Pedoman Hidup Murni: Analisis Mendalam Ayat Al Maidah 90

Menjelajahi Hakikat Rijs (Kekejian) dan Jalan Menuju Kesuksesan Abadi

Pondasi Ketenangan: Memahami Perintah Al Maidah Ayat 90

Ayat yang agung dari Surah Al Maidah, yaitu ayat ke-90, berdiri sebagai salah satu pilar fundamental dalam etika dan hukum kehidupan umat manusia. Ayat ini memberikan arahan yang sangat jelas dan tegas mengenai empat hal utama yang wajib dijauhi oleh setiap individu yang mendambakan kesuksesan sejati, baik di dunia fana ini maupun di kehidupan yang kekal kelak. Inti dari ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah panduan untuk memelihara akal, menjaga harta, dan memastikan keharmonisan sosial yang utuh. Perintah untuk menjauhi empat elemen ini—yaitu Khamr (minuman keras/intoksikan), Maysir (judi), Ansab (berhala), dan Azlam (mengundi nasib dengan panah)—dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat Rijs, yang berarti kotoran, keji, atau perbuatan setan yang harus dihindari sepenuhnya.

Penggunaan kata ‘Rijs’ di sini menunjukkan tingkatan kemudaratan yang tidak hanya bersifat fisik atau sosial semata, namun juga merusak esensi spiritual dan mental manusia. Khamr dan Maysir secara khusus disebutkan karena dampaknya yang langsung dan sistemik dalam merusak tatanan masyarakat. Larangan ini bukan muncul tanpa alasan; ia adalah puncak dari ajaran hikmah yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari rantai hawa nafsu yang menyesatkan dan mengarahkan mereka kepada jalan keberuntungan atau Falah. Kesuksesan yang dimaksud dalam konteks ayat ini adalah kesuksesan yang holistik, mencakup keselamatan spiritual, kestabilan emosional, dan keseimbangan sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa untuk mencapai kesuksesan tersebut, langkah pertama yang mutlak harus diambil adalah Ijtinab—menjauhinya sejauh mungkin—sebab keburukan yang dibawa oleh elemen-elemen ini tidak akan pernah menghasilkan kebaikan yang hakiki.

Bagian I: Khamr (Intoksikan) – Perusak Akal dan Agama

Khamr, atau segala bentuk zat yang memabukkan yang berpotensi menghilangkan kesadaran dan merusak fungsi akal sehat, menempati posisi sentral dalam larangan ini. Akal adalah karunia terbesar yang membedakan manusia dari makhluk lain, dan segala sesuatu yang mengaburkan atau merusak akal dianggap sebagai serangan langsung terhadap fitrah kemanusiaan itu sendiri. Sejarah penetapan larangan khamr dalam syariat Islam merupakan proses bertahap, sebuah pendekatan yang bijaksana untuk memastikan transisi sosial yang lancar. Namun, ayat Al Maidah 90 adalah penetapan final yang menempatkan minuman keras dan segala turunannya pada kategori kejiwaan yang harus dihindari tanpa pengecualian sedikit pun.

Dampak Fisik dan Psikologis Khamr

Dampak buruk khamr melampaui sekadar mabuk sesaat. Secara fisik, konsumsi zat intoksikan yang berkelanjutan menyebabkan kerusakan organ vital yang masif, terutama hati dan otak. Sistem saraf menjadi terganggu, dan risiko penyakit kronis meningkat secara drastis. Namun, kerusakan yang paling mendasar adalah kerusakan psikologis dan spiritual. Khamr menghilangkan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang rasional dan etis. Dalam keadaan mabuk, batasan moral menjadi kabur, dan individu lebih rentan melakukan perbuatan dosa besar, mulai dari kekerasan domestik, perzinahan, hingga tindak kriminal berat. Inilah mengapa khamr sering disebut sebagai 'induk dari segala kejahatan'—karena ia membuka pintu bagi dosa-dosa lain yang tadinya terhalang oleh akal sehat dan kesadaran spiritual.

