An Nahl Ayat 90: Fondasi Keadilan, Kebaikan, dan Etika Hidup Islam

Di antara ribuan ayat Al-Qur'an yang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, terdapat satu ayat yang seringkali disebut sebagai ayat yang paling komprehensif dalam menjelaskan prinsip etika, moralitas, dan tata kelola sosial. Ayat tersebut adalah Surah An-Nahl (Lebah) ayat 90. Ayat ini bukan sekadar perintah atau larangan biasa; ia adalah manifesto keutamaan yang membentuk fondasi ideal bagi individu dan masyarakat yang beriman.

Surah An-Nahl, dinamakan berdasarkan makhluk yang memiliki peran esensial dalam ekosistem dan menghasilkan madu yang bermanfaat, menyiratkan bahwa ajaran di dalamnya juga bersifat esensial, murni, dan penuh manfaat. Ayat 90 berfungsi sebagai titik balik moral, yang merangkum segala perintah kebaikan (mandat positif) dan segala larangan keburukan (mandat negatif) dalam satu kesatuan yang padu.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90)

Para ulama, sejak generasi awal hingga kontemporer, telah mengakui keagungan ayat ini. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sering membaca ayat ini di akhir khutbahnya, menegaskan bahwa tidak ada khutbah yang lebih lengkap yang mampu menjelaskan seluruh prinsip etika Islam dibandingkan An-Nahl 90. Ayat ini membagi tanggung jawab moral manusia menjadi enam pilar utama: tiga perintah agung dan tiga larangan mutlak.

Tiga Pilar Kebaikan Al-Adl (Keadilan) Al-Ihsan (Kebajikan) Itaa'i Dhil Qurbaa (Kekerabatan)

I. Mandat Positif: Tiga Perintah Agung

Tiga perintah pertama dalam ayat ini adalah fondasi bagi interaksi positif dan konstruktif dalam masyarakat. Mereka melambangkan idealisme moral yang harus dikejar oleh setiap individu.

1. Al-'Adl (Keadilan)

Perintah pertama dan utama yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ini adalah Al-'Adl, yang berarti keadilan atau keseimbangan. Secara bahasa, 'Adl berasal dari kata yang berarti lurus, seimbang, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar. Keadilan adalah pilar utama dalam membangun peradaban, tanpa keadilan, kekacauan dan ketidakstabilan sosial pasti terjadi.

A. Keadilan Universal dan Komprehensif

Keadilan yang diperintahkan di sini adalah keadilan yang bersifat universal, mencakup setiap aspek kehidupan. Ini bukan hanya keadilan di pengadilan atau di hadapan hukum, tetapi juga keadilan dalam bertutur kata, bersikap, berinteraksi ekonomi, dan bahkan dalam hubungan pribadi. Keadilan harus diterapkan bahkan kepada mereka yang kita benci. Keadilan menuntut seseorang memberikan hak kepada orang lain tanpa mengurangi sedikit pun, dan menunaikan kewajiban tanpa mencari pengecualian.

Dalam konteks muamalah (transaksi), keadilan menuntut adanya transparansi, kejujuran dalam timbangan, dan pemenuhan janji. Keadilan dalam politik menuntut bahwa kekuasaan tidak digunakan untuk menindas minoritas atau memperkaya segelintir elite. Ia menuntut pemerataan kesempatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi semua warga negara, terlepas dari latar belakang sosial, agama, atau etnis mereka.

Keadilan juga mencakup keadilan terhadap diri sendiri. Ini berarti menjaga keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material, antara bekerja dan beristirahat, antara hak diri dan hak orang lain. Seseorang yang zalim terhadap dirinya sendiri (tidak adil) adalah orang yang menempatkan jiwanya pada bahaya dan tidak memenuhi potensi yang diberikan Allah kepadanya.

B. Keadilan sebagai Prasyarat Ketauhidan

Pada tingkat teologis, keadilan adalah salah satu sifat Allah (Al-'Adl). Ketika Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil, itu adalah upaya untuk mencerminkan sifat ilahi dalam perilaku manusiawi. Keadilan sejati berasal dari kesadaran bahwa semua manusia adalah setara di hadapan Allah dan bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di Hari Akhir. Kesadaran ini menciptakan benteng moral yang kuat terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa kesadaran ini, keadilan hanyalah formalitas hukum yang mudah dimanipulasi.

Jika keadilan adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, maka dalam skala ekonomi, keadilan adalah memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, tetapi juga dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, sesuai dengan prinsip distribusi yang adil. Ini berkaitan erat dengan konsep zakat dan larangan riba, yang keduanya adalah mekanisme untuk menjaga keseimbangan ekonomi agar tidak terjadi ketimpangan ekstrem.

