Surat An Nahl, yang dinamai berdasarkan lebah—makhluk kecil yang memiliki organisasi dan manfaat yang luar biasa—adalah surat yang kaya akan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah). Di antara sekian banyak ayat yang berbicara tentang penciptaan alam semesta, hewan, dan tetumbuhan, ayat 78 berdiri sebagai mercusuar yang secara spesifik menyoroti misteri terdalam: penciptaan dan perkembangan kesadaran manusia.
Ayat ini bukanlah sekadar deskripsi biologis tentang kelahiran. Ia adalah fondasi epistemologis dan teologis yang menjelaskan bagaimana kita, makhluk yang tadinya nol pengetahuan, bisa berkembang menjadi entitas yang mampu memahami alam semesta, membedakan yang hak dan batil, serta merumuskan makna eksistensi. Titik tolak utama ayat ini adalah keadaan ketidaktahuan total (لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا) yang mendahului pemberian karunia sentral: pendengaran, penglihatan, dan hati.
Ayat ini mengajukan pertanyaan fundamental: Jika kita dilahirkan tanpa pengetahuan sedikit pun, dari mana datangnya semua pemahaman, ilmu, dan kesadaran yang kita miliki saat ini? Jawabannya jelas: Semua itu adalah anugerah langsung dari Sang Pencipta, yang diberikan secara berurutan dan terstruktur, dengan tujuan akhir yang mulia, yaitu syukur (تَشْكُرُونَ). Dalam konteks yang lebih luas, ayat 78 adalah kritik halus terhadap kesombongan intelektual, mengingatkan manusia bahwa bahkan alat-alat yang digunakan untuk mencapai ilmu pengetahuan pun adalah pinjaman Ilahi, bukan hasil usaha mandiri di awal kehidupan.
Analisis mendalam terhadap struktur linguistik dan implikasi filosofis ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman tentang tanggung jawab moral dan spiritual yang diemban oleh setiap individu setelah menerima karunia agung ini.
Kata kunci pertama dalam ayat ini adalah penegasan keadaan awal manusia. Allah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun." Ungkapan lā ta‘lamūna syai’an (tidak mengetahui sesuatu pun) menegaskan konsep tabula rasa (lembar kosong) secara absolut dari perspektif wahyu. Ini bukan sekadar minimnya pengetahuan, tetapi ketiadaan pengetahuan total. Bayi yang baru lahir, meskipun memiliki potensi dan insting dasar, tidak memiliki konsep, bahasa, hukum kausalitas, atau bahkan pengenalan diri yang utuh.
Kondisi ini memiliki hikmah teologis yang mendalam. Jika manusia dilahirkan sudah dalam keadaan berpengetahuan, maka peran pendidikan, wahyu, dan pencarian kebenaran akan menjadi sia-sia. Dengan memulai dari nol, Allah memastikan bahwa segala pengetahuan yang diperoleh manusia, baik melalui indra maupun akal, adalah hasil dari proses belajar yang diaktifkan oleh karunia Ilahi. Ini menekankan pentingnya peran orang tua, guru, dan terutama, petunjuk (hidayah) dari Allah sebagai sumber pengetahuan tertinggi.
Perut ibu (buṭūni ummahātikum) menjadi simbol perlindungan, kegelapan, dan keterbatasan. Transisi dari kegelapan rahim menuju cahaya dunia luar adalah transisi fisik yang paralel dengan transisi spiritual dari kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan. Proses ini, yang diatur sepenuhnya oleh Allah (أَخْرَجَكُم), menunjukkan bahwa kelahiran dan perkembangan kesadaran bukanlah sebuah kebetulan evolusioner tanpa pengarah, melainkan sebuah tindakan penciptaan yang terencana sempurna.
Gambar 1: Transisi dari kegelapan rahim (ketidaktahuan) menuju cahaya potensi pengetahuan.
