Kajian Mendalam Surah An-Nisa Ayat 103
Inti ajaran Islam menetapkan bahwa hubungan seorang hamba dengan Penciptanya harus bersifat abadi, tak terputus oleh keadaan, situasi, atau tekanan. Konsep ini terangkum sempurna dalam firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa, khususnya ayat ke-103. Ayat ini tidak hanya menegaskan kembali kewajiban shalat—yang merupakan tiang agama—tetapi juga memberikan pedoman vital mengenai kelangsungan ibadah, bahkan dalam konteks paling ekstrem: medan peperangan.
Ayat mulia ini muncul sebagai kelanjutan dari penetapan hukum mengenai Salat al-Khawf (shalat dalam keadaan takut atau perang), yang dijelaskan pada ayat sebelumnya (An-Nisa: 102). Setelah detail mengenai bagaimana tata cara shalat dapat disingkat dan dilaksanakan secara bergantian untuk menjaga keamanan, ayat 103 hadir untuk memastikan bahwa meskipun bentuk fisik shalat berubah demi alasan darurat, substansi spiritual dan kewajiban waktu tidak boleh hilang.
Terjemahan ayat 103 dari Surah An-Nisa berbunyi:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا
Artinya: "Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman."
Ayat ini memuat tiga instruksi hukum dan spiritual yang fundamental, yang menjadi landasan bagi disiplin keimanan seorang Muslim:
Porsi pertama dari ayat ini menekankan transisi spiritual dari ibadah formal (shalat) menuju ibadah non-formal (dzikir). Setelah menyelesaikan shalat (baik shalat yang disempurnakan maupun shalat yang disingkat karena takut), umat Islam diperintahkan untuk tidak menghentikan koneksi spiritual mereka.
Perintah untuk berdzikir "di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring" adalah sebuah metafora linguistik yang sangat kuat, menunjukkan kontinuitas mutlak. Ini bukan sekadar tiga posisi fisik; ini melambangkan seluruh spektrum kehidupan dan aktivitas manusia. Keberadaan manusia, dari aktivitas puncak (berdiri) hingga istirahat total (berbaring), harus senantiasa diisi dengan kesadaran akan Ilahi.
Posisi berdiri melambangkan aktivitas. Ini adalah keadaan di mana seseorang sedang bekerja, bergerak, atau menghadapi kesulitan secara aktif. Dalam konteks ayat ini, yang diturunkan setelah Salat al-Khawf, berdiri mungkin merujuk pada penjagaan, pengawasan, atau pertempuran itu sendiri. Bahkan ketika fisik sedang sibuk menjalankan tugas duniawi atau tugas militer, hati dan lisan harus tetap terikat pada Allah. Dzikir dalam keadaan berdiri adalah manifestasi dari kesadaran Ilahi di tengah hiruk pikuk.
Duduk melambangkan fase istirahat sementara atau perencanaan. Ini adalah keadaan yang lebih tenang dibandingkan berdiri, seringkali digunakan untuk refleksi atau musyawarah. Perintah berdzikir saat duduk menunjukkan bahwa pada saat jeda, saat istirahat dari kesulitan, seorang Muslim tidak boleh lalai. Sebaliknya, waktu luang harus menjadi kesempatan untuk memperdalam hubungan spiritual, menjadikannya sebagai sarana untuk mengumpulkan energi rohani sebelum kembali beraktivitas. Ini adalah dzikir yang menenangkan jiwa, menghadirkan kedamaian di tengah jeda.
Berbaring adalah keadaan paling pasif, seringkali merujuk pada tidur, sakit, atau kelemahan. Ini adalah titik di mana manusia berada dalam keadaan paling rentan dan bergantung. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan dalam keadaan sakit parah atau menjelang tidur, dzikir tetap wajib. Ini mengingatkan kita bahwa keselamatan dan perlindungan berasal dari Allah semata. Bagi mereka yang sakit dan tidak mampu shalat secara normal, dzikir dalam keadaan berbaring menjadi pengganti spiritual, memastikan hubungan tidak pernah terputus. Ini adalah manifestasi dari tawakal dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Kehendak-Nya.
