Surah An-Nahl, yang berarti Lebah, adalah salah satu surah Makkiyah dalam Al-Qur’an yang banyak membahas tentang tanda-tanda kebesaran Allah SWT di alam semesta. Surah ini menyeru manusia untuk merenungkan ciptaan, dari lebah yang menghasilkan madu, hingga awan yang menurunkan hujan. Di tengah-tengah rentetan tanda kosmis dan instruksi etika, terdapat sebuah janji monumental yang menjadi inti sari dari seluruh perjuangan spiritual manusia. Janji tersebut tersemat indah dalam Ayat ke-97, sebuah formula sederhana namun mengandung kedalaman makna teologis dan psikologis yang luar biasa.
Ayat 97 dari Surah An-Nahl (The Bee) menawarkan kepada umat manusia sebuah blueprint, sebuah cetak biru, menuju kebahagiaan sejati dan ketenangan abadi di dunia ini sebelum mencapai pahala akhirat. Ayat ini adalah titik pertemuan antara keyakinan (iman) dan tindakan nyata (amal shalih), yang ketika keduanya menyatu, menghasilkan sebuah kondisi eksistensial yang disebut Hayatan Tayyibah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Terjemah Makna:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (Hayatan Tayyibah); dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl [16]: 97)
Ayat ini adalah salah satu pernyataan yang paling tegas dan eksplisit mengenai hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara kondisi spiritual internal dan kualitas kehidupan eksternal manusia. Keindahan ayat ini terletak pada penegasannya yang inklusif dan jaminannya yang mutlak.
Frasa ini membuka ayat, menekankan bahwa tindakan (عمل) adalah kunci. Bukan hanya niat, bukan hanya pengetahuan, tetapi eksekusi nyata dari kebaikan (صَالِحًا). Istilah *shalih* sendiri sangat luas, mencakup kesempurnaan, kepatutan, dan kebaikan yang bermanfaat. Ini mencakup hak Allah (ibadah ritual) dan hak sesama manusia (muamalah sosial).
Penegasan ini sangat penting, terutama dalam konteks Makkiyah, di mana isu diskriminasi gender sering terjadi. Al-Qur’an secara tegas menghapuskan sekat diskriminatif berdasarkan jenis kelamin dalam konteks pahala dan janji kehidupan yang baik. Persyaratan spiritual dan etika berlaku sama bagi seluruh umat manusia. Amal saleh dan keimanan adalah mata uang tunggal yang diakui di sisi Allah, tanpa memandang struktur biologis atau peran sosial. Ini menegaskan keadilan mutlak Ilahi.
Ini adalah prasyarat fundamental. Amal saleh harus berakar pada keimanan yang kokoh (Iman), yakni keyakinan kepada Allah, Rasul-Nya, hari akhir, dan seluruh rukun iman. Tanpa fondasi iman, tindakan yang tampak baik (seperti sedekah atau kerja sosial) mungkin bernilai sebagai kebaikan kemanusiaan, tetapi tidak dapat memenuhi syarat untuk janji Hayatan Tayyibah yang dijanjikan dalam ayat ini, karena tujuan dan motivasi utamanya—ridha Allah—tidak terpenuhi. Iman adalah ruh, dan amal shalih adalah jasad dari kehidupan yang berkah.
Ini adalah inti janji tersebut. Penggunaan lam taukid (لَنُحْيِيَنَّهُ) dan nun taukid (نَّهُ) dalam bahasa Arab menunjukkan penegasan yang sangat kuat, jaminan mutlak. Allah tidak mengatakan 'mungkin' atau 'bisa jadi', tetapi 'pasti akan Kami berikan kehidupan'.
Inilah puncak pencapaian di dunia. Kata *Tayyibah* (طَيِّبَةً) berasal dari akar kata *thaaba* yang berarti baik, suci, murni, lezat, atau menyenangkan. Ini bukan sekadar 'hidup yang nyaman' (yang diukur dari kekayaan materi), melainkan 'hidup yang berkualitas' (diukur dari ketenangan batin). Pembahasan mendalam tentang makna ini akan menjadi fokus utama artikel ini.
Dua Pilar Kehidupan yang Baik: Iman dan Amal Shalih sebagai fondasi utama janji Ilahi dalam An-Nahl 97.
Untuk memahami sepenuhnya janji dalam An-Nahl 97, kita harus menyelami interpretasi para ulama klasik dan kontemporer mengenai makna spesifik dari Hayatan Tayyibah. Meskipun tafsirannya beragam, semuanya bermuara pada satu kesimpulan: ia adalah kualitas kehidupan, bukan kuantitas harta.
