Menegakkan Keadilan Mutlak: Telaah Komprehensif Surah An-Nisa Ayat 105

Landasan Hukum dan Etika Kepemimpinan dalam Cahaya Wahyu

Timbangan Keadilan dan Kitab Wahyu Sumber Keadilan Mutlak

Timbangan Keadilan yang berlandaskan Wahyu Ilahi.

I. Teks dan Terjemah Inti Surah An-Nisa Ayat 105

Surah An-Nisa (Wanita), yang merupakan surah Madaniyah, dikenal sebagai surah yang banyak memuat regulasi sosial, hukum keluarga, dan terutama hukum peradilan. Di tengah rangkaian ayat yang membahas tata kelola masyarakat, Surah An-Nisa ayat 105 berdiri sebagai pondasi fundamental bagi setiap hakim, pemimpin, dan individu yang mengemban amanah kekuasaan.

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah tunjukkan kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang membela) orang-orang yang berkhianat."

Pesan Sentral Ayat

Ayat ini memuat dua perintah utama dan satu larangan tegas yang saling terkait erat, membentuk etos keadilan dalam Islam:

  1. **Prinsip Penetapan Hukum:** Al-Qur'an (Kitab) diturunkan sebagai sumber kebenaran (`bil-ḥaqq`).
  2. **Amanah Kepemimpinan:** Tugas Nabi Muhammad (dan penerusnya) adalah mengadili (`litaḥkuma`) di antara manusia.
  3. **Metode Pengadilan:** Pengadilan harus dilakukan dengan apa yang telah Allah tunjukkan (`bimā arākallāh`), yang mencakup Al-Qur'an dan Sunnah (wahyu tak tertulis).
  4. **Larangan Etis:** Larangan keras untuk membela atau menentang atas nama orang-orang yang khianat (`al-khā'inīn`).
  5. Pentingnya ayat ini terletak pada penegasannya bahwa kekuasaan untuk menghakimi bukan berasal dari kebijaksanaan pribadi semata, melainkan sepenuhnya merupakan mandat Ilahi. Kekuasaan itu harus dijalankan berdasarkan panduan mutlak yang terbebas dari bias dan kepentingan duniawi.

II. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Kasus Khianat Tu'mah

Untuk memahami kedalaman ayat 105 ini, kita harus merujuk pada konteks historis yang spesifik, yang dikenal luas sebagai kisah Tu'mah bin Ubairiq. Kisah ini bukan sekadar anekdot, melainkan demonstrasi nyata bagaimana wahyu berfungsi sebagai koreksi dan penentu kebenaran absolut ketika keadilan manusia terancam kabur oleh tipu daya dan kesaksian palsu.

1. Rantai Peristiwa Pencurian

Kejadian bermula ketika Tu'mah bin Ubairiq, seorang pria dari Bani Dhafar (atau Bani Zhafar), melakukan pencurian perisai (atau baju besi) dari Qatadah bin Nu'man. Tu'mah adalah seorang munafik yang memiliki reputasi buruk. Setelah mencuri, ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid bin As-Samin (atau Zaid bin Sya’nah, dalam riwayat lain), sambil meninggalkan jejak yang sengaja mengarah ke sana. Ketika perisai itu dicari dan ditemukan di rumah Yahudi tersebut, Zaid bin As-Samin bersumpah bahwa dia tidak tahu menahu mengenai perisai itu dan menuduh Tu'mah lah yang meletakkannya.

2. Manipulasi dan Pembelaan Keluarga

Tu'mah, menyadari bahayanya, segera mencari dukungan dari kaumnya, Bani Dhafar. Mereka, karena ikatan kesukuan dan keinginan melindungi anggota mereka, bersatu untuk membersihkan nama Tu'mah. Mereka mendatangi Rasulullah ﷺ dan bersaksi bahwa Tu'mah adalah orang yang baik, sementara Yahudi itu adalah pencuri yang terkenal licik dan suka menyembunyikan barang. Mereka bahkan mendesak agar Rasulullah mengadili Yahudi tersebut berdasarkan bukti fisik (perisai ditemukan di rumahnya) dan kesaksian mereka yang terorganisir.