Alt Text: Ilustrasi yang menunjukkan kontinuitas ibadah dan dzikir dalam tiga posisi: berdiri, duduk, dan berbaring, dilingkari sebagai simbol waktu yang tak terputus.
Ayat ini diturunkan setelah umat Islam berada di bawah tekanan psikologis dan fisik yang hebat di medan perang. Dalam kondisi stres tinggi, manusia cenderung melupakan spiritualitas mereka atau merasa terlalu sibuk untuk beribadah. Namun, perintah dzikir yang universal ini berfungsi sebagai jangkar (sakīnah) bagi jiwa. Dzikir adalah cara untuk menenangkan hati dan pikiran, menegaskan bahwa meskipun musuh fisik mungkin mengancam, Allah tetap Maha Mengawasi dan Maha Pelindung.
Para mufassir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi menekankan bahwa perintah dzikir ini adalah pengajaran fundamental bahwa kewajiban kepada Allah tidak pernah jatuh, meskipun terjadi keringanan dalam bentuk shalat. Hal ini juga menunjukkan keluasan rahmat Allah: jika kita tidak mampu melakukan shalat formal dengan sempurna, kita masih memiliki dzikir sebagai jalan menuju-Nya.
Konsekuensi dari pemahaman ini sangat luas. Ini membentuk etos Muslim yang senantiasa sadar (muraqabah) akan keberadaan Allah, mengubah setiap momen kehidupan – baik sukses maupun kegagalan, damai maupun takut – menjadi potensi ibadah. Ini adalah pencapaian tertinggi dari tawhid (keesaan Allah) dalam tindakan sehari-hari.
Bagian kedua dan ketiga dari An-Nisa 103 berisi penegasan yang sangat tegas tentang bagaimana shalat harus dilakukan setelah rasa takut atau bahaya telah berlalu, dan mengapa shalat tidak dapat diabaikan.
Frasa "Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa)" (فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ) adalah perintah untuk mengembalikan shalat kepada format aslinya yang sempurna (tammah), lengkap dengan rukun, sunnah, dan tuma'ninah. Ini menunjukkan bahwa keringanan (rukhsah) yang diberikan dalam Salat al-Khawf hanyalah pengecualian sementara, bukan pengganti permanen. Tujuan utama ibadah tetaplah kesempurnaan dan kekhusyukan.
Perintah ini mengajarkan prinsip penting dalam Fiqh: Hukum dasar harus kembali diterapkan setelah penyebab keringanan telah hilang. Selama ada ketenangan (ithma'nan), tidak ada alasan untuk mempertahankan bentuk shalat yang disingkat atau dipermudah. Ini adalah demonstrasi bahwa disiplin spiritual harus menjadi prioritas segera setelah keadaan memungkinkan.
Klimaks dari ayat ini terletak pada penegasan fundamental: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman" (إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا).
Kata kunci di sini adalah "Mauquta" (مَّوْقُوتًا), yang berasal dari kata *waqt* (waktu). Ini berarti bahwa shalat tidak hanya diwajibkan (kitaban), tetapi ia terikat erat pada batas-batas waktu yang telah ditetapkan secara syariat. Para ulama ijma’ (konsensus) bahwa ayat ini merupakan dalil terkuat atas kewajiban melaksanakan shalat pada waktunya, bukan sekadar kewajiban melaksanakannya di suatu waktu.
Ibnu Abbas RA menafsirkan *Kitaban Mauquta* sebagai kewajiban yang telah ditentukan awal dan akhir waktunya, seperti yang dijelaskan dalam hadis Jibril AS, yang mengajarkan Nabi Muhammad SAW tentang batas waktu shalat lima waktu.
Mengapa Allah menetapkan waktu? Penetapan waktu ini memiliki beberapa fungsi krusial:
Jika shalat tidak terikat waktu, ia berpotensi ditunda hingga diabaikan. Ketetapan *mauquta* menghilangkan opsi penundaan kecuali dalam keadaan darurat yang dibenarkan syariat (seperti *jamak*). Ini memastikan bahwa kewajiban vertikal kepada Allah selalu diprioritaskan di atas kewajiban horizontal duniawi.