2. Al-Ihsan (Kebajikan atau Keunggulan)

Setelah keadilan, Allah memerintahkan Al-Ihsan. Jika keadilan (Adl) adalah kewajiban yang harus dipenuhi, maka Ihsan adalah tingkat yang lebih tinggi, yaitu keunggulan, kebajikan, dan melakukan sesuatu melebihi yang diwajibkan. Ihsan adalah ruh dari amal saleh. Ia menuntut kualitas dan ketulusan hati dalam setiap tindakan.

A. Ihsan dalam Ibadah

Konsep Ihsan paling terkenal dijelaskan dalam hadits Jibril: "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Ini adalah tingkat spiritualitas tertinggi, di mana setiap ibadah (shalat, puasa, haji) dilakukan dengan penuh kesadaran akan pengawasan Ilahi. Ini memastikan bahwa ibadah tidak hanya sekadar gerakan fisik, tetapi koneksi batin yang tulus.

B. Ihsan dalam Muamalah dan Sosial

Dalam hubungan antarmanusia, Ihsan berarti memberikan perlakuan terbaik kepada orang lain, bahkan jika kita hanya dituntut untuk adil. Misalnya, jika seseorang meminjam uang, keadilan menuntut pengembalian tepat waktu. Ihsan menuntut pengembalian dengan tambahan kebaikan atau ucapan terima kasih yang tulus. Jika seseorang membalas kebaikan dengan yang setimpal, itu Adl. Jika ia membalasnya dengan yang lebih baik, itu Ihsan.

Ihsan mendorong kita untuk berinisiatif membantu, meringankan beban, dan menutupi kekurangan orang lain tanpa diminta. Dalam konteks pekerjaan, Ihsan berarti melaksanakan tugas dengan profesionalisme tertinggi dan kualitas terbaik, bukan hanya sekadar untuk memenuhi standar minimum. Seorang pedagang yang ber-Ihsan tidak hanya menjual barang yang sesuai deskripsi (Adl), tetapi juga memberikan pelayanan terbaik, bahkan menawarkan solusi yang paling menguntungkan bagi pelanggan (Ihsan).

Perbedaan antara Adl dan Ihsan sangat penting: Adl adalah dasar minimal yang mencegah keburukan dan mempertahankan ketertiban. Ihsan adalah puncak keutamaan yang menciptakan harmoni, cinta kasih, dan pertumbuhan spiritual serta material. Masyarakat yang hanya menerapkan Adl akan stabil, tetapi masyarakat yang menerapkan Adl dan Ihsan akan berkembang dan diberkati.

3. Ita'i Dhil Qurbaa (Memberi kepada Kerabat)

Perintah ketiga adalah memberikan perhatian, bantuan, dan dukungan kepada kerabat dekat. Ini menunjukkan bahwa meskipun Islam adalah agama universal, ia menekankan pentingnya unit sosial terkecil—keluarga dan kekerabatan—sebagai fondasi masyarakat yang sehat.

A. Pentingnya Silaturahim

Kewajiban ini, yang sering disebut sebagai Silaturahim (menghubungkan tali kekerabatan), memiliki bobot spiritual yang sangat besar. Allah menjadikan pahala bagi mereka yang menjaga silaturahim sebagai sesuatu yang disegerakan di dunia, selain balasan di akhirat. Pemutusan tali kekerabatan (Qathi’ur Rahm) dianggap sebagai dosa besar yang melemahkan struktur sosial.

B. Kewajiban Materi dan Emosional

Memberi kepada kerabat tidak hanya berarti bantuan finansial. Meskipun bantuan materi kepada kerabat yang membutuhkan (seperti yatim, janda, atau fakir dari keluarga sendiri) adalah bentuk sedekah yang paling utama, Ita'i Dhil Qurbaa juga mencakup dukungan emosional, kunjungan, nasihat yang baik, dan perhatian tulus. Ini adalah investasi sosial yang menciptakan rasa saling memiliki dan mengurangi beban negara dalam mengatasi kemiskinan dan isolasi.

Keluarga adalah laboratorium pertama etika dan moralitas. Jika seseorang gagal berlaku adil dan berbuat baik di lingkungan terdekatnya, kecil kemungkinan ia akan berhasil melakukannya di masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, Surah An-Nahl 90 meletakkan perintah ini sebagai penutup dari mandat positif, memastikan bahwa kebajikan dimulai dari rumah.

