Visualisasi Larangan dalam Syariat
Surah Al-Maidah merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode akhir kenabian. Surah ini kaya akan hukum-hukum fundamental yang berfungsi sebagai penutup bagi penetapan syariat Islam yang sempurna. Penurunannya menandakan rampungnya kerangka hukum bagi umat Muslim, mengatur aspek-aspek penting mulai dari makanan, pernikahan, sumpah, hingga penetapan hukuman. Di antara sekian banyak ketetapan hukum yang termaktub di dalamnya, ayat 90 dan 91 memegang peranan krusial karena ia secara definitif dan mutlak menetapkan haramnya empat perilaku destruktif yang mengancam keutuhan akal, harta, dan spiritualitas umat.
Sebelum penetapan ini, masyarakat Arab, termasuk sebagian Muslim awal, memiliki tradisi yang sangat erat dengan khamr (minuman keras) dan maysir (judi). Allah SWT, dengan hikmah-Nya yang tak terbatas, memilih jalan bertahap (tahapan) dalam menghapus kebiasaan yang mengakar ini, sebuah metode yang menunjukkan kelembutan dan kebijaksanaan syariat dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual. Ayat 90 dan 91 adalah puncak dari proses pengharaman yang bertahap tersebut.
Untuk memahami sepenuhnya dampak hukum ayat ini, perlu dikaji secara mendalam empat elemen yang dilarang, serta sifat yang dilekatkan kepada mereka, yaitu *rijs* (keji) dan *‘amal asy-syaithan* (perbuatan setan).
Secara etimologi, kata *khamr* berasal dari akar kata *khamara* yang berarti menutupi atau menyelimuti. Khamr dinamakan demikian karena ia menutupi atau menyelimuti akal, menjadikannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Penetapan hukum khamr dalam Islam tidak hanya terbatas pada minuman yang terbuat dari anggur yang difermentasi, sebagaimana yang umum dipahami pada masa awal, tetapi mencakup segala sesuatu yang memabukkan.
Para ulama, berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan lebih lanjut ayat ini, menetapkan kaidah universal: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.” Kaidah ini sangat penting karena memastikan bahwa larangan tersebut bersifat adaptif dan berlaku untuk semua jenis zat psikoaktif, termasuk narkotika modern, yang memiliki efek serupa dalam merusak kesadaran dan akal manusia. Hukum Islam berfokus pada dampak (*illah*) zat tersebut, bukan hanya pada sumbernya. Kerusakan akal adalah ancaman langsung terhadap salah satu tujuan utama syariat (*Maqashid Syariah*), yaitu pemeliharaan akal (*hifzhul ‘aql*).
Perluasan definisi khamr ini telah menjadi konsensus (ijma') di kalangan fuqaha. Dalam konteks fiqih, sedikit atau banyaknya suatu zat yang memabukkan, sama-sama haram. Jika meminum dalam jumlah besar menyebabkan mabuk, maka meminum dalam jumlah kecil pun dilarang, sebagai langkah preventif (*sadd adz-dzara'i*) untuk menutup celah menuju kemaksiatan besar. Prinsip ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga integritas kognitif dan mental umatnya.
Maysir atau qimar adalah kegiatan taruhan di mana salah satu pihak akan menang dan pihak lain akan kalah, dengan hasil yang bergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti atau kebetulan. Esensi dari maysir adalah mendapatkan harta orang lain tanpa melalui pertukaran nilai yang setara atau usaha yang sah.
Islam mengharamkan maysir karena dua alasan utama yang dibahas mendalam dalam ayat 91: aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara ekonomi, judi adalah pemindahan harta kekayaan dari satu pihak ke pihak lain berdasarkan peluang semata, bukan berdasarkan kerja keras, inovasi, atau kepemilikan yang sah. Hal ini merusak etos kerja dan menciptakan mentalitas ketergantungan pada keberuntungan, yang bertentangan dengan prinsip Islam tentang mencari rezeki yang halal (*kasb al-halal*).
Secara sosial, maysir adalah sumber utama permusuhan dan kebencian, karena ia selalu menghasilkan pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan yang merasa tertipu atau sakit hati. Di era kontemporer, larangan maysir ini diperluas mencakup segala bentuk lotre, taruhan olahraga yang melibatkan uang tanpa adanya usaha yang riil, dan praktik-praktik investasi yang didominasi oleh unsur spekulatif yang menyerupai taruhan murni. Hukum maysir menekankan pentingnya pemeliharaan harta (*hifzhul mal*) dari kerugian yang tidak berdasar.
