An Naml Ayat 19: Keagungan Syukur Seorang Raja dan Pelajaran dari Seekor Semut

Ilustrasi Nabi Sulaiman Mendengar Ucapan Semut Visualisasi simbolis dari komunikasi antara Nabi Sulaiman, yang digambarkan sebagai mahkota keagungan, dengan seekor semut, melambangkan karunia memahami bahasa makhluk kecil dan respons syukur. HIKMAH Nabi Sulaiman (A.S.)

Alt: Visualisasi Nabi Sulaiman yang diberi karunia memahami bahasa binatang (khususnya semut) dan meresponsnya dengan doa syukur yang mendalam.

Surah An-Naml (Semut), khususnya ayat 19, adalah permata spiritual yang menceritakan sebuah interaksi luar biasa antara Nabi Sulaiman 'Alayhis Salam, seorang raja yang diberi kekuasaan absolut dan karunia unik, dengan salah satu makhluk Allah yang paling kecil, yaitu semut. Ayat ini bukan sekadar narasi; ia adalah formulasi sempurna dari rasa syukur (syukr), kesalehan (amal ṣāliḥ), dan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Keagungan Pencipta.

Ketika mempelajari An Naml Ayat 19, kita tidak hanya melihat mukjizat nubuwwah yang berupa kemampuan memahami bahasa fauna, tetapi yang lebih fundamental, kita melihat respons batiniah yang ideal dari seorang manusia yang menyadari bahwa setiap karunia, sekecil apapun, adalah ujian dan tanggung jawab yang menuntut pengakuan dan ketaatan. Ayat ini menjadi fondasi bagi pemahaman tentang bagaimana kekuasaan dan kekayaan seharusnya disikapi dalam kerangka tauhid.

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Maka dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu, dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-Naml [27]: 19)

I. Konteks Historis dan Keunikan Karunia Nabi Sulaiman

Nabi Sulaiman (Solomon) adalah salah satu figur paling unik dalam sejarah kenabian. Ia tidak hanya seorang nabi yang diberi wahyu, tetapi juga seorang raja yang memerintah sebuah imperium yang luas, mencakup manusia, jin, dan bahkan makhluk-makhluk lain. Kekuasaannya bersifat transenden, jauh melampaui kemampuan raja-raja duniawi biasa. Ayat-ayat sebelum An Naml ayat 19 menjelaskan bagaimana Sulaiman mengumpulkan pasukannya, yang terdiri dari berbagai elemen, dan betapa teraturnya barisan tersebut.

Kekuatan yang Berasal dari Pengetahuan

Karunia utama yang menjadi pemicu ayat 19 adalah manṭiq aṭ-ṭayr (bahasa burung) dan kemampuan memahami bahasa makhluk hidup lainnya, termasuk semut. Karunia ini adalah bukti nyata dari kemahakuasaan Allah. Dalam kondisi normal, suara semut tidak terdengar oleh manusia. Tetapi melalui mukjizat yang dianugerahkan kepada Sulaiman, ia tidak hanya mendengar, tetapi juga memahami makna yang terkandung dalam ucapan sang ratu semut.

Penting untuk dicatat bahwa semut (an-naml) dalam kisah ini adalah simbol dari kebijaksanaan, keteraturan, dan komunitas yang terstruktur. Ketika rombongan Sulaiman melewati lembah, semut tersebut tidak panik secara individual, melainkan secara kolektif mengeluarkan peringatan, menunjukkan tingkat kesadaran sosial dan leadership yang tinggi. Semut tersebut berkata, "Wahai semut-semut, masuklah ke sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari."

Respon yang Ideal: Senyum dan Tawa (Fa Tabassama Ḍāḥikan)

Kata kunci pertama dalam An Naml ayat 19 adalah فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا (Fa tabassama ḍāḥikan – Maka dia tersenyum seraya tertawa). Reaksi Sulaiman adalah respons kemanusiaan yang murni, tetapi juga respons kenabian yang mendalam. Para mufasir berbeda pendapat sedikit mengenai intensitas tawa ini, tetapi mayoritas sepakat bahwa ini adalah tawa yang penuh kehangatan, humor, dan sekaligus kesadaran.

Ia tersenyum dan tertawa karena tiga alasan utama:

1. Keindahan Karunia Ilahi

Tawa tersebut muncul karena rasa gembira yang luar biasa atas realisasi karunia Allah yang baru saja terbukti secara langsung. Ia mendengar suara yang tak mungkin didengar manusia biasa, dan memahami maknanya. Ini adalah pengingat visual dan auditori bahwa kekuasaan Allah benar-benar tak terbatas, dan bahwa ia, Sulaiman, adalah penerima rahmat yang istimewa.

2. Kebijaksanaan Sang Semut

Sulaiman terkesan dengan kebijaksanaan dan etika semut tersebut. Semut itu tidak hanya memikirkan keselamatan dirinya, tetapi keselamatan seluruh kaumnya. Lebih jauh lagi, semut itu menambahkan, "sedangkan mereka tidak menyadari." Ini menunjukkan pemahaman semut bahwa jika mereka terinjak, itu bukanlah karena kesombongan atau niat jahat Sulaiman, melainkan karena ketidaksengajaan. Pengakuan atas kemungkinan kesalahan manusia bahkan datang dari makhluk sekecil semut, menunjukkan kedalaman hikmah.

3. Kerendahan Hati (Tawadhu')

Seorang raja besar yang pasukannya terdiri dari makhluk yang tak terhitung jumlahnya, mendengarkan saran keselamatan dari seekor semut, dan meresponsnya dengan tawa penuh kasih, menunjukkan tingkat kerendahan hati yang luar biasa. Ia tidak merasa direndahkan atau terganggu; sebaliknya, ia menghargai peringatan tersebut. Tawa ini mencegah kesombongan masuk ke dalam hatinya, yang sangat mungkin terjadi mengingat keagungan kekuasaannya.