Sangat penting untuk memahami bahwa tiga perintah ini (Adl, Ihsan, dan Silaturahim) harus berjalan beriringan. Keadilan tanpa kebajikan bisa terasa kaku; kebajikan tanpa keadilan bisa rentan terhadap penyalahgunaan; dan keduanya menjadi tidak berarti jika tidak dimulai dari penguatan ikatan keluarga.

Tiga Larangan Mutlak Fahshaa' (Keji) Munkar (Kemungkaran) Baghy (Permusuhan)

II. Mandat Negatif: Tiga Larangan Mutlak

Setelah memerintahkan kebaikan, Allah melanjutkan ayat ini dengan larangan-larangan yang merupakan akar dari segala kekacauan dan dekadensi moral. Larangan-larangan ini secara efektif menghapus segala hal yang merusak fondasi Adl, Ihsan, dan Silaturahim.

1. Al-Fahshaa' (Perbuatan Keji dan Immoralitas)

Larangan pertama, Al-Fahshaa', merujuk pada segala bentuk perbuatan keji, buruk, dan amoral yang melanggar batas kesopanan dan fitrah manusia. Ini mencakup segala tindakan yang terang-terangan menjijikkan dan merusak kehormatan, baik individu maupun publik.

A. Fahshaa' dalam Konteks Seksual dan Pribadi

Secara tradisional, Fahshaa' sering dihubungkan dengan perzinahan dan segala hal yang mengarah kepadanya (pornografi, pergaulan bebas, dll.). Perbuatan ini merusak inti dari unit keluarga, menyebabkan kehancuran moral, dan menimbulkan penyakit sosial. Islam melarang Fahshaa' karena ia merendahkan martabat manusia, mengubah manusia dari makhluk bermoral menjadi budak hawa nafsu rendahan.

B. Fahshaa' dalam Konteks Publik

Namun, Fahshaa' tidak terbatas pada dosa seksual. Ia juga mencakup segala bentuk perkataan dan perbuatan yang vulgar, cabul, atau menyebarkan kebencian secara terbuka. Ghibah (menggunjing), fitnah, atau ucapan yang menghina secara publik, juga dapat termasuk dalam kategori Fahshaa' karena ia merupakan ekspresi kejiwaan yang buruk dan merusak tatanan komunikasi yang beradab.

Larangan ini menegaskan bahwa etika tidak hanya bersifat batiniah, tetapi harus diwujudkan dalam perilaku nyata dan lisan. Masyarakat yang membiarkan Fahshaa' merajalela adalah masyarakat yang sedang menuju kehancuran, karena ia menormalkan hal-hal yang bertentangan dengan fitrah murni.

2. Al-Munkar (Kemungkaran atau Perbuatan yang Diingkari)

Larangan kedua, Al-Munkar, adalah istilah yang lebih luas. Ia mencakup segala sesuatu yang dianggap buruk, jahat, dan tidak dapat diterima oleh akal sehat (syariat) dan hati nurani yang bersih. Munkar adalah lawan dari Ma'ruf (kebaikan yang dikenal umum).

A. Sifat Universal Munkar

Munkar meliputi setiap tindakan dosa, kesalahan, atau pelanggaran yang melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, termasuk meninggalkan kewajiban agama (seperti shalat atau puasa) dan melakukan segala bentuk kejahatan. Jika Fahshaa' adalah kejahatan yang terkait dengan hawa nafsu dan kehormatan, Munkar adalah kejahatan yang lebih umum, mencakup pencurian, penipuan, judi, minum khamar, dan segala bentuk perilaku yang merusak tatanan sosial dan spiritual.

B. Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Larangan terhadap Munkar secara implisit menuntut adanya praktik Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam masyarakat. Ini adalah tugas kolektif umat Islam untuk tidak hanya menjauhi kejahatan secara pribadi, tetapi juga berusaha mencegahnya terjadi di sekitar mereka. Kehadiran Munkar dalam suatu komunitas menunjukkan kegagalan kolektif dalam menjaga moralitas publik.

Munkar merusak prinsip Adl (Keadilan), karena kejahatan pada dasarnya adalah manifestasi dari ketidakadilan terhadap orang lain atau terhadap hukum Allah. Dengan melarang Munkar, Allah memerintahkan umat manusia untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bermoral, di mana kejahatan tidak memiliki tempat untuk berkembang.

3. Al-Baghy (Permusuhan atau Transgresi/Penindasan)

Larangan terakhir dan seringkali dianggap sebagai yang paling merusak stabilitas sosial adalah Al-Baghy. Baghy berarti melampaui batas, menindas, atau melakukan agresi yang tidak sah terhadap orang lain.

