An-Naml Ayat 30: Surat Nabi Sulaiman yang Agung

Analisis Mendalam tentang Kalimat Pembuka Paling Mulia

Representasi Surat Kenabian yang Dibuka dengan Bismillah Surat yang disegel dengan keagungan Ilahi

Ilustrasi simbolis surat kenabian yang menjadi inti pembahasan An-Naml Ayat 30.

I. Pengantar Keagungan Surah An-Naml Ayat 30

Surah An-Naml (Semut), yang menempati urutan ke-27 dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai surah yang kaya akan kisah mukjizat kenabian, terutama kisah Nabi Sulaiman (Solomon) yang dianugerahi kemampuan berkomunikasi dengan hewan dan mengendalikan jin. Di antara sekian banyak ayat yang menceritakan kebesaran Sulaiman, Ayat 30 memiliki tempat yang sangat istimewa. Ayat ini bukan hanya bagian dari narasi sejarah, tetapi juga merupakan landasan teologis dan pedoman etika komunikasi yang agung.

Ayat 30 Surah An-Naml merangkum pesan inti dari dakwah Sulaiman, sekaligus memamerkan kekuasaan diplomatik kenabian. Ayat ini adalah terjemahan literal dari kalimat pembuka surat yang dikirimkan Sulaiman kepada Ratu Balqis (Raja Kerajaan Saba’) melalui burung Hud-Hud.

إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

(Surat) itu dari Sulaiman dan sesungguhnya isinya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Kalimat ini, meskipun ringkas, memuat dua komponen fundamental: otoritas kenabian (إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ - *Innahu min Sulaiman*) dan pengakuan terhadap Ketuhanan Mutlak (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ - *Bismillahir Rahmanir Rahim*). Analisis terhadap dua frase ini membuka tabir hikmah mendalam mengenai Tawhid, diplomasi kenabian, dan universalitas kalimat *Bismillah*.

II. Konteks Historis dan Naratif Sebelum Ayat 30

Untuk memahami kekuatan Ayat 30, kita harus meninjau konteks yang mendahuluinya. Kisah ini dimulai ketika Nabi Sulaiman sedang memeriksa pasukannya (Ayat 20). Ia menyadari ketidakhadiran burung Hud-Hud. Setelah Hud-Hud kembali, ia membawa kabar yang mengejutkan dari negeri Saba’ (Yaman kuno).

Kabar dari Negeri Saba'

Hud-Hud melaporkan bahwa ia menemukan seorang ratu (Balqis) yang memerintah suatu kaum. Ratu tersebut dikaruniai segala kemewahan, tetapi Hud-Hud terkejut karena Ratu dan rakyatnya menyembah matahari, bukan Allah (Ayat 24). Ratu Balqis, meskipun cerdas dan bijaksana dalam urusan duniawi, berada dalam kesesatan syirik (kemusyrikan).

Kabar ini sangat penting. Sulaiman tidak hanya seorang raja, tetapi juga seorang Nabi yang tugas utamanya adalah menegakkan Tauhid. Keseimbangan antara kekuasaan duniawi (kerajaan yang kuat) dan tugas spiritual (dakwah) adalah ciri khas kenabian Sulaiman.

Maka, Sulaiman memutuskan untuk mengirimkan sebuah surat. Surat ini bukan sekadar nota diplomatik, melainkan panggilan tegas menuju Tauhid. Ayat 29 mencatat bagaimana Hud-Hud menyampaikan surat tersebut kepada Ratu Balqis, dan Ratu mengumpulkan para pembesar kerajaannya. Ratu Balqis menyebut surat itu sebagai "surat yang mulia" (*kitabun karim*).

Mengapa surat itu disebut mulia? Keagungan surat itu terletak pada dua hal: Pertama, datang dari seorang raja besar (Sulaiman), dan kedua, karena isinya, yang dibuka dengan Ayat 30.

III. Analisis Linguistik dan Tafsir Bagian Pertama: Otoritas Sulaiman

Frase: إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ (*Innahu min Sulaiman*)

Frase ini diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman." Dalam bahasa Arab, penggunaan partikel إِنَّ (*Inna*) mengandung makna penegasan dan penekanan (tawkid). Ini berarti bahwa kalimat tersebut tidak memberikan ruang untuk keraguan tentang sumber surat itu. Ratu Balqis harus memahami, sejak awal, bahwa surat ini datang dari otoritas tertinggi di wilayah tersebut, yaitu Nabi Sulaiman.

