An-Nazi’at (Surah 79): Pelajaran dari Awal Hingga Akhir

Tafsir Mendalam Ayat 1-46: Kepastian Hari Kebangkitan, Kisah Firaun, dan Refleksi Kosmik

Pendahuluan: Menggugah Jiwa yang Lalai

Surah An-Nazi’at, yang berarti "Malaikat-malaikat Pencabut" atau "Yang Mencabut dengan Keras," adalah surah Makkiyah. Surah ini diturunkan pada periode awal Islam di Mekah ketika kaum Quraisy berada dalam puncak penolakan terhadap dua pilar utama risalah: keesaan Allah (Tawhid) dan kepastian Hari Kebangkitan (Yaumul Qiyamah). Seluruh rangkaian 46 ayatnya disusun sebagai sebuah alur drama teologis yang kuat, dimulai dengan sumpah-sumpah dahsyat, dilanjutkan dengan penggambaran kebangkitan yang mengejutkan, diselingi kisah peringatan tentang Fir'aun, kemudian ditutup dengan perbandingan antara keagungan penciptaan kosmik dan keterbatasan manusia dalam mengetahui waktu Kiamat.

Inti dari surah ini adalah penegasan mutlak bahwa setelah kehidupan dunia yang singkat, setiap individu akan dihisab dan dibalas sesuai amal perbuatannya. Penggunaan sumpah oleh Allah ﷻ pada permulaan surah ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan bahwa pokok bahasan yang akan disampaikan setelah sumpah tersebut adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Bagian I: Sumpah-Sumpah Agung dan Makna Kepastian (Ayat 1-5)

Lima ayat pertama Surah An-Nazi’at dimulai dengan rangkaian sumpah yang misterius dan sarat makna. Masing-masing sumpah ini menunjuk pada fungsi malaikat yang spesifik dalam menjalankan kehendak Allah, khususnya yang berkaitan dengan kematian, kehidupan, dan pengaturan alam semesta.

وَٱلنَّٰزِعَٰتِ غَرْقًا ١

1. An-Nazi’at Gharqan (Yang Mencabut dengan Keras)

Tafsir yang paling umum menyebutkan bahwa 'An-Nazi’at' merujuk kepada para malaikat pencabut nyawa yang mencabut ruh orang-orang kafir dengan sangat keras dan menyakitkan, seolah-olah ruh tersebut tenggelam (gharqa) dalam proses penarikan. Penggunaan kata ini menunjukkan intensitas dan kesulitan yang dialami oleh ruh yang menolak kebenaran ketika berhadapan dengan sakaratul maut. Kerasnya pencabutan ini menjadi bayangan awal dari siksa yang akan mereka hadapi. Ini adalah peringatan pertama: kematian bukanlah akhir yang damai bagi setiap jiwa.

وَٱلنَّٰشِطَٰتِ نَشْطًا ٢

2. An-Nashithat Nashtan (Yang Mencabut dengan Lembut)

Bertolak belakang dengan sumpah pertama, 'An-Nashithat' merujuk kepada para malaikat yang mencabut ruh orang-orang mukmin dengan lembut, mudah, dan penuh ketenangan, seolah-olah melepaskan simpul yang terikat. Kontras antara 'gharqa' (keras) dan 'nashtan' (lembut) menegaskan bahwa pengalaman kematian ditentukan oleh jenis kehidupan yang dijalani seseorang di dunia. Bagi yang beriman, kematian adalah gerbang menuju rahmat; bagi yang ingkar, ia adalah awal dari penderitaan abadi.

وَٱلسَّٰبِحَٰتِ سَبْحًا ٣

3. As-Sabihat Sabhan (Yang Berenang/Meluncur Cepat)

Sumpah ini merujuk pada pergerakan malaikat di alam semesta yang sangat cepat, meluncur dari langit ke bumi dan sebaliknya untuk melaksanakan perintah Allah, baik itu membawa wahyu, mengatur hujan, atau menyampaikan ketentuan. Kecepatan dan kelancaran pergerakan mereka mencerminkan kendali penuh Allah atas seluruh dimensi ruang dan waktu, sebuah konsep yang harus direnungkan oleh manusia yang merasa memiliki kendali atas hidupnya yang fana.

فَٱلسَّٰبِقَٰتِ سَبْقًا ٤

4. As-Sabiqat Sabqan (Yang Mendahului dengan Cepat)

Ini merujuk pada para malaikat yang berlomba-lomba atau mendahului dalam melaksanakan perintah Allah ﷻ. Beberapa ulama menafsirkan ini sebagai malaikat yang bergegas membawa ruh orang mukmin segera setelah dicabut menuju tempat kembalinya yang mulia di langit. Ini menekankan pentingnya kecepatan dan kepatuhan dalam menjalankan tugas Ilahi.