Anshab merujuk kepada batu atau patung yang didirikan dan digunakan sebagai tempat persembahan atau penyembelihan untuk selain Allah. Ini adalah manifestasi nyata dari syirik (menyekutukan Allah). Meskipun larangan berhala sudah jelas dalam ajaran tauhid, penyebutannya bersama khamr dan judi dalam satu rangkaian menunjukkan bahwa syirik, meskipun berbeda dalam bentuk, memiliki akar yang sama: penyimpangan akal dan hati yang disalurkan oleh setan.
Menghubungkan anshab dengan khamr dan maysir menekankan bahwa kesesatan spiritual dan penyimpangan moral seringkali berjalan beriringan. Anshab adalah serangan langsung terhadap *hifzhud din* (pemeliharaan agama), fondasi utama syariat. Larangan ini bukan hanya tentang pemujaan fisik, tetapi juga tentang menghindari segala bentuk pemuliaan atau penyembahan selain kepada Allah SWT.
Azlam adalah anak panah yang digunakan pada masa jahiliah untuk menentukan keputusan, seperti apakah seseorang harus melakukan perjalanan, menikah, atau melakukan balas dendam, tanpa didasarkan pada pertimbangan logis atau istikharah (memohon petunjuk kepada Allah). Praktik ini merupakan bentuk ramalan atau takhayul.
Larangan azlam menegaskan bahwa seorang Muslim harus mendasarkan keputusannya pada keyakinan kepada takdir Allah setelah melakukan usaha terbaik (*ikhtiar*) dan memohon petunjuk-Nya. Mengandalkan azlam adalah penyerahan diri kepada kekuasaan yang tidak sah dan merusak konsep tawakkal (berserah diri) yang benar. Dalam konteks modern, larangan ini dapat diperluas kepada segala bentuk ramalan, peramalan nasib, atau praktik okultisme yang mengklaim mengetahui masa depan tanpa dasar ilmu yang sahih atau wahyu Ilahi.
Ayat 90 tidak hanya melarang empat perbuatan tersebut, tetapi juga mendefinisikannya dengan dua sifat yang sangat keras, memberikan otoritas penuh pada penetapan haram secara mutlak.
Kata *rijs* bermakna kekejian, kekotoran, atau najis. Dalam konteks ini, *rijs* bukan hanya merujuk pada kenajisan fisik, tetapi lebih dominan pada kenajisan spiritual dan moral. Khamr, judi, anshab, dan azlam adalah kekotoran yang merusak jiwa dan moralitas individu serta masyarakat.
Jika sesuatu itu didefinisikan sebagai *rijs* dari sisi perbuatan setan, maka status hukumnya menjadi haram yang tidak bisa ditawar lagi. Kekejian ini menempel pada perilaku itu sendiri, dan bukan hanya pada dampak sampingnya. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa keempat hal ini tidak memiliki nilai kebaikan sedikit pun di sisi syariat. Menggunakan istilah *rijs* menghilangkan kemungkinan bagi para filsuf hukum untuk mencari celah atau pembenaran terhadap praktik-praktik tersebut.
Penghubungan perbuatan ini dengan "perbuatan setan" adalah penekanan terkuat bahwa tujuannya adalah menyesatkan manusia. Setan (*asy-Syaithan*) adalah musuh nyata manusia yang bersumpah untuk menghalangi mereka dari jalan Allah. Dengan mendefinisikan khamr dan judi sebagai alat setan, ayat tersebut mengajarkan bahwa melakukan praktik ini sama dengan menjadi alat bagi musuh Allah.
Kategori “perbuatan setan” menunjukkan bahwa praktik ini adalah langkah awal menuju kejahatan yang lebih besar. Setan menggunakan zat adiktif dan harapan kekayaan instan (judi) sebagai pintu masuk untuk menguasai akal dan jiwa, sehingga mudah mengarahkan manusia kepada kekufuran (anshāb) dan penyimpangan (azlām). Keterangan ini memberikan dimensi teologis yang kuat terhadap larangan tersebut, menempatkannya bukan sekadar aturan sosial, tetapi pertarungan spiritual abadi antara kebenaran dan kesesatan.