Meskipun ayat 103 adalah kesimpulan hukum yang luas, ia tidak dapat dipisahkan dari konteks 102, yaitu Salat al-Khawf. Riwayat-riwayat tentang sebab turunnya ayat ini sering merujuk pada beberapa ekspedisi militer di mana kaum Muslimin menghadapi bahaya besar, seperti pada saat Perang Dhatur-Riqa' atau ekspedisi di 'Usfan.
Dalam riwayat-riwayat tersebut, kekhawatiran terbesar adalah bagaimana melaksanakan shalat tanpa membuat barisan Muslimin rentan terhadap serangan mendadak. Allah SWT memberikan keringanan (Salat al-Khawf), di mana satu kelompok shalat bersama Nabi SAW sementara kelompok lain berjaga. Setelah shalat singkat itu selesai, kekhawatiran muncul: apakah keringanan ini berarti shalat sudah sempurna, dan apakah dzikir harus dihentikan? Ayat 103 menjawab kekhawatiran ini dengan tiga poin tegas: pertama, dzikir wajib berkelanjutan; kedua, shalat harus kembali normal saat aman; dan ketiga, shalat terikat waktu.
Pelajaran yang paling mendalam dari konteks historis ini adalah bahwa jika shalat, ibadah fisik yang paling berat, tetap wajib dilaksanakan bahkan di bawah hujan anak panah dan ancaman kematian, maka dalam keadaan damai dan sejahtera, kewajiban shalat dan dzikir jauh lebih besar lagi. Tidak ada alasan duniawi—kesibukan pekerjaan, studi, atau harta—yang dapat membatalkan atau menunda kewajiban yang telah ditetapkan waktunya (kitaban mauquta).
Ayat An-Nisa 103 menjadi landasan bagi banyak hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan prioritas ibadah dan manajemen waktu.
Penegasan *kitaban mauquta* (kewajiban yang terikat waktu) memberikan bobot besar pada dosa menunda shalat hingga melewati waktunya. Ulama empat mazhab sepakat bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja hingga habis waktunya termasuk dosa besar. Ayat ini menjadi dasar penolakan terhadap pandangan yang membolehkan penundaan shalat tanpa alasan syar’i. Jika shalat harus dijaga bahkan saat takut, maka saat aman, menjaga waktunya menjadi keharusan mutlak.
Meskipun demikian, ayat ini juga memberikan keringanan dalam keadaan lupa atau tertidur (berdasarkan hadis Nabi SAW). Namun, prinsipnya adalah, begitu ingat atau terbangun, shalat harus segera dilaksanakan, karena statusnya tetap sebagai kewajiban yang terikat waktu.
Ayat ini mengangkat derajat dzikir dari sekadar sunnah menjadi sebuah kewajiban moral dan spiritual yang melengkapi shalat. Dzikir adalah nutrisi jiwa yang mencegah kekeringan rohani antara satu shalat dengan shalat berikutnya. Ketika seseorang mengingat Allah saat berdiri, duduk, dan berbaring, ia pada dasarnya menjalankan shalat yang berkelanjutan di luar batasan rukun dan syarat formal.
Dzikir ini mencakup: tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (Laa ilaaha illallah), takbir (Allahu Akbar), istighfar (memohon ampun), dan membaca Al-Qur'an. Intensitas dzikir ini harus ditingkatkan saat seseorang sedang dalam kesulitan (sesuai konteks turunnya ayat).
Frasa "apabila kamu telah merasa aman (ithma'nantum), maka dirikanlah shalat" menunjukkan bahwa kondisi hati yang tenang adalah prasyarat spiritual untuk shalat yang khusyuk. Shalat yang dikembalikan kepada bentuk sempurna membutuhkan konsentrasi (khusyu') yang hanya bisa dicapai ketika ancaman luar telah mereda.
Ini adalah pelajaran psikologis yang mendalam: Islam mengakui keterbatasan manusia di bawah tekanan. Namun, setelah tekanan hilang, tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi Allah SWT. Ketenangan eksternal harus diterjemahkan menjadi ketenangan internal (tuma'ninah) dalam shalat.
Pada masa kini, medan perang jarang kita temui dalam artian fisik seperti zaman Nabi SAW, namun kita menghadapi "perang" modern: perang melawan waktu, tekanan pekerjaan, hiruk pikuk teknologi, dan godaan kelalaian. An-Nisa 103 memberikan panduan bagaimana menghadapi tantangan spiritual di tengah kesibukan yang ekstrem ini.