فَٱلْمُدَبِّرَٰتِ أَمْرًا ٥

5. Al-Mudabbirat Amran (Yang Mengatur Segala Urusan)

Sumpah terakhir merangkum fungsi kolektif dari para malaikat, yaitu mengatur dan melaksanakan segala urusan yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ, mulai dari pembagian rezeki, kematian, hingga pengaturan alam. Seluruh alam semesta diatur dengan ketelitian mutlak, dan ini menjadi bukti nyata bahwa alam semesta tidak berjalan secara kebetulan. Setelah lima sumpah yang menggetarkan ini, pertanyaan mendasar muncul: Mengapa semua ini perlu ditekankan?

Jawabannya terdapat pada ayat berikutnya, di mana Allah mengikatkan keagungan para pelaksana tugas Ilahi ini dengan kepastian Hari Kiamat. Kekuatan dan otoritas yang dimiliki oleh malaikat-malaikat yang mampu mencabut ruh, mengatur urusan, dan meluncur melintasi angkasa, adalah bukti bahwa kebangkitan kembali manusia setelah hancur menjadi debu bukanlah hal yang mustahil bagi Pencipta mereka.

Bagian II: Teriakan Kiamat (Ayat 6-14)

Ayat-ayat ini beralih dari pengenalan para pelaksana takdir menuju penggambaran langsung tentang momen yang paling menakutkan—Hari Kebangkitan. Setelah sumpah-sumpah tersebut, Allah ﷻ langsung mengunci kesimpulan:

يَوْمَ تَرْجُفُ ٱلرَّاجِفَةُ ٦ تَتْبَعُهَا ٱلرَّادِفَةُ ٧

Guncangan dan Susulannya (Ar-Rajifah dan Ar-Radifah)

Hari itu, bumi akan diguncang oleh 'Ar-Rajifah' (Guncangan Pertama), yaitu tiupan Sangkakala yang pertama yang menghancurkan seluruh makhluk hidup di alam semesta. Guncangan ini begitu dahsyat sehingga tidak ada satu pun yang tersisa kecuali Allah ﷻ. Ini adalah kehancuran total, pembalikan mutlak dari tatanan kosmik yang kita kenal.

Kemudian, Guncangan Pertama akan diikuti oleh 'Ar-Radifah' (Guncangan Kedua), yaitu tiupan Sangkakala yang kedua yang membangkitkan kembali semua makhluk dari kematian. Rentang waktu antara kedua tiupan ini adalah empat puluh (yang maknanya hanya Allah yang tahu), dan Radifah adalah penanda dimulainya kehidupan kedua, kehidupan yang abadi dan penuh perhitungan.

Kengerian Wajah yang Ketakutan

قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ ٨ أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ ٩

Pada hari itu, hati-hati akan diliputi ketakutan yang mencekam (wajifah), dan pandangan mata mereka akan tunduk, hina, dan lesu (khashi’ah). Siapakah yang mengalami ketakutan ini? Mereka adalah orang-orang yang selama di dunia meragukan janji kebangkitan. Gambaran ini sangat kontras dengan ketenangan dan kegembiraan yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman, yang telah mempersiapkan diri untuk pertemuan ini.

Ejekan Orang-Orang Kafir dan Jaminan Pembalasan

Dalam kehidupan dunia, orang-orang yang mengingkari selalu mengejek dan meremehkan janji Hari Kebangkitan. Mereka berkata dengan nada meremehkan:

يَقُولُونَ أَءِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي ٱلْحَافِرَةِ ١٠ أَءِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً ١١

“Apakah kita benar-benar akan dikembalikan ke keadaan semula (hidup kembali)? Apakah (kita akan dibangkitkan), apabila kita telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?” Ejekan ini adalah puncak kesombongan, menantang kekuasaan Dzat yang menciptakan mereka dari ketiadaan. Mereka melihat kehancuran fisik sebagai penghalang mutlak bagi penciptaan kembali.

Namun, jawaban Allah atas ejekan ini sangat tegas: Kebangkitan hanyalah masalah satu kali tiupan. Ia adalah peristiwa yang sangat mudah bagi-Nya:

فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَٰحِدَةٌ ١٣ فَإِذَا هُم بِٱلسَّاهِرَةِ ١٤

Kebangkitan itu hanyalah satu tiupan yang keras (Zajrah Wahidah). Maka, seketika itu juga mereka bangkit di permukaan bumi (As-Sahirah). 'As-Sahirah' ditafsirkan sebagai permukaan bumi yang telah diratakan, tempat berkumpulnya seluruh umat manusia, siap untuk diadili. Kesimpulan dari bagian ini adalah: Keraguan manusia tidak akan menunda janji Allah, dan semua akan kembali berdiri, menantikan perhitungan.

Timbangan Keadilan Ilustrasi Timbangan Keadilan (Mizan) yang melambangkan Hari Perhitungan dan timbangan amal.

Alt Text: Timbangan Keadilan (Mizan) melambangkan perhitungan amal di Hari Kiamat.