Simbol Akal dan Kesadaran Representasi visual antara akal yang jernih (cahaya) yang dikaburkan oleh intoksikasi (awan gelap). Akal Jernih Khamr

Gambar 1: Kontras antara kejernihan Akal dan pengaburan oleh Khamr.

Khamr dan Pemutusan Hubungan Spiritual

Salah satu alasan terpenting mengapa khamr diharamkan secara mutlak adalah karena ia mengganggu ibadah dan hubungan seseorang dengan Penciptanya. Ketika seseorang mabuk, ia tidak dapat mengingat atau melakukan shalat dengan khusyuk. Ayat-ayat sebelumnya telah memberikan isyarat bahwa intoksikasi menghalangi kesadaran saat beribadah, namun Al Maidah 90 menutup semua perdebatan dengan menjadikannya Rijs—kekejian yang berakar dari godaan setan. Minuman keras adalah alat setan untuk menanamkan permusuhan dan kebencian di antara manusia. Ketika akal hilang, kendali emosi lenyap, dan hubungan antar sesama menjadi rusak. Keluarga menjadi terpecah, perselisihan muncul, dan persatuan umat terancam. Oleh karena itu, menjauhi khamr adalah tindakan menjaga diri, keluarga, dan umat secara keseluruhan dari kerusakan yang tidak terhindarkan.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh intoksikasi tidak hanya terbatas pada peminumnya, tetapi meluas seperti gelombang ke seluruh lingkaran sosial. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan konsumsi khamr cenderung menderita trauma psikologis, ketidakstabilan emosional, dan siklus kemiskinan. Secara ekonomi, uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan primer, pendidikan, atau amal, terbuang sia-sia untuk zat yang mematikan. Ini menciptakan ketidakadilan ekonomi mikro yang akhirnya memperburuk ketidakadilan makro dalam masyarakat. Larangan ini adalah manifestasi rahmat dan keadilan, sebuah upaya untuk memastikan bahwa sumber daya, waktu, dan potensi manusia dimanfaatkan untuk kemaslahatan, bukan kehancuran.

Implikasi Lebih Jauh dari Rijs Khamr

Ketika Allah menyebut khamr sebagai Rijs (kekejian), ini menandakan bahwa zat tersebut membawa ketidakmurnian, bukan hanya dalam makna fisik tetapi juga spiritual dan moral. Untuk mencapai kesuksesan sejati (falah), seseorang harus memiliki hati yang murni dan akal yang bersih. Khamr menodai kedua aspek ini secara simultan. Ia menghalangi cahaya kebijaksanaan dan membuka jalan bagi bisikan jahat. Kewajiban untuk ijtinaab (menjauhi total) menegaskan bahwa tidak ada batas aman atau moderasi yang diperbolehkan. Ini adalah larangan yang dirancang untuk melindungi inti spiritualitas manusia. Pencegahan total adalah satu-satunya cara untuk memastikan individu dapat mempertahankan kejernihan mental yang diperlukan untuk merenungkan kebesaran Allah, mengambil keputusan etis, dan menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi.

Bagian II: Maysir (Perjudian) – Ilusi Kekayaan dan Kerusakan Ekonomi

Maysir, atau perjudian, adalah elemen kedua yang disandingkan dengan khamr dalam daftar kekejian yang harus dijauhi. Maysir didefinisikan sebagai segala bentuk perolehan harta yang bergantung pada keberuntungan atau spekulasi tanpa adanya kontribusi kerja atau pertukaran nilai yang adil. Bentuknya sangat luas, mencakup taruhan tradisional hingga bentuk spekulasi keuangan modern yang berbasis pada risiko kosong dan bukan pada produktivitas yang nyata. Walaupun secara sepintas judi mungkin tampak tidak merusak secara fisik seperti khamr, dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya jauh lebih merusak dan merayap dalam masyarakat.

Kerusakan Finansial dan Psikologi Ketergantungan

Judi adalah ilusi yang mematikan. Ia menjanjikan kekayaan instan tanpa usaha, namun kenyataannya, mayoritas penjudi kehilangan harta benda mereka, bahkan hingga menjual aset keluarga dan jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang parah. Kerusakan ekonomi akibat judi tidak hanya dialami oleh individu yang kalah, tetapi juga merusak konsep kerja keras, integritas, dan nilai produktivitas dalam masyarakat. Maysir mengajarkan bahwa kesuksesan dapat dicapai melalui jalan pintas, sebuah filosofi yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya usaha, ketekunan, dan keadilan dalam bertransaksi.