3. Dilema Rasulullah ﷺ

Secara lahiriah, bukti-bukti yang diajukan oleh Bani Dhafar sangat kuat. Perisai ditemukan di rumah Zaid bin As-Samin. Kesaksian mereka diperkuat oleh sumpah dan kedudukan sosial mereka. Rasulullah ﷺ, sebagai hakim yang harus memutuskan berdasarkan bukti lahiriah (`azh-zhahir`), hampir saja memutuskan bahwa Zaid bin As-Samin bersalah dan menghukumnya, sekaligus membersihkan nama Tu'mah bin Ubairiq. Nabi Muhammad ﷺ memiliki keutamaan sebagai hakim manusia, tetapi ia harus memutuskan berdasarkan bukti yang tersedia di hadapannya.

4. Turunnya Wahyu sebagai Koreksi Mutlak

Tepat ketika keputusan hampir diambil, Allah SWT menurunkan rangkaian ayat, mulai dari An-Nisa 105 hingga 113. Ayat-ayat ini secara gamblang mengungkap makar dan kebohongan Tu'mah, membersihkan nama Yahudi yang difitnah, dan menegur keras upaya Bani Dhafar untuk membela pengkhianat. Ayat 105 secara spesifik memerintahkan Rasulullah untuk tidak menjadi penentang bagi orang-orang yang berkhianat, yang merujuk pada larangan untuk membela Tu'mah dan kaumnya yang mencoba memutarbalikkan fakta.

Kisah ini menegaskan bahwa keadilan Ilahi melampaui keadilan manusia. Meskipun hakim berusaha keras berdasarkan bukti, kesaksian palsu dan konspirasi dapat menyesatkan. Wahyu hadir untuk memperbaiki ketidaksempurnaan proses peradilan manusia dan menegakkan kebenaran hakiki.

III. Tafsir Mendalam dan Implikasi Hukum (Fiqhiyyah)

1. Prinsip: Menghukumi dengan Apa yang Allah Tunjukkan (`Bimā Arākallāh`)

Frasa ini adalah jantung dari ayat 105. Ia menetapkan bahwa sumber otoritas hukum tertinggi adalah wahyu. Namun, para ulama membahas bagaimana frasa ini diterapkan dalam praktek peradilan sehari-hari:

2. Larangan Membela Pengkhianat (`Lilhā'inīna Khaṣīmā`)

Larangan ini memiliki dimensi etis dan sosial yang luas. Kata Khā'in (pengkhianat) di sini bukan hanya merujuk pada pencuri, tetapi juga siapa saja yang menipu, memanipulasi kebenaran, atau menggunakan posisi mereka untuk menganiaya orang lain. Khususnya dalam konteks peradilan, ini berarti:

  1. **Netralitas Hakim:** Hakim dilarang menggunakan kekuasaannya untuk membela pihak yang ia tahu (atau sangat yakini) bersalah, meskipun mereka adalah kerabat atau pendukung politiknya.
  2. **Kewajiban Membela yang Benar:** Kebalikan dari membela pengkhianat adalah kewajiban untuk membela orang yang teraniaya, bahkan jika yang teraniaya adalah pihak yang secara sosial minoritas atau tidak disukai (seperti Zaid bin As-Samin yang merupakan Yahudi). Keadilan harus universal.
  3. **Larangan Kriminalisasi Profesi:** Ulama seperti Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa larangan ini juga berlaku bagi pengacara atau pembela yang mengetahui kliennya bersalah namun tetap menggunakan retorika dan manipulasi hukum untuk memenangkan kasus dan membebaskan kejahatan. Tugas seorang pembela adalah membantu menegakkan keadilan, bukan menenggelamkannya.

3. Konsep Keadilan yang Terukur (Al-Qada')

An-Nisa 105 adalah dalil utama yang mendasari Ilmu Peradilan Islam (Al-Qada'). Ayat ini mengajarkan bahwa tujuan utama peradilan adalah mencapai al-Haqq (Kebenaran Hakiki). Proses peradilan, meski menggunakan instrumen manusia (bukti, saksi), harus dijiwai oleh kesadaran bahwa kebenaran tertinggi hanya milik Allah. Ini memotivasi hakim untuk:

Cahaya Wahyu Menembus Kegelapan الْكِتَابَ Menghukumi dengan Cahaya Ilahi

Bimbingan Ilahi sebagai penentu keadilan yang menembus kebatilan.