Bagian III: Peringatan Keras Melalui Kisah Firaun (Ayat 15-26)

Setelah menggambarkan kengerian Kiamat, Allah ﷻ memberikan contoh historis yang paling jelas tentang kesudahan bagi mereka yang melampaui batas (tughyan), yaitu kisah Nabi Musa AS dan Firaun. Kisah ini berfungsi sebagai peringatan keras: jika Fir'aun, dengan segala kekuasaan dan pasukannya, tidak dapat luput dari azab Ilahi, apalagi manusia biasa di Mekah atau di era manapun.

هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ ١٥ إِذْ نَادَىٰهُ رَبُّهُۥ بِٱلْوَادِ ٱلْمُقَدَّسِ طُوًى ١٦

Pertanyaan retoris, “Sudahkah sampai kepadamu kisah Musa?” mengarahkan perhatian kepada peristiwa di Lembah Suci Thuwa, di mana Musa pertama kali menerima wahyu. Allah ﷻ memerintahkan Musa:

Perintah untuk Menghadapi Tirani

ٱذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ١٧

"Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas (thagha)." Istilah Tughyan (melampaui batas) adalah kunci. Ia tidak hanya berarti durhaka, tetapi juga melampaui batas kemanusiaan, yaitu mengklaim kekuasaan dan ketuhanan yang hanya milik Allah.

Perintah berikutnya kepada Musa adalah ajakan yang lembut, yang menunjukkan keutamaan dakwah dengan hikmah meskipun menghadapi tiran:

فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ ١٨ وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ ١٩

“Maka katakanlah (kepada Fir'aun): ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kekafiran)? Dan maukah kamu aku tunjukkan kepada Tuhanmu agar kamu takut (kepada-Nya)?”

Tawaran ini adalah ajakan untuk tazkiyah (pembersihan jiwa) dan khasyah (ketakutan atau ketaatan yang didasari ilmu). Firaun diberi kesempatan untuk kembali ke fitrah kemanusiaannya, mengakui Tuhannya, dan membersihkan keangkuhan yang membalut hatinya.

Penolakan dan Pembalasan

Musa kemudian menunjukkan mukjizat besar (Ayat 20), tongkat yang berubah menjadi ular dan tangan yang bersinar. Namun, tanggapan Firaun justru semakin angkuh. Ia tidak hanya menolak, tetapi juga berbalik dan berupaya menandingi mukjizat tersebut. Setelah upayanya gagal, Firaun melakukan tindakan paling keji: mengumpulkan rakyatnya dan mengumumkan dirinya sebagai tuhan tertinggi.

فَحَشَرَ فَنَادَىٰ ٢٣ فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلْأَعْلَىٰ ٢٤

"Lalu Firaun mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu menyeru, (seraya) berkata: 'Akulah tuhanmu yang paling tinggi.'" Klaim ini adalah puncak kekafiran dan kezaliman yang tidak tertandingi, menempatkan dirinya sejajar—bahkan lebih tinggi—daripada Dzat yang menciptakan langit dan bumi.

Maka, pembalasan Allah ﷻ datang dengan segera dan mutlak:

فَأَخَذَهُ ٱللَّهُ نَكَالَ ٱلْءَاخِرَةِ وَٱلْأُولَىٰٓ ٢٥

"Maka Allah menimpakan kepadanya siksaan di akhirat dan siksaan di dunia." Siksaan dunia adalah penenggelaman Firaun dan pasukannya di Laut Merah; siksaan akhirat adalah azab abadi di neraka. Peristiwa ini bukan sekadar cerita sejarah, melainkan hukum alam spiritual: setiap tiran akan dihancurkan, dan kekuasaan mutlak hanya milik Allah.

Pelajaran Abadi dari Kisah Firaun

Kisah ini disisipkan di tengah Surah yang berbicara tentang kebangkitan untuk alasan yang kuat. Jika Allah ﷻ mampu menghancurkan Fir'aun, yang memiliki kendali atas sungai Nil dan ribuan prajurit, maka menghidupkan kembali manusia dari kubur adalah hal yang jauh lebih mudah. Peringatan bagi para penentang di Mekah adalah jelas: jangan ulangi kesombongan Firaun, karena akhir dari tughyan (melampaui batas) adalah kehancuran ganda.

Bagian IV: Bukti Kekuasaan di Alam Semesta (Ayat 27-33)

Setelah ancaman historis, surah ini membawa kita pada argumen logis yang tak terbantahkan, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah ﷻ di alam semesta (ayat-ayat kauniyah). Allah ﷻ menantang manusia dengan pertanyaan retoris:

ءَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ ٱلسَّمَآءُ بَنَىٰهَا ٢٧

"Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit yang telah dibangun-Nya?"

Penciptaan manusia yang fana dan lemah dibandingkan dengan penciptaan kosmik yang megah adalah hal yang tidak masuk akal untuk dibandingkan. Penciptaan langit yang luas, yang kita anggap sebagai bentangan abadi, membuktikan bahwa jika Allah mampu menciptakan yang lebih besar dan lebih rumit, maka menciptakan kembali manusia dari tulang belulang adalah mudah.