A. Baghy dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Baghy sangat erat kaitannya dengan tirani dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia adalah kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah. Ini mencakup segala bentuk penindasan, seperti merampas hak milik, mencemarkan nama baik tanpa alasan, atau memulai peperangan yang agresif dan tidak dibenarkan.

Ketika seseorang melakukan Baghy, ia tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak keseimbangan fundamental yang diperintahkan oleh Adl. Baghy adalah antitesis total dari Keadilan. Sementara keadilan menuntut hak diberikan, Baghy menuntut hak direnggut secara paksa.

B. Baghy dan Keangkuhan

Pada tingkat individu, Baghy dapat berupa keangkuhan dan sikap merasa benar sendiri yang menyebabkan seseorang menolak kebenaran dan menindas orang lain yang berbeda pendapat. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip Ihsan, karena alih-alih berbuat baik, pelakunya justru menyakiti dan merugikan orang lain demi kepentingan egois.

Larangan Baghy berfungsi sebagai peringatan keras bagi para penguasa, orang kaya, atau siapa pun yang memiliki posisi superioritas: bahwa kekuatan harus digunakan untuk menegakkan Adl dan Ihsan, bukan untuk menindas. Jika tiga perintah (Adl, Ihsan, Qurbaa) membentuk masyarakat yang utuh dan penuh kasih, maka tiga larangan (Fahshaa', Munkar, Baghy) adalah racun yang menghancurkan masyarakat tersebut dari dalam maupun luar.

III. An Nahl 90 dalam Konteks Sejarah dan Tafsir Klasik

Ayat An Nahl 90 memiliki peran sentral dalam tradisi keilmuan Islam, dan penafsirannya telah memberikan wawasan mendalam mengenai aplikasinya di berbagai zaman. Para ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini adalah kompendium (ringkasan lengkap) dari seluruh perintah etis dalam syariat.

A. Pandangan Ibn Mas'ud dan Keutamaan Ayat

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas'ud RA pernah berkata: "Ayat yang paling mengumpulkan kebaikan dan keburukan dalam Al-Qur'an adalah Surah An-Nahl ayat 90." Pernyataan ini menunjukkan status istimewa ayat tersebut di mata generasi Sahabat, yang menganggapnya sebagai inti ajaran moral. Dalam tafsir, para ulama sering menggunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai tindakan atau sistem, apakah ia sesuai dengan prinsip Adl dan Ihsan, atau justru termasuk Fahshaa', Munkar, dan Baghy.

B. Tafsir Al-Thabari: Keseimbangan Antara Hati dan Tindakan

Imam At-Thabari, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa perintah Keadilan harus didahulukan karena ia adalah pondasi dasar, diikuti oleh Kebajikan (Ihsan) sebagai penyempurnaan moral. Thabari menekankan bahwa Keadilan adalah apa yang diperintahkan dalam segala hal, sedangkan Ihsan adalah kebaikan yang bersifat sukarela tetapi sangat dianjurkan. Ia melihat larangan Fahshaa' sebagai dosa-dosa yang terkait dengan hubungan intim dan malu, sementara Munkar lebih umum, mencakup semua dosa yang dilarang oleh akal sehat dan syariat. Baghy, menurutnya, adalah penindasan yang timbul dari kesombongan.

C. Tafsir Al-Qurtubi: Definisi Praktis Keadilan

Imam Al-Qurtubi fokus pada definisi praktis Keadilan. Keadilan, dalam pandangannya, adalah keadilan dalam berbicara, bersaksi, dan menghukumi, serta menjaga keseimbangan antara kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama manusia. Qurtubi juga menggarisbawahi bahwa Ihsan adalah puncak dari moralitas, di mana seseorang melakukan kebaikan bukan karena takut hukuman atau mengharapkan imbalan materi, tetapi murni karena ketulusan dan penghambaan kepada Allah.

Qurtubi juga memperluas makna Ita’i Dhil Qurbaa, tidak hanya terbatas pada bantuan finansial, tetapi juga meliputi persahabatan, kunjungan, dukungan moral, dan menjaga kehormatan kerabat. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab kekerabatan adalah tanggung jawab 360 derajat yang menyeluruh, bukan sekadar cek bulanan.

D. Tafsir Ibn Katsir: Peringatan dan Janji

Ibn Katsir menegaskan bahwa ayat ini memuat segala kebaikan yang diperintahkan dan segala keburukan yang dilarang. Ia menekankan bahwa akhir ayat, "Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (tadzakkarun)," berfungsi sebagai penekanan bahwa prinsip-prinsip ini bersifat logis dan mudah diingat. Prinsip-prinsip ini harus menjadi cerminan bagi orang-orang yang berakal, yang membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang membangun dan yang merusak.