IV. Hubungan Etika Kepemimpinan dan Kepercayaan Publik

Kisah Tu'mah dan teguran Ilahi dalam An-Nisa 105 memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya integritas bagi seorang pemimpin dan hakim. Dalam kasus ini, Bani Dhafar menggunakan Asabiyyah (fanatisme kesukuan) untuk menekan hakim, sebuah fenomena yang relevan hingga kini dalam bentuk korupsi politik atau tekanan massa.

1. Kehancuran Kepercayaan Akibat Khianat

Jika Rasulullah ﷺ, sebagai hakim tertinggi, tidak dikoreksi oleh wahyu dan memutuskan berdasarkan manipulasi Bani Dhafar, dua kerusakan besar akan terjadi:

  1. **Innocent Persecuted:** Zaid bin As-Samin (pihak yang tidak bersalah) akan dihukum, melanggar prinsip keadilan dasar.
  2. **Legalization of Deceit:** Orang yang berkhianat (Tu'mah) akan dibersihkan, yang secara efektif mengesahkan penipuan di bawah payung hukum Islam. Ini akan menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Ayat 105 memastikan bahwa sistem peradilan Islam harus dijaga dari kolusi dan pembenaran terhadap khianat. Keadilan harus dilaksanakan tanpa memandang ras, agama, atau ikatan suku/keluarga.

2. Peran Ulama dan Penasihat

Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemegang otoritas tertinggi, ia juga berlaku untuk setiap orang yang berposisi menasihati atau membela. Para mufassir menekankan bahwa seorang ulama, penasihat, atau bahkan saksi, ketika mengetahui kebenaran, dilarang keras untuk menggunakan pengetahuannya demi memenangkan pihak yang salah atau berkhianat. Khususnya dalam litigasi, menyembunyikan kebenaran demi keuntungan pribadi atau kelompok adalah tindakan khianat terhadap amanah ilmu.

3. Koreksi Diri dan Pertanggungjawaban Akhirat

An-Nisa 105 mengingatkan bahwa semua keputusan hukum memiliki dimensi pertanggungjawaban di Akhirat. Frasa "dengan apa yang telah Allah tunjukkan kepadamu" membawa implikasi bahwa hakim harus senantiasa menyadari pengawasan Ilahi. Ini menjadi benteng terakhir melawan penyimpangan. Seorang hakim mungkin berhasil menipu manusia di dunia, tetapi tidak mungkin menipu Allah yang menurunkan Kitab dengan kebenaran.

Konsep ini diperluas dalam hadis yang menyatakan bahwa hakim ada tiga golongan: dua di neraka, dan satu di surga. Mereka yang masuk neraka adalah hakim yang tahu kebenaran tetapi berhukum dengan kebatilan, atau hakim yang menghukum tanpa ilmu. Hakim yang masuk surga adalah yang berhukum dengan kebenaran dan ilmu. Ayat 105 adalah landasan teologis bagi klasifikasi ini, menuntut kejujuran intelektual dan moral dari setiap pemegang otoritas.

V. Analisis Linguistik dan Balaghah Ayat

Kekuatan ayat 105 juga terletak pada susunan kata dan pilihan diksi (Balaghah) yang digunakan. Analisis mendalam pada struktur bahasanya memperkuat makna keadilan mutlak.

1. Penggunaan Kata "Al-Kitab Bil-Haqq"

Ayat dimulai dengan penegasan, إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan kebenaran). Penggunaan kata **"Innā"** (Sesungguhnya Kami) menunjukkan penekanan dan kekuatan otoritas yang menurunkan Kitab. Kitab tersebut diturunkan "Bil-Haqq", yang berarti 'dengan kebenaran' atau 'yang membawa kebenaran'. Kebenaran (Al-Haqq) di sini adalah sifat intrinsik dari wahyu, menjadikannya standar yang tak tertandingi untuk memutuskan semua perselisihan.

2. Penekanan pada Tugas Hakim (`Litaḥkuma`)

Kata **"Litaḥkuma"** (agar engkau mengadili/menghukumi) adalah tujuan final dari penurunan Kitab. Ini menunjukkan bahwa Syariah (Hukum Islam) bukanlah sekadar seperangkat ritual, tetapi cetak biru untuk tata kelola masyarakat yang adil. Fungsi menghukumi adalah fungsi yang sangat serius, yang menjadi pembeda antara masyarakat yang tertata dan masyarakat yang kacau (anarki).