Reaksi tawa ini segera diikuti oleh doa, yang merupakan inti dari ayat 19. Transisi yang cepat dari emosi (tawa) ke spiritualitas (doa) menunjukkan kesadaran diri Sulaiman bahwa setiap peristiwa, bahkan yang lucu atau menarik perhatian, harus diarahkan kembali kepada Sang Pemberi Karunia.

II. Pilar Utama Doa Nabi Sulaiman: Syukur yang Berkelanjutan

Setelah tawa, Nabi Sulaiman segera melafalkan doa yang abadi, yang menjadi salah satu doa paling penting dalam Al-Qur'an mengenai rasa syukur dan amal saleh. Doa ini dibagi menjadi tiga pilar utama, dan pilar pertama adalah mengenai syukur:

1. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham (kekuatan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu" (Rabbi Awzi'ni An Ashkura Ni'mataka)

Permintaan ini mengandung pelajaran teologis yang sangat mendalam. Nabi Sulaiman tidak hanya meminta kemampuan untuk bersyukur, tetapi meminta أَوْزِعْنِي (Awzi'ni), yang secara harfiah berarti "ilhamkanlah kepadaku," "inspirasikanlah kepadaku," atau "kuatkanlah aku." Kata ini menunjukkan bahwa syukur yang sejati bukanlah sekadar pilihan atau tindakan spontan, melainkan karunia yang harus diminta dari Allah.

Ini adalah pengakuan kenabian bahwa manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, tidak mampu mencapai tingkat syukur yang diridhai Allah tanpa bantuan (taufiq) dari-Nya. Sulaiman sadar bahwa nikmat (karunia) yang dimilikinya begitu besar—kekuasaan atas angin, jin, dan pemahaman bahasa makhluk—sehingga syukur atas nikmat sebesar itu memerlukan kekuatan spiritual yang luar biasa.

Analisis Mendalam tentang Konsep Syukur (Ash-Shukr)

Syukur (ash-shukr) yang diminta oleh Sulaiman bukanlah sekadar ucapan lisan (alhamdulillah), melainkan sebuah konsep holistik yang melibatkan tiga dimensi:

a. Syukur Hati (Shukr al-Qalb)

Yaitu pengakuan batiniah yang mendalam bahwa semua kebaikan, kekuasaan, dan karunia yang ia nikmati murni berasal dari Allah semata. Sulaiman, meskipun menjadi raja terkuat di dunia, memastikan hatinya tidak pernah mengklaim kredit atas karunia tersebut. Syukur hati ini adalah fondasi tauhid.

b. Syukur Lisan (Shukr al-Lisān)

Yaitu memuji Allah, mengucapkan Alhamdulillah, dan menggunakan lisan untuk menyebarkan kebenaran dan dakwah. Permintaan Awzi'ni memastikan bahwa pujian yang keluar dari lisannya tulus dan berkelanjutan.

c. Syukur Perbuatan (Shukr al-Jawāriḥ)

Ini adalah dimensi terpenting bagi seorang raja seperti Sulaiman. Syukur perbuatan berarti menggunakan setiap nikmat sesuai dengan tujuan yang diridhai oleh Pemberi Nikmat. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan keadilan; kekayaan digunakan untuk membantu; dan ilmu (memahami bahasa makhluk) digunakan untuk mengagungkan Allah, bukan untuk kesombongan. Sulaiman meminta kekuatan untuk menggunakan kekuasaannya sebagai sarana ibadah.

Doa ini mengajarkan bahwa kekuasaan tidak secara otomatis menghasilkan syukur; justru, kekuasaan sering kali menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran nikmat. Sulaiman memohon perlindungan dari jebakan ini dengan meminta kekuatan spiritual untuk tetap rendah hati dan bersyukur.

Syukur atas Nikmat Diri dan Orang Tua (Wa ‘Alā Wālidayya)

Doa Sulaiman tidak berhenti pada nikmat yang diberikan kepadanya pribadi, tetapi meluas kepada وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ (wa ‘alā wālidayya - dan kepada kedua orang tuaku). Ini adalah poin yang sangat mengharukan dan penuh hikmah:

  • Pengakuan Rantai Nikmat: Sulaiman mengakui bahwa keberadaannya, pendidikan agamanya, dan lingkungan yang mendukung kenabiannya tidak lepas dari peran orang tuanya. Kebaikan yang diterima seseorang adalah hasil dari rahmat yang telah dilimpahkan kepada orang tua dan generasi sebelumnya.
  • Kesalehan Orang Tua: Nabi Sulaiman adalah putra dari Nabi Daud (David), yang juga seorang nabi dan raja. Doa ini adalah pengakuan atas nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada Sulaiman: dibesarkan dalam rumah tangga kenabian dan kesalehan.
  • Syukur yang Meluas: Doa seorang hamba yang saleh tidak hanya berpusat pada dirinya sendiri, tetapi mencakup orang-orang yang paling dicintainya dan yang berjasa dalam hidupnya. Ini menunjukkan bahwa syukur sejati memiliki dimensi sosial dan historis.

Dengan memasukkan orang tuanya dalam doa syukur, Sulaiman mengajarkan umatnya bahwa penghargaan terhadap nikmat Allah harus selalu dihubungkan dengan penghormatan dan pengakuan terhadap jasa kedua orang tua. Kesuksesan duniawi dan spiritual tidak pernah terlepas dari fondasi yang diletakkan oleh mereka yang mendahului kita.

III. Pilar Kedua: Amal Saleh yang Diridhai Allah

Setelah meminta kemampuan bersyukur, Sulaiman segera melanjutkan dengan permintaan yang terkait erat: وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ (wa an a'mala ṣāliḥan tarḍāhu - dan agar aku mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai).

Korelasi antara Syukur dan Amal Saleh

Permintaan ini menegaskan prinsip fundamental Islam: syukur yang sejati harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Syukur yang hanya lisan tanpa diikuti oleh penggunaan nikmat di jalan Allah disebut sebagai syukur yang pincang, atau bahkan kufur bi’n-ni’mah (mengingkari nikmat). Bagi Sulaiman, menggunakan kekuasaan untuk menegakkan keadilan, membangun infrastruktur yang bermanfaat, dan memimpin umat kepada tauhid adalah wujud utama dari amal saleh.