Katsir juga menjelaskan bahwa penempatan ayat ini dalam Surah An-Nahl—surah yang banyak berbicara tentang kenikmatan alam semesta dan kekuasaan Allah—adalah untuk menunjukkan bahwa seiring dengan kenikmatan materi (madu, buah-buahan, hewan ternak), manusia juga dianugerahi kenikmatan terbesar, yaitu petunjuk moral. Keduanya (nikmat fisik dan nikmat etis) adalah prasyarat bagi kehidupan yang bahagia dan bermakna.

IV. Penerapan An Nahl 90 dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun diturunkan lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansi An Nahl 90 tidak pernah pudar. Ayat ini memberikan kerangka kerja yang solid untuk mengatasi tantangan modern, mulai dari tata kelola negara hingga etika digital.

A. Keadilan (Al-'Adl) dalam Sistem Modern

Di era modern, Keadilan menuntut negara untuk menjamin hak-hak sipil yang setara bagi semua warga negara. Dalam ekonomi global, Keadilan menuntut praktik perdagangan yang adil, penghapusan eksploitasi tenaga kerja, dan penanganan isu-isu lingkungan. Keadilan kontemporer juga berarti memastikan akses yang sama terhadap pendidikan dan kesehatan. Sistem hukum yang tidak diskriminatif, bebas dari suap, dan responsif terhadap keluhan rakyat adalah wujud nyata dari Keadilan yang diperintahkan oleh ayat ini.

Isu keadilan distributif, yaitu bagaimana kekayaan dan sumber daya negara dibagi, adalah masalah krusial. Jika sebagian kecil masyarakat menguasai mayoritas sumber daya, ini adalah pelanggaran terhadap prinsip Adl. Oleh karena itu, kebijakan fiskal, pajak, dan investasi publik harus dirancang untuk mengurangi kesenjangan, bukan memperlebar jurang pemisah.

B. Kebajikan (Al-Ihsan) dalam Ranah Profesional dan Digital

Ihsan di tempat kerja modern menuntut etos kerja yang melampaui standar minimal. Ini berarti seorang profesional harus memberikan layanan terbaik, menjaga kualitas produk, dan bersikap jujur secara transparan. Dalam interaksi digital, Ihsan menuntut penggunaan media sosial secara bijaksana, menghindari penyebaran informasi palsu (hoaks), dan menjaga kehormatan diri serta orang lain meskipun berada di balik layar anonimitas.

Ihsan dalam konteks lingkungan sangat vital. Jika Keadilan menuntut kita untuk tidak merusak lingkungan, Ihsan menuntut kita untuk berinisiatif melestarikan, menanam, dan mengurangi jejak karbon kita, bahkan jika tidak ada hukum yang mewajibkannya. Ihsan adalah sikap proaktif dalam menjaga kebaikan kolektif.

C. Larangan Immoralitas (Al-Fahshaa') di Era Informasi

Di masa kini, Fahshaa' tidak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga di ruang virtual. Penyebaran konten vulgar, ujaran kebencian, dan perusakan moral melalui internet adalah bentuk Fahshaa' yang harus ditolak. Larangan ini menuntut umat Islam untuk menjadi filter moral dalam konsumsi dan produksi konten, menjaga diri dan keluarga dari paparan yang merusak akhlak. Perlawanan terhadap Fahshaa' hari ini adalah perlawanan terhadap arus degradasi moral yang difasilitasi oleh teknologi.

Fahshaa' juga dapat merujuk pada segala bentuk korupsi yang terang-terangan dan memalukan. Korupsi dana publik, penyuapan yang mencolok, dan perilaku tidak etis yang dilakukan secara terbuka di hadapan publik adalah manifestasi modern dari Fahshaa' yang merusak kepercayaan sosial.

D. Menghindari Penindasan (Al-Baghy) dalam Politik Global

Dalam skala global, Baghy dapat diartikan sebagai imperialisme ekonomi, intervensi militer yang tidak sah, atau eksploitasi negara-negara miskin oleh negara-negara maju. An Nahl 90 memberikan landasan etis bagi kebijakan luar negeri yang damai dan adil. Suatu negara yang mengikuti prinsip ayat ini akan menolak segala bentuk agresi dan akan selalu berusaha menyelesaikan konflik melalui dialog dan keadilan, bukan permusuhan. Bagi individu, Baghy dapat berarti membuli atau menindas rekan kerja atau bawahan, menggunakan kekuasaan kecil yang dimiliki untuk menyakiti orang lain.