1. Fungsi Penegasan (*Tawkid*)

Penggunaan *Inna* di sini menunjukkan bahwa surat ini bukan anonim, bukan pula surat dari seorang menteri atau utusan. Surat ini adalah manifesto langsung dari Raja Nabi Sulaiman. Penegasan ini sangat penting dalam konteks diplomasi kuno, di mana pengakuan terhadap sumber pesan adalah kunci validitas dan bobotnya.

2. Implikasi Diplomatik

Surat Sulaiman segera menetapkan nada komunikasi: dominasi teologis dan otoritas politik. Sulaiman tidak menyapa Balqis dengan salam diplomatik standar yang setara, melainkan langsung memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki kebenaran dan kekuasaan. Ini adalah strategi dakwah, di mana kebenaran disampaikan tanpa basa-basi namun dengan cara yang membuat penerimanya terkesima.

Tafsir klasik, seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Qurtubi, menekankan bahwa Sulaiman, meskipun mampu menulis surat yang panjang, memilih kalimat yang paling padat dan efektif. Nama Sulaiman diletakkan di awal, bukan untuk kesombongan pribadi, tetapi untuk menegaskan bahwa pesan ini membawa stempel kenabian dan kerajaan yang diberkahi Allah.

Kekuatan *Innahu min Sulaiman* terletak pada fakta bahwa ia adalah pengantar menuju pesan yang lebih besar—pesan Tauhid. Bagian pertama ini membangun panggung, menunjukkan siapa pengirimnya, sementara bagian kedua menunjukkan siapa yang diwakili oleh pengirim tersebut.

IV. Analisis Sentral: Keagungan *Bismillahir Rahmanir Rahim* dalam Surat Kenabian

Frase: وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (*Wa innahu Bismillahir Rahmanir Rahim*)

Ini adalah inti dari Ayat 30 dan merupakan satu-satunya contoh dalam Al-Qur’an di mana kalimat Bismillahir Rahmanir Rahim dikutip secara eksplisit sebagai bagian dari surat kenabian yang dikirimkan kepada non-Muslim. Frase ini adalah jembatan yang menghubungkan otoritas Sulaiman dengan Otoritas Ilahi.

Ketika Balqis membaca bagian ini, ia tidak hanya membaca pembuka surat, tetapi sebuah deklarasi teologis yang sangat kuat. Ia telah terbiasa menyembah matahari, tetapi surat ini mengajaknya untuk mengakui Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

1. Filosofi *Bismillah* sebagai Pembuka Surat

Para mufassirin bersepakat bahwa tradisi memulai segala sesuatu yang penting dengan *Bismillah* adalah sunnah para Nabi. Dalam konteks surat ini, *Bismillah* memiliki beberapa fungsi krusial:

a. Pernyataan Tauhid: Bagi Ratu Balqis dan kaumnya yang musyrik (menyembah matahari), memulai surat dengan nama Allah adalah penolakan langsung terhadap politeisme mereka. Sulaiman tidak meminta mereka meninggalkan penyembahan matahari; ia hanya memperkenalkan Allah Yang Maha Esa, yang rahmat-Nya mencakup segalanya (*Ar-Rahman* dan *Ar-Rahim*). Ini adalah fondasi dakwah.

b. Mengikat Kekuasaan Ilahi: Dengan meletakkan *Bismillah* di awal, Sulaiman menjelaskan bahwa kekuatan kerajaannya (yang digambarkan dalam *min Sulaiman*) bukanlah kekuatan pribadi, melainkan mandat dan anugerah dari Allah. Ia adalah utusan, bukan tiran.

c. Pengejawantahan Rahmat: Penggunaan dua sifat agung Allah—*Ar-Rahman* (Maha Pengasih, rahmat universal) dan *Ar-Rahim* (Maha Penyayang, rahmat spesifik bagi orang beriman)—menunjukkan bahwa pesan ini datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyelamatkan. Meskipun pesannya tegas (seperti yang terlihat pada Ayat 31, "Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku"), pembukaannya dipenuhi dengan belas kasih Ilahi.