Pembangunan Langit dan Kegelapan Malam

Allah ﷻ merinci penciptaan langit:

رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّىٰهَا ٢٨ وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَىٰهَا ٢٩

Dia meninggikan bangunannya (langit) lalu menyempurnakannya. Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan Dia menjadikan siangnya terang benderang. Perbedaan antara malam yang menyelimuti (agtasha) dan siang yang dikeluarkan (akhrasa duhaha) adalah siklus sempurna yang memungkinkan kehidupan di bumi. Ini bukan kejadian acak, melainkan hasil pengaturan yang teliti oleh Al-Khaliq (Sang Pencipta).

Pengembangan Bumi

وَٱلْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَىٰهَا ٣٠

Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Kata 'Dahaha' tidak hanya berarti menghamparkan, tetapi juga mengembangkan atau menggelindingkan seperti bentuk telur (yang mengarah pada bentuk bumi yang bulat). Tindakan ini adalah anugerah terbesar bagi manusia, karena bumi dipersiapkan secara spesifik untuk tempat tinggal yang nyaman.

Allah ﷻ kemudian merinci fungsi bumi yang dihamparkan tersebut:

أَخْرَجَ مِنْهَا مَآءَهَا وَمَرْعَىٰهَا ٣١ وَٱلْجِبَالَ أَرْسَىٰهَا ٣٢ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَٰمِكُمْ ٣٣

Dari bumi Dia mengeluarkan airnya dan tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. Rangkaian ayat ini menekankan keteraturan ekosistem: Air, padang rumput, dan gunung-gunung sebagai pasak yang menstabilkan bumi (arsaha). Semua elemen ini disediakan sebagai "mata’an" (kesenangan atau bekal sementara) bagi manusia dan hewan ternak, mengingatkan kita bahwa seluruh kemewahan duniawi ini hanyalah karunia sementara yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan.

Refleksi mendalam dari bagian IV adalah bahwa jika manusia mampu melihat keagungan penciptaan kosmik dan geologis ini, bagaimana mungkin mereka meragukan kemampuan Pencipta untuk sekadar mengembalikan ruh ke jasad yang telah usang? Kiamat adalah konsekuensi logis dari keberadaan Pencipta yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menciptakan semua ini untuk tujuan tertentu.

Ilustrasi Kosmik dan Penciptaan Bumi Penggambaran langit yang ditinggikan, bumi yang dihamparkan, dan gunung-gunung yang kokoh.

Alt Text: Ilustrasi yang menggambarkan langit yang tinggi, bumi yang terhampar, dan gunung-gunung yang kokoh, sebagai tanda kebesaran Allah.

Bagian V: Al-Tammah Al-Kubra (Bencana Besar) dan Pembalasan (Ayat 34-41)

Surah ini kembali ke inti utama, yaitu Hari Pembalasan, kini dengan istilah yang lebih mengerikan dan definitif: Al-Tammah Al-Kubra, Bencana yang Sangat Besar atau Malapetaka yang Paling Agung. Kata ini menunjukkan bahwa semua bencana di dunia hanyalah permulaan dibandingkan dengan apa yang akan terjadi pada hari itu.

فَإِذَا جَآءَتِ ٱلطَّآمَّةُ ٱلْكُبْرَىٰ ٣٤ يَوْمَ يَتَذَكَّرُ ٱلْإِنسَٰنُ مَا سَعَىٰ ٣٥ وَبُرِّزَتِ ٱلْجَحِيمُ لِمَن يَرَىٰ ٣٦

Apabila Malapetaka Besar telah datang, pada hari itu manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan neraka Jahim diperlihatkan dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Ini adalah momen kilas balik instan. Setiap jiwa akan mengingat setiap amal, setiap pilihan, dan setiap detik kehidupannya. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi alasan. Neraka Jahim (Al-Jahim) diangkat dari tempatnya dan diposisikan di hadapan mereka yang ingkar.

Kriteria Penentuan Nasib

Nasib manusia pada hari itu ditentukan oleh dua kategori utama:

Kategori 1: Mereka yang Melampaui Batas (Penghuni Neraka)

فَأَمَّا مَن طَغَىٰ ٣٧ وَءَاثَرَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا ٣٨ فَإِنَّ ٱلْجَحِيمَ هِيَ ٱلْمَأْوَىٰ ٣٩

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Sesungguhnya neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Kata thagha (melampaui batas) kembali muncul, mengaitkan perilaku Firaun dengan setiap orang yang memilih kesenangan duniawi daripada ketaatan kepada Allah. Mengutamakan dunia (athara al-hayata al-dunya) berarti menjadikan hawa nafsu sebagai kiblat, menolak hidayah demi kenyamanan sesaat, dan merasa aman dari azab Allah.