3. Urgensi Larangan: Khā'inīn Khaṣīmā

Kata **"Khā'inīn"** (orang-orang yang berkhianat) adalah bentuk jamak yang mencakup semua bentuk pengkhianatan, baik harta, kehormatan, maupun kepercayaan. Kata **"Khaṣīmā"** (penentang, pembela, atau orang yang berdebat demi) merujuk pada seseorang yang berposisi untuk membela atau berdebat mati-matian atas nama pihak tertentu.

Larangan "Wala takun lil-khā'inīna khaṣīmā" bukan sekadar melarang Nabi membela Tu'mah, tetapi juga melarang beliau menjadi alat bagi para pengkhianat. Ini adalah larangan terhadap korupsi moral dan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Kehancuran sebuah umat seringkali dimulai ketika pemimpinnya menjadi 'pembela yang berkhianat'.

4. Keterkaitan Rangkaian Ayat

Ayat 105 ini tidak berdiri sendiri, melainkan diikuti oleh ayat 106-113 yang membahas detail terkait permohonan ampun dan larangan berdebat untuk membela orang yang menipu diri sendiri. Ayat 106 ("Dan mohonlah ampun kepada Allah...") menunjukkan bahwa meskipun Nabi hampir saja salah menghukumi karena bukti yang dimanipulasi, Allah masih membukakan pintu ampunan atas dasar niat beliau untuk mencari keadilan. Ini menekankan sifat pemaaf Allah, sekaligus menegaskan standar tinggi yang harus dicapai dalam peradilan.

VI. Implementasi Keadilan An-Nisa 105 dalam Konteks Modern

Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu, prinsip-prinsip yang tertanam dalam An-Nisa 105 tetap relevan dan krusial bagi tata kelola negara modern, terutama dalam menghadapi tantangan korupsi, disinformasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.

1. Melawan Budaya Impunitas (Kekebalan Hukum)

Kisah Tu'mah menunjukkan bagaimana ikatan sosial (kesukuan, atau dalam konteks modern, partai politik, oligarki) digunakan untuk melindungi pelaku kejahatan dari jerat hukum. Ayat 105 adalah seruan untuk membongkar budaya impunitas. Pemimpin atau penegak hukum harus bersedia mengadili siapa pun, termasuk mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan, jika mereka terbukti berkhianat atau menyalahgunakan amanah.

2. Integritas Yudikatif dan Keterbukaan Bukti

Dalam sistem peradilan modern, "Bimā Arākallāh" dapat diinterpretasikan sebagai kewajiban untuk menggunakan segala instrumen kebenaran yang sah dan kredibel. Ini mencakup ilmu forensik, analisis bukti digital, dan proses investigasi yang transparan, asalkan semua itu tunduk pada prinsip-prinsip moralitas dan keadilan universal. Hakim modern dilarang keras untuk membuat keputusan berdasarkan desas-desus, tekanan media, atau intervensi politik, yang merupakan bentuk modern dari "membela pengkhianat" jika tujuannya adalah memutarbalikkan fakta.

3. Khianat dalam Birokrasi Publik

Dalam lingkup birokrasi dan administrasi publik, khianat (al-khā'in) tidak terbatas pada pencurian fisik, tetapi meluas pada penyalahgunaan wewenang, korupsi anggaran, manipulasi tender, dan nepotisme. Setiap pejabat yang menyalahgunakan amanah publik adalah 'khā'in'. Dan setiap atasan yang melindungi atau membiarkan khianat ini terjadi, telah melanggar larangan "wala takun lil-khā'inīna khaṣīmā".

4. Keadilan Lintas Identitas

Fakta bahwa yang dibela oleh wahyu adalah seorang Yahudi (Zaid bin As-Samin) sementara yang dikecam adalah seorang Muslim (Tu'mah) dan kaumnya, adalah bukti tegas bahwa keadilan Islam melampaui batas-batas identitas keagamaan atau kesukuan. Keadilan harus ditegakkan untuk semua warga negara tanpa diskriminasi. Ini adalah fondasi bagi masyarakat yang plural dan harmonis.

Teks wahyu yang demikian rinci menunjukkan bahwa Allah SWT tidak hanya memberikan hukum, tetapi juga memberikan pedoman etis tentang bagaimana hukum itu harus dijalankan di tengah intrik dan kelemahan manusia. Keadilan sejati adalah ketika hukum Ilahi dan hati nurani yang dibimbing wahyu bertemu untuk menyingkap kebenaran, terlepas dari siapa yang diuntungkan atau dirugikan secara sosial.

