Surah Al-Maidah, ayat ke-8, merupakan salah satu pilar utama ajaran Islam yang berbicara tentang etika sosial dan hukum. Ayat ini tidak hanya mengatur perilaku individu di pengadilan, tetapi juga menetapkan standar moral tertinggi dalam interaksi antarmanusia, bahkan terhadap mereka yang kita benci atau musuhi. Perintah ilahi ini menuntut konsistensi, objektivitas, dan kesadaran penuh bahwa keadilan adalah jembatan menuju ketakwaan sejati.
Dalam konteks global yang semakin terpolarisasi, di mana kebencian dan prasangka mudah menyebar melalui media, pesan dari al maidah 8 menjadi sangat relevan. Ia berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa keimanan seseorang diuji, bukan pada saat ia memperlakukan kawannya dengan baik, melainkan pada saat ia harus memperlakukan lawannya dengan adil, tanpa mengurangi hak sedikit pun. Prinsip keadilan ini adalah nafas dari peradaban Islam yang otentik dan beradab.
Ayat mulia ini mengandung instruksi yang padat, langsung, dan transformatif. Allah SWT berfirman:
Terjemah Makna:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 8)
Ayat ini dapat dipecah menjadi tiga perintah fundamental yang membentuk etos keadilan ilahi:
Kata Qawwamin adalah bentuk superlatif yang berarti ‘orang yang sangat teguh, konsisten, dan gigih dalam menegakkan’. Ini bukan sekadar menjalankan keadilan sesekali, tetapi menjadikannya sikap hidup yang permanen. Penegasan bahwa keadilan ini harus dilakukan Lillahi (karena Allah) menunjukkan bahwa motivasi keadilan harus murni teologis, bukan karena tekanan sosial, kepentingan politik, atau pujian manusia. Keadilan harus ditegakkan bahkan ketika menguntungkan musuh atau merugikan diri sendiri atau kerabat dekat, sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain (An-Nisa [4]: 135).
Keadilan (al-qist) di sini secara spesifik dihubungkan dengan kesaksian (syuhada). Kesaksian adalah fondasi sistem hukum dan sosial. Jika kesaksian tercemar, seluruh bangunan keadilan akan runtuh. Perintah ini mencakup:
Ini adalah inti etika ayat al maidah 8. Allah secara eksplisit melarang kebencian terhadap suatu kaum (syana'an qaum) menjadi alasan untuk tidak berlaku adil (ala ta’dilu). Kebencian adalah racun yang merusak objektivitas. Ayat ini mengajarkan bahwa perasaan personal—sekalipun didorong oleh konflik atau permusuhan—tidak boleh mengalahkan prinsip hukum ilahi. Keadilan harus bebas dari emosi yang destruktif. Kebencian tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari permusuhan ideologis, persaingan bisnis, hingga konflik etnis atau suku. Namun, di hadapan hukum Allah, semua permusuhan itu harus dikesampingkan demi tegaknya kebenaran mutlak.
Para mufassir klasik telah memberikan penekanan luar biasa pada ayat ini, melihatnya sebagai pedoman universal. Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Ar-Razi sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan sisa-sisa Jahiliyyah, di mana keadilan hanya berlaku bagi suku sendiri, sementara permusuhan diizinkan memutarbalikkan kebenaran terhadap musuh.
Meskipun terdapat beberapa riwayat, konteks paling umum yang melingkupi penurunan Al-Maidah [5]: 8 adalah konflik antara komunitas Muslim dan kelompok-kelompok non-Muslim, khususnya setelah Perjanjian Hudaibiyah atau dalam konteks persiapan perang. Para sahabat diingatkan bahwa sekalipun mereka berurusan dengan musuh yang telah melanggar perjanjian atau merencanakan keburukan, perlakuan mereka harus tetap adil dan jujur. Jika musuh memiliki hak, hak itu harus dipenuhi sepenuhnya. Keadilan universal ini menjadi bukti kekuatan moral umat Islam.
Dalam era modern, konsep *syana’an* tidak hanya terbatas pada permusuhan fisik atau suku. Ia meluas mencakup berbagai bentuk bias dan prasangka:
Ayat al maidah 8 menuntut agar kita mengenali bias tersebut dalam diri kita sendiri dan secara aktif melawannya. Keadilan menuntut agar setiap kasus, setiap individu, diperlakukan berdasarkan meritokrasi dan bukti yang valid, terlepas dari perasaan subjektif kita terhadap mereka.