Kategori 2: Mereka yang Takut kepada Tuhannya (Penghuni Surga)

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِيَ ٱلْمَأْوَىٰ ٤١

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kedudukan Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. Definisi keberhasilan dalam surah ini sangat jelas: Khawf Maqam Rabbih (Takut kepada Kedudukan Tuhannya), yaitu menyadari bahwa Allah ﷻ senantiasa mengawasi dan bahwa suatu hari nanti ia akan berdiri di hadapan-Nya untuk dihisab. Ketakutan ini bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan ketakutan yang mendorong amal saleh dan menjauhkan dari larangan.

Kriteria kedua adalah Naha anin nafs 'anil hawa (menahan diri dari hawa nafsu). Kemenangan terbesar seorang mukmin di dunia adalah menaklukkan keinginannya sendiri yang bertentangan dengan syariat. Melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling berat, dan balasannya adalah Jannah (Surga).

Bagian VI: Kapan Kiamat Tiba? (Ayat 42-46)

Bagian penutup Surah An-Nazi’at membahas pertanyaan yang paling sering diajukan oleh kaum musyrikin Mekah kepada Nabi Muhammad ﷺ: Kapan Hari Kiamat itu terjadi? Pertanyaan ini seringkali diajukan bukan karena mereka ingin bersiap, melainkan sebagai bentuk ejekan dan upaya meragukan kenabian beliau.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَىٰهَا ٤٢ فِيمَ أَنتَ مِن ذِكْرَىٰهَا ٤٣

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Untuk apakah engkau perlu menyebutkan (waktunya)?"

Jawaban Al-Qur’an di sini sangat penting dan menjadi doktrin sentral dalam akidah Islam: pengetahuan tentang waktu Kiamat adalah mutlak milik Allah ﷻ semata.

Keterbatasan Pengetahuan Rasulullah

Ayat 44 secara eksplisit menyatakan bahwa pengetahuan tentang waktu Kiamat hanya dikembalikan kepada Allah ﷻ:

إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَا ٤٤

"Kepada Tuhanmu-lah batas (ketentuan) waktunya." Ini membatasi peran Rasulullah ﷺ hanya sebagai pemberi peringatan (Nadzir), bukan peramal waktu. Jika manusia mengetahui kapan tepatnya Kiamat terjadi, baik yang beriman maupun yang ingkar akan mengubah perilaku mereka secara drastis, yang akan menghilangkan esensi dari ujian kehidupan ini.

Peringatan bagi yang Merasa Dekat

إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخْشَىٰهَا ٤٥

Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (Kiamat). Peringatan ini hanya bermanfaat bagi mereka yang memiliki potensi ketakutan kepada Allah (khasyah). Bagi mereka yang hatinya telah mengeras, peringatan apapun tidak akan berguna.

Berapa Lama Dunia Ini?

Ayat penutup Surah An-Nazi’at memberikan perspektif waktu yang mendalam dan menohok, menanggapi mereka yang merasa hidup ini panjang:

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوٓا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَىٰهَا ٤٦

Pada hari mereka melihat Kiamat itu (terjadi), mereka merasa seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan (hanya sebentar) di waktu senja atau pagi hari. Perasaan bahwa hidup di dunia sangat singkat adalah realitas yang mengejutkan ketika seseorang menghadapi keabadian Akhirat. Seluruh usia, perjuangan, kesenangan, dan penderitaan di dunia akan terasa tidak lebih dari waktu antara sore dan pagi hari (asyiyyatan aw duhaha).

Pesan penutup ini adalah ajakan untuk bertindak sekarang. Karena umur dunia ini terasa seperti satu sore yang singkat, tidak ada waktu untuk menunda amal saleh atau melanjutkan kemaksiatan.

Refleksi Menyeluruh dan Implikasi Teologis

A. Konsep Sumpah sebagai Penegasan Ilahi

Penggunaan lima sumpah pada permulaan surah ini menandai pentingnya subjek yang disumpahkan, yaitu Hari Kebangkitan. Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya yang menjalankan tugas secara sempurna, entah itu mencabut nyawa dengan kelembutan atau kekerasan, atau mengatur urusan alam. Ini adalah metode pengajaran Al-Qur’an untuk mengaitkan hal gaib (kebangkitan) dengan hal nyata (fungsi malaikat yang teratur). Jika para pelaksana takdir Ilahi ini memiliki otoritas sebesar itu, mustahil kekuasaan Sang Pencipta dibatasi hanya oleh kehancuran fisik manusia.

Setiap sumpah mengingatkan kita akan kehadiran malaikat yang konstan dalam hidup kita, mulai dari pencatatan amal (Rakib dan Atid), hingga penjemputan nyawa (Malakul Maut). Kesadaran bahwa makhluk-makhluk perkasa ini selalu bekerja tanpa lelah harusnya menumbuhkan rasa takut (khasyah) pada hati manusia, yang merupakan prasyarat utama untuk menghindari neraka (Ayat 40).