Banyak mufasir awal, seperti Ibn Abbas (r.a.) dan Mujahid, menafsirkan *Hayatan Tayyibah* sebagai rezeki yang halal dan baik. Namun, mereka tidak berhenti pada rezeki semata. At-Tabari, dalam tafsirnya, mencantumkan pandangan bahwa rezeki halal harus disertai dengan *qana'ah* (sikap menerima dan merasa cukup). Seseorang bisa memiliki rezeki yang banyak, namun jika ia serakah, hatinya akan sengsara. Sebaliknya, rezeki yang sedikit, jika diiringi rasa cukup, menghasilkan ketenangan.
"Hayatan Tayyibah adalah rezeki yang halal di dunia dan rasa cukup di hati."
Ini menekankan bahwa keberkahan (barakah) rezeki jauh lebih penting daripada jumlahnya. Keberkahan inilah yang membuat hati damai, terlepas dari fluktuasi ekonomi atau keadaan material.
Imam Al-Qurtubi dan lainnya lebih condong pada interpretasi spiritual. Mereka berpendapat bahwa kehidupan yang baik adalah kebahagiaan hati dan ketenangan batin yang tidak dapat digoyahkan oleh kesulitan dunia. Ini mencakup kepuasan jiwa (sakinah), cahaya keimanan (nur al-iman), dan pemahaman yang benar (ma'rifah) tentang Allah. Kesenangan batin ini adalah hadiah langsung dari Allah bagi mereka yang memenuhi dua syarat utama (iman dan amal shalih).
Beberapa ulama, seperti Ad-Dahhak dan Qatadah, berpandangan bahwa *Hayatan Tayyibah* merujuk pada kehidupan yang baik di alam barzakh (kubur) atau di surga. Namun, pandangan mayoritas mufasir menimbang bahwa konteks ayat ini adalah janji di dunia, karena janji pahala di akhirat disebutkan secara eksplisit di bagian kedua ayat ("وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ"). Oleh karena itu, *Hayatan Tayyibah* adalah hadiah di dunia, dan pahala yang lebih baik adalah hadiah di akhirat, menjadikannya berkah ganda (double reward).
Di era modern, di mana stres dan kecemasan mental merajalela meskipun kemakmuran materi meningkat, interpretasi *Hayatan Tayyibah* semakin relevan dengan kesehatan mental dan psikologis:
Ayat ini dapat diartikan sebagai janji keseimbangan psikologis. Orang yang beriman dan beramal shalih memiliki sistem pertahanan diri yang kuat terhadap keputusasaan. Mereka memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sehingga musibah tidak menjatuhkan mereka ke dalam kehancuran total. Mereka memiliki tujuan hidup (purpose) yang jelas, sehingga terhindar dari krisis eksistensial.
Dalam konteks modern, ‘hidup yang baik’ juga berarti hidup yang produktif dan memberikan dampak positif. Amal shalih tidak hanya ritual pribadi, tetapi juga kontribusi kepada masyarakat. Seseorang yang merasa dirinya berguna bagi orang lain secara otomatis mencapai tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih stabil. Kehidupan yang *tayyibah* adalah kehidupan yang tidak hanya mengambil, tetapi juga memberi.
Kualitas hidup yang dijanjikan dalam An-Nahl 97 sangat tergantung pada fondasi iman. Iman bukan hanya pengakuan lisan, melainkan penetapan hati yang tercermin dalam perilaku. Iman yang sahih harus memiliki beberapa dimensi:
Inti dari iman adalah tauhid (mengesakan Allah). Ketika tauhid murni, seseorang bebas dari ketergantungan pada makhluk, harta, atau kekuasaan. Ini membebaskan hati dari perbudakan duniawi. Kebebasan spiritual inilah yang pertama kali menghasilkan ketenangan batin. Jika hati masih bergantung pada selain Allah, maka kerentanan terhadap ketakutan (takut kehilangan harta) dan kesedihan (sedih karena tidak mendapatkan yang diinginkan) akan selalu ada. Iman menghilangkan ilusi kendali mutlak manusia, menyerahkan kekuasaan tertinggi kepada Sang Pencipta, dan dengan demikian, meringankan beban di pundak kita.
