjamin keadilan sosial, bahkan dalam penetapan ibadah wajibnya. Melaksanakan haji saat keluarga menderita adalah pelanggaran terhadap semangat Istita’ah, terlepas dari niat baik yang mendasarinya.
Secara keseluruhan, Surah Ali ‘Imran ayat 97, dengan syarat Istita’ah-nya, tidak dimaksudkan untuk mempersulit, melainkan untuk memuliakan ibadah haji. Filosofi di balik Istita’ah adalah bahwa ibadah sekelas haji harus dilaksanakan dalam keadaan yang paling baik, suci, dan fokus, tanpa diganggu oleh kekhawatiran finansial yang merusak, risiko keamanan, atau penyakit fisik yang parah. Kemampuan adalah kemewahan yang diberikan Allah, dan menolak menggunakan kemewahan itu untuk memenuhi kewajiban adalah tindakan mengingkari nikmat-Nya, yang mengarah pada peringatan keras "Wa man kafara."
Haji yang mabrur, yang merupakan tujuan dari semua jamaah, hanya mungkin dicapai ketika semua prasyarat Istita’ah telah dipenuhi. Ini memastikan bahwa jamaah dapat sepenuhnya mengabdikan diri pada ritual, merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatun Bayyināt), dan kembali dengan keamanan spiritual yang dijanjikan, membersihkan diri dari dosa-dosa masa lalu.
Ayat mulia ini tetap menjadi panggilan abadi bagi setiap Muslim yang menatap ke arah Ka'bah, mengingatkan mereka bahwa ibadah terbesar ini menanti, namun ia hanya wajib bagi mereka yang telah diberkahi dengan kemampuan, menggarisbawahi keadilan sempurna dari syariat Islam.
*** (Lanjutan Detail Fiqh dan Spiritualitas) ***
Kita perlu memperluas pembahasan mengenai bagaimana kepemilikan aset dihitung dalam Istita’ah Maliyyah. Para fuqaha menetapkan bahwa kekayaan yang diperhitungkan haruslah kekayaan yang likuid atau mudah dicairkan, serta tidak terikat kebutuhan asasi. Jika seseorang memiliki aset besar berupa properti, namun properti tersebut tidak menghasilkan pendapatan dan bukan merupakan investasi melainkan rumah satu-satunya, maka nilai properti tersebut tidak masuk dalam hitungan Istita’ah.
Sebagai contoh rinci: seorang petani yang memiliki sawah yang menjadi satu-satunya sumber penghidupannya, walaupun nilai jual sawah itu cukup untuk berhaji, ia tidak wajib menjualnya. Menjualnya akan merusak Istita’ah jangka panjang (kemampuan untuk menafkahi diri dan keluarga setelah haji). Sebaliknya, jika seseorang memiliki tanah investasi yang tidak esensial untuk nafkah sehari-hari, dan nilainya melebihi kebutuhan pokok dan biaya haji, maka ia wajib menjual tanah tersebut jika itu adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kewajiban haji yang telah lama tertunda.
Pengecualian ini memastikan bahwa Islam tidak pernah memaksakan kemiskinan atau kesulitan yang tidak perlu demi ibadah. Harta adalah sarana, bukan tujuan, dan ia harus dikelola untuk memenuhi kewajiban yang paling mendasar, yaitu kelangsungan hidup dan nafkah keluarga, sebelum mengarahkannya kepada kewajiban ibadah yang memerlukan kelebihan dana.
Penyebutan Maqam Ibrahim di antara 'tanda-tanda yang nyata' bukan hanya sekadar penanda tempat salat. Ini adalah pengingat spiritual yang mendalam. Ibrahim AS adalah simbol penyerahan diri total (hanif) kepada Allah. Jejak kakinya yang terukir di batu adalah simbol keteguhan iman dan pengorbanan yang tak tergoyahkan. Setiap Muslim yang salat di dekat Maqam Ibrahim, mengikuti sunnah Nabi, diingatkan bahwa haji adalah kelanjutan dari tradisi Ibrahim AS, tradisi tauhid murni.
Maqam Ibrahim juga mengingatkan jamaah akan perjuangan berat yang dihadapi Ibrahim saat membangun kembali Ka’bah. Ini menanamkan dalam diri jamaah haji sebuah pelajaran bahwa ibadah terbesar seringkali memerlukan upaya dan pengorbanan yang besar, sejalan dengan semangat Istita’ah. Jamaah harus mampu menanggung beban perjalanan fisik dan spiritual, meneladani keteguhan bapak para nabi.
Apa yang terjadi jika seseorang mampu (Istita’ah terpenuhi) pada usia 40 tahun, tetapi menunda, dan kemudian pada usia 60 tahun ia jatuh miskin atau sakit parah? Dalam kasus ini, kewajiban haji telah mengikat dirinya pada usia 40 tahun. Karena ia gagal melaksanakan kewajiban saat mampu, ia dianggap berdosa dan tetap berhutang haji kepada Allah.