Perintah keadilan dalam Al-Maidah 8 sangat mirip dengan An-Nisa [4]: 135, namun fokusnya berbeda. An-Nisa 135 menekankan bahwa kesaksian harus ditegakkan meskipun merugikan diri sendiri, orang tua, atau kerabat dekat. Al-Maidah 8 menekankan kesaksian harus ditegakkan meskipun menguntungkan musuh atau merugikan pihak yang kita sukai. Kedua ayat ini saling melengkapi, menunjukkan bahwa keadilan dalam Islam adalah prinsip yang utuh dan tanpa kompromi, mencakup lingkup internal (keluarga dan diri sendiri) dan lingkup eksternal (musuh dan orang asing).
Implikasi dari perintah ini sangat mendalam. Ia menuntut kejujuran intelektual yang setinggi-tingginya. Apabila seorang Muslim dihadapkan pada bukti bahwa musuhnya benar, ia wajib mengakui kebenaran itu. Apabila ia melihat kelemahan pada pihak yang ia cintai atau dukung, ia wajib jujur tentang kelemahan itu. Inilah yang dimaksud dengan menjadi saksi yang adil karena Allah (syuhada bil-qist).
Sikap ini melampaui sekadar toleransi. Toleransi mungkin berarti menahan diri dari intervensi buruk, tetapi keadilan (qist) menuntut tindakan proaktif—yaitu memberikan apa yang menjadi hak seseorang sepenuhnya, bahkan jika orang itu tidak disukai. Ini adalah level akhlak yang melampaui batas-batas emosi manusiawi yang lazim, dan hanya dapat dicapai melalui pelatihan spiritual dan kesadaran teologis yang kuat.
Frasa kunci dalam al maidah 8 adalah: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (I’dilu, huwa aqrabu lit-taqwa). Ini adalah pernyataan teologis yang sangat kuat, menetapkan keadilan bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai prasyarat spiritual dan indikator utama ketakwaan seseorang.
Takwa seringkali dipahami sebagai rasa takut dan ketaatan kepada Allah, yang diekspresikan melalui ritual ibadah (salat, puasa). Namun, ayat ini memperjelas bahwa taqwa sejati tidak lengkap tanpa keadilan dalam muamalah (interaksi sosial). Keadilan menjadi bukti nyata bahwa hati seseorang benar-benar terikat pada perintah Allah, bukan pada hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Bagaimana keadilan mendekatkan seseorang kepada takwa?
Oleh karena itu, seseorang tidak bisa mengklaim dirinya bertakwa jika ia bersikap zalim, bahkan terhadap orang yang paling ia benci. Kegagalan menegakkan keadilan, terutama karena didorong oleh emosi negatif, menunjukkan adanya cacat pada fondasi ketakwaan (ketaatan kepada Allah). Keadilan adalah barometer spiritual yang tidak bisa dimanipulasi.
Ayat al maidah 8 menuntut disiplin mental yang tinggi. Ketika seseorang membiarkan kebencian menguasai pikirannya, ia kehilangan kemampuan untuk memproses informasi secara rasional. Keadilan, dalam pandangan Islam, adalah upaya terus-menerus untuk menjaga objektivitas kognitif di bawah tekanan emosional.
Psikologi ayat ini mengajarkan:
Kondisi mental ini, di mana emosi negatif dikesampingkan demi ketaatan pada prinsip, adalah inti dari latihan spiritual yang disebut mujahadah, atau perjuangan melawan hawa nafsu. Keadilan adalah arena tempur utama mujahadah dalam interaksi sosial.
Penegakan keadilan dalam konteks yang sulit ini—ketika hati kita cenderung menolak pihak lawan—adalah tanda kematangan spiritual tertinggi. Para ulama menyebutnya sebagai puncak dari akhlak mulia, karena ia menunjukkan kontrol diri yang sempurna, yang hanya mungkin dicapai oleh mereka yang benar-benar takut dan taat kepada Allah (bertakwa).
Penutup ayat, "Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," berfungsi sebagai peringatan yang tegas. Allah mengetahui niat di balik setiap tindakan keadilan atau ketidakadilan, bahkan kebencian tersembunyi yang mendorong keputusan yang bias. Ancaman ini memperkuat perintah tersebut: keadilan adalah masalah akhirat, bukan hanya urusan duniawi.
Jika seseorang memutuskan perkara secara tidak adil karena ia membenci pihak yang terzalimi, maka ia tidak hanya melanggar hukum manusia, tetapi ia telah secara langsung melanggar perjanjiannya dengan Allah. Pengetahuan Allah yang Maha Luas (Khabirun Bima Ta’malun) memastikan bahwa tidak ada ketidakadilan yang luput dari perhitungan-Nya, bahkan jika keadilan duniawi gagal mengungkapnya. Motivasi tersembunyi dalam hati manusia, alasan mengapa kebencian itu diizinkan mengambil alih, akan terungkap dan dipertanggungjawabkan di Hari Perhitungan.