Ayat ini mengajarkan kepada eksekutif yang sibuk, mahasiswa yang tertekan, atau pekerja yang kelelahan, bahwa waktu shalat adalah garis merah (red line) yang tidak boleh dilanggar. Shalat bukanlah aktivitas yang diselipkan di antara jadwal, melainkan jadwal utama di mana aktivitas lain harus menyesuaikan diri.
Jika Rasulullah SAW dan para sahabat mampu shalat tepat waktu sambil memegang pedang dan menjaga perbatasan, maka seorang Muslim di masa damai harusnya lebih mampu lagi menjaga waktu shalatnya di tengah tumpukan berkas atau panggilan rapat. Pelanggaran terhadap *kitaban mauquta* karena alasan duniawi sama saja meruntuhkan prioritas keimanan.
Dalam rentang waktu antara Ashar dan Maghrib, atau Maghrib dan Isya, seorang Muslim seringkali disibukkan. Dzikir yang diperintahkan dalam segala posisi menjadi jembatan spiritual. Saat mengemudi, saat menunggu, saat bekerja dengan tangan tetapi pikiran bebas, saat-saat itu harus diisi dengan dzikir. Ini adalah wujud nyata dari ketaatan kepada perintah "ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring".
Dzikir ini berfungsi sebagai penghalang terhadap pengaruh negatif lingkungan. Dengan hati yang basah oleh dzikir, seorang Muslim lebih mampu mempertahankan diri dari ghibah, dusta, atau perbuatan maksiat lainnya yang seringkali terjadi di lingkungan kerja atau sosial. Dzikir adalah perisai yang dibawa ke mana pun.
An-Nisa 103 tidak memisahkan shalat dari dzikir, tetapi justru menjadikannya siklus yang saling menguatkan. Shalat lima waktu adalah pengisian baterai rohani, dan dzikir adalah penggunaan daya rohani tersebut di sepanjang hari.
Shalat yang khusyuk akan menghasilkan dzikir yang ikhlas dan mendalam, sementara dzikir yang kontinu akan meningkatkan kesadaran (muraqabah) yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas shalat. Ini adalah sistem tertutup yang menjamin bahwa keimanan seorang Muslim selalu berada dalam kondisi optimal.
Ulama kontemporer sering menggunakan ayat ini untuk menyerukan revitalisasi peran spiritual di tengah modernitas yang mendegradasi spiritualitas. Mereka mengingatkan bahwa tekanan ekonomi atau sosial yang kita hadapi saat ini, meskipun terasa berat, tidak sebanding dengan tekanan fisik yang dihadapi oleh para sahabat di medan perang. Jika mereka diwajibkan untuk mempertahankan shalat dan dzikir, kita pun tidak memiliki pengecualian yang lebih besar.
Dalam konteks pengembangan diri dan psikologi Islam, perintah dzikir *qiyaman, qu'udan, wa 'ala junubikum* dilihat sebagai terapi untuk kegelisahan dan stres. Mengingat Allah secara terus-menerus memberikan perspektif yang lebih besar tentang masalah-masalah duniawi, menempatkan segala kesulitan dalam kerangka kekuasaan Ilahi yang tak terbatas. Ini adalah resep ketenangan batin yang dijamin oleh Al-Qur'an.
Penyebutan kitaban mauquta secara eksplisit di akhir ayat ini adalah penutup yang kuat. Ia menyatakan bahwa ketepatan waktu dalam shalat bukan hanya masalah hukum, melainkan bagian intrinsik dari identitas orang beriman (*al-mu’minin*). Orang yang beriman sejati adalah mereka yang menghargai waktu yang telah ditetapkan Allah untuk berinteraksi dengan-Nya.
Ketetapan waktu ini juga mencerminkan keteraturan kosmik. Allah menciptakan alam semesta dengan keteraturan mutlak: matahari terbit dan terbenam, musim berganti, dan bulan berputar. Shalat lima waktu menyelaraskan ritme kehidupan seorang Muslim dengan ritme kosmik ini, menjadikannya bagian dari tatanan Ilahi yang lebih besar. Dengan menunaikan shalat tepat waktu, seorang hamba menyatakan kepatuhan total terhadap tatanan yang telah ditetapkan Penciptanya.