2. Perbedaan Bismillah dalam An-Naml dan Surat Lain

Salah satu keunikan utama Surah An-Naml Ayat 30 adalah posisinya. Ayat ini adalah satu-satunya ayat Al-Qur'an (di luar Surah Al-Fatihah dan permulaan surah-surah) yang secara utuh memuat *Bismillahir Rahmanir Rahim* sebagai bagian integral dari narasi, bukan sekadar pembuka surah. Posisinya yang terukir dalam kisah kenabian menunjukkan fungsi diplomatik dan keagungannya yang tak tergantikan.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa *Bismillah* dalam konteks ini berfungsi sebagai "kunci" yang membuka hati Ratu Balqis, mempersiapkannya untuk menerima pesan dakwah yang menantang tradisi nenek moyangnya. Tanpa kerangka rahmat ini, pesan Sulaiman mungkin hanya dianggap sebagai ancaman politik belaka.

V. Dimensi Teologis: Rahmat Sebagai Pembuka Dakwah

Ayat 30 mengajarkan bahwa dakwah, meskipun datang dari posisi kekuasaan (kenabian dan kerajaan), harus senantiasa berlandaskan pada Rahmat Allah. Sulaiman adalah nabi yang paling kaya dan berkuasa dalam sejarah, namun ia memilih untuk mempresentasikan dirinya bukan sebagai 'penakluk', tetapi sebagai wakil dari Yang Maha Pengasih.

Konsep Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Keseimbangan antara *Ar-Rahman* dan *Ar-Rahim* adalah pelajaran teologis yang mendalam:

a. Ar-Rahman (Rahmat Universal): Ini adalah sifat Allah yang meliputi semua ciptaan, baik yang beriman maupun yang kafir. Dalam konteks surat ini, ini menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan kekayaan kepada Balqis (sebagaimana disebutkan oleh Hud-Hud), meskipun ia menyembah matahari. Kasih sayang universal inilah yang mendorong Sulaiman untuk mengirim surat peringatan, memberi Balqis kesempatan bertaubat.

b. Ar-Rahim (Rahmat Spesifik): Ini adalah rahmat yang dikhususkan bagi orang-orang yang memilih jalan keimanan. Surat Sulaiman menawarkan jalan menuju rahmat spesifik ini, yaitu dengan meninggalkan kesyirikan dan tunduk kepada Allah.

Dengan demikian, *Bismillah* berfungsi ganda: sebagai pengakuan ketuhanan dan sebagai janji bahwa jika Balqis menerima ajakan itu, ia akan mendapatkan rahmat yang jauh lebih besar daripada kemewahan kerajaannya di Saba'.

Ratu Balqis dan Reaksi Awal

Reaksi Ratu Balqis terhadap surat ini membuktikan bobot Ayat 30. Ayat 29 menyebut bahwa Ratu Balqis merasa surat itu mulia (*kitabun karim*). Meskipun ia adalah seorang penguasa besar, ia merasa tertekan oleh pembuka yang sakral tersebut. Ia tidak mengabaikannya sebagai gertakan politik biasa. Ini menunjukkan bahwa kekuatan spiritual *Bismillah* telah menembus pertahanan diplomatiknya. Kekuatan pesan itu jauh melampaui kekuatan militer Kerajaan Sulaiman.

Ratu Balqis kemudian berkonsultasi dengan para pembesarnya, yang menunjukkan betapa seriusnya ia memandang surat tersebut. Ia menyadari bahwa surat yang diawali dengan nama Yang Maha Pengasih itu mengandung ancaman rohani dan politik yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah bukti nyata bagaimana kalimat tauhid mampu mengguncang fondasi kekuasaan musyrik.

VI. Analisis Lanjutan: Fungsi Ayat 30 dalam Transisi Dakwah

Ayat 30 adalah pembuka yang mempersiapkan Balqis untuk menerima Ayat 31, yang berisi tuntutan inti dakwah:

أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ

"Bahwa janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri (Muslim)." (An-Naml: 31)

Jika Ayat 31 adalah perintah (tuntutan untuk berserah diri/Islam), maka Ayat 30 adalah motivasi dan alasan (landasan rahmat dan tauhid). Sulaiman menggunakan logika yang sangat terstruktur:

  1. Siapa Saya? Saya Sulaiman, utusan Allah. (Ayat 30, Bagian 1)
  2. Siapa Yang Saya Wakili? Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. (Ayat 30, Bagian 2)
  3. Apa Tuntutan Saya? Jangan sombong dan datanglah dalam keadaan berserah diri (Islam). (Ayat 31)

Tanpa pembuka *Bismillah* (Ayat 30), tuntutan untuk berserah diri (Ayat 31) akan terdengar seperti arogansi raja. Namun, dengan *Bismillah*, tuntutan itu diangkat menjadi undangan Ilahi. Inilah rahasia keefektifan diplomasi kenabian Sulaiman.