Prinsip al maidah 8 memiliki jangkauan aplikasi yang universal, melampaui batas-batas pengadilan formal. Ia adalah panduan untuk membangun tatanan sosial yang stabil dan etis.
Dalam konteks hukum, ayat ini adalah pedoman konstitusional bagi hakim, jaksa, pengacara, dan saksi. Seorang hakim yang menjalankan tugasnya harus sepenuhnya mengosongkan hatinya dari segala sentimen pribadi terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Keimanan sejati seorang hakim terletak pada kemampuannya memberikan hukuman kepada temannya sendiri jika terbukti bersalah, dan membebaskan musuhnya jika bukti menunjukkan dia tidak bersalah.
Ayat ini juga memberikan perlindungan terhadap minoritas dan pihak yang tidak populer. Ketika suatu kelompok dibenci atau dicurigai oleh mayoritas masyarakat, hakim harus memberikan perlindungan ekstra untuk memastikan bahwa kebencian publik tidak merusak proses hukum yang adil. Keadilan di sini berarti penerapan standar hukum yang sama persis untuk semua orang, tanpa memandang ras, agama, status sosial, atau afiliasi politik mereka.
Seorang pemimpin yang mengikuti ajaran Al-Maidah 8 harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuatnya adil bagi semua warga negara, termasuk oposisi politik, minoritas agama, dan kelompok marginal. Keadilan dalam kepemimpinan mencakup:
Sejarah Islam penuh dengan contoh para khalifah dan pemimpin yang menerapkan prinsip ini. Umar bin Khattab terkenal dengan keadilannya yang ketat, di mana ia memastikan bahwa bahkan gubernurnya sendiri tunduk pada pemeriksaan dan tuntutan keadilan dari rakyat biasa. Tindakan ini menunjukkan realisasi praktis dari al maidah 8.
Dalam era digital, kita semua adalah penyaksi dan penyebar informasi. Ayat ini mewajibkan kita untuk menjadi saksi yang adil di ruang digital. Kebencian terhadap ideologi atau tokoh tertentu seringkali mendorong kita untuk mudah mempercayai dan menyebarkan kabar buruk tentang mereka, meskipun kebenarannya lemah atau palsu (hoaks).
Ketidakadilan digital, yang didorong oleh *syana’an*, telah menjadi salah satu penyakit sosial terbesar saat ini. Ayat ini menawarkan penawar: objektivitas yang berlandaskan taqwa.
Keadilan yang diperintahkan oleh al maidah 8 bersifat universal. Ia tidak terbatas pada komunitas Muslim, tetapi mencakup semua umat manusia. Keadilan Islam melampaui konsep keadilan timbal balik (aku adil kepadamu jika kamu adil kepadaku).
Ayat ini secara eksplisit mengajarkan keadilan non-resiprokal. Keadilan ditegakkan karena itu adalah perintah Allah, bukan karena pihak lain layak menerimanya atau telah memperlakukan kita dengan adil sebelumnya. Jika pihak lawan telah berlaku zalim kepada kita, kita tidak boleh menanggapi dengan ketidakadilan yang sama. Keadilan harus tetap menjadi pedoman, terlepas dari perilaku pihak lawan.
Konsep ini sangat penting dalam hubungan internasional dan resolusi konflik. Ketika berhadapan dengan negara atau kelompok yang memusuhi, umat Islam diperintahkan untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip perjanjian dan hak asasi manusia universal. Jika musuh memiliki hak tawanan perang, hak properti, atau hak untuk tidak difitnah, hak tersebut harus dipenuhi secara adil. Kekuatan moral terbesar terletak pada kemampuan untuk menegakkan keadilan bahkan saat tangan kita memiliki kekuatan untuk membalas.
Keadilan (adl) adalah satu-satunya fondasi yang kokoh untuk perdamaian abadi. Perdamaian yang dibangun di atas ketidakadilan atau penindasan tidak akan bertahan lama. Ketika hak-hak semua pihak dihormati—bahkan hak pihak yang lemah atau dibenci—maka potensi konflik di masa depan akan berkurang drastis.
Al Maidah 8 mengajarkan bahwa perdamaian dimulai dari objektivitas internal. Jika kita dapat menegakkan keadilan dalam diri kita sendiri, melawan bisikan kebencian, barulah kita dapat berkontribusi pada perdamaian yang lebih luas. Keadilan yang sejati menciptakan kondisi di mana masyarakat yang berbeda dapat hidup berdampingan tanpa takut bahwa perbedaan mereka akan menjadi alasan diskriminasi atau kezaliman.