Ketika shalat dilaksanakan tepat waktu secara kolektif, hal itu menciptakan stabilitas sosial. Shalat berjamaah, yang berulang lima kali sehari, memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah) dan mengingatkan masyarakat akan tujuan bersama mereka. Ini adalah tiang komunitas yang menjamin bahwa meskipun ada perbedaan duniawi, setiap individu dipanggil pada waktu yang sama untuk tunduk di hadapan Yang Satu.
Penting untuk dipahami bahwa keharusan menunaikan shalat tepat waktu, yang ditegaskan dalam An-Nisa 103, adalah fondasi spiritual yang memungkinkan seorang Muslim untuk berfungsi secara efektif di dunia. Tanpa fondasi yang kokoh ini, semua aktivitas duniawi (baik di medan perang maupun di meja kantor) akan kekurangan keberkahan dan tujuan akhir.
Kata kunci *ithma'nantum* (kamu telah merasa aman) memiliki resonansi spiritual yang mendalam. Ketenangan yang dimaksud bukanlah sekadar tidak adanya musuh fisik, tetapi juga ketenangan hati dari kekhawatiran yang melalaikan.
Para ulama tafsir membagi ketenangan ini menjadi dua aspek:
Ini menyiratkan bahwa kewajiban shalat normal (dengan rukun dan tuma’ninah sempurna) hanya dapat ditegakkan ketika kondisi mental dan fisik memungkinkan konsentrasi. Namun, ketika ketenangan ini belum sepenuhnya tercapai, dzikir terus-menerus berfungsi sebagai pelindung, memastikan bahwa api keimanan tidak padam. Shalat adalah ibadah yang memerlukan kehadiran penuh (hudhur al-qalb), dan ayat ini mengarahkan kita untuk mencari kondisi terbaik agar ibadah tersebut dapat diterima secara maksimal.
Dalam pembahasan hukum Islam kontemporer, An-Nisa 103 sering dijadikan rujukan utama dalam menentukan hukum bagi kelompok minoritas Muslim di negara non-Muslim atau bagi para musafir modern (traveller) yang menghadapi kesulitan dalam menemukan tempat atau waktu shalat. Prinsip *kitaban mauquta* menegaskan bahwa meskipun keringanan (seperti jamak dan qasar) diperbolehkan, shalat tidak boleh ditinggalkan. Ia harus tetap dilaksanakan dalam batas waktu yang tersedia, bahkan jika bentuknya disesuaikan (misalnya, shalat di pesawat atau kereta).
Keputusan untuk tetap berdzikir di segala posisi juga memberikan legalitas spiritual bagi seorang Muslim yang, karena alasan pekerjaan vital (seperti dokter bedah di ruang operasi), mungkin harus menunda atau mempersingkat shalatnya. Dalam kasus seperti itu, dzikir yang dilakukan secara intensif dalam hati berfungsi sebagai bentuk ibadah pengganti yang paling dekat hingga ia mampu kembali kepada shalat formal yang sempurna.
Ancaman terbesar bagi *kitaban mauquta* di era digital bukanlah musuh bersenjata, melainkan gangguan. Notifikasi, informasi tak terbatas, dan tuntutan konektivitas 24 jam sehari menggerus waktu shalat. Ayat 103, dengan penegasannya, memaksa kita untuk membuat keputusan sadar untuk memutuskan koneksi duniawi selama beberapa menit setiap hari. Lima kali sehari, dunia harus berhenti bagi orang beriman untuk memenuhi janji waktu yang telah ditetapkan Allah.
Dzikir *qiyaman, qu’udan, wa ‘ala junubikum* menjadi latihan mindfulness Islami. Ini adalah pelatihan untuk menjaga fokus spiritual di tengah arus informasi yang tak terkendali. Ini mengajarkan bahwa kualitas hidup seorang Muslim tidak ditentukan oleh apa yang ia konsumsi, tetapi oleh seberapa sering ia mengingat dan terhubung dengan Sumber Kehidupan.