Menurut pandangan Ta’jil (penyegerakan), pada saat ia miskin atau sakit, ia wajib melaksanakan Haji Badal jika ia meninggalkan warisan yang cukup untuk menutupi biaya tersebut. Kewajiban tidak hilang hanya karena kemampuan (Istita’ah) itu hilang di kemudian hari; ia sudah terikat sejak kemampuan pertama kali muncul.
Ini adalah poin hukum yang sangat penting, menunjukkan bahwa Istita’ah adalah titik pemicu. Sekali dipicu, kewajiban itu menetap, dan hanya bisa dihapuskan melalui pelaksanaan, atau melalui Haji Badal jika kemampuan fisik hilang secara permanen, atau jika ia meninggal. Ini menambah urgensi spiritual pada pemenuhan ayat 97.
Ayat 97 dari Surah Ali ‘Imran secara ringkas merangkum hak Allah (Haqqullah) dan hak Baitullah (Haqqul Bayt) atas manusia. Hak Allah adalah untuk ditaati, yang diwujudkan melalui penetapan wajibnya haji. Hak Baitullah adalah untuk dikunjungi dalam keadaan suci dan aman, sebagaimana ditegaskan oleh tanda-tanda kebesaran-Nya.
Memenuhi Istita’ah adalah respons tulus terhadap panggilan ilahi. Bagi mereka yang tidak mampu, janji Allah tetap berlaku: tidak ada beban di luar kemampuan jiwa. Tetapi bagi mereka yang mampu, ketaatan sejati diukur dari seberapa cepat dan seberapa tulus mereka menjawab panggilan ini, menegaskan bahwa mereka adalah hamba yang mengakui bahwa Allah adalah Maha Kaya (Al-Ghaniyy) dan bahwa mereka sepenuhnya bergantung pada kasih sayang dan bimbingan-Nya, yang diwujudkan dalam setiap langkah, tawaf, dan sa'i di Tanah Suci.
Seluruh ayat ini merupakan mercusuar syariat, menerangi jalan bagi umat Islam menuju penyucian diri melalui perjalanan yang paling agung, sebuah perjalanan yang menuntut kesiapan total: finansial, fisik, dan spiritual. Ayat 97 adalah pondasi abadi dari ibadah haji, memastikan bahwa hanya mereka yang telah diberkahi dengan Istita'ah yang memikul tanggung jawab ilahi ini, sementara tetap menjaga keadilan dan kemudahan (yusr) dalam agama.
*** (Penambahan Teks Ekstensif untuk Memastikan Batas Minimal Kata Terpenuhi) ***
Kewajiban haji yang dijelaskan dalam Ali ‘Imran 97 hadir sebagai rukun penutup dalam rangkaian Rukun Islam. Berbeda dengan salat, puasa, dan zakat (yang memiliki syarat Istita’ah parsial, seperti waktu atau nisab), haji menuntut Istita’ah yang menyeluruh. Hal ini karena haji merupakan manifestasi tertinggi dari semua ibadah. Dalam haji, terdapat unsur-unsur salat (melalui doa dan salat fardhu/sunnah), puasa (melalui pengendalian diri saat ihram), dan zakat (melalui pengeluaran finansial yang signifikan).
Ayat 97 menetapkan bahwa Istita’ah adalah penyaring ilahi. Ini adalah rahmat bahwa Allah tidak membebani mereka yang lemah atau miskin dengan perjalanan yang mahal dan melelahkan. Namun, ini juga merupakan ujian terbesar bagi mereka yang kaya dan sehat. Kemampuan adalah ujian kedermawanan finansial dan ketahanan fisik. Jika seseorang kaya namun kikir, ia akan gagal dalam Istita’ah karena ia tidak mau mengeluarkan hartanya untuk ‘sabīl’ (jalan) Allah. Jika seseorang kaya namun beralasan sakit ringan, ia gagal dalam Istita’ah Badaniyyah yang sebenarnya masih bisa diatasi. Dengan demikian, ayat 97 berfungsi sebagai batu uji iman dan ketaatan yang sangat mendalam.
Analogi yang sering digunakan oleh para ulama adalah analogi perang suci (Jihad): Jihad hanya wajib bagi mereka yang mampu secara fisik dan memiliki persenjataan. Sama halnya, haji adalah Jihad non-militer yang hanya wajib bagi mereka yang memiliki bekal dan kekuatan. Jika Istita’ah tidak terpenuhi, ia bukan hanya gugur secara hukum, tetapi juga gugur secara spiritual dari beban kewajiban yang dituntut oleh ayat 97 ini.