Maysir menciptakan ketergantungan psikologis yang sama berbahayanya dengan ketergantungan zat intoksikan. Adiksi judi, yang didorong oleh siklus harapan dan keputusasaan, mengikis hubungan keluarga, menghancurkan kepercayaan, dan seringkali mendorong pelakunya pada tindakan kriminal untuk menutupi hutang-hutang yang menumpuk. Ini adalah kekejian yang menghancurkan struktur ekonomi keluarga dan masyarakat, meninggalkan jejak kehancuran yang sulit dipulihkan.

Dampak Sosial Maysir

Seperti khamr, Maysir juga merupakan alat setan untuk menanamkan permusuhan dan kebencian. Ketika seseorang kalah dalam perjudian, muncul rasa dendam, penyesalan yang mendalam, dan permusuhan terhadap pihak yang menang. Kekalahan besar dapat memicu kekerasan, perceraian, dan bahkan bunuh diri. Kestabilan sosial sangat bergantung pada rasa saling percaya dan keadilan ekonomi. Maysir merusak fondasi ini karena ia melibatkan pengambilan harta orang lain tanpa hak yang dibenarkan oleh syariat atau etika universal. Harta yang diperoleh melalui judi adalah harta yang kotor, yang tidak membawa keberkahan dan hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Dalam konteks modern, spektrum Maysir telah meluas secara dramatis. Meskipun pasar modal yang produktif dan berbasis aset adalah legal, praktik spekulatif murni yang menyerupai taruhan, di mana risiko dan imbalan tidak memiliki dasar aset nyata atau kontribusi terhadap ekonomi riil, jatuh ke dalam semangat Maysir. Ayat Al Maidah 90 berfungsi sebagai prinsip umum yang mengajarkan umat untuk menjauhi segala bentuk transaksi yang menciptakan kekayaan dari ketiadaan, yang memindahkan kekayaan dari satu pihak ke pihak lain hanya berdasarkan kebetulan, tanpa menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat.

Simbol Keseimbangan dan Spekulasi Timbangan yang miring, mewakili ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang dihasilkan oleh perjudian (Maysir). Risiko Ilusi

Gambar 2: Ketidakseimbangan dan ketidakpastian yang menjadi ciri khas Maysir.

Kebutuhan Totalitas Ijtinab dalam Maysir

Prinsip Ijtinab (menjauhi total) sangat penting diterapkan pada Maysir karena daya tariknya yang sangat halus. Banyak orang beranggapan bahwa taruhan kecil atau permainan untung-untungan yang bersifat rekreasi tidak termasuk dalam larangan. Namun, esensi dari Rijs adalah menciptakan ketidakpuasan, keserakahan, dan ketergantungan pada nasib alih-alih pada upaya dan tawakkal. Sekecil apapun bentuknya, perjudian merusak mentalitas kerja keras. Oleh karena itu, larangan ini bersifat menyeluruh, mencakup semua bentuk pengundian, taruhan, dan spekulasi yang tidak didasarkan pada prinsip bagi hasil atau kontribusi nyata. Menjauhi Maysir adalah kunci untuk membangun masyarakat yang adil, produktif, dan stabil secara finansial, di mana kekayaan diperoleh melalui cara-cara yang bermartabat dan berkah.

Penting untuk dipahami bahwa upaya setan dalam Maysir adalah mengalihkan fokus manusia dari perencanaan masa depan yang matang dan kerja keras yang berkelanjutan. Ketika seseorang terbiasa berpikir bahwa solusi finansialnya bergantung pada kemenangan instan, ia kehilangan kemampuan untuk menabung, berinvestasi secara bijaksana, atau mengembangkan keterampilan. Maysir menjerumuskan individu ke dalam lingkaran setan hutang dan kehinaan. Sifat Rijs dari Maysir menjadikannya penghalang utama bagi pencapaian Falah, karena kesuksesan spiritual selalu terkait erat dengan kemurnian penghasilan dan keadilan dalam perolehan harta. Sebuah jiwa yang terkontaminasi oleh kekejian Maysir akan kesulitan mencapai ketenangan hati dan fokus dalam beribadah kepada Ilahi.