Surah An-Nisa ayat 103 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang membahas dimensi waktu dan kekekalan dalam ibadah. Ia mengajarkan bahwa dalam Islam, tidak ada diskoneksi antara ibadah formal dan kehidupan sehari-hari. Shalat adalah fondasi yang terikat waktu, yang kemudian diperkuat dan dilindungi oleh dzikir yang tidak terikat waktu.
Baik dalam kondisi puncak ketakutan di medan perang, maupun dalam puncak kemudahan dan kesejahteraan, kewajiban kepada Allah tetaplah utama. Perintah ini menciptakan pribadi Muslim yang disiplin, sadar, tenang, dan selaras dengan Kehendak Ilahi, menjadikan setiap detik kehidupannya sebagai peluang untuk beribadah dan mengingat Sang Pencipta.
Kewajiban shalat yang ditentukan waktunya (*kitaban mauquta*) adalah anugerah, bukan beban. Ia adalah peta jalan menuju kesuksesan abadi, sebuah pengingat yang berulang bahwa hidup ini memiliki tujuan yang melampaui kepentingan duniawi sementara. Dan dzikir yang terus-menerus adalah pelindung yang menjamin bahwa perjalanan rohani kita tidak pernah terhenti, tidak peduli seberapa sulit atau sibuknya keadaan yang kita hadapi.
Maka, refleksi mendalam atas An-Nisa 103 harus menginspirasi setiap orang beriman untuk tidak pernah meremehkan waktu shalat, dan menjadikan dzikrullah sebagai nafas spiritual yang menyertai setiap langkah, dari berdiri tegak, duduk santai, hingga berbaring lemah, sampai kita kembali kepada-Nya.
Konsep *kitaban mauquta* tidak hanya mewajibkan shalat pada waktu tertentu, tetapi juga menanamkan hikmah di balik perbedaan waktu shalat. Lima waktu shalat (Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya) tersebar secara strategis sepanjang siklus 24 jam untuk memaksimalkan manfaat rohani dan menjaga keseimbangan manusia.
Shalat Subuh, yang dilaksanakan sebelum matahari terbit, mengajarkan pengorbanan awal. Ini adalah saat di mana jiwa paling segar dan paling rentan terhadap pengaruh spiritual. Mengalahkan tidur untuk shalat Subuh adalah latihan kehendak yang sangat kuat, menetapkan nada spiritual untuk seluruh hari. Kepatuhan terhadap waktu Subuh membuktikan loyalitas terhadap *kitaban mauquta* segera setelah periode istirahat.
Para filosof dan ahli psikologi modern mengakui kekuatan memulai hari dengan ritual yang bermakna; bagi Muslim, ritual ini adalah komunikasi langsung dengan Allah, sebagaimana diperintahkan oleh ketetapan waktu ini.
Zuhur datang saat puncak kesibukan dan aktivitas. Shalat Zuhur adalah jeda yang diperlukan untuk mengorientasikan kembali fokus dari urusan duniawi kembali kepada tujuan akhir. Ini adalah "alarm" tengah hari yang mencegah manusia tenggelam dalam materi. Ashar, di akhir jam kerja dan saat energi mulai menipis, seringkali menjadi ujian terberat. Banyak orang cenderung menunda Ashar hingga hampir Maghrib. Namun, An-Nisa 103 mengingatkan bahwa waktu Ashar adalah kewajiban yang terikat mati. Hadis Nabi SAW secara khusus menekankan pentingnya menjaga shalat Ashar (Shalat Wustha), menunjukkan bobot spiritual yang besar pada waktu ini.
Maghrib datang tepat setelah terbenamnya matahari, sebuah waktu transisi yang cepat, mengingatkan kita akan singkatnya hidup dan segera tibanya kematian. Ketepatan waktu Maghrib sangat ditekankan karena jendela waktunya yang sempit. Isya, yang menutup siklus harian, adalah penyerahan terakhir sebelum tidur. Melaksanakan Isya tepat waktu memberikan ketenangan dan perlindungan Ilahi saat beristirahat. Keteraturan ini adalah inti dari ajaran *kitaban mauquta* yang menjaga kesalehan dari pagi hingga malam.