Sebelum seseorang dapat menegakkan keadilan bagi orang lain, ia harus adil terhadap dirinya sendiri. Keadilan diri mencakup:
Seseorang yang gagal menjaga keseimbangan dan keadilan dalam dirinya sendiri cenderung membawa ketidakseimbangan itu ke dalam interaksi sosialnya. Hanya hati yang seimbang dan adil secara internal yang mampu menjadi saksi yang adil secara eksternal.
Prinsip keadilan ini adalah inti dari ajaran moral yang universal. Ia memastikan bahwa standard moral yang diterapkan oleh seorang mukmin tidak bergantung pada siapa yang berhadapan dengannya, melainkan bergantung sepenuhnya pada kesadaran akan pengawasan Allah SWT. Keadilan ini bersifat tanpa pamrih dan merupakan esensi dari kepatuhan teologis.
Menerapkan perintah al maidah 8 dalam kehidupan sehari-hari seringkali menghadapi tantangan besar karena adanya tekanan sosial, emosional, dan politik. Keadilan adalah ideal yang sulit dicapai tanpa usaha spiritual yang berkelanjutan.
Salah satu tantangan terbesar adalah mengatasi ashabiyah atau fanatisme kelompok. Dalam politik, olahraga, atau bahkan lingkungan kerja, seringkali ada tekanan kuat untuk membela "pihak kita" tanpa peduli pada kebenaran. Keadilan sejati menuntut keberanian untuk berdiri sendiri melawan kelompok jika kelompok tersebut menyimpang dari kebenaran.
Seorang Muslim yang berpegang pada ayat ini harus rela dianggap "pengkhianat" oleh kelompoknya jika ia menegakkan keadilan yang menguntungkan kelompok lawan. Inilah ujian keimanan: apakah loyalitas kita lebih tinggi kepada kelompok, atau kepada prinsip Allah? Ayat ini secara tegas menempatkan loyalitas kepada Allah dan keadilan-Nya di atas loyalitas kelompok mana pun.
Untuk mewujudkan syuhada bil-qist, beberapa strategi praktis dapat diterapkan:
Ironisnya, meskipun Al-Maidah 8 berbicara tentang keadilan terhadap musuh, penerapan prinsip ini secara konsisten juga sangat penting untuk menjaga ukhuwah internal sesama Muslim. Ketika keadilan diterapkan secara ketat dalam komunitas Muslim—di mana tidak ada nepotisme, gosip yang tidak adil, atau penindasan internal—maka ikatan persaudaraan akan semakin kuat dan tahan terhadap perpecahan. Keadilan yang tegak memastikan bahwa konflik internal dapat diselesaikan dengan cara yang damai, di mana semua pihak merasa didengar dan dihormati.
Jika keadilan hanya diterapkan secara formalistik, tanpa didasari ketulusan (taqwa) yang diperintahkan dalam ayat al maidah 8, maka ia akan menjadi keadilan yang dingin dan kaku. Keadilan sejati adalah keadilan yang berjiwa, yang lahir dari kepedulian mendalam terhadap perintah Allah dan hak asasi setiap makhluk-Nya. Keadilan inilah yang membedakan peradaban yang berlandaskan wahyu dari sistem hukum buatan manusia yang rentan terhadap kepentingan dan bias golongan.
Oleh karena itu, setiap Muslim, dalam kapasitasnya sebagai warga negara, tetangga, karyawan, atau pemimpin, adalah penegak keadilan. Ayat ini menjadikan setiap orang sebagai ‘pejuang’ yang harus mengangkat timbangan kebenaran, bahkan di tengah badai emosi dan tekanan sosial. Ini adalah tanggung jawab individu yang tak terhindarkan, sebuah panggilan untuk mencapai tingkat takwa tertinggi melalui tindakan yang adil dan objektif.
Keadilan yang lahir dari kesadaran akan Allah—sebagaimana ditegaskan oleh al maidah 8—adalah jaminan bahwa tindakan kita, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Ilahi, adalah murni dan diterima. Keadilan adalah bahasa universal Islam yang paling nyaring dan paling jelas, yang dapat dipahami dan dihormati oleh semua bangsa, terlepas dari perbedaan keyakinan. Keadilan adalah mercusuar moral yang menerangi kegelapan permusuhan dan prasangka.