Bagian III: Ansab dan Azlam – Penghalang Utama Tauhid

Dua elemen terakhir yang disebutkan dalam Al Maidah 90 adalah Ansab (berhala yang disembah atau batu yang dijadikan tempat sesaji) dan Azlam (panah-panah yang digunakan untuk meramal nasib). Walaupun secara harfiah elemen ini mungkin tampak berbeda dari khamr dan maysir, keduanya memiliki akar yang sama: pengalihan perhatian dari Tauhid (keesaan Tuhan) dan penyerahan kendali hidup kepada kekuatan selain Allah. Dalam konteks ayat ini, berhala dan panah ramalan adalah representasi dari kesyirikan dan takhayul yang merusak keyakinan murni.

Ansab: Larangan Ketersambungan dengan Kekuatan Lain

Ansab secara tradisional merujuk pada batu atau patung yang didirikan dan disembah atau dipersembahkan sesajen. Larangan ini adalah perlindungan terhadap ajaran Tauhid. Syirik adalah dosa terbesar karena ia merusak hubungan fundamental antara manusia dan Penciptanya. Ketika seseorang menyembah atau memuja selain Allah, ia menempatkan kekuatan ilahi pada objek yang tidak memiliki kuasa, menjerumuskan dirinya ke dalam kegelapan spiritual. Ansab, sebagai wujud nyata dari syirik, secara otomatis dianggap sebagai Rijs tingkat tinggi, sebuah kekejian yang harus dijauhi agar ibadah dan kehidupan seorang Muslim tetap murni dan fokus.

Azlam: Menjauhi Takdir dan Takhayul

Azlam adalah metode tradisional untuk meramal atau mengundi nasib sebelum mengambil keputusan penting, seperti memulai perjalanan atau berperang. Menggunakan Azlam adalah tindakan menolak akal dan tawakal (berserah diri kepada Allah setelah berusaha). Larangan ini mengajarkan bahwa keputusan harus didasarkan pada pertimbangan rasional, musyawarah, dan yang paling penting, Istikharah (memohon petunjuk kepada Allah). Menggantungkan nasib pada objek mati seperti panah adalah bentuk takhayul yang merusak iman dan menciptakan ketakutan serta ketergantungan yang tidak sehat pada hal-hal supranatural yang tidak memiliki dasar kebenaran. Azlam, bersama dengan bentuk ramalan dan perdukunan modern, adalah kekejian karena ia memotong jalur komunikasi langsung antara hamba dan Rabb-nya, menggantinya dengan kebohongan setan.

Penyandingan Ansab dan Azlam dengan Khamr dan Maysir menunjukkan bahwa keempat hal tersebut memiliki tujuan yang sama: mengalihkan manusia dari kesadaran dan ketaatan. Khamr merusak akal; Maysir merusak harta dan etos kerja; Ansab dan Azlam merusak akidah dan tawakal. Keempatnya adalah mekanisme yang digunakan setan untuk menciptakan permusuhan, melalaikan manusia dari mengingat Allah, dan menjauhkan mereka dari shalat, sehingga menghalangi tercapainya kesuksesan sejati (Falah).

Bagian IV: Konsep Ijtinab – Menjauhi Totalitas Rijs

Kata kunci dalam Al Maidah 90 adalah perintah untuk Fajtanibuhu (Maka jauhilah ia). Perintah ini bukan sekadar melarang, tetapi menuntut tindakan menjauh yang proaktif dan total. Ijtinab mensyaratkan tidak adanya kompromi, tidak ada batas abu-abu, dan tidak ada "penggunaan moderat." Ini adalah sebuah standar kemurnian etika yang tinggi, yang dirancang untuk melindungi individu dari bahaya yang merayap dan sulit dideteksi.