Kebijaksanaan Ilahi tampak jelas dalam proses bertahap penetapan larangan khamr. Jika larangan total diturunkan sejak awal, resistensi sosial mungkin sangat besar mengingat khamr adalah bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya bangsa Arab. Proses ini menunjukkan metodologi dakwah yang efektif dan mendalam dalam mengubah kebiasaan masyarakat.
Awalnya, Allah SWT mulai menanamkan keraguan di hati umat Muslim tentang manfaat dan bahaya khamr dan maysir:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’" (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini mengakui adanya manfaat duniawi (misalnya, keuntungan dagang dari khamr, atau kenikmatan sesaat), tetapi secara tegas menyatakan dominasi dosa dan bahaya. Ini adalah peringatan pertama, yang mulai mempersiapkan hati untuk larangan final.
Setelah tahap peringatan, datang tahap pembatasan, yang secara praktis melarang konsumsi khamr pada waktu-waktu yang penting untuk ibadah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan..." (QS. An-Nisa: 43)
Ayat ini secara efektif melarang minum khamr setidaknya lima kali sehari, karena jarak antar waktu shalat sangat berdekatan. Pembatasan ini mengajarkan umat Muslim untuk memilih antara kenikmatan sesaat dan ketaatan spiritual. Ini adalah langkah praktis yang secara drastis mengurangi konsumsi khamr.
Setelah masyarakat Muslim secara mental dan spiritual siap, Allah menurunkan ayat 90-91. Penggunaan kalimat “Fa hal antum muntahun?” (Maka berhentilah kamu?) setelah menjelaskan bahaya spiritual dan sosialnya, adalah seruan tegas yang tidak membutuhkan jawaban lain selain ketaatan. Diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, para sahabat segera menumpahkan semua persediaan khamr mereka di jalan-jalan Madinah, menunjukkan kepatuhan total tanpa tawar-menawar terhadap perintah Ilahi yang telah final.
Ayat 91 secara eksplisit menjelaskan alasan mendasar di balik larangan khamr dan judi, yang berfokus pada rusaknya tatanan sosial dan spiritual.
Khamr menghilangkan akal sehat, yang merupakan benteng pertahanan manusia terhadap perilaku agresif. Dalam keadaan mabuk, keputusan yang diambil seringkali didorong oleh emosi sesaat, menyebabkan perselisihan, kekerasan domestik, dan bahkan tindak kriminal serius. Kerugian dari khamr ini bukan hanya dialami oleh peminumnya, tetapi seluruh keluarga dan masyarakat.
Demikian pula, judi adalah mesin penghasil kebencian. Orang yang menang menjadi sasaran kecemburuan, sementara orang yang kalah menderita kerugian finansial yang parah, sering kali berujung pada kebangkrutan, utang menumpuk, dan rusaknya hubungan keluarga. Rasa dendam yang timbul dari kerugian besar akibat judi seringkali melahirkan konflik dan permusuhan yang berkepanjangan. Syariat Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis (*ukhuwah*), dan khamr serta judi secara diametral menghancurkan tujuan ini.
Ini adalah alasan paling vital dari perspektif spiritual. Tujuan utama ibadah dalam Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Khamr dan judi berfungsi sebagai penghalang tebal (*shidūd*) dari tujuan ini.
a. **Menghalangi Dzikrullah (ذِكْرِ اللَّهِ):** Dzikir adalah kesadaran akan kehadiran Allah. Intoksikan menghilangkan kesadaran ini, membanjiri pikiran dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Judi mengikat pikiran dengan perhitungan untung rugi, menjauhkan hati dari ketenangan spiritual dan perhatian kepada Sang Pencipta.
b. **Menghalangi Shalat (الصَّلَاةِ):** Shalat adalah tiang agama dan ritual yang menuntut konsentrasi penuh dan kebersihan. Seseorang yang mabuk tidak mungkin melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bahkan ketika tidak mabuk, kecanduan khamr atau judi merampas waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk ibadah, menggantinya dengan pengejaran kesenangan sesaat atau pemulihan kerugian finansial. Ayat ini menekankan bahwa kerugian spiritual yang disebabkan oleh kedua perbuatan ini jauh lebih besar daripada kerugian fisik atau finansial.