Ayat ini menyebutkan karunia Ilahi dengan urutan yang sangat spesifik: as-Sam’a (pendengaran), al-Abṣāra (penglihatan), dan al-Af’idah (hati/akal). Urutan ini, yang konsisten dalam banyak ayat Al-Qur'an, bukanlah kebetulan. Ia mencerminkan prioritas dan mekanisme perolehan ilmu pada manusia, terutama pada fase perkembangan awal.
Pendengaran diletakkan di urutan pertama karena ia adalah indra yang paling awal berfungsi secara penuh. Di dalam rahim, janin telah merespons suara. Setelah lahir, pendengaran menjadi jembatan utama untuk menerima informasi dan membentuk bahasa. Bahasa, sebagai wadah peradaban dan pewaris ilmu, sepenuhnya bergantung pada pendengaran. Tanpa kemampuan mendengar, mustahil bagi seorang anak untuk meniru dan menguasai bahasa lingkungannya. Lebih dari itu, pendengaran adalah saluran utama bagi Wahyu; risalah kenabian disampaikan secara lisan. Seseorang harus mendengar ajaran Ilahi sebelum ia dapat memahaminya dengan hati.
Secara neurologis dan psikologis, pendengaran menghubungkan kita dengan dimensi temporal dan sosial. Ia memungkinkan komunikasi non-visual, memungkinkan kita menerima peringatan dari belakang, dan memungkinkan kita mendengar firman Allah saat dibacakan (Sima'). Prioritas pendengaran menekankan bahwa ilmu dimulai dari menerima dan menginternalisasi, sebuah proses pasif-aktif yang menjadi prasyarat untuk pengamatan aktif.
Penglihatan (mata jamak, al-abṣār) diletakkan di urutan kedua. Jika pendengaran memungkinkan kita menerima informasi dari dunia sosial dan spiritual, penglihatan memungkinkan kita mengamati dan memverifikasi alam semesta (Ayatullah al-Kawniyyah). Mata berfungsi sebagai alat eksplorasi, memungkinkan diskriminasi visual, pengukuran, dan pengenalan pola. Dengan mata, manusia dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah di cakrawala dan di dalam diri mereka sendiri. Ia adalah indra yang mengikat kita pada dimensi spasial dan material.
Dalam konteks tafsir, penglihatan sering dikaitkan dengan bashirah (mata hati, wawasan). Mata fisik melihat bentuk dan warna, sementara bashirah menggunakan data visual tersebut untuk menarik kesimpulan spiritual dan filosofis. Penggunaan bentuk jamak (abṣār) juga mungkin mengisyaratkan bahwa setiap individu memiliki cara pandang unik, dan bahwa kita harus menggunakan seluruh potensi visual untuk observasi yang mendalam dan komprehensif.
Terakhir, disebutkan al-af’idah, yang merupakan bentuk jamak dari fu'ād. Meskipun sering diterjemahkan sebagai hati, dalam konteks Al-Qur'an, fu'ād (atau qalb, hati) adalah pusat pemahaman, akal, emosi, dan kehendak. Ia adalah organ spiritual yang berfungsi sebagai pemroses data dari pendengaran dan penglihatan.
Kenapa hati diletakkan terakhir? Karena hati/akal adalah penerima akhir. Ia tidak dapat berfungsi tanpa input data dari pendengaran dan penglihatan. Hati mengambil data mentah yang didengar dan dilihat, kemudian menganalisis, menyimpulkan, dan menghasilkan kesadaran, keimanan (iman), atau kekufuran. Dialah yang membuat keputusan moral dan spiritual. Hati adalah takhta bagi rasa syukur (syukur) atau pengingkaran (kufur). Tanpa hati yang sehat, data dari indra hanya akan menjadi informasi tanpa makna spiritual.
Penting untuk memahami bahwa ketiga karunia ini – Sam’ (pendengaran), Abṣār (penglihatan), dan Af’idah (hati) – tidak beroperasi secara independen. Mereka membentuk sebuah sistem terpadu yang menghasilkan al-’ilm (ilmu) dan al-ma’rifah (pengenalan/makrifat). Jika salah satu lumpuh, potensi pengetahuan spiritual manusia tereduksi secara drastis.