Iman kepada hari akhir (Al-Yawm Al-Akhir) adalah filter moral dan sumber harapan terbesar. Jika seseorang percaya bahwa kehidupan ini hanyalah sementara, maka kesulitan di dunia akan terasa ringan, dan motivasi untuk berbuat baik akan menguat. Keyakinan ini memberikan makna (purpose) pada setiap tindakan dan menjamin bahwa tidak ada amal shalih yang sia-sia, sekecil apa pun.
Ujian terbesar bagi iman adalah saat musibah. Seorang mukmin yang memenuhi syarat An-Nahl 97 tidak luput dari musibah, tetapi cara ia merespons musibah itulah yang membedakan kualitas hidupnya. Ketika musibah datang, ia berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," yang mencerminkan penerimaan total. Sikap penerimaan (ridha) inilah yang menjaga hati tetap *tayyib* (baik/suci), mencegahnya dari kegelisahan yang menghancurkan jiwa non-mukmin.
Setelah iman berakar kuat, ia harus menghasilkan buah, yaitu amal shalih. Ayat tersebut menggunakan kata *shalihan* (baik/benar), yang menekankan kualitas dan kesesuaian tindakan, bukan sekadar jumlah. Amal shalih harus memenuhi dua kriteria utama: pertama, dilakukan karena Allah (ikhlas); kedua, sesuai dengan tuntunan syariat (ittiba').
Amal hati adalah fondasi yang sering terabaikan. Ini mencakup ikhlas, tawakkal (berserah diri), sabar, syukur, dan muhasabah (introspeksi). Kehidupan yang baik mustahil dicapai jika hati penuh dengan dengki, sombong, atau rakus. Melatih amal qalbi adalah upaya memurnikan wadah batin agar mampu menampung ketenangan Ilahi.
Misalnya, praktik tawakkal. Ketika seseorang bekerja keras (ikhtiar) dan menyerahkan hasilnya kepada Allah, ia membebaskan dirinya dari beban hasil. Inilah sumber ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kualitas tidur, kejernihan pikiran, dan kestabilan emosi semuanya berakar dari amal qalbi.
Berupa zikir (mengingat Allah), membaca Al-Qur'an, berkata yang baik, dan menghindari ghibah (gosip) serta fitnah. Lisan adalah alat yang dapat merusak hati secepat kilat. Menjaga lisan adalah bagian esensial dari amal shalih. Zikir, khususnya, berfungsi sebagai jangkar spiritual, menarik hati kembali kepada Allah saat diterpa badai duniawi, secara langsung meningkatkan kualitas *tayyibah* seseorang.
Ini mencakup shalat, puasa, haji, dan ibadah fisik lainnya. Ibadah ritual adalah tiang penyangga yang memastikan sambungan (koneksi) antara hamba dan Pencipta tetap stabil. Shalat yang dikerjakan dengan khushu’ (fokus) berfungsi sebagai jeda harian dari hiruk pikuk dunia, memulihkan energi spiritual dan emosional, dan mencegah jiwa dari kelelahan.
Mencakup zakat, sedekah, dan kontribusi sosial. Ayat ini secara implisit mengajarkan bahwa kehidupan yang baik tidak bisa diisolasi dari masyarakat. Kebaikan harus menyebar. Ketika seseorang memberi, ia tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga membersihkan hatinya dari sifat kikir. Dampak timbal balik dari memberi adalah perasaan bahagia dan bermakna yang secara empiris terbukti meningkatkan kesejahteraan (well-being).
Amal shalih yang sejati adalah amal yang seimbang. Para pelaku An-Nahl 97 adalah mereka yang tidak ekstrem, yang tidak hanya menjadi ahli ibadah di masjid tetapi lalai terhadap keluarga atau tetangga, pun sebaliknya, mereka yang sibuk berderma tetapi meninggalkan shalat wajib. Keseimbangan inilah yang menciptakan harmoni batin dan sosial, dan harmoni adalah sinonim dari Hayatan Tayyibah.
Penegasan "baik laki-laki maupun perempuan" (مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ) adalah salah satu ciri progresif dan revolusioner dari pesan Al-Qur’an di abad ke-7, yang masih relevan hingga kini. Bagian ini memperkuat dimensi universal dari An-Nahl 97.
Ayat ini menegaskan bahwa nilai seseorang di hadapan Allah tidak didasarkan pada kekuasaan fisik, posisi sosial, atau jenis kelamin. Nilai mutlak hanya terletak pada kualitas iman dan amal. Hal ini menentang pandangan budaya manapun yang membatasi peran atau pahala spiritual berdasarkan gender.