V. Tafakur: An Nahl 90 sebagai Kurikulum Akhlak Komprehensif

Surah An Nahl ayat 90 tidak hanya sekadar daftar perintah dan larangan, melainkan merupakan kurikulum akhlak yang sempurna. Ayat ini mengajarkan kita bahwa moralitas yang sejati harus melibatkan dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan dimensi horizontal (hubungan dengan manusia).

A. Keterkaitan dan Keseimbangan Enam Pilar

Keindahan ayat ini terletak pada keseimbangan antara ketiga perintah positif dan ketiga larangan negatif. Ketiganya saling mendukung dan saling menguatkan:

  1. Keadilan (Adl) adalah penegak hukum yang mencegah Baghy (Penindasan).
  2. Kebajikan (Ihsan) adalah penyempurna moral yang mencegah Fahshaa' (Immoralitas).
  3. Kekerabatan (Qurbaa) adalah penguat struktur sosial yang mencegah Munkar (Kejahatan Umum).

Jika seseorang gagal menjalankan Adl, ia akan jatuh ke dalam Baghy. Jika ia mengabaikan Ihsan, ia rentan terhadap Fahshaa'. Jika ia mengabaikan kerabatnya, ia membuka celah bagi Munkar dalam unit terkecil masyarakat. Oleh karena itu, ketaatan pada ayat ini menghasilkan stabilitas dan kebahagiaan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat.

B. Ayat Pembuka dan Penutup Khutbah

Tradisi para Salaf yang membacakan ayat ini di akhir khutbah Jumat menunjukkan bahwa mereka ingin mengingatkan jamaah bahwa seluruh ajaran yang telah disampaikan (mengenai tauhid, ibadah, dan muamalah) haruslah bermuara pada implementasi enam prinsip ini. Khutbah Jumat, sebagai forum tertinggi pendidikan moral dan spiritual, harus diakhiri dengan peringatan yang paling kuat dan ringkas. An Nahl 90 memenuhi fungsi tersebut dengan sempurna.

C. Prinsip Peringatan Abadi

Ayat ditutup dengan kalimat yang mendalam: "Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." Kata tadzakkarun (mengambil pelajaran) menyiratkan bahwa prinsip-prinsip ini bukanlah hal baru yang asing. Sebaliknya, mereka adalah kebenaran universal yang terukir dalam fitrah (kesadaran primordial) manusia. Allah hanya mengingatkan kita pada apa yang secara intuitif kita ketahui benar. Tugas kita sebagai manusia berakal adalah membuka hati dan pikiran untuk menerima pengajaran ini dan menerapkannya secara konsisten.

Prinsip Keadilan adalah prinsip yang diakui oleh setiap peradaban yang ingin bertahan. Prinsip Kebajikan adalah inti dari setiap agama. Prinsip larangan terhadap kejahatan adalah hukum alamiah. Ayat An Nahl 90 adalah rangkuman ilahi yang mengikat prinsip-prinsip universal ini ke dalam kerangka ketaatan kepada Sang Pencipta.

Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai parameter untuk menilai setiap tindakan, setiap kebijakan, dan setiap etika profesional. Jika suatu tindakan mempromosikan keadilan, mengandung unsur kebajikan, dan mempererat tali silaturahim, maka ia berada di jalan yang benar. Sebaliknya, jika ia berbau keji, mendorong kemungkaran, atau berujung pada penindasan, maka ia adalah kebatilan yang harus ditinggalkan segera.

Pemahaman mendalam terhadap An Nahl 90 adalah kunci untuk memahami etika hidup Islam secara keseluruhan. Ayat ini menuntun umat dari keadilan minimal menuju kebajikan maksimal, menjauhkan dari kebobrokan pribadi hingga penindasan publik, menciptakan individu yang saleh dan masyarakat yang seimbang dan makmur.

Kesinambungan makna dalam ayat ini menjadikannya ayat yang tidak terpisahkan dari inti dakwah dan pendidikan Islam. Ia mendorong terciptanya manusia seutuhnya, yang mampu menyeimbangkan tuntutan duniawi dengan spiritual, dan kewajiban hukum dengan keutamaan moral. Dalam setiap aspek, baik sebagai warga negara, pemimpin, pekerja, tetangga, atau anggota keluarga, implementasi enam prinsip ini memastikan bahwa kehidupan berjalan di atas rel kebenaran dan keseimbangan Ilahi.