Kisah ini menghancurkan anggapan bahwa ibadah hanya terbatas pada ritual. Bagi seorang raja, memimpin dengan adil adalah bentuk ibadah tertinggi. Memanfaatkan pasukan jin dan burung untuk proyek pembangunan, seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat lain, adalah wujud syukur perbuatan atas karunia ilmu dan kekuasaan yang telah diberikan.

Syarat Utama: Amal yang Engkau Ridhāi (Tarḍāhu)

Sulaiman tidak hanya meminta amal saleh ('amala ṣāliḥan), tetapi menambahkan kualifikasi yang sangat kritis: تَرْضَاهُ (tarḍāhu - yang Engkau ridhai). Ini adalah puncak dari kesadaran spiritual. Seorang hamba yang beriman tidak hanya sibuk dengan kuantitas amal, tetapi lebih fokus pada kualitas dan penerimaan amal tersebut di sisi Allah.

Permintaan ini mencakup dua elemen inti dari penerimaan amal:

1. Keikhlasan (Ikhlas)

Amal saleh hanya akan diridhai jika dilakukan semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan pujian, keuntungan duniawi, atau popularitas. Bagi seorang raja yang selalu berada di bawah sorotan, mempertahankan keikhlasan adalah perjuangan terus-menerus. Doa ini adalah permohonan agar niatnya selalu murni, jauh dari riya' atau kesombongan.

2. Kepatuhan (Ittibā')

Amal harus sesuai dengan syariat dan tuntunan yang diturunkan Allah. Meskipun Sulaiman adalah nabi, ia tetap memohon petunjuk agar perbuatannya selalu sejalan dengan kehendak Ilahi. Ini mengajarkan bahwa otoritas dan kekuasaan harus selalu tunduk pada otoritas Wahyu.

Melalui permintaan ini, Sulaiman menunjukkan bahwa bahaya terbesar bagi seorang pemimpin yang sukses bukanlah kegagalan, melainkan kesuksesan yang melupakan sumbernya dan menjadikannya sombong. Ia menyadari bahwa kekuasaan sebesar apapun hanyalah alat; ridha Allah adalah tujuan sejati.

IV. Pilar Ketiga: Permintaan Rahmat dan Golongan Shalihin

Bagian terakhir dari An Naml ayat 19 adalah klimaks doa, yang merangkum kerendahan hati seorang nabi dan pengakuannya akan kebutuhan mutlak terhadap rahmat Allah:

"Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (Wa Adkhilnī Bi Raḥmatika Fī ‘Ibādika Aṣ-Ṣāliḥīn)

Ini adalah penutup yang paling kuat. Setelah meminta kekuatan untuk bersyukur dan beramal saleh, Sulaiman tidak bersandar pada amalnya. Ia tidak berkata, "Masukkanlah aku karena amalku," melainkan بِرَحْمَتِكَ (bi raḥmatika - dengan rahmat-Mu).

Pengakuan ini adalah ajaran tauhid yang fundamental: bahkan amal yang paling saleh dari seorang nabi sekalipun tidak cukup untuk menjamin surga tanpa adanya rahmat (kasih sayang) Allah. Amal saleh adalah prasyarat dan bentuk ketaatan, tetapi rahmat adalah tiket masuk ke dalam kebahagiaan abadi.

Keinginan Menjadi Bagian dari Golongan Shalihin

Sulaiman memohon agar dimasukkan ke dalam golongan عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ (‘ibādika aṣ-ṣāliḥīn - hamba-hamba-Mu yang saleh). Siapakah golongan Ṣālihīn ini?

Golongan Ṣālihīn (orang-orang saleh) adalah mereka yang amalannya seimbang, lahir dan batin, yang menjalankan hak-hak Allah (ḥuqūqullāh) dan hak-hak sesama (ḥuqūqul-'ibād) dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah standar kesuksesan spiritual tertinggi setelah para nabi (anbiyā') dan para pecinta kebenaran (ṣiddīqīn).

Permintaan untuk bergabung dengan kelompok Ṣālihīn menunjukkan bahwa status kenabian dan kerajaan yang besar tidak membuat Sulaiman merasa superior. Ia tetap ingin berada dalam komunitas hamba-hamba yang beriman, sebuah pengakuan bahwa kesalehan komunal dan persahabatan spiritual (ṣuḥbah) sangatlah penting. Ini juga merupakan permohonan untuk Husnul Khatimah (akhir yang baik), memastikan bahwa akhir kehidupannya adalah dalam keadaan ketaatan dan kesalehan.

V. Pelajaran Manajemen dan Kepemimpinan dari Kisah Semut

Kisah ini, yang memicu doa An Naml ayat 19, memberikan pelajaran kepemimpinan yang relevan tidak hanya bagi raja, tetapi bagi siapa pun yang memegang tanggung jawab.

1. Kepekaan Terhadap Detail (Micro-Management of Macro-Leader)

Sulaiman, seorang raja yang menguasai seluruh dunia, tetap peka terhadap detail sekecil apapun, bahkan suara seekor semut di bawah kaki pasukannya. Ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang efektif memerlukan perhatian terhadap detail-detail kecil yang mungkin diabaikan oleh orang lain. Seringkali, bahaya atau kebijaksanaan terbesar datang dari sumber yang paling tidak terduga.

Jika Sulaiman hanya fokus pada kuda-kuda dan pasukan jinnya yang besar, ia akan melewatkan pelajaran berharga yang disampaikan oleh semut. Ini adalah panggilan untuk para pemimpin agar tidak hanya melihat gambaran besar (makro), tetapi juga memantau kondisi 'rakyat' yang paling rentan (mikro).

2. Kekuatan Peringatan dari Bawahan

Semut tersebut mengeluarkan peringatan yang bersifat defensif dan bijaksana. Sulaiman menghormati peringatan tersebut. Ini adalah contoh ideal tentang bagaimana seorang pemimpin sejati menerima kritik atau peringatan—bahkan dari sumber yang secara struktural berada di bawahnya. Tidak ada arogansi atau penolakan; yang ada hanyalah apresiasi yang diterjemahkan menjadi doa syukur.