VII. Konsekuensi Filosofis dan Teologis Ketaatan Mutlak

1. Kedaulatan Hukum (Supremasi Syariah)

Ayat 105 secara filosofis menetapkan prinsip supremasi hukum Ilahi. Dengan menyatakan bahwa Kitab diturunkan "dengan kebenaran" dan tujuannya adalah untuk menghukumi, ayat ini meniadakan konsep kedaulatan hukum yang berbasis murni pada kemauan rakyat atau pemimpin. Hukum dibuat oleh Allah, dan manusia (hakim/pemimpin) hanya bertindak sebagai pelaksana yang bertanggung jawab. Pelaksana harus memastikan bahwa keputusannya adalah refleksi murni dari petunjuk Ilahi, bukan interpretasi yang dimanipulasi demi kepentingan pribadi.

2. Memelihara Kesucian Tujuan Peradilan

Ketika Bani Dhafar mencoba menipu Rasulullah, mereka tidak hanya mencari kemenangan hukum; mereka mencoba menjadikan sistem peradilan sebagai alat kebatilan. Ini adalah kejahatan ganda. An-Nisa 105 menjaga kesucian tujuan peradilan. Peradilan adalah sarana untuk membersihkan jiwa dan masyarakat dari kezaliman. Jika peradilan menjadi sumber kezaliman (dengan membela pengkhianat), maka seluruh bangunan etika sosial akan runtuh.

3. Koreksi atas Anggapan Infallibility (Kemaksuman) dalam Hukum

Meskipun Nabi Muhammad ﷺ maksum (terjaga dari dosa), ayat ini menunjukkan bahwa dalam perkara peradilan yang bergantung pada bukti lahiriah, Rasulullah dapat saja membuat keputusan yang tidak sempurna (sebelum wahyu datang untuk mengoreksi). Ini adalah pengajaran penting bagi umat Islam: jika bahkan pemimpin termulia pun membutuhkan koreksi Ilahi dalam menghakimi, betapa besar kebutuhan hakim biasa terhadap ketelitian, kehati-hatian, dan ketakwaan.

Ayat ini mengajarkan bahwa proses hukum harus memiliki mekanisme koreksi yang kuat, dan yang paling utama dari mekanisme itu adalah kembali kepada sumber kebenaran, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, setiap kali ada keraguan atau indikasi adanya manipulasi bukti.

Kewajiban untuk menghukumi "bimā arākallāh" merupakan landasan bagi semua upaya ijtihad yang sah. Ijtihad (penalaran hukum) hanya diperbolehkan dalam batas-batas yang telah digariskan oleh wahyu. Setiap keputusan ijtihad yang terbukti bertentangan dengan kebenaran hakiki, sebagaimana diungkapkan Allah, harus segera dibatalkan, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Tu'mah.

4. Keadilan Sebagai Manifestasi Tauhid

Pada akhirnya, menegakkan keadilan sesuai An-Nisa 105 adalah tindakan tauhid (mengesakan Allah). Menolak untuk membela pengkhianat dan menghukumi berdasarkan petunjuk Ilahi adalah pengakuan bahwa Allah adalah Hakim Yang Maha Adil (Al-Hakam) dan Sumber Kebenaran (Al-Haqq). Setiap penyimpangan dari keadilan adalah bentuk syirik tersembunyi, karena ia mengangkat hawa nafsu, kepentingan suku, atau tekanan duniawi menjadi standar yang lebih tinggi daripada perintah Allah SWT.

Ayat ini merangkum sebuah tuntutan universal: keadilan tidak bisa dinegosiasikan. Keadilan adalah pilar utama peradaban, dan ia harus ditegakkan melalui Kitab yang telah diturunkan dengan kebenaran mutlak.

Rangkaian ajaran ini, mulai dari kisah seorang pencuri yang licik, tekanan kesukuan yang berusaha menipu Nabi, hingga intervensi langsung dari langit, membentuk salah satu pelajaran paling penting dalam etika kepemimpinan dan peradilan. Pesannya jelas dan tidak ambigu: Amanah kekuasaan adalah amanah untuk menegakkan kebenaran, dan pengkhianatan dalam bentuk apapun tidak boleh mendapatkan pembelaan dari penguasa yang beriman.