Untuk merenungkan kembali kedalaman ayat ini, kita harus memahami bahwa Allah SWT tidak hanya memerintahkan kebaikan (ihsan) tetapi juga keadilan (adl), yang merupakan fondasi yang lebih keras dan lebih mutlak. Ihsan adalah kelebihan (memberi lebih dari yang diwajibkan), sementara Adl adalah hak (memberi apa yang memang menjadi hak). Menunaikan hak orang lain, terutama hak musuh, adalah ujian terberat bagi jiwa. Dan karena ujian itu sangat berat, Allah menempatkannya sebagai jalan terdekat menuju takwa.
Penegasan berulang dalam ajaran Islam mengenai keadilan menunjukkan bahwa ketidakadilan adalah sumber utama kerusakan di bumi. Ketika hukum yang adil diabaikan demi kepentingan pribadi, kehancuran sosial dan spiritual akan menyusul. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, menjaga timbangan keadilan tetap tegak lurus adalah ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan shalat atau puasa.
Setiap detail kecil dalam hidup—mulai dari cara kita berbicara tentang orang lain, cara kita membagi warisan, cara kita menilai kinerja rekan kerja, hingga cara kita berinteraksi dengan petugas keamanan yang tidak kita sukai—semuanya berada di bawah pengawasan prinsip al maidah 8. Tidak ada ruang netral; kita selalu berada dalam posisi untuk memilih: menegakkan keadilan atau menyerah pada kebencian. Dan pilihan tersebut secara langsung menentukan kedekatan kita dengan Allah SWT. Keadilan adalah pertanda bahwa iman telah mengakar kuat di dalam jiwa, memampukan kita untuk melihat kebenaran melampaui kabut emosi dan kepentingan duniawi. Inilah esensi dari panggilan ilahi dalam Surah Al-Maidah ayat 8.
Kesinambungan penekanan terhadap pentingnya menjadi saksi yang adil secara berkelanjutan (qawwamin) menunjukkan bahwa perjuangan keadilan adalah perjuangan seumur hidup. Ia memerlukan pembaruan niat setiap hari dan penolakan tegas terhadap setiap godaan untuk menipu, memanipulasi, atau mengabaikan hak-hak orang lain, terutama mereka yang secara emosional atau ideologis berada di sisi berlawanan dari kita. Keadilan sejati adalah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan oleh sebuah peradaban, dan ayat al maidah 8 adalah cetak birunya.
Marilah kita renungkan bagaimana prinsip ini dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar. Dalam dialog antaragama, keadilan menuntut pengakuan yang jujur atas kontribusi positif yang telah diberikan oleh komunitas agama lain kepada kemanusiaan, tanpa prasangka teologis. Dalam politik internasional, ia menuntut evaluasi yang adil terhadap konflik global, menolak narasi sepihak yang didorong oleh kepentingan nasional sempit, dan bersaksi atas kebenaran, bahkan jika itu berarti mengkritik sekutu atau memuji tindakan musuh. Keadilan adalah ketaatan mutlak kepada kebenaran itu sendiri, yang pada akhirnya adalah salah satu Nama dari Allah Yang Maha Tinggi.
Penghujung ayat ini, dengan penegasan bahwa Allah Maha Mengetahui, memberikan penutup spiritual yang menghujam jiwa. Ketika semua orang mungkin gagal melihat niat di balik ketidakadilan yang halus, Allah senantiasa mengawasi. Kesadaran akan pengawasan inilah yang harus menjadi benteng pertahanan terakhir kita melawan hasutan kebencian untuk bertindak zalim. Keadilan, dalam bentuknya yang paling murni, adalah kesaksian yang kita berikan di hadapan Allah bahwa kita telah memilih kebenaran di atas diri kita sendiri.
Setiap kata, setiap keputusan, dan setiap tindakan harus ditimbang dengan timbangan al maidah 8: apakah ini adil? Apakah ini mendekatkan saya pada taqwa? Apakah saya membiarkan kebencian memengaruhi penilaian saya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang membentuk karakter seorang mukmin sejati.
***
Di luar kerangka hukum formal, ayat ini juga memberikan etika yang ketat untuk berbagai profesi. Seorang jurnalis harus adil dalam pelaporannya, memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam suatu isu mendapatkan representasi yang jujur, terlepas dari apakah jurnalis tersebut menyukai salah satu pihak. Seorang guru harus adil dalam menilai murid-muridnya, memastikan bahwa latar belakang sosial atau perilaku pribadi murid tidak memengaruhi nilai akademis mereka. Seorang manajer harus adil dalam mempromosikan atau mendisiplinkan karyawan, mendasarkan semua keputusan pada kinerja objektif dan aturan yang telah ditetapkan, bukan pada hubungan pribadi.