Jika seorang perempuan melakukan amal shalih yang sama bobotnya dengan yang dilakukan oleh laki-laki, dan keduanya berlandaskan iman, maka keduanya berhak atas janji Hayatan Tayyibah dan balasan akhirat yang sama. Ini adalah pernyataan yang tegas tentang keadilan dan meritokrasi spiritual.
Universalitas ini juga berarti kesetaraan dalam beban tanggung jawab. Laki-laki dan perempuan sama-sama dibebani tanggung jawab untuk memelihara iman dan senantiasa berbuat shalih. Ayat ini tidak membatasi amal shalih pada peran tradisional semata. Amal shalih bagi seorang ibu yang mendidik anak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, memiliki bobot yang sama dengan amal shalih seorang ayah yang bekerja keras mencari nafkah halal.
Penghargaan ilahi bersifat holistik dan mencakup seluruh spektrum aktivitas manusia yang dilakukan dalam koridor keimanan. Hal ini memberikan motivasi besar bagi setiap individu untuk mengoptimalkan potensinya, apa pun peran sosialnya.
Bagaimana iman dan amal shalih secara praktis mengubah kondisi hidup seseorang dari sengsara menjadi *tayyibah*? Proses ini melibatkan transformasi internal dan eksternal yang saling terkait.
Ketakutan adalah salah satu penghancur terbesar *Hayatan Tayyibah*. Seorang mukmin yang beramal shalih memahami bahwa segala rezeki dan takdir sudah ditetapkan. Keyakinan ini menghilangkan ketakutan berlebihan terhadap masa depan, kegagalan finansial, atau kehilangan kehormatan. Fokusnya beralih dari apa yang tidak bisa dikendalikan (takdir) menjadi apa yang bisa dikendalikan (amal shalih).
Kesedihan seringkali timbul dari penyesalan atas masa lalu yang hilang atau gagal. Amal shalih, terutama taubat (penyesalan dan perbaikan), memberikan mekanisme pembersihan diri dari kesalahan masa lalu. Dengan beramal shalih secara berkelanjutan, seorang mukmin selalu berada dalam kondisi bergerak maju, sehingga beban kesedihan masa lalu tidak lagi mendominasi kehidupannya.
Salah satu janji Ilahi yang sering beriringan dengan amal shalih adalah kemudahan dalam urusan (seperti yang termuat dalam QS At-Talaq: 2-3). Orang yang hidupnya berlandaskan kebaikan, cenderung menemukan pintu-pintu kemudahan terbuka baginya. Jika pun mengalami kesulitan, ia akan dibekali kekuatan dan jalan keluar yang tidak terduga.
Secara sosial, seseorang yang terus-menerus berbuat baik akan mendapatkan tempat terhormat di hati manusia. Kecintaan dan penghormatan dari sesama adalah salah satu bentuk kebahagiaan duniawi yang sangat berharga dan merupakan manifestasi nyata dari Hayatan Tayyibah. Hal ini sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menyerukan kepada penduduk langit untuk mencintainya, dan kemudian ia diterima di bumi.
Untuk menghargai janji *Hayatan Tayyibah*, penting untuk memahami kontrasnya. Al-Qur'an seringkali menggunakan teknik perbandingan untuk memperjelas pesan. Lawan dari *Hayatan Tayyibah* dapat ditemukan dalam Surah Thaha ayat 124, yang menyebutkan tentang Al-Ma'isyatu Dhanka (kehidupan yang sempit/sulit).
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124)
Jika An-Nahl 97 adalah janji bagi mereka yang beriman dan beramal shalih, maka Thaha 124 adalah peringatan bagi mereka yang berpaling dari zikir (mengingat Allah, yang mencakup iman dan ketaatan). Sempitnya kehidupan (Dhanka) di sini bukan berarti kemiskinan materiil (sebab banyak orang kaya yang hidupnya sengsara), melainkan kesempitan jiwa.
Kesempitan ini meliputi:
Perbandingan ini memperkuat pemahaman bahwa *Hayatan Tayyibah* adalah sebuah pilihan aktif yang membutuhkan Iman dan Amal Shalih sebagai investasi utama, yang hasilnya dijamin oleh Allah, berbeda dengan hasil dunia yang penuh ketidakpastian.
Bagaimana seorang muslim kontemporer dapat memastikan bahwa ia memenuhi persyaratan An-Nahl 97 dan mencapai kehidupan yang baik di tengah kompleksitas abad ke-21?