Kesimpulan dari ayat 91 adalah sebuah pertanyaan retoris yang kuat: *Fa hal antum muntahun?* (Maka berhentilah kamu?). Pertanyaan ini menguji keimanan dan kepatuhan sejati. Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan mereka dan Rasulullah adalah utusan-Nya, tidak ada pilihan lain selain berhenti total, karena bahaya yang ditimbulkan telah dijelaskan secara terang benderang.
Larangan yang ditetapkan dalam Al-Maidah 90-91 melahirkan berbagai hukum fiqih (jurisprudensi) yang sangat detail, memastikan bahwa setiap celah menuju kemaksiatan ditutup.
Hukum khamr dan maysir adalah *haram ‘ain* (haram zatnya), bukan hanya haram karena sebab. Ini berarti segala sesuatu yang terkait dengannya juga haram. Hadis-hadis Nabi SAW memperjelas hal ini dengan mengutuk sepuluh pihak yang terlibat dalam khamr, termasuk pemerasnya, yang memerasnya untuk diminum, peminumnya, pembawanya, yang dibawakan kepadanya, yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemakan hasil penjualannya, dan yang menyuruhnya dibuatkan. Prinsip ini melarang seluruh rantai produksi, distribusi, dan konsumsi.
Karena *illah* (sebab hukum) pengharaman khamr adalah sifatnya yang memabukkan dan merusak akal (*isytidād*), para ulama modern menggunakan prinsip *qiyas* untuk menghukumi narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya (seperti ganja, kokain, heroin, dan zat adiktif sintetis) sebagai haram secara mutlak.
Narkotika seringkali jauh lebih merusak akal dan tubuh dibandingkan khamr tradisional. Dengan demikian, mereka termasuk dalam kategori zat yang dilarang berdasarkan semangat dan tujuan ayat 90. Semua jenis penyalahgunaan zat yang merusak *hifzhul ‘aql* dan *hifzhun nafs* (pemeliharaan jiwa) berada di bawah payung larangan khamr.
Maysir di masa kini jauh melampaui dadu atau taruhan olahraga. Bentuk-bentuk kontemporer yang diharamkan termasuk:
Pengharaman ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi umat dan memastikan bahwa kekayaan diperoleh melalui kerja keras dan investasi yang bertanggung jawab, bukan melalui keserakahan dan peluang buta.
Karena khamr dan judi adalah *rijs* (najis moral), maka keuntungan yang didapat darinya adalah haram (*mal haram*). Keuntungan ini tidak boleh dimasukkan ke dalam harta pribadi seorang Muslim. Jika keuntungan tersebut diperoleh, hukumnya adalah wajib dibersihkan (disedekahkan kepada fakir miskin atau dialokasikan untuk kepentingan umum) tanpa harapan pahala, karena ia adalah pembersihan dari harta haram.
Ayat 90-91 adalah contoh sempurna bagaimana syariat Islam bekerja untuk melindungi lima kebutuhan esensial manusia (*Ad-Dharuriyyatul Khams*). Larangan dalam ayat ini secara langsung bertujuan melindungi setidaknya tiga dari lima kebutuhan tersebut:
Akal adalah pembeda utama manusia dari makhluk lain. Khamr adalah ancaman nomor satu terhadap akal. Tanpa akal yang jernih, manusia tidak dapat memahami agama, membuat keputusan moral, atau menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Larangan khamr adalah perlindungan mutlak terhadap fungsi kognitif dan rasionalitas manusia.
Harta adalah sarana untuk menjalankan kehidupan dan ketaatan. Maysir (judi) adalah mekanisme paling cepat untuk meruntuhkan harta dan menyebabkan kemiskinan yang tidak perlu. Syariat melarang maysir untuk memastikan bahwa harta diperoleh melalui cara-cara yang adil dan halal, sehingga individu terlindungi dari kebangkrutan dan kerugian yang didorong oleh keserakahan.
Ayat 90-91 secara tegas melindungi agama melalui dua aspek:
Ketika larangan ini dilaksanakan, hasilnya adalah masyarakat yang berakal sehat, stabil secara finansial, dan teguh dalam spiritualitas—sebuah masyarakat yang unggul dalam ketaatan dan harmoni sosial.