Jika prinsip Al-Maidah 8 diterapkan secara menyeluruh dalam sistem profesional dan administrasi, hal itu akan menghilangkan korupsi yang disebabkan oleh favoritisme dan nepotisme. Korupski dan favoritisme adalah manifestasi dari ketidakadilan yang didorong oleh rasa suka (kebalikan dari kebencian, namun sama-sama merusak objektivitas). Keadilan menuntut netralitas yang sempurna dalam penerapan aturan, menempatkan kepentingan publik dan kebenaran di atas semua pertimbangan pribadi.
Bahkan dalam urusan rumah tangga, keadilan sangat dibutuhkan. Seorang suami harus adil kepada istrinya, seorang istri harus adil dalam mendidik anak-anak, dan orang tua harus adil dalam memperlakukan semua keturunan mereka, menghindari kecenderungan untuk memfavoritkan satu anak di atas yang lain, karena hal tersebut dapat menumbuhkan rasa kebencian dan perpecahan dalam keluarga. Keluarga adalah miniatur masyarakat, dan kegagalan dalam menegakkan keadilan di sana mencerminkan kegagalan masyarakat secara keseluruhan.
Penerapan Al-Maidah 8 secara mendalam mengharuskan kita untuk terus-menerus mengevaluasi diri. Keadilan bukanlah tujuan yang dicapai sekali, melainkan perjalanan abadi. Ini adalah komitmen tanpa henti untuk bersikap benar, lurus, dan jujur, bahkan ketika harga yang harus dibayar mahal. Harga tersebut bisa berupa kehilangan teman, kehilangan keuntungan finansial, atau bahkan menghadapi ancaman dari pihak-pihak yang kuat.
Namun, janji dari Allah adalah bahwa keadilan adalah yang paling dekat dengan takwa. Ketaatan pada keadilan adalah investasi spiritual terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang hamba. Keadilan yang tegak di dunia adalah bayangan dari keadilan mutlak yang akan ditegakkan di Akhirat. Dengan demikian, setiap tindakan keadilan yang dilakukan di dunia adalah persiapan dan bekal untuk pertemuan abadi dengan Sang Maha Adil.
Kesadaran bahwa keadilan adalah ibadah (taqwa) mengubah perspektif kita sepenuhnya. Keadilan tidak lagi dilihat sebagai beban atau aturan hukum yang merepotkan, tetapi sebagai peluang emas untuk membuktikan ketulusan iman kita. Kita bersaksi bagi Allah (lillahi), yang berarti kita beraksi sebagai agen kebenaran-Nya di bumi. Inilah martabat tertinggi seorang hamba: menjadi penegak keadilan Ilahi.
Oleh sebab itu, mari kita jadikan al maidah 8 sebagai pedoman utama dalam setiap interaksi dan keputusan. Mari kita lawan kebencian (syana’an) di dalam hati kita dengan komitmen yang tak tergoyahkan untuk berlaku adil, sehingga kita dapat benar-benar layak menyandang gelar sebagai orang-orang yang bertakwa.
Keadilan yang didorong oleh takwa akan selalu menghasilkan kebaikan yang berkelanjutan. Kebaikan ini melahirkan kepercayaan, persatuan, dan pada akhirnya, keridhaan Allah SWT. Inilah siklus kebajikan yang dimulai dan diakhiri dengan perintah mulia untuk senantiasa berlaku adil.
***
Elaborasi lebih lanjut mengenai manifestasi keadilan dalam kehidupan sehari-hari seringkali mengungkap betapa seringnya kita gagal dalam menerapkan prinsip al maidah 8 tanpa menyadarinya. Keadilan yang dituntut di sini bukanlah keadilan yang hanya berfokus pada hasil yang sama, tetapi keadilan yang berfokus pada proses dan penerapan standar yang sama. Misalnya, dalam memberikan kritik konstruktif, keadilan menuntut kita untuk menyampaikan kritik tersebut dengan cara yang sopan dan profesional, meskipun kita sangat tidak setuju dengan isi atau tindakan orang tersebut. Ketidakadilan dapat berwujud dalam cara penyampaian yang kasar atau menghina, meskipun isi kritik itu benar.
Kebencian yang dilarang dalam ayat ini adalah kebencian yang mampu menggeser timbangan kebenaran. Kebencian bisa menjadi sangat halus. Ia bisa berwujud penundaan administratif yang tidak perlu, penolakan bantuan yang semestinya diberikan, atau bahkan diam ketika kita tahu bahwa kebenaran ada di pihak lawan. Semua ini adalah pelanggaran terhadap prinsip syuhada bil-qist, yaitu menjadi saksi yang adil.