Konsep yang diuraikan dalam An-Nisa 103 dapat diibaratkan sebagai sistem jaring pengaman spiritual berlapis tiga yang melindungi seorang Muslim dari kelalaian:
Dalam kondisi darurat (seperti yang digambarkan pada ayat 102), Jaring Luar mungkin harus dikompromikan (shalat disingkat/dipermudah), tetapi Jaring Tengah (dzikir) harus diperkuat secara masif. Ini adalah strategi spiritual yang menjamin bahwa koneksi tidak pernah putus, bahkan saat struktur fisik runtuh. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa sibuk atau tertekan di kehidupan modern, meningkatkan dzikir adalah cara yang sah dan diwajibkan untuk mempertahankan keimanan saat sulit mendapatkan waktu untuk shalat yang khusyuk secara sempurna.
Ayat ini juga merupakan saksi atas keberlanjutan dan kelengkapan ajaran Islam. Ia menunjukkan bahwa syariat tidak hanya memberikan solusi untuk kondisi normal, tetapi juga untuk kondisi ekstrem (darurat). Keringanan dalam *Salat al-Khawf* adalah wujud rahmat Allah, sementara perintah untuk kembali ke *shalat normal* saat aman adalah wujud tuntutan disiplin. Dua sisi ini—Rahmat dan Disiplin—bertemu dalam An-Nisa 103.
Setiap Muslim harus merenungkan makna mendalam dari ayat ini. Apabila mereka yang mempertaruhkan nyawa di medan perang harus tetap beribadah dan berdzikir tanpa henti, maka bagaimana mungkin kita, yang hidup dalam keamanan relatif, merasa terlalu lelah atau terlalu sibuk untuk berdiri di hadapan Allah pada waktu yang telah ditetapkan bagi kita? Jawaban yang ditawarkan oleh Al-Qur'an melalui ayat ini adalah penolakan tegas terhadap kelalaian (ghaflah) dan penegasan bahwa ibadah adalah inti kehidupan, bukan sekadar pelengkap.
Oleh karena itu, kewajiban dzikir *qiyaman, qu'udan, wa 'ala junubikum* adalah panggilan universal untuk kesadaran total, memastikan bahwa hati dan pikiran seorang Muslim adalah tempat tinggal yang konstan bagi dzikrullah. Dan ketetapan *kitaban mauquta* adalah penanda yang tak terhapuskan di kalender kehidupan setiap individu yang mengakui dan bersaksi atas keimanannya.
Ayat 103 dari Surah An-Nisa ini, meskipun singkat, memuat samudera hikmah tentang waktu, kewajiban, dan ketenangan jiwa. Ia adalah janji dan peringatan: janji tentang kedekatan melalui dzikir, dan peringatan bahwa waktu shalat adalah ketetapan yang tak terhindarkan bagi setiap jiwa yang beriman.
Meluasnya perintah dzikir dari posisi berdiri hingga berbaring memiliki dampak psikologis yang luar biasa. Dalam psikologi kontemporer, penekanan pada "mindfulness" atau kesadaran penuh saat ini menjadi tren. Dzikir yang diperintahkan dalam ayat 103 adalah bentuk tertinggi dari kesadaran penuh Islami (muraqabah) dan integrasi spiritual.
Saat seseorang berada dalam kondisi tertekan (seperti di medan perang yang menjadi konteks ayat), sistem saraf berada dalam mode "fight or flight". Dzikir, terutama pengulangan nama-nama Allah atau kalimat tayyibah, secara harfiah menurunkan tingkat kortisol (hormon stres). Perintah dzikir ini memastikan bahwa bahkan ketika tubuh tegang atau lelah, ada mekanisme internal yang mengaktifkan ketenangan (*sakīnah*). Dengan mengingat Allah, seorang Muslim mentransfer beban kekhawatiran dari pundaknya kepada Dzat Yang Maha Kuat.
Hal ini sangat relevan bagi masyarakat modern yang didera kecemasan kronis. An-Nisa 103 menawarkan solusi ilahiah: jangan biarkan satu pun keadaan fisik (berdiri, duduk, berbaring) terlepas dari kesadaran akan Allah. Dengan demikian, dzikir berfungsi sebagai terapi pencegahan dan penyembuhan terhadap penyakit-penyakit psikis yang disebabkan oleh pemisahan diri dari realitas spiritual.