Kisah ini menegaskan bahwa kebenaran dan hikmah tidak terbatas pada hierarki sosial atau kekuasaan. Hikmah bisa datang melalui lidah makhluk yang paling sederhana, dan tugas seorang pemimpin adalah memiliki hati yang terbuka untuk menerimanya.

3. Etika Kekuasaan dan Pencegahan Kehancuran

Peringatan semut berfokus pada potensi kehancuran yang tidak disengaja: "agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari."

Pelajaran etika kekuasaan di sini adalah:

  • Kekuasaan besar memiliki potensi merusak, bahkan jika kerusakan itu tidak disengaja (lā yash'urūn).
  • Tanggung jawab pemimpin adalah memitigasi potensi bahaya, bahkan jika itu harus menghentikan rombongan besar hanya karena keselamatan makhluk kecil.

Ini adalah pengingat bahwa dampak kekuasaan sangat luas. Doa syukur Sulaiman segera menyusul, karena ia menyadari betapa rentannya kekuasaan menjadikannya lalai dan sewenang-wenang, meskipun tanpa niat buruk. Ia bersyukur karena Allah telah memberinya kepekaan untuk mencegah kezaliman yang tidak disengaja.

VI. Implikasi Spiritual dan Aplikasi Kontemporer

An Naml ayat 19 adalah doa yang sangat universal. Meskipun diucapkan oleh seorang raja nabi, ia dapat diaplikasikan oleh siapa saja—dari seorang pekerja hingga seorang kepala negara.

1. Mengubah Karunia Menjadi Tanggung Jawab

Setiap orang memiliki 'nikmat' Sulaiman dalam bentuk tertentu: kesehatan, kecerdasan, jabatan, kekayaan, atau bahkan waktu luang. Ayat ini mengajarkan bahwa begitu kita menyadari suatu nikmat, kita harus segera mengalihkannya dari sumber kebanggaan menjadi tanggung jawab syukur.

  • Jika diberi ilmu, syukur kita adalah mengajarkannya (amal saleh).
  • Jika diberi harta, syukur kita adalah menginfakkannya (amal saleh).
  • Jika diberi jabatan, syukur kita adalah menegakkan keadilan (amal saleh).

Doa "Awzi'ni an ashkura ni'mataka" adalah doa untuk bimbingan dalam pengelolaan karunia.

2. Pentingnya Merayakan Kehidupan dengan Doa

Sulaiman merespons momen bahagia (tawa karena hikmah semut) dengan doa yang mendalam. Ini mengajarkan pentingnya menyertakan Allah dalam setiap emosi, baik dalam kesenangan maupun kesulitan. Kebahagiaan tidak boleh menjadi alasan untuk lupa, melainkan harus menjadi pemicu syukur yang lebih besar.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, di mana kesuksesan sering kali memicu pesta atau kebanggaan diri, doa Sulaiman mengingatkan kita untuk "merayakan" kesuksesan dengan kembali kepada Allah, memohon agar kesuksesan itu tidak menjadi sumber kesombongan.

3. Fondasi Hubungan Anak dan Orang Tua

Permintaan syukur yang mencakup orang tua adalah model bagi hubungan antar generasi. Kita diperintahkan untuk mendoakan orang tua kita sebagai wujud syukur atas nikmat yang kita terima dari mereka. Bahkan jika orang tua kita bukanlah nabi seperti Daud, jasa dan pengorbanan mereka dalam mendidik kita adalah nikmat yang wajib disyukuri, dan doa untuk mereka adalah bagian dari amal saleh kita.

4. Pelajaran dari Perspektif Ekologi Spiritual

Kisah ini juga memberikan perspektif unik tentang tempat manusia di alam semesta. Semut adalah makhluk yang diperhatikan oleh Allah; keberadaannya dan keselamatannya penting. Ini adalah peringatan bagi manusia modern yang cenderung melihat alam sebagai sesuatu yang harus dieksploitasi. Sulaiman menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap semua makhluk Allah, sekecil apapun. Kesalehan (ṣalāḥ) mencakup perlakuan yang baik terhadap lingkungan dan seluruh ciptaan.

VII. Analisis Linguistik dan Sintaksis Mendalam

Untuk memahami sepenuhnya kedalaman An Naml ayat 19, kita perlu menguraikan struktur bahasa Arabnya yang ringkas namun padat makna.

Detail Kata 'Awzi'ni' (أَوْزِعْنِي)

Kata kerja awzi'ni berasal dari akar kata w-z-' yang berarti 'menginspirasi,' 'mendorong,' atau 'membuat seseorang memiliki kemampuan.' Ini lebih kuat daripada sekadar 'berikanlah' (ātini). Ketika Sulaiman berkata Rabbi awzi'ni, ia memohon:

  • Inspirasi Batin: Bukan sekadar kemampuan fisik untuk bersyukur, tetapi kekuatan spiritual dan motivasi yang terus-menerus.
  • Keberlanjutan: Ia meminta agar syukur itu menjadi sifat yang melekat, bukan insidental.
  • Pengendalian: Sebagian ulama mengartikannya sebagai 'kendalikan aku agar aku hanya bersyukur.' Ini berarti Sulaiman memohon agar jiwanya diikat sedemikian rupa sehingga hanya mengarah pada ketaatan dan syukur.

Struktur Permintaan (Permohonan yang Berlapis)

Doa ini memiliki empat permintaan yang berurutan secara logis, membentuk tangga kesempurnaan seorang hamba:

  1. Ashkura Ni'mataka: Pengakuan terhadap Pemberi Nikmat (Fokus pada Allah).
  2. Wa 'alā Wālidayya: Pengakuan terhadap Nikmat melalui perantara (Fokus pada Kebaikan Sosial).
  3. Wa An A'mala Ṣāliḥan Tarḍāhu: Menerjemahkan syukur menjadi aksi yang tulus (Fokus pada Kualitas Amal).
  4. Wa Adkhilnī Bi Raḥmatika Fī ‘Ibādika Aṣ-Ṣāliḥīn: Tujuan akhir, bergabung dalam komunitas yang diridhai (Fokus pada Keselamatan Abadi).