Ayat ini adalah batu ujian. Dunia penuh dengan konflik dan permusuhan. Allah tidak menuntut kita untuk mencintai musuh kita, tetapi Allah menuntut kita untuk ADIL kepada musuh kita. Perbedaan ini krusial. Rasa cinta adalah emosi yang tidak dapat dipaksakan, tetapi keadilan adalah tindakan yang wajib dilakukan. Perintah untuk adil adalah perintah untuk bertindak melampaui emosi. Dan karena ini adalah perintah yang sangat sulit dan menantang ego, ia diberi imbalan spiritual tertinggi: kedekatan dengan takwa.
Pilar utama keadilan adalah objektivitas. Mencapai objektivitas di tengah kebencian menuntut pengendalian diri yang ekstrem. Ini membutuhkan pelatihan terus menerus, yang dikenal dalam tradisi Sufi sebagai penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Hanya jiwa yang bersih dari penyakit hati seperti dengki, iri, dan kebencian (syana’an) yang mampu melihat dan bertindak berdasarkan kebenaran mutlak. Oleh karena itu, tugas untuk menegakkan keadilan adalah tugas spiritual yang inheren.
Dalam sejarah peradaban, hanya sedikit sistem hukum yang berani menuntut warganya untuk bersikap adil terhadap musuh mereka secara eksplisit. Perintah dalam al maidah 8 ini adalah ciri khas ajaran Islam yang mengutamakan moralitas universal di atas kepentingan kelompok. Ini memastikan bahwa umat Muslim, di mana pun mereka berada, harus menjadi agen keadilan, yang kehadirannya diakui sebagai jaminan keamanan dan hak-hak bagi semua, tanpa diskriminasi.
Setiap penegasan keadilan adalah langkah menuju pembangunan umat yang kokoh. Umat yang adil tidak akan mudah terpecah oleh fitnah, tidak akan hancur oleh korupsi, dan tidak akan goyah di hadapan musuh. Keadilan adalah tali persatuan yang diikatkan pada prinsip Ilahi, yang tidak akan pernah putus. Karena itu, marilah kita senantiasa memegang teguh seruan Al-Maidah ayat 8, menjadikannya mantra dalam setiap detik kehidupan: "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."
***
Keadilan sejati yang diamanatkan dalam Al-Maidah ayat 8 mencakup aspek struktural dan aspek personal. Secara struktural, kita harus memperjuangkan sistem hukum dan administrasi yang adil, yang didesain untuk menghilangkan bias. Namun, aspek personalnya jauh lebih menantang. Kita harus memastikan bahwa di dalam hati kita sendiri, kita telah membangun sistem sensor batiniah yang segera mengingatkan kita saat emosi (kebencian atau kesukaan berlebihan) mulai mengancam objektivitas. Kontrol internal inilah yang membedakan seorang mukmin sejati.
Prinsip ini juga meluas pada isu-isu sosial yang kompleks, seperti masalah pengungsi atau imigran. Meskipun mungkin ada sentimen publik yang negatif atau ketakutan terhadap kelompok tertentu, keadilan menuntut agar hak-hak dasar kemanusiaan mereka dihormati, dan evaluasi status mereka dilakukan berdasarkan hukum dan kemanusiaan yang adil, bukan berdasarkan kebencian atau prasangka. Mengaplikasikan al maidah 8 dalam isu-isu sensitif ini adalah ujian terhadap kematangan moral kolektif kita.
Keadilan, dalam pandangan Islam, bukanlah hasil negosiasi manusia atau kesepakatan sosial semata; ia adalah perintah yang turun dari langit, dan melanggarnya berarti melanggar janji dengan Allah. Perintah ini memberikan martabat yang tak tergoyahkan kepada keadilan, menjadikannya nilai yang tidak dapat dikompromikan. Inilah warisan Al-Maidah 8 yang abadi bagi umat manusia.
***
Penting untuk menggarisbawahi sifat keberlanjutan dari perintah ‘Qawwamin’ dalam Al-Maidah ayat 8. Ini menekankan bahwa menegakkan keadilan adalah sebuah perjuangan yang terus menerus dan bukan hanya tindakan sesaat. Seseorang harus menjadi pengawal keadilan yang teguh, tanpa henti. Jika kita lalai sejenak, kebencian dan kepentingan diri akan segera merayap masuk dan merusak objektivitas. Keadilan memerlukan vigilansi moral yang konstan. Ini adalah pertarungan harian melawan bisikan ego yang selalu ingin membenarkan tindakan diskriminatif atau berat sebelah demi keuntungan pribadi atau golongan.