B. Kekuatan Kontras dan Paralelisme dalam Narasi

Surah An-Nazi’at menggunakan teknik kontras dan paralelisme yang sangat efektif untuk menyampaikan pesannya. Beberapa pasangan kontras tersebut meliputi:

Paralelisme antara kesombongan Firaun dan kesombongan kaum Quraisy (dan manusia manapun yang mengingkari) adalah peringatan yang sangat kuat. Firaun melihat kekuasaan dan kekayaan sebagai kebal terhadap hukum Allah. Setiap orang yang menjadikan dirinya ‘tuhan tertinggi’ di lingkup kecilnya sendiri, yang menolak perintah Allah demi keuntungannya sendiri, berada di jalur yang sama dengan Firaun dan akan berbagi nasib yang serupa: azab ganda (dunia dan akhirat).

C. Falsafah Penciptaan Kosmik dan Kebangkitan

Ayat 27-33, yang membahas penciptaan langit, bumi, dan gunung, berfungsi sebagai pengingat akan kapasitas Allah yang tak terbatas. Filsafat di balik ayat ini adalah bahwa penciptaan bukanlah tindakan sekali jalan, melainkan proses yang berkelanjutan, teratur, dan harmonis.

Bayangkan kompleksitas membangun kubah langit tanpa tiang yang terlihat, atau bagaimana air dikeluarkan dari bumi untuk menumbuhkan padang rumput yang menopang kehidupan. Semua ini dilakukan secara sistematis. Jika pengaturan siklus kosmik yang rumit ini dapat dilakukan, maka menghidupkan kembali sel-sel yang telah mati adalah detail yang sangat kecil. Penolakan terhadap Kebangkitan pada dasarnya adalah penolakan terhadap keagungan dan kekuasaan Dzat yang menciptakan semua yang ada.

Penciptaan alam semesta adalah argumen yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menjembatani jurang antara pemahaman manusia tentang kehancuran dan janji kebangkitan. Hal-hal yang besar di alam semesta harusnya membuat manusia merasa kecil, sehingga pertanyaan mengenai "apakah kita akan dibangkitkan" menjadi pertanyaan yang memalukan untuk dilontarkan kepada Pencipta semesta.

D. Dua Pilihan Abadi

Surah An-Nazi’at menyajikan dualitas yang jelas dan final antara Jannah dan Jahim, yang merupakan hasil dari dua pilihan fundamental manusia di dunia:

  1. Pilihan Dunia: Thagha (Melampaui Batas) dan Aatsara al-Hayata al-Dunya (Mengutamakan Hidup Dunia). Ini adalah jalur yang didominasi oleh hawa nafsu (hawa).
  2. Pilihan Akhirat: Khafa Maqam Rabbih (Takut pada Kedudukan Tuhan) dan Naha anin nafs ‘anil hawa (Menahan Diri dari Nafsu). Ini adalah jalur ketaatan dan pengendalian diri.

Inti dari kehidupan adalah pertarungan melawan hawa nafsu. Nafsu selalu mendorong manusia untuk melampaui batas (thagha), entah dalam hal harta, kekuasaan, atau kesenangan. Mereka yang berhasil menahan tarikan nafsu ini, karena ketakutan dan kesadaran akan hari pertanggungjawaban, merekalah yang digaransi tempat tinggal abadi di Surga.

Tafsir mengenai 'kedudukan Tuhan' sangat mendalam. Ia bukan sekadar takut kepada Allah, tetapi takut saat berdiri di hadapan-Nya, takut akan momen perhitungan di mana tidak ada rahasia yang tersembunyi. Ketakutan inilah yang menjadi rem moral bagi segala bentuk pelanggaran di dunia.

E. Perspektif Waktu yang Membebaskan

Penutup surah ini, dengan perbandingan waktu hidup di dunia hanya seperti "satu sore atau pagi hari," memberikan perspektif psikologis yang membebaskan. Jika seluruh penderitaan, kesulitan, dan godaan yang dihadapi di dunia hanya berlangsung selama "satu sore," maka imbalan kekal yang menanti di akhirat jauh lebih berharga untuk diperjuangkan.

Perasaan bahwa dunia ini singkat akan menghilangkan keterikatan yang berlebihan terhadap materi dan posisi. Jika hari kebangkitan adalah kepastian, dan waktu dunia ini adalah ilusi yang singkat, maka setiap detik harus diinvestasikan untuk tujuan yang abadi.

Bagi mereka yang bertanya tentang waktu Kiamat, surah ini memberikan jawaban sempurna: Waktunya tidak penting. Yang penting adalah apa yang telah kamu persiapkan untuknya. Karena, begitu ia datang, semua akan menyadari betapa pendeknya waktu yang diberikan, dan betapa besarnya pertanggungjawaban yang harus diemban. Inilah peringatan abadi Surah An-Nazi’at dari ayat 1 hingga 46.