Perluasan ini menunjukkan bahwa Sulaiman menyusun doanya dengan kesadaran penuh akan prioritas spiritual: Syukur mendahului Amal, dan Rahmat Allah mendahului segala-galanya.

VIII. Pandangan Para Mufasir Klasik Mengenai An Naml 19

Ayat ini menjadi fokus utama dalam kitab-kitab tafsir karena mengajarkan etika kekuasaan dan cara berinteraksi dengan nikmat Allah.

Tafsir Imam Al-Qurtubi (Wafat 1273 M)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menekankan pentingnya respons segera Sulaiman. Ia berpendapat bahwa tawa Sulaiman adalah tawa kagum bercampur senang (i'jāb wa surūr), karena ia menyaksikan bagaimana seekor semut memiliki kesadaran, organisasi, dan kekhawatiran yang mirip dengan manusia. Qurtubi menjelaskan bahwa permintaan awzi'ni adalah untuk meminta taufiq, yaitu kemampuan internal yang diberikan Allah untuk memilih yang benar. Ini menegaskan bahwa manusia selalu membutuhkan bantuan Allah untuk melakukan kebaikan, termasuk bersyukur.

Tafsir Ibnu Katsir (Wafat 1373 M)

Ibnu Katsir menyoroti bagaimana ayat ini merupakan perbandingan antara kekuatan besar dan kelemahan kecil. Ia menekankan bahwa ucapan semut itu, yang penuh kehati-hatian, adalah sebuah keajaiban. Ibnu Katsir berfokus pada frasa "dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu". Ia menggunakan ayat ini sebagai bukti utama bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah melalui rahmat Allah, bukan semata-mata karena amal, meskipun amal adalah prasyarat untuk mendapatkan rahmat tersebut.

Tafsir Fakhruddin Ar-Razi (Wafat 1210 M)

Ar-Razi memberikan analisis filosofis. Ia melihat bahwa semut tersebut mengingatkan Sulaiman akan sifat kekuasaan: bahwa meskipun ia perkasa, ia tetap bisa menimbulkan kerugian (walaupun tidak sengaja). Respons Sulaiman, yaitu doa syukur, adalah cara untuk mengimbangi potensi kezaliman kekuasaan. Ar-Razi menekankan bahwa orang yang paling tinggi kedudukannya di dunia (seperti Sulaiman) adalah orang yang paling takut kepada Allah, sehingga mereka senantiasa memohon petunjuk untuk amal yang diridhai.

IX. Menjaga Keseimbangan: Antara Kekuatan Duniawi dan Kerendahan Hati Ilahi

Kisah dalam An Naml ayat 19 adalah studi kasus tentang bagaimana menyeimbangkan kekuatan duniawi dengan kerendahan hati ilahi. Sulaiman, yang memiliki kerajaan yang tidak akan dimiliki siapapun setelahnya, tetap menunjukkan kerentanan spiritualnya.

Bahaya Kesombongan Setelah Karunia

Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa semakin besar nikmat yang diberikan, semakin besar pula ujiannya. Seringkali, manusia setelah meraih puncak kesuksesan, baik berupa harta, kekuasaan, atau ilmu, akan cenderung sombong (istighnā'). Doa Sulaiman adalah tameng spiritual terhadap kesombongan tersebut. Ia memohon agar kesuksesannya tidak menjauhkannya dari Allah.

Bayangkan seorang raja yang mengendalikan angin dan jin; betapa mudahnya ia merasa bahwa dirinya setara dengan dewa. Namun, Sulaiman menunjukkan bahwa mukjizat dan karunia justru harus memicu rasa tak berdaya dan ketergantungan total kepada Allah. Tawa dan senyumnya menunjukkan bahwa ia menerima pelajaran dari semut, menegaskan bahwa ia tidak lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya dalam hal kebutuhan akan bimbingan dan rahmat.

Mengutamakan Kualitas di Atas Kuantitas

Permintaan a'mala ṣāliḥan tarḍāhu (amal saleh yang Engkau ridhai) mengajarkan bahwa fokus utama adalah kualitas batin dan niat. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa kebijakan dan keputusan harus didasarkan pada prinsip kebenaran dan keadilan, bukan popularitas atau keuntungan pribadi. Ketaatan kepada Allah harus menjadi kriteria utama dalam setiap tindakan, yang pada akhirnya akan menjamin amal tersebut diterima oleh-Nya.

X. Kesimpulan: Doa yang Abadi untuk Setiap Jiwa

An Naml ayat 19 adalah cetak biru untuk kehidupan yang seimbang, yang menggabungkan kesuksesan duniawi dengan kesalehan spiritual. Doa ini adalah pengingat bahwa tujuan akhir dari setiap karunia adalah syukur yang mengarah pada amal saleh, dan bahwa tujuan akhir dari amal saleh adalah rahmat Allah.

Dalam setiap langkah kehidupan, saat kita menerima nikmat kecil maupun besar—seperti kenaikan jabatan, kesembuhan dari penyakit, atau bahkan hanya mampu bernapas di pagi hari—kita dipanggil untuk meneladani Nabi Sulaiman: tersenyum, menyadari keagungan karunia itu, dan segera merespons dengan doa, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu..."

Kisah semut, sang pemberi peringatan kecil, dan raja yang bijaksana, Sulaiman, adalah bukti bahwa di balik setiap detail kecil alam semesta tersembunyi pelajaran besar yang mengarahkan kita kembali kepada tauhid, kerendahan hati, dan pengakuan mutlak terhadap Rahmat Ilahi.