Pendengaran adalah medium kebenaran historis dan teologis. Melalui pendengaranlah, generasi menerima tradisi, hadis, dan ajaran suci. Keistimewaan pendengaran terletak pada sifatnya yang tak terhindarkan. Mata bisa dipejamkan, tetapi telinga sulit untuk sepenuhnya ditutup. Bahkan saat tidur, telinga masih merespons suara, menunjukkan betapa sentralnya ia dalam menjaga kewaspadaan spiritual.
Dalam konteks psikologi perkembangan, kemampuan pendengaran untuk membedakan fonem dan pola suara adalah keajaiban yang memungkinkan pembentukan kognisi yang kompleks. Jika Allah tidak memberikan mekanisme ini, manusia akan terjebak dalam kebisuan, yang secara efektif mematikan potensi akal sebelum ia sempat berkembang. Pendengaran, oleh karena itu, adalah pembuka kunci pintu peradaban. Perhatikan betapa sering Al-Qur'an mengutuk mereka yang memiliki telinga tetapi tidak mau mendengar (summun bukmun ‘umyun – tuli, bisu, buta).
Pengabaian terhadap karunia pendengaran bukan hanya berarti kehilangan kemampuan fisik, tetapi juga kehilangan kemampuan spiritual untuk menerima nasihat dan kebenaran. Orang yang tuli spiritual adalah orang yang menolak mendengarkan seruan kebenaran, meskipun suara kebenaran itu nyaring di sekelilingnya.
Penglihatan adalah alat utama untuk Tadabbur (perenungan mendalam) terhadap alam semesta. Dari struktur atom hingga galaksi, semuanya dapat diakses dan dianalisis melalui mata. Ilmu pengetahuan modern—astronomi, biologi, fisika—sebagian besar dibangun di atas observasi visual yang akurat.
Ayat ini mendorong manusia untuk tidak hanya ‘melihat’ secara pasif, tetapi untuk ‘menggunakan’ penglihatan secara aktif untuk mencari tanda-tanda penciptaan. Mata menjadi saksi atas desain yang sempurna (Ihsan), mulai dari keseimbangan ekosistem hingga keindahan simetri pada bunga. Jika hati (af’idah) berfungsi dengan baik, maka apa yang dilihat oleh mata akan diterjemahkan menjadi bukti eksistensi dan kekuasaan Allah.
Penyalahgunaan penglihatan, sebaliknya, dapat menjadi sumber kekufuran. Ketika mata hanya digunakan untuk mengejar kenikmatan duniawi, kesenangan fana, atau pemuasan nafsu, maka fungsi spiritualnya terkorupsi. Mata yang sehat adalah mata yang digunakan untuk membaca (mengamati) ayat-ayat kauniyyah (alam) dan tanziliyyah (wahyu).
Konsep ‘hati’ (al-fu'ād atau al-qalb) dalam terminologi Al-Qur'an jauh melampaui organ pemompa darah. Ia adalah entitas spiritual dan kognitif yang bertanggung jawab atas tafaqquh (pemahaman yang mendalam). Al-Fu’ād adalah tempat iman bersemayam, pusat kesadaran, dan penentu niat.
Imam Al-Ghazali dan ulama tasawuf lainnya menekankan bahwa hati memiliki dimensi internal yang bisa tercerahkan atau menjadi gelap. Jika hati tercerahkan, ia mampu memproses data indra menjadi hikmah dan makrifat. Misalnya, ketika telinga mendengar azan dan mata melihat keindahan masjid, hati-lah yang menerjemahkan stimulus tersebut menjadi perasaan khusyuk dan ketaatan.