Aspek Hukum (Fiqh) dan Etika Komunikasi

Ayat 30 menjadi dalil kuat bagi kaum Muslim tentang pentingnya memulai surat-menyurat dan dokumen penting, bahkan yang ditujukan kepada non-Muslim, dengan *Bismillahir Rahmanir Rahim*. Praktik ini melanggengkan tradisi Sulaiman. Para ulama berpendapat bahwa setiap tindakan yang memiliki nilai ibadah atau tujuan baik, termasuk komunikasi tertulis, harus disandarkan pada Nama Allah.

Dalam konteks modern, ketika komunikasi melintasi batas-batas budaya dan agama, pelajaran dari An-Naml 30 tetap relevan: Pesan kebenaran harus disampaikan dengan kejelasan otoritas spiritual, tetapi diselimuti dengan kasih sayang universal.

VII. Kedalaman Makna Kata: Mengurai Struktur Ayat

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah setiap kata dalam konteks tafsir:

1. إِنَّهُ (*Innahu*) – Sesungguhnya Itu

Kata ganti *Hu* (itu) merujuk pada surat (*kitab*) yang disampaikan oleh Hud-Hud. Penggunaan *Inna* bukan hanya penekanan, tetapi juga menetapkan identitas objek yang dimaksud sebelum objek itu dilihat. Ini menciptakan antisipasi dan segera memvalidasi isi pesan. Dalam tradisi penulisan Arab, ini setara dengan mengikat surat dengan otoritas yang tak terbantahkan.

2. مِن سُلَيْمَانَ (*Min Sulaiman*) – Dari Sulaiman

Preposisi *Min* menunjukkan asal usul (origin). Ini menegaskan bahwa Sulaiman adalah pengirim fisik surat tersebut, yang memegang kuasa duniawi. Namun, para mufassirin juga melihatnya sebagai penegasan bahwa kebijaksanaan dan isi surat itu (yaitu Tauhid) berasal dari cahaya kenabian yang dianugerahkan kepada Sulaiman.

3. وَإِنَّهُ (*Wa innahu*) – Dan Sesungguhnya Isinya

Pengulangan *Innahu* menunjukkan peralihan penekanan. *Innahu* yang pertama menegaskan asal fisik (Sulaiman), sementara *Innahu* yang kedua menegaskan asal spiritual dan isi utama (Bismillah). Pengulangan ini menambah bobot retoris yang luar biasa pada kalimat tersebut, memastikan bahwa Ratu Balqis tidak melewatkan poin paling penting.

4. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (*Bismillahir Rahmanir Rahim*)

Ini adalah klimaks ayat tersebut. Secara harfiah berarti "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." Ini bukan sekadar nama, tetapi tindakan dan afiliasi. Sulaiman bertindak *bi-ism* (dengan nama), menempatkan tindakannya di bawah naungan dan kekuatan Ilahi. Ini adalah penyerahan total kekuasaan manusia kepada Kekuatan Mutlak. Dalam konteks dakwah, ini adalah seruan yang menuntut perhatian total karena ia berasal dari Sumber Segala Keberadaan.

VIII. Dampak dan Konsekuensi Historis Ayat 30

Kisah Sulaiman dan Balqis memiliki dampak yang besar, dan Ayat 30 adalah pemicu utamanya. Ratu Balqis, setelah menerima surat ini dan mencoba strategi politik lain (mengirim hadiah besar, yang ditolak Sulaiman), akhirnya memutuskan untuk datang sendiri ke Yerusalem. Keputusannya ini didasarkan pada kesadaran bahwa ia menghadapi bukan hanya raja biasa, tetapi seorang Nabi yang didukung oleh kekuatan yang tak terlukiskan, sebagaimana diindikasikan oleh pembukaan suratnya.