Implementasi An-Nisa 105 secara menyeluruh menuntut reformasi moral yang berkelanjutan dalam diri setiap hakim dan pemimpin. Keputusan harus bebas dari rasa takut, pamrih, atau keberpihakan yang bias. Ketaatan kepada Kitab dan Sunnah adalah jaminan tunggal bagi terwujudnya keadilan yang mampu bertahan dari ujian waktu dan intrik manusia.

Bila prinsip ini diabaikan, masyarakat akan jatuh ke dalam lubang kezaliman yang dalam. Sebaliknya, ketika sebuah komunitas menjadikan ayat ini sebagai pedoman operasional mereka—dengan segala kerumitan interpretasi dan penerapannya—maka mereka telah membangun pondasi yang kokoh, di mana orang yang lemah mendapatkan haknya dari orang yang kuat, dan kebenaran tidak pernah dibungkam oleh kekuasaan atau tipu daya.

VIII. Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer Mengenai Konsep Khianat

Definisi 'khianat' dalam konteks An-Nisa 105 perlu diperluas melampaui kasus pencurian. Para ulama tafsir telah mengklasifikasikan khianat dalam beberapa tingkatan:

1. Khianat Terhadap Amanah Ilahi (Khianatul Amanah)

Ini adalah pengkhianatan terbesar, yaitu tidak melaksanakan perintah Allah sebagaimana mestinya. Bagi seorang pemimpin, khianat ini terwujud dalam memimpin dengan hukum buatan manusia yang secara sadar mengabaikan hukum Allah, atau menggunakan hukum untuk menzalimi. Khianat Tu'mah adalah manifestasi dari khianat Ilahi, karena ia melanggar hukum Allah (larangan mencuri) dan mencoba menjadikan Rasulullah sebagai alat pelanggaran tersebut.

2. Khianat Terhadap Hak Publik (Khianatul Ummah)

Meliputi korupsi, pencurian harta negara, penipuan kontrak, atau pemalsuan informasi publik. Dalam konteks modern, ini adalah kejahatan kerah putih yang merusak stabilitas ekonomi dan sosial. Orang-orang Bani Dhafar yang memanipulasi kesaksian juga tergolong khianat publik karena mereka mengganggu proses peradilan yang merupakan hak seluruh masyarakat.

3. Khianat dalam Relasi Pribadi

Meskipun ayat ini berfokus pada peradilan, para ulama seperti Imam Al-Tabari mencatat bahwa larangan membela khā'in meluas hingga ke tingkat relasi pribadi. Seseorang tidak boleh mendukung kebohongan atau penipuan yang dilakukan oleh sahabat atau kerabatnya dalam urusan hutang piutang atau sengketa lainnya.

Pentingnya pemahaman ini terletak pada peringatan bahwa sistem keadilan yang dibangun oleh Allah haruslah murni, tidak dapat terkontaminasi oleh loyalitas kesukuan, ikatan politik, atau keuntungan finansial. Ayat 105 berfungsi sebagai filter moral, memastikan bahwa pemegang kekuasaan tidak akan pernah bersimpati pada kebatilan, bahkan ketika kebatilan itu dikemas dalam bukti yang meyakinkan secara lahiriah.

4. Implikasi bagi Politik Hukum (Siyasah Syar'iyyah)

Dalam bidang Siyasah Syar'iyyah (politik hukum Islam), An-Nisa 105 menetapkan batasan yang jelas bagi diskresi penguasa. Seorang pemimpin (ulil amri) harus memastikan bahwa kebijakan dan peraturan yang dibuatnya tidak memfasilitasi khianat atau menindas kebenaran. Setiap aturan yang memudahkan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan adalah aturan yang bertentangan dengan semangat ayat 105. Ayat ini menuntut adanya mekanisme pengawasan yang kuat untuk mendeteksi dan menghukum khianat, terlepas dari status sosial pelakunya.

IX. Perbedaan Antara Ijtihad yang Salah dan Pengkhianatan yang Disengaja

Ayat 105 memberikan wawasan unik tentang perbedaan antara hakim yang salah karena keterbatasan bukti (Ijtihad Khatha') dan hakim yang menyimpang karena pembelaan terhadap pengkhianat (Khianat Muta'ammadah).