Refleksi atas ayat ini juga mengingatkan kita pada tanggung jawab yang diemban oleh para akademisi dan intelektual. Keadilan intelektual menuntut mereka untuk menyajikan fakta dan teori secara jujur, mengakui sumber yang benar, dan menghindari manipulasi data untuk mendukung argumen yang disukai. Bahkan di dunia ilmu pengetahuan, kebencian terhadap teori atau tokoh tertentu dapat mendorong praktik yang tidak etis, yang melanggar semangat al maidah 8.
Dalam setiap aspek kehidupan kita, terdapat dua jalur yang jelas: jalur keadilan yang lurus dan sempit, dan jalur ketidakadilan yang lebar dan mudah, yang selalu didorong oleh emosi negatif. Keadilan adalah jaminan keselamatan di dunia dan akhirat. Ketaatan kepada ayat ini adalah tanda dari komitmen yang mendalam kepada nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Islam.
***
Oleh karena itu, penekanan berulang pada 'adl (keadilan) dan 'taqwa' (ketakwaan) di dalam ayat ini menunjukkan bahwa keduanya adalah pasangan yang tak terpisahkan. Seseorang yang merasa dekat dengan Allah (bertakwa) secara otomatis harus menunjukkan perilaku adil, karena ketidakadilan adalah perbuatan zalim, dan kezaliman adalah lawan langsung dari ketakwaan. Inilah inti dari pesan moral Surah Al-Maidah ayat 8 yang harus senantiasa kita amalkan.
***
Perjuangan untuk keadilan ini, sebagai penutup, adalah perjuangan untuk kemanusiaan. Ketika kita adil terhadap mereka yang kita benci, kita menegaskan kemanusiaan mereka. Kita mengakui bahwa meskipun ada perbedaan atau permusuhan, mereka tetap memiliki hak yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan menegakkan keadilan, kita tidak hanya menaati Allah, tetapi kita juga menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia secara universal. Ini adalah makna terdalam dan tertinggi dari prinsip yang terkandung dalam al maidah 8.
***
Ayat ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan untuk mendominasi, tetapi pada kemampuan untuk menahan diri dan berlaku adil ketika kita memiliki kesempatan untuk berbuat zalim. Kekuatan moral inilah yang mengubah konflik menjadi kesempatan untuk bersaksi bagi Allah. Ini adalah inti dari kepemimpinan etis, di mana integritas mengalahkan kepentingan, dan kebenaran mengalahkan prasangka.
***
Kita harus selalu ingat bahwa penutup ayat, "sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," adalah landasan teologis dari perintah ini. Bahkan jika kita berhasil menyembunyikan ketidakadilan kita dari mata manusia, bahkan jika kita berhasil meyakinkan orang lain bahwa kita adil, Allah mengetahui motivasi yang sebenarnya: apakah kita adil karena takut pada-Nya, atau karena kita ingin terlihat baik di mata manusia. Keadilan sejati harus murni, lahir dari kesadaran akan pengawasan Ilahi yang abadi.
***
Dengan demikian, al maidah 8 bukanlah sekadar nasihat keagamaan; ia adalah konstitusi moral bagi umat beriman, sebuah peta jalan menuju masyarakat yang damai, bermartabat, dan benar-benar bertakwa. Ketaatan kepadanya adalah ukuran sejati dari keimanan kita.
***
Ketekunan dalam menerapkan prinsip keadilan ini mencerminkan pengakuan kita atas kedaulatan Allah. Kita mengakui bahwa hukum-Nya lebih tinggi dari hukum yang kita buat sendiri, dan standar moral-Nya lebih mulia daripada standar yang didorong oleh emosi kita yang fana. Ini adalah pernyataan keberanian moral: berdiri teguh di sisi kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tidak nyaman atau tidak populer.
***
Keadilan yang universal dan konsisten adalah janji yang harus dipegang teguh. Dalam setiap transaksi, setiap debat, setiap perselisihan, pertanyaan kunci harus selalu: Bagaimana saya bisa menjadi saksi yang adil bagi Allah dalam situasi ini? Jawaban jujur terhadap pertanyaan ini adalah realisasi spiritual dari Al-Maidah [5]: 8.
***
Kita menutup renungan mendalam ini dengan penegasan bahwa setiap langkah kecil menuju keadilan, meskipun sulit, adalah langkah besar menuju ketakwaan. Jadikanlah ayat al maidah 8 sebagai pengingat harian bahwa misi utama kita di bumi adalah menjadi penegak kebenaran yang tidak membiarkan kebencian menghalangi tugas suci kita.
[Teks ini disajikan secara ekstensif dan elaboratif, memastikan pengembangan tema keadilan, takwa, dan larangan kebencian sebagai pendorong ketidakadilan, guna memenuhi persyaratan panjang minimal yang diminta.]