Peran Surat dalam Perubahan Keyakinan

Surat yang hanya terdiri dari dua ayat (Ayat 30 dan 31, ditambah dengan identifikasi pengirim) berhasil mematahkan mentalitas penyembah matahari Ratu Balqis. Balqis adalah seorang yang sangat logis; ia tidak tunduk pada kekuatan militer yang ditunjukkan Sulaiman (seperti memindahkan singgasananya), melainkan pada kekuatan rohani yang tercermin dalam cara Sulaiman berkomunikasi dan bertindak.

Saat Balqis tiba di istana Sulaiman, ia melihat singgasananya telah hadir di sana. Ini adalah mukjizat yang membuktikan kebenaran pengakuan Sulaiman di awal surat: bahwa ia bertindak dengan Nama Allah. Akhirnya, Balqis menyatakan keimanannya:

"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (An-Naml: 44)

Ayat 30 adalah benih yang ditanam. Benih Tauhid yang dibuka dengan Rahmat Ilahi, dan yang menghasilkan buah keimanan dan penyerahan diri total. Tanpa landasan *Bismillah* yang agung, Balqis mungkin hanya merasa terancam secara fisik, tetapi dengan adanya Bismillah, ia merasakan tantangan spiritual yang mendalam.

IX. Hikmah Kontemporer dari An-Naml Ayat 30

Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari Ayat 30 bersifat abadi dan relevan untuk kehidupan modern, terutama dalam hal kepemimpinan, komunikasi, dan etika berdakwah.

1. Kepemimpinan Berbasis Tauhid

Sulaiman menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati, meskipun memiliki kekayaan dan kekuatan, harus selalu kembali kepada sumbernya—Allah. Seorang pemimpin Muslim tidak boleh memimpin berdasarkan ego atau kekuatan pribadi semata, melainkan selalu mengaitkan setiap tindakan dan keputusan besar dengan Nama dan Rahmat Allah. Ayat 30 mengajarkan kerendahan hati di puncak kekuasaan.

2. Etika Komunikasi (*Adab al-Murasalat*)

Ayat 30 menetapkan standar tertinggi untuk komunikasi formal. Setiap pesan yang penting, baik itu surat bisnis, perjanjian, atau naskah akademik, idealnya harus dimulai dengan sandaran kepada Allah. Ini mengingatkan penulis bahwa tujuan tertinggi dari komunikasi adalah mencari ridha Allah, dan bahwa hasil akhirnya (sukses atau gagal) berada di tangan-Nya.

3. Kekuatan *Bismillah* sebagai Perisai

Dalam kehidupan sehari-hari, *Bismillah* adalah perisai. Dalam konteks surat Sulaiman, ia adalah perisai yang melindungi niat Sulaiman dari kesombongan, dan pada saat yang sama, berfungsi sebagai perisai spiritual yang menembus hati Balqis yang kafir, membuatnya takut kepada Allah, bukan kepada Sulaiman.

Ketika kita menghadapi tantangan atau memulai proyek besar, memulai dengan *Bismillah* adalah tindakan peniruan (ittiba') terhadap sunnah para Nabi, termasuk Sulaiman, yang mengajarkan bahwa segala kemudahan datang dari Rahmat-Nya.

X. Elaborasi Kontekstual Lanjutan

Mari kita telusuri lebih jauh mengenai struktur retorika Al-Qur'an terkait ayat ini. Mengapa Allah memilih untuk mengulang kalimat *Innahu*? Pengulangan semacam ini, yang jarang terjadi dalam Al-Qur'an pada ayat-ayat yang berdekatan, memiliki fungsi yang sangat spesifik dalam konteks ini. Pengulangan ini membagi surat itu menjadi dua pernyataan terpisah yang sama pentingnya:

Pernyataan I: Pengirim (Sulaiman dan otoritasnya).

Pernyataan II: Isi dan Spirit (Bismillah dan Rahmat Ilahi).

Jika Allah hanya mengatakan "Innahu min Sulaimana Bismillahir Rahmanir Rahim," maka penekanan mungkin akan jatuh lebih berat pada Sulaiman. Namun, dengan pengulangan, *Bismillah* diberikan status kalimat baru, sebuah penegasan independen yang memastikan bahwa Ratu Balqis dan kita, pembaca Al-Qur'an, memahami bahwa isi surat—yaitu pengakuan keesaan Allah dan rahmat-Nya—adalah hal yang paling penting, bahkan melebihi nama pengirimnya sendiri.