Ijtinab sebagai Mekanisme Pencegahan Sosial

Penerapan Ijtinab dalam konteks sosial memiliki implikasi yang mendalam. Dalam kasus Khamr, Ijtinab berarti menjauhi tidak hanya minumannya, tetapi juga segala aspek yang terlibat dalam prosesnya: memproduksi, mendistribusikan, menjual, dan bahkan duduk di meja tempat minuman keras disajikan. Dalam kasus Maysir, Ijtinab berarti menjauhi segala bentuk taruhan, baik yang besar maupun yang kecil, dan menghindari lingkungan yang mempromosikan mentalitas spekulatif yang tidak sehat. Dengan menjauhi total, masyarakat mampu membangun benteng pertahanan kolektif terhadap kerusakan moral dan sosial.

Totalitas Ijtinab ini adalah cerminan dari pemahaman bahwa dosa-dosa ini memiliki kekuatan adiktif dan merusak yang sangat besar. Membiarkan celah sedikit saja akan membuka peluang bagi setan untuk kembali menjerat manusia. Oleh karena itu, hukumannya adalah totalitas pengabaian, sebuah pemutusan hubungan yang menyeluruh dengan segala sesuatu yang berbau Rijs.

Implikasi Spiritual Ijtinab

Secara spiritual, Ijtinab adalah tindakan penyerahan diri yang mengedepankan ketaatan dibandingkan hawa nafsu. Menjauhi hal-hal yang dilarang, meskipun terasa nikmat sesaat atau menjanjikan keuntungan palsu, adalah bukti keimanan yang sesungguhnya. Ketika seseorang secara sadar memilih untuk menjauhi kekejian ini, ia sedang membersihkan jiwanya, menguatkan akalnya, dan menyiapkan dirinya untuk mencapai Falah. Proses pemurnian ini memastikan bahwa hati dan pikiran fokus sepenuhnya pada tujuan akhir, yaitu meraih ridha Allah dan mencapai Surga.

Al Maidah 90 menekankan bahwa dengan menjauhi keempat Rijs ini, manusia dapat mencapai Falah (kesuksesan/kemenangan). Kesuksesan ini bukan hanya tentang kekayaan materi, melainkan tentang kemenangan spiritual atas godaan setan, kemenangan akal atas nafsu, dan kemenangan keadilan atas kezaliman. Ijtinab adalah jaminan bahwa individu telah mengambil langkah proaktif untuk melindungi investasinya yang paling berharga: iman dan integritasnya.

Simbol Ijtinab (Perisai Perlindungan) Perisai yang melindungi manusia dari empat bahaya utama: Khamr, Maysir, Ansab, Azlam. X X X X IJTINAB

Gambar 3: Ijtinab sebagai perisai yang melindungi dari kekejian (Rijs).

Bagian V: Strategi Setan dan Tuntutan Ketaatan

Ayat Al Maidah 90 tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan penjelasan lugas mengenai motivasi di balik larangan tersebut: "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat..." Ini adalah kunci untuk memahami mengapa empat hal ini dikategorikan sebagai Rijs.

Menimbulkan Permusuhan dan Kebencian

Baik khamr maupun maysir memiliki kapasitas unik untuk menghancurkan ikatan sosial. Khamr menyebabkan agresi yang tidak terkontrol, kekerasan verbal, dan hilangnya rasa malu, yang semuanya adalah bahan bakar bagi permusuhan. Maysir, di sisi lain, menciptakan rasa iri, dendam, dan kezaliman finansial. Setan menggunakan kedua alat ini untuk memecah belah umat, menggantikan kasih sayang dan persaudaraan dengan kecurigaan dan kebencian yang mendalam. Ketaatan terhadap larangan ini adalah bentuk pertahanan komunitas, memastikan bahwa masyarakat tetap kohesif dan harmonis.