Kajian atas Surah An-Nazi’at mengajarkan umat manusia untuk hidup dalam kesadaran (muraqabah) bahwa setiap tindakan diawasi oleh Dzat Yang Maha Kuasa, bahwa kehidupan adalah ujian yang singkat, dan bahwa akhir dari kesombongan adalah kehancuran mutlak, sementara akhir dari ketaatan adalah kemenangan abadi. Surah ini adalah salah satu teguran paling tajam dalam Al-Qur’an yang memaksa jiwa untuk merenungkan akhir perjalanannya.

Apabila kita merenungkan kembali struktur Surah ini, kita melihat sebuah lingkaran sempurna: dimulainya dengan para Malaikat yang mencabut ruh, lalu kengerian kebangkitan, kemudian kisah sejarah Firaun sebagai bukti hukuman, lalu keagungan penciptaan sebagai bukti kemampuan Allah, dan akhirnya, dua destinasi abadi yang menunggu. Seluruh rangkaian ayat ini dirancang untuk membongkar kesombongan manusia yang meragukan kekuasaan Allah dan untuk menetapkan kebenaran Hari Pembalasan tanpa keraguan sedikit pun. Keterlibatan emosional dan logika kosmik dalam surah ini memastikan bahwa pesan mengenai pertanggungjawaban akan bergema di hati setiap pembacanya.

***

Penting untuk memahami bahwa Surah An-Nazi’at, dengan kekuatannya yang luar biasa, seringkali dibaca sebagai motivasi spiritual untuk memperbaiki diri. Kata-kata seperti 'Rajifah' dan 'Radifah' berfungsi sebagai cambuk spiritual yang mengingatkan bahwa kelalaian hari ini akan berujung pada penyesalan yang tak terperikan di hadapan 'Al-Tammah Al-Kubra'. Jika kita melihat kembali pada kisah Firaun, ia adalah manusia yang diberikan kekuasaan duniawi yang luar biasa. Namun, kekuasaan itu menjadi sumber kehancurannya ketika ia memilih jalan tughyan. Pelajaran ini relevan bagi siapapun yang memegang otoritas, harta, atau pengaruh: semua itu adalah ujian, bukan jaminan keselamatan.

Pengulangan konsep 'melampaui batas' (thagha) adalah penekanan bahwa masalah utama manusia bukanlah kurangnya pengetahuan, tetapi keangkuhan dan penolakan untuk tunduk. Firaun tahu kebenaran, tetapi keangkuhannya menolak untuk dibersihkan (tazakka). Demikian pula, setiap individu yang menolak peringatan, meskipun mereka melihat tanda-tanda kebesaran Allah di sekeliling mereka (ayat 27-33), telah memilih jalur kesombongan yang sama. Oleh karena itu, bagi orang yang berakal, bukti-bukti penciptaan yang teratur dan megah seharusnya memimpin pada kesimpulan logis: Pencipta yang mampu mengatur kosmos ini pasti mampu menghidupkan kembali manusia dari debu.

Perbandingan waktu di akhir ayat 46 adalah penawar racun keterikatan duniawi. Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mengejar ambisi dunia seolah-olah mereka akan hidup seribu tahun lagi. Namun, ketika Kiamat tiba, mereka akan merasa seolah-olah waktu yang dihabiskan itu hanya sepanjang waktu antara dua shalat, atau satu jeda makan siang. Kesadaran ini harus menggeser prioritas dari kesenangan jangka pendek menuju investasi spiritual jangka panjang. Kesuksesan sejati adalah menahan diri dari hawa nafsu demi meraih keridhaan Allah.

Setiap orang yang merenungkan Surah An-Nazi’at disadarkan bahwa hidup ini adalah pertaruhan yang sangat besar. Sumpah para malaikat memastikan bahwa urusan kita sedang diatur menuju satu tujuan akhir, yaitu pertemuan dengan Allah. Kehancuran Firaun menjadi jaminan bahwa keadilan akan ditegakkan. Dan pertanyaan tentang waktu Kiamat menjadi tidak relevan, karena yang dihitung adalah kualitas persiapan kita. Inilah hikmah agung dari 46 ayat Surah An-Nazi’at yang menggabungkan retorika, sejarah, kosmik, dan eskatologi dalam satu kesatuan yang kohesif dan menggetarkan.

***

Keterangan mendalam tentang fungsi malaikat yang disebutkan dalam ayat 1 hingga 5 adalah kunci untuk memahami atmosfer surah ini. Mereka adalah instrumen kehendak Ilahi yang beroperasi dalam berbagai domain. Ketika kita berbicara tentang 'An-Nazi’at Gharqan', kita membayangkan malaikat yang beroperasi dengan kekerasan yang diperlukan untuk menyingkirkan ruh yang tidak patuh dari jasadnya. Kekerasan ini adalah respons metafisik terhadap penolakan total yang dialami oleh ruh tersebut terhadap kebenaran selama hidupnya. Sebaliknya, 'An-Nashithat Nashtan' menunjukkan interaksi yang harmonis antara malaikat dan ruh yang tulus, mencabutnya dengan kemudahan karena ruh itu sudah siap untuk kembali kepada Penciptanya. Ini mengajarkan kita bahwa bahkan dalam momen paling universal—kematian—terdapat diferensiasi berdasarkan amal perbuatan.