Keagungan ayat ini juga terletak pada kemampuannya menyentuh setiap elemen kehidupan sosial. Misalnya, dalam penegakan hukum, keadilan (Adl) menuntut hakim menjatuhkan vonis yang setimpal tanpa memandang bulu. Namun, Ihsan mungkin menuntut hakim atau pihak berwenang memberikan rehabilitasi, pendidikan, atau pengampunan, jika memungkinkan dan bermanfaat bagi perbaikan individu. Kedua prinsip ini bekerja bersama, memastikan bahwa hukum tidak hanya menghukum tetapi juga mendidik dan mereformasi.

Jika kita tinjau kembali larangan Al-Fahshaa’, ia meluas ke praktik bisnis. Iklan yang menyesatkan, promosi yang dilebih-lebihkan hingga menjurus kebohongan, atau penjualan produk yang merusak kesehatan secara sengaja, semua ini adalah bentuk Fahshaa' dalam ranah perdagangan modern, karena mereka adalah tindakan keji yang merusak kejujuran dan kepercayaan publik. Ihsan dalam perdagangan menuntut sebaliknya: kejujuran yang maksimal dan pemberian informasi yang lengkap, bahkan jika itu berarti kerugian kecil pada margin keuntungan.

Perintah Ita'i Dhil Qurbaa, seringkali diabaikan dalam budaya individualistik modern. Ayat ini secara tegas mengingatkan bahwa keberhasilan pribadi tidak boleh mengorbankan hubungan darah. Keberadaan sistem jaring pengaman sosial yang kuat dimulai dari keluarga yang saling menopang. Apabila ikatan keluarga lemah, beban masyarakat dan negara menjadi terlalu berat. Oleh karena itu, menjaga silaturahim bukan hanya ritual, tetapi sebuah keharusan ekonomi dan sosial yang fundamental.

Dalam memahami Munkar, kita harus ingat bahwa ia adalah segala sesuatu yang dihindari oleh akal sehat yang murni. Isu-isu seperti korupsi sistemik, perjudian masif, penyalahgunaan narkotika, dan praktik penyuapan yang terstruktur, semua ini adalah Munkar yang merusak bangsa secara kolektif. Larangan terhadap Munkar adalah seruan untuk reformasi sosial dan politik yang berkelanjutan, menuntut adanya kepemimpinan yang berani melawan kejahatan terorganisir.

Dan yang paling berbahaya, Al-Baghy, menindas. Penindasan bisa terjadi dalam bentuk fisik, psikologis, atau ekonomi. Penggunaan platform media untuk memanipulasi opini publik, penyebaran disinformasi yang merusak reputasi, atau bahkan kebijakan yang secara sistematis menyingkirkan kelompok rentan—semua ini adalah bentuk Baghy. An Nahl 90 adalah sebuah seruan untuk melawan tirani dalam segala bentuknya, kecil maupun besar, pribadi maupun publik.

Kesimpulannya, Surah An Nahl ayat 90 adalah cetak biru (blueprint) moralitas Islam. Ayat ini memandu manusia untuk menjadi khalifah yang bertanggung jawab di bumi, menjalankan peran mereka sebagai agen keadilan (Adl), penyebar kebaikan (Ihsan), dan pemelihara ikatan sosial (Qurbaa), sambil menjauhkan diri dari segala sumber kerusakan, baik itu dosa pribadi (Fahshaa'), kejahatan umum (Munkar), maupun penindasan (Baghy). Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa jalan menuju kebahagiaan sejati adalah jalan yang seimbang antara hak dan kewajiban, antara spiritualitas dan etika sosial.

Kajian mendalam terhadap setiap kata dalam ayat ini membuka gerbang pemahaman terhadap kedalaman etika Islam. Setiap kata memiliki bobot teologis dan sosiologis yang sangat besar. Misalnya, kata **"يَأْمُرُ" (ya'muru - menyuruh)** menunjukkan bahwa keadilan dan kebajikan bukan sekadar anjuran, melainkan perintah yang mengikat (wajib). Perintah ini langsung dari Allah, menempatkan moralitas pada tingkat kewajiban tertinggi, setara dengan ibadah ritual.

Sebaliknya, penggunaan kata **"يَنْهَىٰ" (yanhā - melarang)** menunjukkan pelarangan yang tegas terhadap Fahshaa', Munkar, dan Baghy. Perintah dan larangan ini adalah panduan yang tak lekang oleh waktu, menjadi pegangan bagi individu dalam menilai niat, dan bagi komunitas dalam membentuk undang-undang dan norma sosial mereka.

Ketika masyarakat berjuang mencari solusi untuk masalah global seperti konflik antarbangsa, ketidaksetaraan ekonomi, dan krisis moral, An Nahl 90 menawarkan jawaban yang ringkas namun mendalam: kembalilah kepada keadilan yang sejati (Adl), praktikkan kebajikan yang melampaui batas kewajiban (Ihsan), dan mulailah dengan menyejahterakan lingkaran terdekat (Qurbaa). Bersamaan dengan itu, singkirkan segala bentuk kemaksiatan yang terang-terangan (Fahshaa'), perbuatan jahat yang merusak publik (Munkar), dan segala bentuk tirani dan agresi (Baghy).