Melalaikan dari Mengingat Allah dan Shalat

Tujuan akhir setan adalah menjauhkan manusia dari tujuan utamanya: beribadah kepada Allah. Khamr melumpuhkan kesadaran yang dibutuhkan untuk Dzikrullah (mengingat Allah) dan melaksanakan shalat yang merupakan tiang agama. Maysir, dengan janji kekayaan cepat dan siklus adiksi, menyita waktu dan pikiran, membuat individu sibuk dengan spekulasi dan perhitungan untung rugi, sehingga melalaikan kewajiban shalat. Shalat dan Dzikir adalah benteng spiritual; dengan meruntuhkannya melalui Rijs, setan memastikan bahwa manusia terputus dari sumber kekuatan dan petunjuknya.

Pemahaman yang komprehensif tentang Surah Al Maidah 90 menunjukkan bahwa perintah untuk menjauhi kekejian ini bukanlah sekadar daftar larangan hukum, melainkan sebuah peta jalan menuju kesehatan mental, stabilitas finansial, dan pemurnian spiritual. Menjauhi khamr menjamin akal tetap berfungsi sebagai pemandu moral. Menjauhi maysir memastikan integritas finansial dan etos kerja yang produktif. Menjauhi ansab dan azlam menjamin kemurnian akidah dan kepercayaan penuh pada Qadar (ketentuan) Allah. Dengan demikian, ayat ini merupakan resep ilahi yang sempurna untuk mencapai keseimbangan hidup yang menjadi prasyarat untuk Falah.

Konteks penurunannya menegaskan universalitas larangan ini. Meskipun awalnya ditujukan kepada masyarakat Arab yang terbiasa dengan khamr dan judi, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat abadi. Dalam era modern, di mana godaan-godaan baru muncul dalam bentuk digital dan finansial, prinsip Ijtinab tetap relevan. Khamr dapat berupa segala bentuk narkotika atau zat psikoaktif. Maysir dapat berupa platform taruhan daring, lotere besar, atau spekulasi mata uang tanpa dasar yang kuat. Ketaatan menuntut bukan hanya menghindari bentuk lama, tetapi juga menerapkan semangat larangan (Ijtinab terhadap Rijs) pada manifestasi keburukan yang kontemporer.

Bagian VI: Pendalaman Konsekuensi Sosial dan Pembangunan Karakter

Analisis tentang Al Maidah 90 harus diperluas untuk memahami bagaimana keempat elemen Rijs ini bekerja secara sinergis untuk meruntuhkan karakter individu dan merusak fondasi masyarakat madani. Ketika khamr merusak kemampuan berpikir jernih, ia secara langsung menghancurkan kapasitas individu untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan anggota keluarga yang berfungsi. Seseorang yang kehilangan akal tidak hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga orang-orang di sekitarnya yang bergantung padanya, terutama anak-anak dan pasangan. Siklus kekerasan dan kelalaian yang diakibatkannya menciptakan trauma antargenerasi, memastikan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh satu individu akan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Menjaga Kehormatan dan Keadilan

Kaitannya dengan Maysir sangat erat. Kebutuhan finansial yang putus asa akibat kerugian judi seringkali mendorong individu untuk melakukan kejahatan yang melanggar kehormatan, seperti korupsi, pencurian, atau penipuan. Inti dari larangan judi adalah perlindungan terhadap keadilan distributif. Dalam sistem ekonomi yang adil, kekayaan harus beredar berdasarkan kerja, risiko yang bertanggung jawab, atau kebutuhan. Maysir melanggar semua prinsip ini, mengubah perolehan kekayaan menjadi permainan untung-untungan yang didominasi oleh keserakahan dan keberuntungan buta. Dengan menjauhi Maysir, umat diperintahkan untuk membangun ekonomi yang berlandaskan kejujuran, transparansi, dan nilai tambah yang nyata.

Dalam skala yang lebih luas, ketergantungan masyarakat pada intoksikan dan perjudian menandakan kemunduran peradaban. Peradaban yang maju adalah peradaban yang menghargai akal, kerja keras, dan spiritualitas murni. Ketika mayoritas masyarakat menghabiskan sumber daya mereka untuk Rijs, energi kreatif, inovatif, dan produktif mereka terhenti. Larangan dalam Al Maidah 90 adalah panggilan untuk kebangkitan intelektual dan moral, sebuah seruan untuk berinvestasi pada hal-hal yang kekal dan bermanfaat, bukan pada kesenangan sesaat yang menghancurkan.