Selanjutnya, 'As-Sabihat Sabhan' dan 'As-Sabiqat Sabqan' melukiskan alam semesta yang dinamis, penuh pergerakan malaikat yang cepat, menjalankan tugas-tugas administratif kosmik. Mereka meluncur dan mendahului satu sama lain untuk memastikan bahwa perintah Allah dilaksanakan tanpa penundaan. Kecepatan ini mencerminkan kedaulatan mutlak Allah ﷻ, yang segala sesuatu di bawah kendali-Nya. Ini menguatkan fondasi bagi penegasan Kiamat: jika mereka dapat mengatur galaksi dan mencabut triliunan nyawa dengan kecepatan dan presisi yang demikian, kebangkitan total manusia adalah hal yang niscaya.

Penyebutan 'Al-Mudabbirat Amran' menutup rangkaian sumpah ini dengan sebuah sintesis: semua makhluk ini bekerja di bawah satu otoritas, mengatur semua urusan (amran). Mulai dari jatuhnya setetes hujan, kelahiran bayi, hingga penenggelaman Firaun, semua diatur. Orang yang meragukan kebangkitan berarti meragukan pengaturan ini, meragukan kecerdasan di balik seluruh alam semesta.

Ketika kita berpindah ke penggambaran 'Ar-Rajifah' dan 'Ar-Radifah' (Ayat 6-7), kita disajikan dengan kehancuran dan penciptaan yang terjadi secara berurutan, menegaskan bahwa kekuasaan Allah ﷻ mencakup baik pemusnahan maupun regenerasi. 'Ar-Rajifah' adalah gempa kosmik yang mengakhiri zaman, sementara 'Ar-Radifah' adalah kebangkitan kembali. Peristiwa ini terjadi begitu cepat (Zajrah Wahidah, satu tiupan keras) sehingga menunjukkan bahwa kebangkitan bukanlah proses evolusioner yang lambat, tetapi tindakan penciptaan langsung dan instan. Penekanan pada kecepatan ini meniadakan argumen kaum kafir tentang kesulitan menghidupkan kembali tulang belulang yang hancur.

Dalam konteks kontemporer, ancaman 'Al-Tammah Al-Kubra' (Bencana Besar) menjadi pengingat yang relevan di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan godaan materialisme. Manusia modern seringkali menjadi 'Firaun' di ranahnya sendiri, entah dalam hal kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan, dan merasa dirinya independen dari Tuhan. Surah An-Nazi’at menelanjangi ilusi kemandirian ini. Kekuatan terbesar di dunia tidak dapat menghalangi Malaikat Maut, dan tidak dapat membatalkan perhitungan di Hari Kiamat. Kehidupan dunia, yang begitu didambakan, akan terasa bagai mimpi yang baru saja berlalu ketika keabadian dimulai.

Tafsir Surah An-Nazi'at adalah seruan untuk introspeksi yang mendalam: Apakah kita menjalani hidup sebagai 'An-Nashithat' yang ruhnya dicabut dengan tenang, atau sebagai 'An-Nazi’at' yang harus menghadapi kerasnya pencabutan? Jawaban atas pertanyaan ini telah diuraikan dengan jelas: itu tergantung pada pilihan kita untuk tazakka (membersihkan diri) dan menahan diri dari hawa nafsu (nahya anil hawa). Inilah resep abadi untuk keselamatan yang ditawarkan oleh surah yang agung ini.

Penolakan terhadap Hari Kiamat seringkali berakar pada keengganan untuk bertanggung jawab. Jika tidak ada Hari Pembalasan, maka tidak ada batasan moral; setiap orang dapat menjadi tuhan bagi dirinya sendiri, persis seperti yang dilakukan Firaun. Surah An-Nazi’at menghancurkan premis tersebut dengan menunjukkan bukti nyata (malaikat, penciptaan alam) dan bukti historis (kisah Firaun). Dengan demikian, keraguan terhadap kebangkitan bukan lagi masalah logis, tetapi masalah hati yang keras karena telah melampaui batas.

Pelajaran terpenting dari Surah ini adalah kesiapan. Karena pengetahuan tentang waktu Kiamat mutlak milik Allah, fokus kita harus dialihkan dari spekulasi tentang kapan Hari itu tiba, menjadi persiapan maksimal untuk bertemu dengan-Nya. Bagi mereka yang takut (yakhshaha), peringatan ini sudah cukup. Bagi yang tidak takut, tidak ada jumlah bukti kosmik atau historis yang akan mengubah hati mereka. Surah An-Nazi’at, dari sumpah pembukanya yang menggetarkan hingga penutupnya yang singkat namun mematikan, berfungsi sebagai mercusuar yang menerangi jalan menuju pertanggungjawaban abadi.

🏠 Kembali ke Homepage