Kerusakan pada hati (ṭab‘u ‘ala al-qulūb - hati yang tertutup) adalah akibat dari ingkar dan dosa, yang membuat hati tidak lagi mampu menerima kebenaran. Bahkan jika seseorang melihat mukjizat dan mendengar seruan Nabi, jika hatinya telah mengeras, ia tidak akan dapat mencapai kesyukuran yang diminta oleh ayat ini. Oleh karena itu, hati adalah karunia paling penting, karena ia adalah terminal akhir bagi semua informasi, yang menentukan apakah outputnya adalah iman atau kufur.
Gambar 2: Integrasi Pendengaran, Penglihatan, dan Hati sebagai mekanisme perolehan ilmu dan iman.
Puncak dari An Nahl 78, dan esensi dari pemberian karunia ini, dirangkum dalam frasa penutup: la‘allakum tasykurūn (agar kamu bersyukur). Ini bukan sekadar harapan, tetapi tujuan eksistensial. Seluruh proses penciptaan—dari kegelapan rahim hingga pemberian indra dan akal—hanyalah alat untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi: pengakuan dan rasa terima kasih kepada Sang Pemberi.
Syukur (Shukr) dalam Islam jauh melampaui ucapan "terima kasih." Syukur memiliki tiga dimensi:
Dalam konteks ayat 78, syukur perbuatan adalah yang paling krusial. Syukur atas pendengaran berarti menggunakannya untuk mendengarkan kebenaran, menjauhi ghibah (gosip), dan menyimak Al-Qur'an. Syukur atas penglihatan berarti menggunakannya untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah, menjaga pandangan dari yang haram, dan mencari ilmu. Syukur atas hati/akal berarti menggunakannya untuk merenungkan (tafakkur), memahami hakikat tauhid, dan mengambil keputusan yang mengantarkan pada ketaatan.
Jika seseorang menggunakan pendengaran untuk mendengar hal-hal sia-sia, penglihatan untuk melihat kemaksiatan, dan hati untuk merencanakan keburukan, maka orang tersebut telah menukar syukur dengan kufur bi an-ni’mah (mengingkari nikmat), meskipun secara lisan ia mungkin mengucapkan Alhamdulillah.
Allah SWT mengingatkan dalam ayat lain bahwa jika manusia bersyukur, Dia akan menambah nikmat (Lain syakartum la azīdannakum). Sebaliknya, ancaman bagi ketidaksyukuran (kufur) sangat keras. Dalam konteks An Nahl 78, kufur adalah ironi tragis: menggunakan anugerah akal dan indra yang diberikan secara gratis untuk melawan atau mengingkari Sang Pemberi itu sendiri.
Ketidaksyukuran memblokir saluran hidayah. Jika hati tidak dilatih untuk berterima kasih dan mengakui kebenaran, maka fungsi pendengaran dan penglihatan akan menurun secara spiritual. Orang yang ingkar akan melihat keajaiban alam dan menganggapnya sebagai kebetulan; ia akan mendengar ayat-ayat suci dan menganggapnya sebagai dongeng. Hati yang tertutup ini adalah konsekuensi langsung dari kegagalan melaksanakan amanah syukur.
Meskipun Al-Qur'an adalah kitab petunjuk spiritual, banyak penemuannya memiliki resonansi yang luar biasa dengan ilmu pengetahuan modern, termasuk An Nahl 78. Ayat ini secara ringkas namun akurat mendeskripsikan proses perkembangan kognitif manusia yang dikonfirmasi oleh sains:
Embriologi dan neurologi modern menegaskan bahwa bayi yang baru lahir memang berada dalam keadaan lā ta‘lamūna syai’an. Otak bayi, meskipun memiliki miliaran neuron, masih sangat plastis dan belum memiliki koneksi sinaptik yang matang untuk memproses konsep abstrak atau bahasa. Ilmu pengetahuan menyebut kondisi ini sebagai ‘blossoming’ atau ‘pruning’ sinapsis; pengetahuan terbentuk perlahan melalui interaksi dengan lingkungan.
Ayat ini mengajarkan kerendahan hati ilmiah: semua yang kita anggap sebagai ‘pengetahuan’ adalah data yang dikumpulkan dan diproses oleh mekanisme yang kita tidak ciptakan sendiri. Kesombongan yang mengklaim bahwa akal manusia adalah sumber pengetahuan absolut tanpa merujuk pada asal usulnya adalah bentuk ketidaksyukuran intelektual.