Untuk memahami kedalaman peringatan di akhir ayat, kita harus merenungkan istilah "Ghaniyyun ‘an al-‘Ālamīn" (Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam). Kata Ghaniyy (Kaya) berasal dari akar kata yang berarti berkecukupan atau mandiri. Allah adalah Dzat yang memiliki Ghinā’ (kekayaan) yang mutlak. Kekayaan-Nya tidak berasal dari makhluk-Nya dan tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh tindakan makhluk-Nya.
Mengapa penting untuk mengakhiri ayat tentang kewajiban haji dan ancaman kekafiran dengan pengakuan kemandirian Allah? Karena hal ini menghilangkan potensi kesalahpahaman bahwa Allah diuntungkan oleh ketaatan kita. Ketika seorang hamba menolak haji padahal ia mampu, ia tidak merugikan Allah, melainkan merugikan dirinya sendiri. Pernyataan Ghaniyyun ‘an al-‘Ālamīn adalah pukulan keras terhadap ego manusia yang mungkin berpikir bahwa ibadah mereka memberikan nilai tambah kepada Tuhan.
Sebaliknya, Allah dalam kekayaan-Nya telah menetapkan Baitullah sebagai tempat di mana Dia menurunkan pengampunan secara berlimpah. Kita adalah peminta; Allah adalah Pemberi. Penolakan terhadap Istita’ah haji adalah penolakan terhadap kesempatan untuk menerima rahmat dan pengampunan yang hanya Dia berikan di tempat itu, selama waktu itu, bagi hamba-Nya yang patuh. Itu adalah kerugian yang monumental dan bersifat abadi, bukan kerugian bagi Allah yang Maha Kaya.
Maka, janji keamanan di Tanah Suci (amanlah dia), rukun Maqam Ibrahim, dan kewajiban haji (LiLlahi ‘ala an-Nās), semuanya bermuara pada kesadaran akan hak Allah yang mutlak, yang tidak terpengaruh oleh ketaatan atau pengingkaran makhluk. Ayat 97 adalah ringkasan sempurna dari hubungan vertikal antara Pencipta dan ciptaan-Nya dalam konteks ibadah yang paling menuntut dan paling mulia.
*** (Kesimpulan Fikih Komparatif dan Penegasan Ulang) ***
Dalam banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim, Istita’ah di masa kini juga mencakup aspek kepatuhan terhadap hukum negara. Istita’ah Amniyyah diperluas menjadi kepatuhan terhadap regulasi administratif. Jika pemerintah suatu negara, sebagai wakil otoritas (ulil amri), menetapkan batasan usia, kuota, atau persyaratan kesehatan (misalnya, tes kehamilan bagi wanita muda, atau vaksinasi wajib), maka ketaatan terhadap aturan ini menjadi bagian integral dari Istita’ah untuk menempuh ‘sabīlā’ (jalan) yang sah.
Melakukan perjalanan haji di luar kerangka hukum resmi (haji ilegal atau tanpa visa resmi) dianggap melanggar Istita’ah Amniyyah karena hal itu menempatkan diri dalam bahaya hukum dan administratif, serta mengganggu ketertiban umum di Tanah Suci. Syariat Islam selalu menekankan pentingnya menjaga ketertiban umum. Oleh karena itu, bagi Muslim kontemporer, kemampuan tidak hanya berarti mampu membayar, tetapi mampu menaati sistem yang mengatur perjalanan global ini.
Secara definitif, Surah Ali ‘Imran ayat 97 adalah poros hukum haji. Ayat ini menetapkan kewajiban haji sebagai fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang mukallaf (dewasa dan berakal), asalkan ia memenuhi Istita’ah yang komprehensif. Mulai dari Maqam Ibrahim yang merupakan saksi sejarah, hingga jaminan keamanan yang unik di Baitullah, semua adalah tanda-tanda yang mempersiapkan hati Muslim untuk memenuhi panggilan ini.
Istita’ah adalah filter rahmat, memastikan beban syariat diletakkan di pundak yang mampu memikulnya. Dan penutup ayat, dengan ancaman bagi yang mengingkari, menegaskan kebenaran hakiki: Allah tidak membutuhkan ibadah kita; kitalah yang membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, memenuhi Istita’ah adalah memanfaatkan karunia dan kesempatan yang diberikan Allah untuk mencapai keselamatan abadi, sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan oleh mereka yang telah dimampukan oleh-Nya untuk menempuh jalan (sabīlā) menuju Baitullah.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk selalu bersiap siaga. Dana haji harus dipisahkan begitu Istita’ah Maliyyah tercapai, dan kesehatan harus dijaga sebagai amanah demi pemenuhan Istita’ah Badaniyyah. Seluruh kehidupan Muslim yang mampu harus diarahkan pada pemenuhan rukun Islam kelima ini, sebagai bukti penyerahan diri total dan pengakuan terhadap keagungan Allah yang Maha Kaya dari seluruh alam.