Keagungan Sulaiman bukan terletak pada kekuasaannya yang tak tertandingi, melainkan pada responsnya yang sempurna terhadap kekuasaan tersebut. Ia mengubah tawa kagum menjadi permohonan yang abadi, mengajarkan bahwa puncak kejayaan manusia harus selalu ditandai dengan pengakuan akan kelemahan dan ketergantungan total kepada Pencipta semesta alam.

Doa ini adalah esensi dari kehidupan seorang mukmin, sebuah siklus tanpa akhir dari karunia, pengakuan (syukur), tindakan (amal saleh), dan harapan (rahmat). Sampai akhir hayat, seorang hamba harus terus meminta taufiq untuk menjadi bagian dari golongan aṣ-ṣāliḥīn, yang kesalehannya diterima dan diampuni oleh Allah Yang Maha Pengasih.

Setiap frase dari An Naml ayat 19 adalah lautan makna. Frase 'anugerahkanlah kepadaku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu' adalah pengakuan bahwa syukur bukanlah status yang statis, melainkan proses dinamis yang membutuhkan pembaruan izin dan inspirasi dari Allah setiap saat. Nikmat itu tidak pernah berhenti mengalir, sehingga syukur pun harus terus diperbarui. Ini adalah perjuangan melawan kelalaian. Sulaiman yang perkasa menyadari bahwa ia bisa saja lalai, oleh karena itu ia meminta perlindungan dari kelalaian tersebut melalui doa ini. Kekuatan doanya terletak pada pengakuan bahwa tanpa intervensi Ilahi, manusia pasti akan gagal memenuhi hak syukur atas nikmat yang melimpah.

Mengapa Sulaiman secara spesifik menyebut 'nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku'? Para ulama menekankan bahwa ini adalah contoh pendidikan spiritual yang menawan. Syukur yang sejati adalah syukur yang tidak egois. Syukur atas nikmat yang diberikan kepada orang tua berarti mengakui bahwa kesuksesan kita hari ini adalah warisan dari kesalehan dan perjuangan mereka di masa lalu. Dalam terminologi spiritual, kebaikan yang kita peroleh adalah buah dari doa-doa dan pengorbanan mereka. Dengan mendoakan dan mensyukuri nikmat orang tua, kita secara efektif memperpanjang rantai kebaikan dan memastikan bahwa amal saleh mereka terus mengalir bahkan setelah mereka tiada.

Fokus pada amal ṣāliḥan tarḍāhu juga memerlukan elaborasi mendalam. Tidak semua amal baik (secara lahiriah) adalah amal saleh (secara batiniah). Perbedaan utama terletak pada ridha (kerelaan) Allah. Amal saleh yang diterima adalah yang memenuhi dua kriteria utama: ikhlas dan mutāba'ah (sesuai tuntunan). Dalam konteks Sulaiman, yang merupakan seorang raja, ini berarti bahwa seluruh struktur pemerintahannya, sistem hukumnya, dan bahkan pergerakan pasukannya harus selaras dengan kehendak Allah. Jika ia menggunakan jin untuk tujuan zalim atau pembangunan yang tidak bermoral, maka itu bukanlah amal saleh meskipun hasilnya terlihat megah. Oleh karena itu, doanya adalah permohonan untuk integritas moral dan spiritual dalam menjalankan kekuasaan absolut.

Penyebutan semut (an-namlah) di awal kisah ini juga merupakan pelajaran etika dan teologi yang tak ternilai. Semut adalah representasi dari makhluk yang paling lemah dan paling mudah diabaikan. Fakta bahwa Allah memilih kisah semut untuk menguji Sulaiman dan memicu doa ini mengajarkan bahwa tidak ada makhluk yang terlalu kecil untuk diperhatikan. Kehidupan sekecil apapun memiliki nilai dan hak untuk dihormati. Pemahaman ini harus mendorong setiap mukmin untuk menerapkan keadilan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam sekitar. Sikap hormat Sulaiman terhadap peringatan semut adalah perwujudan praktis dari rasa syukurnya yang mendalam; ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas yang lemah.

Lalu, mari kita renungkan implikasi dari frasa adkhilnī bi raḥmatika fī ‘ibādika aṣ-ṣāliḥīn. Mengapa seorang nabi yang telah dijamin posisinya memohon agar dimasukkan ke dalam golongan orang saleh? Ini adalah manifestasi dari khawf (rasa takut) dan rajā' (harapan). Sulaiman tidak pernah merasa aman dari tipu daya dunia dan potensi tergelincir. Dengan memohon rahmat Allah untuk memasukkannya ke dalam golongan saleh, ia secara efektif memohon keteguhan (istiqāmah) hingga akhir hayat. Ia mengakui bahwa kesalehan adalah keadaan yang rentan, yang hanya dapat dipertahankan melalui pemeliharaan (ḥifẓ) dan rahmat Allah. Ini adalah model bagi setiap Muslim: jangan pernah sombong dengan amal yang sudah dilakukan, tetapi selalu memohon agar diakhiri dalam keadaan terbaik.

Hubungan antara tabassama dahikan (tersenyum seraya tertawa) dan doa yang segera menyusul sangat vital. Tawa ini adalah tawa yang sadar, bukan tawa yang lalai. Itu adalah momen realisasi, epiphany, yang segera diarahkan kembali kepada Tuhan. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengelola emosi. Ketika kita mengalami kejutan yang menyenangkan atau menyadari sesuatu yang menakjubkan tentang alam semesta, respons yang paling mulia adalah mengarahkan kegembiraan itu kepada Pencipta sebagai bentuk pengakuan. Sulaiman mengajarkan kita bahwa kegembiraan duniawi harus menjadi jembatan menuju ibadah dan refleksi spiritual, bukan tujuan akhir.

Dalam konteks kontemporer, doa ini sangat relevan bagi para profesional, ilmuwan, atau penguasa teknologi. Setiap penemuan ilmiah atau inovasi teknologi adalah nikmat yang luar biasa. Doa Sulaiman mengingatkan kita bahwa kekuatan teknologi (kekuasaan yang modern) harus digunakan untuk amal saleh yang diridhai Allah. Jika teknologi digunakan untuk menindas, menyebarkan kebohongan, atau merusak lingkungan, maka itu adalah kufur bi’n-ni’mah. Doa ini adalah manifesto etika teknologi: gunakan karunia yang Engkau berikan, ya Allah, hanya untuk tujuan yang Engkau ridhai.