Penguatan Tawakal Melalui Ijtinab

Bagian Ansab dan Azlam mengajarkan sebuah pelajaran fundamental tentang Tawakal. Mengapa seseorang mencari petunjuk pada panah atau berhala? Karena kurangnya keyakinan pada kendali Ilahi atas takdir. Larangan ini mendidik umat untuk menghadapi ketidakpastian hidup dengan keberanian dan keyakinan, setelah mengambil langkah-langkah yang rasional (musyawarah, perencanaan). Ketika seseorang menjauhi Azlam, ia menyatakan bahwa nasibnya berada di tangan Allah semata, dan bukan pada ritual takhayul. Ini membebaskan pikiran dari ketakutan yang tidak rasional dan memfokuskannya pada upaya yang diperintahkan.

Penguatan karakter yang dihasilkan dari praktik Ijtinab adalah penanaman disiplin diri yang luar biasa. Setiap kali seorang Muslim menolak tawaran Khamr, menolak ikut serta dalam Maysir, ia sedang membangun otot spiritual yang diperlukan untuk menghadapi godaan yang lebih besar. Ini adalah pelatihan internal yang berkelanjutan yang membedakan orang yang beriman sejati. Konsistensi dalam menjauhi Rijs adalah indikasi kematangan spiritual dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap jalan Falah.

Pemahaman mendalam tentang Rijs ini harus diintegrasikan ke dalam pendidikan moral dan hukum. Masyarakat yang menjunjung tinggi Al Maidah 90 adalah masyarakat yang stabil, sejahtera, dan spiritual. Mereka memprioritaskan kesehatan publik di atas keuntungan industri minuman keras atau perjudian. Mereka menghargai integritas ekonomi di atas spekulasi yang cepat kaya. Dan mereka menghormati Tauhid di atas segala bentuk takhayul. Inilah esensi dari kesuksesan yang dijanjikan dalam ayat tersebut.

Bagian VII: Jalan Menuju Falah (Kesuksesan Sejati)

Kesimpulan dari Al Maidah 90 adalah janji yang jelas: "...supaya kamu mendapat keberuntungan (Falah)." Falah adalah konsep yang jauh lebih kaya daripada sekadar "sukses" material. Falah mencakup kemenangan di dunia (kehidupan yang damai, bermakna, adil) dan kemenangan di Akhirat (Surga). Ayat ini menetapkan bahwa ada hubungan kausal yang tak terhindarkan antara menjauhi Rijs dan mencapai Falah.

Falah dalam Dimensi Duniawi

Di dunia ini, Falah termanifestasi sebagai kedamaian batin, kesehatan fisik dan mental, serta hubungan sosial yang harmonis. Komunitas yang bebas dari Khamr dan Maysir adalah komunitas yang secara inheren lebih sehat. Tingkat kejahatan rendah, kesehatan masyarakat meningkat, dan sumber daya finansial diinvestasikan dalam pertumbuhan yang produktif. Kedamaian batin diperoleh karena hati bersih dari ketergantungan yang merusak dan akal bebas dari kabut intoksikasi. Ketika seseorang menjauhi Rijs, ia telah menghilangkan rintangan-rintangan utama yang menghalangi kebahagiaan dan produktivitas duniawi.

Falah dalam Dimensi Ukhrawi

Di Akhirat, Falah adalah tujuan utama setiap Muslim. Ketaatan pada perintah Al Maidah 90 adalah sebuah ujian fundamental. Menjauhi hal-hal yang dilarang karena ketaatan, meskipun memiliki daya tarik, adalah bukti nyata dari prioritas spiritual. Kesuksesan di Hari Penghakiman sangat bergantung pada kebersihan hati, kebenaran amal, dan kemurnian akidah. Keempat Rijs ini mengancam ketiga aspek tersebut, dan dengan Ijtinab, seseorang secara aktif membersihkan dirinya dari noda yang dapat menghalangi jalannya menuju keridhaan Allah.