Ilmu perkembangan anak (developmental psychology) menunjukkan urutan fungsionalitas yang sejalan dengan ayat 78. Pendengaran adalah indra yang paling awal terbentuk sempurna. Janin mulai bereaksi terhadap suara ibunya dan lingkungan luar sejak trimester kedua. Kemampuan visual, sebaliknya, membutuhkan waktu lebih lama untuk matang setelah kelahiran; bayi baru lahir memiliki penglihatan yang kabur dan hanya dapat fokus pada jarak pendek.
Oleh karena itu, urutan Sam’ (Pendengaran) sebelum Abṣār (Penglihatan) adalah deskripsi yang sangat akurat tentang prioritas sensorik dalam perkembangan bayi. Pendengaran menyediakan fondasi bahasa, yang kemudian digunakan oleh akal (Af’idah) untuk menginterpretasikan data visual yang datang belakangan.
Meskipun ilmu modern menempatkan pusat kognisi di otak (khususnya korteks serebral), tradisi spiritual Islam menempatkannya di hati. Penelitian kontemporer tentang neurokardiologi (ilmu saraf jantung) telah menemukan bahwa jantung memiliki jaringan saraf yang rumit (dikenal sebagai ‘otak kecil’ jantung) yang berkomunikasi dua arah dengan otak kepala. Jantung tidak hanya merespons otak, tetapi juga mengirimkan sinyal yang memengaruhi emosi, persepsi, dan pengambilan keputusan kognitif. Hal ini memberikan dimensi baru pada pemahaman konsep fu'ād sebagai pusat yang lebih holistik dari kesadaran, yang mencakup intuisi, emosi, dan nalar spiritual, yang semuanya adalah prasyarat untuk syukur.
Pemberian karunia ini tidak hanya berimplikasi pada hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, tetapi juga pada hubungan horizontal antar sesama manusia dan tanggung jawab sosial.
Karena manusia dilahirkan tanpa pengetahuan (lā ta‘lamūna syai’an), maka pendidikan menjadi kewajiban yang sangat besar. Ayat 78 membebankan tanggung jawab kepada masyarakat dan orang tua untuk mengisi lembar kosong ini dengan ilmu yang bermanfaat, dimulai dari pengajaran bagaimana menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati dengan benar. Pendidikan bukan sekadar transfer informasi, tetapi pembentukan karakter agar alat-alat kognitif ini diarahkan menuju syukur.
Jika masyarakat gagal dalam mendidik penggunaan indra ini—misalnya, membiarkan anak terpapar konten negatif (penglihatan) atau kata-kata kotor (pendengaran)—maka mereka secara tidak langsung telah merusak potensi syukur yang ditanamkan oleh Allah.
Dalam sistem hukum Islam, kesaksian (syahadah) sangat bergantung pada penglihatan (melihat kejadian) dan pendengaran (mendengar fakta). Karunia indra ini adalah prasyarat bagi tegaknya keadilan. Orang yang menjadi saksi dituntut untuk menggunakan penglihatan dan pendengarannya secara jujur. Jika seseorang memberikan kesaksian palsu, ia tidak hanya melanggar hukum manusia, tetapi juga mengingkari karunia Ilahi yang diberikan kepadanya untuk membedakan kebenaran. Penggunaan alat-alat ini untuk memutarbalikkan kebenaran adalah bentuk kekufuran perbuatan yang paling merusak tatanan sosial.
Dalam kehidupan modern, manusia seringkali terlalu fokus pada penglihatan (budaya visual, media sosial) dan mengabaikan pendengaran (kontemplasi, mendengarkan wahyu) atau hati (refleksi, introspeksi). An Nahl 78 mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan. Kemampuan spiritual manusia hanya akan utuh jika ketiga pilar ini—pendengaran untuk input verbal/wahyu, penglihatan untuk input observasional/alam, dan hati untuk input emosional/moral—bekerja selaras dan saling menguatkan demi mencapai ridha Allah.