Amal shalih memerlukan alokasi waktu. Mengintegrasikan shalat lima waktu dengan khushu’ di tengah jadwal yang padat adalah amal shalih yang vital. Demikian pula, menyisihkan waktu untuk keluarga, introspeksi, dan membantu masyarakat adalah prioritas yang mencerminkan kualitas iman. Kehidupan yang *tayyibah* adalah kehidupan yang terstruktur, di mana waktu dihabiskan untuk hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk hal-hal yang merugikan jiwa.
Dalam konteks tafsir klasik (Rizq Halal), memastikan pekerjaan dan pendapatan adalah sah secara syariat adalah amal shalih yang besar. Bekerja secara profesional, jujur, dan memberikan nilai tambah kepada orang lain adalah bagian dari ibadah. Kehidupan yang baik mustahil dibangun di atas fondasi transaksi yang meragukan (syubhat) atau haram, karena hal itu akan mencemari keberkahan (barakah) yang merupakan inti dari *ketayyiban*.
Amal shalih tertinggi adalah *Ihsan* (berbuat baik seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika tidak, yakinlah Allah melihatmu). Di ranah sosial, ini berarti tidak hanya memenuhi kewajiban (zakat), tetapi juga berbuat ekstra (sedekah, kerelawanan, dan membantu tanpa diminta). Kontribusi sosial ini mematahkan belenggu egoisme dan menumbuhkan rasa syukur, yang merupakan motor penggerak kebahagiaan sejati. Ketika seseorang berbuat baik kepada sesama, Allah membalasnya dengan menenangkan hati orang tersebut.
Mencari ilmu yang bermanfaat juga termasuk amal shalih. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang terus berkembang. Seorang mukmin harus senantiasa belajar untuk meningkatkan pemahaman tentang agamanya, dunianya, dan dirinya sendiri. Ilmu adalah cahaya yang menghilangkan kebodohan dan keraguan, sehingga memperkuat iman, dan pada gilirannya, meningkatkan kualitas kehidupan.
Surah An-Nahl Ayat 97 bukanlah sekadar harapan, melainkan sebuah janji mutlak dari Dzat Yang Maha Menepati Janji. Janji ini bersifat universal, inklusif bagi setiap jiwa—laki-laki atau perempuan—yang memenuhi dua prasyarat abadi: Iman yang tulus dan Amal Shalih yang konsisten.
Kehidupan yang baik (*Hayatan Tayyibah*) bukanlah janji kemewahan yang fana, tetapi jaminan ketenangan yang abadi. Ia adalah kondisi spiritual di mana hati merasa kaya meskipun tangan kosong, di mana jiwa merasa damai meskipun badai kehidupan tengah bergolak. Ini adalah karunia yang dimulai di dunia dan mencapai puncaknya di akhirat.
Oleh karena itu, Ayat 97 Surah An-Nahl menjadi kompas utama bagi setiap pencari makna. Jika kita merasakan kegelisahan, kekosongan, atau kesempitan dalam hidup, jawabannya selalu merujuk kembali pada dua pilar ini: periksa kualitas iman, dan tingkatkan kuantitas serta kualitas amal shalih. Dengan berpegang teguh pada formula Ilahi ini, setiap mukmin dijamin akan memperoleh janji yang tak pernah diingkari: sebuah kehidupan yang baik, murni, dan penuh berkah.
Pengulangan dan penegasan janji ini dalam Al-Qur'an menunjukkan betapa pentingnya konsep integrasi antara keyakinan batin dan ekspresi lahiriah. Umat manusia seringkali mencari kebahagiaan di luar diri mereka, melalui harta atau pujian. Namun, An-Nahl 97 mengarahkan kita untuk mencari sumber kebahagiaan di dalam, pada koneksi yang murni dengan Sang Pencipta, yang tercermin melalui pelayanan kepada-Nya dan kepada seluruh ciptaan-Nya.
Jaminan kehidupan yang baik ini, ditambah dengan janji balasan terbaik di akhirat, menunjukkan rahmat Allah yang berlipat ganda. Ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang muslim: bahwa setiap langkah kebaikan, setiap tetes keringat yang dikeluarkan di jalan kebenaran, tidak hanya dihitung untuk hari perhitungan, tetapi juga memberikan dividen langsung berupa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki dalam setiap momen kehidupan dunia ini.
Maka, marilah kita jadikan Ayat 97 Surah An-Nahl sebagai moto hidup, sebuah pengingat bahwa jalan menuju kedamaian sejati telah ditetapkan dengan jelas, dan ia terbentang luas bagi setiap jiwa yang memilih untuk beriman dan beramal shalih.