Perluasan pembahasan ini menegaskan bahwa setiap detail dalam Al Maidah 90 adalah komponen yang saling terkait dalam desain ilahi untuk kesejahteraan manusia. Jika salah satu pilar Rijs ini dibiarkan masuk, keseluruhan struktur spiritual dan sosial terancam. Misalnya, konsumsi khamr bukan hanya merusak akal, tetapi seringkali juga mendorong seseorang untuk berjudi, sehingga kerusakan berlipat ganda. Ini adalah sistem tertutup di mana satu dosa membuka jalan bagi dosa-dosa lainnya.

Oleh karena itu, kewajiban Fajtanibuhu adalah sebuah perintah yang bersifat integral dan fundamental. Ia menuntut pengawasan diri yang ketat, kesadaran sosial yang tinggi, dan komitmen yang berkelanjutan untuk hidup dalam kemurnian dan ketaatan. Setiap Muslim diundang untuk merenungkan makna mendalam dari ayat ini, menjadikannya bukan hanya larangan yang dipatuhi, tetapi juga prinsip hidup yang dijalankan dalam setiap aspek perilaku, transaksi, dan keyakinan.

Penutup: Janji Keberuntungan

Ayat mulia Al Maidah 90 berdiri sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi umat manusia. Ia merangkum hikmah ilahi tentang apa yang harus dihindari untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan mulia. Larangan terhadap Khamr, Maysir, Ansab, dan Azlam adalah perlindungan terhadap akal, harta, kehormatan, dan agama. Dengan menamai keempatnya sebagai Rijs—kekejian yang berasal dari perbuatan setan—ayat tersebut menanamkan keengganan yang mendalam dan absolut terhadap praktik-praktik tersebut.

Ketaatan terhadap perintah Fajtanibuhu (menjauhilah ia) adalah bukti keimanan yang sesungguhnya. Itu adalah tindakan disiplin diri yang membebaskan individu dari perbudakan nafsu dan ilusi kekayaan cepat. Ketika umat manusia secara kolektif menerapkan prinsip ini, mereka akan menyaksikan transformasi sosial yang mendasar: berkurangnya konflik, meningkatnya produktivitas, dan kedamaian spiritual yang lebih dalam.

Menjauhi kekejian adalah langkah pertama menuju Falah. Kesuksesan sejati tidak akan pernah ditemukan dalam zat yang mengaburkan akal atau permainan yang merampas harta. Kesuksesan sejati terletak dalam ketaatan yang tulus, penggunaan akal yang bijaksana, dan tawakal yang mantap. Marilah kita senantiasa memegang teguh pedoman ini, menjaga diri kita, keluarga kita, dan komunitas kita dari segala bentuk Rijs, demi meraih keberuntungan abadi yang telah dijanjikan oleh Yang Maha Kuasa.

Refleksi mendalam terhadap ayat ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengutamakan pencegahan. Daripada menunggu hingga kerusakan terjadi dan mencoba memperbaikinya, syariat menutup jalan menuju kerusakan sejak awal. Dengan menjauhi Khamr, kita menghindari kekerasan dan penyakit. Dengan menjauhi Maysir, kita menghindari kehancuran finansial dan konflik sosial. Tindakan pencegahan ini adalah kasih sayang dan rahmat yang diwujudkan dalam bentuk hukum. Oleh karena itu, menjalankan Al Maidah 90 bukanlah beban, melainkan hadiah, sebuah kesempatan untuk hidup dalam kemuliaan dan martabat tertinggi yang ditawarkan oleh kepatuhan kepada Sang Pencipta.

Setiap kali godaan dari salah satu empat Rijs ini muncul, kita diingatkan akan tujuan akhir kita. Apakah kita akan memilih kesenangan atau keuntungan sementara yang membawa permusuhan dan menjauhkan dari shalat, ataukah kita akan memilih Ijtinab yang menjamin ketenangan dan membawa kita menuju Falah? Jawaban yang bijak dan beriman harus selalu mengarah pada pilihan kedua, sebuah pilihan yang menegaskan komitmen kita pada kemurnian, keadilan, dan ketaatan yang total.

🏠 Kembali ke Homepage