1. Ijtihad yang Keliru (Niat Baik, Hasil Salah)

Kasus Rasulullah ﷺ yang hampir memutuskan hukuman bagi Zaid bin As-Samin adalah contoh dari Ijtihad Khatha' (penalaran yang keliru) yang didasarkan pada bukti lahiriah. Kesalahan ini terjadi karena Nabi hanya menilai berdasarkan apa yang terlihat (`bimā arākallāh` dalam arti bukti di tangan). Allah mengoreksi hal ini melalui wahyu. Bagi hakim masa kini, jika mereka berupaya maksimal mencari kebenaran, menggunakan hukum syariat yang sah, dan masih salah, mereka dimaafkan dan bahkan diberi pahala (sesuai hadis: satu pahala untuk ijtihad salah, dua pahala untuk ijtihad benar).

2. Pengkhianatan yang Disengaja (Niat Buruk)

Khianat dalam konteks ayat ini, baik oleh Tu'mah maupun oleh kaumnya, melibatkan niat jahat dan konspirasi untuk menipu sistem. Ini adalah dosa besar yang dilarang ayat 105. Hakim yang mengetahui kebenaran, atau yang berkolusi dengan pihak yang bersalah demi keuntungan, telah melanggar larangan "wala takun lil-khā'inīna khaṣīmā". Ini adalah penyimpangan moral yang tidak dapat ditoleransi dan hukumannya di Akhirat sangat berat.

Oleh karena itu, prinsip utama ayat ini adalah menjaga integritas niat. Seorang hakim harus selalu menjaga niatnya agar murni hanya untuk mencari keridhaan Allah melalui penegakan keadilan, bukan untuk memuaskan tekanan sosial atau mendapatkan kekayaan. Integritas inilah yang menjadi pembeda antara hakim yang keliru dalam berijtihad dan hakim yang berkhianat.

Kesimpulan dari telaah mendalam ini menegaskan bahwa Surah An-Nisa ayat 105 adalah salah satu pilar etika tertinggi dalam pemerintahan dan peradilan Islam. Ayat ini tidak hanya memberikan petunjuk hukum, tetapi juga membekali pemegang amanah dengan peringatan moral yang abadi terhadap bahaya kolusi, fanatisme, dan godaan untuk menukar kebenaran Ilahi dengan kepentingan duniawi yang fana.

X. Memperkuat Dasar Teologis: Kebenaran vs. Kepentingan

Pergulatan antara kebenaran (al-Haqq) dan kepentingan (al-maslahah) sering menjadi ujian terberat bagi seorang pemimpin atau hakim. Ayat 105 secara mutlak memihak Kebenaran Ilahi.

1. Mengatasi Maslahah Mursal (Kepentingan Publik) yang Semu

Dalam ilmu Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam), sering dibahas konsep Maslahah Mursal (kepentingan publik yang tidak diatur secara eksplisit oleh nash). Namun, kasus An-Nisa 105 mengajarkan bahwa Maslahah tidak boleh pernah bertentangan dengan Haq. Jika Bani Dhafar berargumen bahwa membela Tu'mah adalah demi 'maslahah' suku mereka atau demi menjaga citra Islam dari tuduhan 'membela Yahudi', maka wahyu menegaskan bahwa maslahah semacam itu adalah batil. Keadilan mutlak (Haqq) adalah Maslahah tertinggi.

2. Penyingkapan Rahasia Batin

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah dapat menyingkap rahasia batin (niat) seseorang, bahkan di depan umum, jika keadilan mutlak memerlukannya. Ini adalah salah satu demonstrasi paling dramatis dari nama Allah, Al-Alim (Maha Mengetahui) dan Al-Hakam (Maha Bijaksana). Ketika manusia menggunakan kebohongan untuk menutupi kejahatan, hanya kekuatan wahyu yang dapat memecahkan selubung tersebut.

Dengan demikian, Surah An-Nisa Ayat 105 bukanlah sekadar ayat tentang pencurian, melainkan konstitusi abadi yang menuntut setiap pelaksana hukum untuk beroperasi dengan integritas yang sempurna, mengetahui bahwa di atas setiap hakim manusia, ada Hakim Ilahi yang menyaksikan niat dan perbuatan tersembunyi. Pengulangan dan elaborasi mendalam dari seluruh aspek ayat ini adalah kunci untuk memahami bahwa keadilan bukan sekadar tujuan, melainkan metode yang tak terpisahkan dari iman itu sendiri.

🏠 Kembali ke Homepage