Shalat yang terikat waktu adalah ibadah publik dan terstruktur yang sering dilakukan berjamaah, menunjukkan kesatuan umat (ummah). Sebaliknya, dzikir yang dilakukan dalam posisi apapun (berdiri, duduk, berbaring) seringkali bersifat privat dan personal. Ayat 103 menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kedua dimensi ini.
Ketaatan terhadap *kitaban mauquta* (shalat) adalah kebenaran yang dapat diukur secara eksternal. Sementara itu, dzikir yang kontinu adalah kebenaran internal, memastikan bahwa keimanan seseorang tidak hanya tampak di depan umum (di masjid) tetapi merasuk ke dalam relung hati yang paling dalam, saat ia sendiri atau bahkan saat ia berbaring di tempat tidurnya.
Dari sudut pandang filosofis, penetapan waktu shalat (mauquta) adalah pengakuan akan nilai waktu itu sendiri. Waktu adalah salah satu anugerah terbesar dan sumber daya yang paling terbatas bagi manusia. Dengan mengaitkan ibadah terpenting—shalat—pada waktu yang ketat, Islam mengajarkan bahwa waktu harus dimanfaatkan secara sadar dan tidak boleh disia-siakan.
Shalat lima waktu bertindak sebagai "penanda spiritual" di sepanjang hari, memecah alur waktu linear duniawi dan menyisipkan dimensi waktu abadi (ukhrāwī). Setiap kali muadzin memanggil, itu adalah pengingat bahwa waktu sedang berlalu menuju akhirat. Jika seseorang gagal merespons panggilan *kitaban mauquta*, ia tidak hanya melanggar perintah hukum tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menghubungkan dirinya dengan dimensi keabadian.
Para sufi sering merujuk pada konsep bahwa waktu adalah modal seorang mukmin. An-Nisa 103 menetapkan bagaimana modal ini harus dialokasikan. Alokasi wajib ini memastikan bahwa tidak ada hari yang berlalu tanpa pengakuan eksplisit dan ritualistik terhadap Allah. Penetapan waktu adalah mekanisme ilahiah untuk memastikan bahwa kewajiban ini terpenuhi, terlepas dari prioritas duniawi yang terus menuntut perhatian.
Kewajiban ini juga mencerminkan keadilan Allah; waktu yang dibutuhkan untuk shalat relatif singkat, namun dampaknya dalam membangun jiwa yang teguh (taqwa) adalah abadi. Dengan demikian, An-Nisa 103 bukan hanya tentang hukum shalat, tetapi tentang filosofi pengelolaan waktu dan kehidupan seorang hamba.
Ayat 103, yang mengikuti aturan *Salat al-Khawf*, menyoroti konsep Rahmat Allah melalui keringanan (rukhshah). Keringanan ini adalah bukti fleksibilitas syariat dalam menghadapi kesulitan yang nyata. Shalat dalam ketakutan adalah bentuk shalat yang sah, meskipun tidak sempurna dalam rukun fisik. Namun, begitu bahaya hilang, perintah untuk mengembalikan shalat ke bentuk aslinya menjadi wajib.
Hal ini memberikan pelajaran penting: Keringanan diberikan untuk memfasilitasi ketaatan, bukan untuk membenarkan kelalaian. Jika seseorang memanfaatkan keringanan (rukhshah), ia harus segera kembali kepada azimah (kewajiban asal) begitu penyebab keringanan hilang (fadzā ithma'nantum). Inilah etos ketaatan yang diajarkan oleh ayat ini—berjuang untuk yang sempurna, menerima yang dimaafkan dalam kesulitan, tetapi tidak pernah meninggalkan kewajiban waktu.
Kepatuhan pada An-Nisa 103 secara efektif menumbuhkan generasi Muslim yang disiplin, reflektif, dan mampu menyeimbangkan tuntutan dunia dan akhirat, tidak peduli seberapa besar gejolak yang mereka hadapi. Shalat adalah janji waktu, dan dzikir adalah kesadaran tanpa batas, keduanya saling melengkapi dalam perjalanan keimanan.