Ayat 90 ditutup dengan janji: *“la’allakum tuflihūn”* (agar kamu mendapat keberuntungan). Keberuntungan sejati, menurut terminologi Al-Qur’an, adalah gabungan dari kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan menjauhi kekejian yang diuraikan dalam ayat ini, seorang Muslim sedang membangun jalan menuju keberuntungan abadi.
Inti dari hukum-hukum dalam Surah Al-Maidah 90-91 adalah perlindungan. Ini bukanlah larangan yang dimaksudkan untuk membatasi kebebasan tanpa alasan, melainkan pagar pelindung yang didirikan oleh Sang Pencipta yang Maha Mengetahui atas kelemahan dan kecenderungan manusia.
Ketaatan terhadap perintah ini harus bersifat total dan tanpa kompromi. Ketika Allah SWT mengakhiri penjelasan tentang dampak buruk khamr dan judi dengan pertanyaan yang menghujam, *Fa hal antum muntahun?* (Maka berhentilah kamu?), tuntutan yang diminta adalah penolakan total terhadap semua bentuk kemaksiatan ini. Bagi seorang mukmin, tidak ada jawaban yang layak selain ketaatan mutlak. Larangan ini bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebuah ajakan untuk mencapai martabat manusia yang tertinggi, bebas dari belenggu adiksi, keserakahan, dan penyimpangan spiritual.
Keagungan ayat ini terletak pada ketegasannya yang tidak meninggalkan ruang abu-abu, sebuah penanda akhir dari perjalanan hukum yang panjang. Dengan memahami konteks, terminologi, dan tujuan syariat di balik Al-Maidah 90-91, umat Muslim diperkuat untuk menghadapi tantangan zaman modern yang menawarkan berbagai bentuk khamr dan maysir baru, mempertahankan akal, harta, dan keimanan mereka demi meraih keberuntungan abadi.
Ayat 90 memerintahkan *“fajtanibūhu”* (maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu). Perintah untuk menjauhi (*ijtināb*) memiliki makna yang lebih kuat daripada sekadar larangan melakukan. *Ijtināb* menuntut seorang Muslim untuk menciptakan jarak yang aman antara dirinya dan potensi maksiat. Ini berarti menjauhi tempat-tempat di mana khamr disajikan, lingkungan yang mendorong perjudian, dan pergaulan yang meremehkan hukum-hukum Allah.
Konteks *ijtināb* mencakup pencegahan sosial dan pembangunan lingkungan yang kondusif bagi ketaatan. Jika komunitas tidak menjauhi sumber-sumber kekejian ini, permusuhan dan kebencian yang disebutkan dalam ayat 91 akan menyebar tak terhindarkan. Oleh karena itu, larangan ini juga merupakan dasar bagi kewajiban Muslim untuk berpartisipasi dalam menjaga ketertiban moral masyarakat.
Selain aspek spiritual dan sosial, khamr dan judi memiliki dampak kesehatan yang sangat besar. Khamr adalah penyebab langsung sirosis hati, penyakit jantung, dan gangguan mental. Judi memicu kecemasan parah, depresi, dan risiko bunuh diri akibat kehancuran finansial. Larangan ini, sekali lagi, menunjukkan betapa syariat adalah sistem yang komprehensif yang mementingkan kesejahteraan holistik manusia, mencakup fisik, mental, spiritual, dan sosial. Ketaatan terhadap Al-Maidah 90-91 adalah investasi kesehatan terbesar bagi seorang individu.
***
Analisis mendalam ini telah menyentuh berbagai lapisan hukum dan hikmah yang terkandung dalam Surah Al-Maidah ayat 90 dan 91. Setiap kata dalam ayat ini membawa bobot hukum yang berat dan petunjuk moral yang jelas. Dari definisi linguistik khamr hingga perluasan hukum maysir di zaman modern, dari sejarah penetapan haram secara bertahap hingga penguatan melalui prinsip Maqashid Syariah, semua mengarah pada satu kesimpulan tunggal: umat yang beriman wajib menjauhi kekejian dan perbuatan setan ini secara total, demi meraih keselamatan dunia dan akhirat. Ketaatan pada larangan ini adalah barometer sejati dari kesungguhan keimanan seseorang.