Mari kita kembali ke elemen linguistik an-naml (semut). Pemilihan semut sebagai katalisator doa ini mengandung ironi teologis yang mendalam. Semut, makhluk yang kekuatannya tidak sebanding dengan satu jari Sulaiman, mampu membangkitkan rasa syukur yang paling murni dalam hati seorang raja. Ini adalah penekanan bahwa pelajaran paling besar seringkali datang dari sumber yang paling sederhana. Ia memecah ilusi hierarki buatan manusia. Semua makhluk adalah hamba Allah, dan hikmah dapat terwujud melalui siapa saja atau apa saja. Sulaiman menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang agung harus mampu belajar dari bawahannya, bahkan jika bawahan itu adalah seekor serangga kecil. Kesediaan untuk mendengarkan semut adalah bukti nyata dari kerendahan hati yang diminta Sulaiman dalam doanya.

Analisis tentang ni'mataka allatī an'amta 'alayya wa 'alā wālidayya harus terus diperluas. Kenapa Sulaiman tidak hanya bersyukur atas kerajaannya, tetapi atas ni'mat secara umum? Nikmat mencakup segala sesuatu: nikmat iman, nikmat kenabian, nikmat ilmu, dan nikmat kekuasaan. Dengan menggunakan istilah umum ni'mataka, Sulaiman mencakup seluruh spektrum anugerah. Dengan menyebut orang tuanya, ia juga mengajarkan prinsip al-barr (berbakti) sebagai bagian dari syukur. Bagaimana seseorang bisa mengklaim bersyukur kepada Allah jika ia melupakan jasa perantara terdekat, yaitu orang tuanya? Syukur vertikal (kepada Allah) harus selalu diimbangi dengan syukur horizontal (kepada sesama manusia, terutama orang tua).

Lalu, pertimbangkan betapa cepatnya transisi dari tawa ke doa. Ini menunjukkan kedisiplinan spiritual Sulaiman. Tidak ada jeda untuk berbangga diri atau menganalisis keajaiban itu terlalu lama dari sudut pandang dirinya sendiri. Segera setelah mukjizat terbukti, kesadaran tentang Tuhan mengambil alih. Doa menjadi respons refleksif terhadap karunia. Ini adalah pelajaran bagi setiap mukmin: jadikan doa sebagai respons pertama terhadap setiap peristiwa besar atau kecil yang terjadi dalam hidup.

Frase terakhir fī 'ibādika aṣ-ṣāliḥīn adalah tujuan spiritual yang tertinggi. Ini bukan sekadar permintaan untuk masuk surga, tetapi permintaan untuk mencapai standar kesempurnaan moral dan spiritual yang diakui oleh Allah. Menjadi bagian dari golongan Ṣālihīn berarti mencapai integrasi antara iman (īmān) dan perbuatan baik (‘amal), antara urusan dunia (dunyā) dan akhirat (ākhirah). Doa ini adalah penutup yang sempurna, karena ia menempatkan seluruh perjuangan bersyukur dan beramal saleh dalam kerangka pencarian identitas yang abadi: menjadi hamba yang diridhai di sisi Tuhan.

Keagungan narasi An Naml 19 terletak pada kemampuannya merangkum seluruh etika kepemimpinan dan spiritualitas dalam satu kalimat doa. Ini mengajarkan bahwa kekuasaan, seberapa pun besarnya, hanya berfungsi sebagai latar belakang untuk menunjukkan kerendahan hati. Raja Sulaiman, di puncak kekuasaannya, memilih untuk menggunakan suaranya yang paling kuat—bukan untuk memerintah, tetapi untuk memohon kerendahan hati, syukur, dan rahmat dari Tuhannya. Doa ini adalah harta karun yang tak lekang oleh waktu, menjadi panduan bagi siapapun yang ingin menjalani hidup yang kaya dan penuh makna di mata Allah.

Setiap mukmin dapat menjadikan doa ini sebagai mantra harian. Ketika menghadapi kesuksesan, ucapkan: “Rabbi awzi’ni an ashkura ni’mataka.” Ketika merencanakan tindakan, ucapkan: “Wa an a’mala ṣāliḥan tarḍāhu.” Dan pada akhirnya, selalu bersandar pada kerahiman Ilahi: “Wa adkhilnī bi raḥmatika fī ‘ibādika aṣ-ṣāliḥīn.” Dengan demikian, hidup akan menjadi cerminan dari kesalehan, rasa syukur, dan kesadaran total terhadap Keagungan Allah, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ‘Alayhis Salam dalam pertemuan singkatnya dengan seekor semut di lembah.

Kajian mendalam terhadap ayat 19 dari Surah An-Naml ini menunjukkan bagaimana narasi Al-Qur'an menggunakan detail kecil (seekor semut) untuk menyampaikan prinsip-prinsip universal yang paling besar (syukur dan rahmat). Ini adalah bukti bahwa kekuasaan terbesar harus diimbangi dengan kepekaan terkecil, dan bahwa pengakuan atas nikmat haruslah menjadi respons otomatis terhadap setiap manifestasi keajaiban dalam kehidupan.

Penting untuk diingat bahwa kisah ini tidak hanya berlaku untuk nikmat besar seperti kerajaan, tetapi untuk nikmat dasar seperti kemampuan melihat, mendengar, dan berjalan—nikmat yang sering kita anggap remeh. Jika Sulaiman, yang diberi karunia tak terbayangkan, merasa perlu memohon kekuatan untuk bersyukur, apalagi kita yang nikmatnya lebih terbatas. Ini adalah panggilan untuk introspeksi terus-menerus terhadap daftar nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Setiap hembusan napas adalah nikmat yang harus direspons dengan syukur perbuatan dan lisan.