Oleh karena itu, setiap Muslim—dan sesungguhnya setiap manusia yang mencari kebenaran—dituntut untuk tidak hanya menghafal ayat ini tetapi juga menjadikannya peta jalan dalam setiap keputusan hidup. Kehidupan yang dibangun di atas fondasi An Nahl 90 adalah kehidupan yang seimbang, penuh berkah, dan membawa manfaat universal (rahmatan lil alamin).

Perluasan konsep Keadilan (Al-Adl) juga mencakup keadilan dalam berinteraksi dengan makhluk non-manusia. Keadilan menuntut kita untuk memperlakukan hewan dengan baik, tidak menyiksa mereka, dan memastikan lingkungan hidup tetap lestari. Keadilan ekologis ini menjadi semakin penting mengingat tantangan perubahan iklim global. Mengabaikan tanggung jawab terhadap bumi adalah bentuk ketidakadilan, karena kita merampas hak generasi mendatang untuk menikmati sumber daya alam yang sama.

Demikian pula, Ihsan terhadap alam berarti melakukan lebih dari sekadar tidak merusak; itu berarti memelihara dan memperindah lingkungan. Prinsip ini mengubah konservasi dari sekadar kewajiban hukum menjadi tindakan ibadah yang spiritual. Setiap tindakan menanam pohon, membersihkan sungai, atau mengurangi sampah, dapat dihitung sebagai Ihsan, karena ia melampaui tuntutan minimal dan bertujuan untuk keunggulan dan keindahan.

Ketika kita mengkaji Fahshaa' dalam konteks komunikasi massa, muncul isu privasi dan penyebaran aib. Fahshaa' tidak hanya tentang perbuatan keji, tetapi juga tentang pengumuman atau penyebaran aib dan rahasia pribadi orang lain. Larangan ini adalah fondasi etika komunikasi yang kuat, yang melarang gosip beracun, pencemaran nama baik, dan kampanye hitam. Kehormatan individu harus dijaga, bahkan jika individu tersebut melakukan kesalahan. Ini adalah bentuk pencegahan Fahshaa' di ranah publik.

Baghy, di sisi lain, seringkali menyamar sebagai penegakan hukum atau kebijakan yang 'efisien'. Namun, jika kebijakan tersebut menghasilkan penderitaan yang tidak perlu bagi kelompok rentan, atau jika kekuasaan digunakan untuk membungkam kritik yang sah, itu adalah Baghy. Ayat An Nahl 90 menegaskan bahwa tujuan tidak pernah menghalalkan cara yang menindas. Cara harus selalu adil, ihsan, dan bebas dari kejahatan. Kekuatan yang digunakan tanpa etika adalah Baghy.

Kesadaran akan keenam prinsip ini harus menjadi bagian integral dari pendidikan sejak usia dini. Anak-anak harus diajarkan bahwa Adl adalah memberikan hak teman sebayanya, Ihsan adalah membantu tanpa pamrih, dan menjauhi Fahshaa' adalah menjaga lisan dari ucapan kotor. Dengan menanamkan fondasi ini, masyarakat akan menghasilkan generasi yang siap memimpin dengan integritas moral yang tinggi, sesuai dengan tuntutan Al-Qur'an.

Ayat An Nahl 90 sesungguhnya adalah undangan untuk introspeksi mendalam. Apakah kita, sebagai individu, telah memenuhi tuntutan Keadilan dalam setiap transaksi? Apakah kita telah melampaui batas minimum kebaikan, mencapai level Ihsan? Sudahkah kita memastikan bahwa kerabat kita merasa aman dan diperhatikan? Dan yang paling penting, apakah kita telah menjauhi tiga penyakit moral yang mematikan: Fahshaa', Munkar, dan Baghy?

Ayat ini adalah mercusuar etika yang bersinar terang, memandu umat manusia melalui badai kekacauan moral dan sosial. Ia mengajarkan bahwa ketaatan sejati tidak hanya diukur dari ritual, melainkan dari kualitas interaksi kita dengan seluruh ciptaan. Kebaikan yang diperintahkan bersifat proaktif dan membangun, sementara keburukan yang dilarang bersifat merusak dan harus dihindari dengan segala cara. Ini adalah esensi dari kehidupan yang bermartabat dan berkah.

🏠 Kembali ke Homepage