Ketika seseorang merenungkan ayat An Nahl 78 dalam konteks keseluruhan surat, ia menyadari bahwa proses penciptaan manusia ini adalah salah satu dari sekian banyak tanda kebesaran (ayat) Allah yang disajikan, seperti lebah, sungai, gunung, dan bintang-bintang. Perbedaannya, tanda penciptaan ini terjadi di dalam diri kita sendiri, jauh lebih dekat dan intim.
Kesyukuran muncul dari pengenalan yang mendalam (makrifat) akan desain yang sempurna. Siapa yang mengatur agar pendengaran matang sebelum penglihatan? Siapa yang merancang agar hati menjadi filter moral? Keteraturan ini menunjuk pada Kebijaksanaan (Al-Hakim) Sang Pencipta. Jika manusia mampu merasakan takjub atas kompleksitas sebuah telepon pintar, alangkah lebih utamanya ia takjub atas kesempurnaan indra yang memungkinkan ia menggunakan telepon pintar itu.
Setiap momen ketika kita mendengar suara yang menenangkan, melihat keindahan alam, atau memahami konsep yang sulit, adalah pengingat langsung akan Rahmat-Nya yang berkesinambungan. Karunia ini tidak hanya diberikan satu kali saat lahir, tetapi dipelihara setiap detik oleh-Nya.
Syukur membebaskan manusia dari perbudakan terhadap nikmat itu sendiri. Orang yang tidak bersyukur cenderung mencintai indranya secara berlebihan; ia mencintai makanan (hasil dari penglihatan dan penciuman) lebih dari mencintai Sang Pemberi makanan. Syukur, sebaliknya, mengarahkan cinta itu kembali ke sumbernya, membebaskan hati dari keterikatan pada hal-hal fana.
Syukur menjadikan ibadah bukan lagi beban, melainkan ekspresi kegembiraan atas karunia hidup dan kesadaran. Ketika kita bersujud, kita menggunakan anggota tubuh yang Dia karuniakan (penglihatan untuk arah kiblat, pendengaran untuk bacaan shalat, hati untuk khusyuk) sebagai bentuk pengembalian, mengakui bahwa kita hanya menjalankan fungsi yang telah Dia tetapkan. Inilah makna terdalam dari la‘allakum tasykurūn—memastikan bahwa eksistensi kita diarahkan untuk memuliakan Sumber Eksistensi itu sendiri.
Dalam rangkaian panjang analisis ini, kita kembali pada titik nol: kita lahir tanpa pengetahuan. Namun, kita diberi tiga alat esensial untuk belajar dan memahami, agar kita dapat menjalankan tugas tertinggi: menjadi hamba yang bersyukur dan sadar. Kegagalan memahami An Nahl 78 adalah kegagalan memahami diri sendiri, dan itu adalah kerugian yang tak terhingga.
Refleksi atas ayat ini harus terus-menerus dilakukan. Ia adalah peta jalan menuju kesadaran, dimulai dari penerimaan bahwa kita adalah penerima murni, bukan pencipta diri sendiri. Setiap detak jantung, setiap suara yang didengar, dan setiap pandangan yang dilihat harus menjadi alasan untuk tunduk dan mengakui keagungan Yang Maha Memberi. Hanya dengan demikian, potensi spiritual manusia, yang dilepaskan dari kegelapan rahim, dapat mencapai tujuan Ilahinya.
Ayat 78 dari Surat An Nahl adalah inti dari pendidikan spiritual. Ia bukan hanya mengajarkan biologi kelahiran, tetapi juga etika kehidupan, tanggung jawab indra, dan kewajiban moral akal. Dengan memahami dan mengamalkannya, manusia sesungguhnya sedang membangun jembatan dari ketidaktahuan total menuju makrifat total, semuanya dilandasi oleh fondasi syukur yang tak tergoyahkan.