Demikianlah, An Naml Ayat 19 tetap menjadi mercusuar spiritual, menerangi jalan menuju kesempurnaan hamba, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi kekuasaan, tetapi dalam penggunaan kekuasaan tersebut secara etis dan penuh rasa syukur, dan pada akhirnya, dalam penyerahan total kepada Rahmat Ilahi.

Dalam ilmu Tazkiyatun Nafs (pemurnian jiwa), doa ini berfungsi sebagai kurikulum. Ia mengajarkan bahwa proses penyucian dimulai dari hati (pengakuan nikmat), diterjemahkan melalui tindakan (amal saleh), dan ditutup dengan kerendahan hati yang ekstrem (memohon rahmat). Siklus ini memastikan bahwa hati tidak pernah terperangkap dalam jebakan 'ujub (kagum pada diri sendiri) atau ghurur (tertipu oleh dunia). Sulaiman, dengan doa ini, secara spiritual menelanjangi dirinya dari kebesaran duniawi, memilih untuk berdiri sebagai hamba yang miskin di hadapan Kekayaan Allah yang tak terbatas.

Pilar amal saleh yang 'diridhai' (tarḍāhu) juga mencerminkan prinsip tawakkul (penyerahan diri). Meskipun Sulaiman bekerja keras sebagai raja dan nabi, ia tidak mengklaim kesempurnaan amalnya. Ia menyerahkan keputusan akhir tentang penerimaan amalnya kepada Allah. Ini adalah model untuk semua pekerjaan. Kita bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan integritas dan keikhlasan, tetapi kita menyerahkan hasil dan penerimaan amal tersebut sepenuhnya kepada kebijaksanaan Allah. Ketidaksempurnaan manusia disembuhkan oleh kesempurnaan keridhaan Ilahi.

Maka, hikmah dari An Naml ayat 19 adalah ajakan universal untuk hidup dengan kesadaran penuh. Sadar akan nikmat yang diterima, sadar akan tanggung jawab yang diemban, dan sadar bahwa nasib akhir kita sepenuhnya bergantung pada rahmat dan kasih sayang Allah. Doa Sulaiman adalah warisan abadi bagi mereka yang mencari kemuliaan di dunia tanpa mengorbankan martabat di akhirat.

Kekuatan doa ini, yang lahir dari interaksi antara kebesaran dan kerendahan, antara raja dan semut, adalah bukti nyata akan inklusivitas ajaran Ilahi. Ia mengingatkan kita bahwa setiap suara, bahkan suara semut yang berbisik di lembah, memiliki tempat dalam rencana kosmik Allah, dan bahwa respons terbaik terhadap setiap manifestasi Keagungan-Nya adalah sujud syukur dan permohonan rahmat yang tiada henti.

Semoga kita semua diberikan awzi’ni—kekuatan dan ilham—untuk mengamalkan doa agung ini dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga kita pun dapat dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang saleh.

Ayat ini mengajarkan kepada manusia tentang pentingnya membangun masyarakat yang terstruktur dan adil, di mana bahkan makhluk paling lemah sekalipun merasa aman. Semut dalam kisah ini bertindak sebagai figur kepemimpinan yang bertanggung jawab, memastikan keselamatan kaumnya. Sulaiman merespons dengan kesadaran penuh akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tertinggi di bumi. Ia menyadari bahwa kekuasaannya harus menjadi sumber keamanan, bukan ketakutan, bahkan bagi populasi semut. Ini adalah standar etika kepemimpinan yang jarang tercapai dalam sejarah manusia, di mana kepentingan yang paling rentan harus dipertimbangkan sebelum kepentingan yang paling kuat.

Jika kita tinjau kembali kalimat Rabbi awzi'ni an ashkura ni'mataka, kita akan menemukan bahwa permintaan untuk mensyukuri nikmat adalah permintaan yang terus menerus. Syukur bukanlah tujuan yang sekali dicapai, melainkan sebuah perjalanan seumur hidup. Setiap pagi membawa nikmat baru, dan setiap malam membawa refleksi atas nikmat yang telah berlalu. Tanpa ilham (awzi'ni), manusia akan cenderung melupakan nikmat yang sudah biasa. Doa Sulaiman adalah upaya preventif terhadap kebiasaan dan kelalaian. Ia ingin agar setiap nikmat, termasuk karunia memahami bahasa semut yang baru ia dengar, terasa baru, segar, dan menuntut respons syukur yang total. Kekuatan doa ini terletak pada permintaan bantuan ilahi untuk menghindari rutinitas spiritual.

Lebih lanjut, penyebutan orang tua dalam doa Sulaiman merupakan penekanan teologis yang penting. Kebaikan (birr) kepada orang tua adalah salah satu amal saleh yang paling besar, dan Sulaiman menempatkannya berdampingan dengan syukur kepada Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, perintah untuk beribadah kepada Allah diikuti dengan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Sulaiman menginternalisasi ajaran ini. Ia tidak memisahkan antara syukur atas karunia spiritualnya (kenabian dan kekuasaan) dengan syukur atas karunia eksistensialnya (melalui orang tuanya). Kesalehan sejati adalah yang terintegrasi, yang meliputi hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan orang tua dan sesama makhluk.

Terakhir, kita harus memahami bahwa doa An Naml ayat 19 adalah permohonan untuk sebuah takdir yang baik. Sulaiman, meskipun seorang nabi, memohon agar dimasukkan ke dalam golongan yang saleh. Ini menunjukkan bahwa kenabian bukanlah jaminan otomatis, melainkan tuntutan untuk selalu berada di jalur ketaatan. Ia memohon rahmat Allah agar amal salehnya diakui dan agar ia menerima akhir yang mulia. Doa ini adalah ekspresi dari tawadhuk yang ekstrem, di mana raja terbesar di dunia menyadari bahwa ia hanyalah seorang hamba yang sangat membutuhkan belas kasih Tuhannya. Inilah warisan terbesar An Naml Ayat 19 bagi umat manusia: pengakuan bahwa semua kejayaan duniawi bersifat sementara, dan hanya rahmat Allah yang abadi.

🏠 Kembali ke Homepage