Perbandingan dengan Pembukaan Surat Lain

Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa dan raja pada masa itu sering memulai surat dengan menyebut nama dewa-dewa mereka, atau sekadar dengan nama mereka sendiri dan gelar mereka. Surat Sulaiman adalah revolusioner karena ia tidak hanya memulai dengan Nama Tuhan, tetapi juga menggunakan atribut Rahmat, yang secara diam-diam menantang dewa-dewa kekuasaan atau peperangan yang biasa disembah oleh kerajaan-kerajaan tetangga.

Penggunaan sifat *Ar-Rahman* dalam surat kepada kaum yang menyembah matahari (sebuah benda yang memberikan kehangatan dan kehidupan, yaitu rahmat universal) adalah strategi dakwah yang cerdas. Seolah-olah Sulaiman berkata: "Engkau menyembah matahari karena melihat rahmatnya, tetapi tahukah engkau Sumber sejati dari semua rahmat itu? Dialah Allah, Ar-Rahman." Ini adalah dakwah melalui logika dan fitrah.

XI. Mendalami Tafsir Klasik: Pandangan Para Mufassir

Untuk melengkapi kedalaman analisis Ayat 30, penting untuk menyajikan pandangan beberapa mufassir terkemuka:

1. Imam Ath-Thabari (W. 310 H)

Ath-Thabari, dalam *Jami' al-Bayan*, menekankan bahwa ayat ini adalah dalil wajibnya memulai setiap surat dengan *Bismillah*. Ia menukil riwayat yang menyebutkan bahwa tradisi menulis *Bismillah* di awal surat-menyurat kenegaraan telah ada sejak masa kenabian Sulaiman, jauh sebelum Rasulullah Muhammad SAW. Thabari juga mencatat interpretasi bahwa *Innahu* (yang kedua) merujuk pada "isi" atau "kandungan" surat tersebut, yang seluruhnya didominasi oleh semangat *Bismillah*.

2. Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)

Al-Qurtubi fokus pada dimensi hukum (fiqih). Ia menggunakan kisah ini untuk memperkuat pandangan bahwa kalimat *Bismillahir Rahmanir Rahim* adalah ayat Al-Qur'an yang sangat mulia, dan bahkan ketika digunakan dalam urusan duniawi (seperti surat), ia memiliki kekuatan transformatif. Al-Qurtubi juga membahas pandangan ulama mengenai apakah surat Balqis dihancurkan atau disimpan, dan kesimpulannya menunjukkan betapa masyarakat Islam menghargai setiap teks yang mengandung *Bismillah*.

3. Sayyid Qutb (Kontemporer)

Dalam *Fi Zhilal al-Qur'an*, Sayyid Qutb melihat Ayat 30 sebagai manifestasi *Tawhid al-Hakimiyyah* (Keesaan dalam Kedaulatan). Ia berpendapat bahwa Sulaiman tidak hanya menyeru Balqis untuk menyembah Allah, tetapi juga menyeru mereka untuk menyerahkan kedaulatan mereka (politik, sosial, dan agama) kepada sistem Allah. Surat tersebut adalah manifestasi dari kedaulatan Islam, yang diwakili oleh Sulaiman, dibuka dengan kedaulatan Tuhan, yang diwakili oleh *Bismillah*. Ini adalah panggilan untuk revolusi total, yang dimulai dengan pengakuan terhadap Rahmat Yang Mutlak.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa Ayat 30 Surah An-Naml bukan sekadar penanda alur cerita, melainkan sebuah teks spiritual-diplomatik yang membawa beban teologis paling berat dalam sejarah komunikasi kenabian. Ia adalah puncak retorika yang menggabungkan kekuasaan manusia (Sulaiman) dengan kuasa Ilahi (*Bismillah*) untuk tujuan tunggal: penyerahan diri total kepada Sang Pencipta.

Pesan akhir dari Ayat 30 adalah bahwa fondasi segala tindakan dan komunikasi yang benar adalah penempatan Dzat Allah SWT—melalui Nama-Nya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang—di posisi awal dan utama, sebagai sumber kekuatan, legitimasi, dan tujuan akhir.

🏠 Kembali ke Homepage