Surah Al-Ma'idah, yang berarti ‘Hidangan’ atau ‘Meja Makan’, merupakan salah satu surah yang kaya akan hukum syariat, perjanjian, serta kisah-kisah menakjubkan yang meneguhkan kenabian para utusan Allah. Di antara kisah-kisah luar biasa yang termaktub di dalamnya, terdapat satu ayat yang menjadi inti penamaan surah ini, yakni ayat 114. Ayat ini mengabadikan sebuah permohonan istimewa yang dipanjatkan oleh Nabi Isa putra Maryam, atas permintaan para pengikut setianya, yang dikenal sebagai Al-Hawariyyun. Kisah ini bukan sekadar narasi tentang makanan yang turun dari langit, melainkan sebuah pelajaran abadi tentang urgensi bukti nyata (mukjizat), ujian keimanan, dan makna mendalam dari perayaan spiritual.
Ayat 114 menjadi penutup epik dari serangkaian dialog dan pengajaran yang diberikan kepada umat Nabi Isa (A.S.). Permintaan ini adalah puncak dari keinginan manusia untuk menyaksikan sendiri keagungan penciptanya, sebuah permintaan yang, meski mengandung risiko ujian berat, diizinkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai penegasan terhadap kebenaran risalah. Pengkajian terhadap ayat ini memerlukan penyelaman mendalam ke dalam konteks historis, tafsir linguistik, dan implikasi teologisnya yang meluas.
Ayat ke-114 dari Surah Al-Ma'idah (5:114) merupakan inti dari seluruh narasi mukjizat hidangan langit. Nabi Isa (A.S.) memanjatkan doa yang tulus setelah didesak oleh pengikutnya. Lafaz suci tersebut berbunyi:
Terjemahan Literal: Isa putra Maryam berdoa, "Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang ada bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki."
Permintaan ini tidak muncul dari inisiatif Isa (A.S.) sendiri, melainkan dari para Hawariyyun, yang merupakan para pembantu dan pengikut setianya. Dalam ayat sebelumnya (5:112), para Hawariyyun bertanya, "Apakah Tuhanmu sanggup menurunkan hidangan dari langit kepada kami?" Pertanyaan ini, meskipun terlihat lugas, memuat dualitas. Sebagian ulama tafsir memandangnya sebagai pertanyaan yang lahir dari keraguan, sebuah pengujian terhadap kekuasaan Ilahi. Namun, mayoritas ulama tafsir melihatnya sebagai permintaan untuk ketenangan hati dan bukti yang lebih nyata.
Mereka telah menyaksikan mukjizat yang tak terhitung jumlahnya melalui tangan Isa (A.S.), seperti menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit kusta. Namun, permintaan akan hidangan dari langit adalah permintaan yang bersifat kolektif, sebuah penegasan yang mereka yakini akan memperkuat keimanan mereka di hadapan tantangan dakwah yang berat. Mereka ingin agar mukjizat itu menjadi bukti material yang dapat mereka santap, sebuah bukti yang menyentuh seluruh indra mereka, bukan hanya sekadar pendengaran atau penglihatan.
Ilustrasi konseptual tentang turunnya Ma'idah (Hidangan) dari langit atas doa Nabi Isa (A.S.).
Ketika Isa (A.S.) mendengar permintaan tersebut, beliau segera memanjatkan doa kepada Allah. Doa ini menunjukkan tiga dimensi utama dari permintaan mukjizat:
Inti dari permintaan ini adalah, “...wa āyatan minka...” (dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau). Hidangan tersebut bukan hanya untuk memuaskan lapar fisik, melainkan untuk memuaskan ‘lapar’ spiritual para Hawariyyun. Hidangan ini harus menjadi hujjah (bukti kuat) bagi kebenaran risalah Isa (A.S.), sebuah penegas yang tidak dapat dibantah oleh para penentang. Mukjizat ini akan membedakan Isa (A.S.) dari klaim-klaim palsu lainnya dan mengukuhkan statusnya sebagai utusan Allah.
Ini adalah bagian yang paling unik dan mendalam dari doa tersebut. Nabi Isa (A.S.) memohon agar hari turunnya hidangan itu dijadikan hari raya, sebuah momen perayaan, bagi generasi mereka saat itu (li’awwalinā) dan bagi generasi yang datang sesudah mereka (wa ākhirinā). Dalam konteks Arab, ‘Id (hari raya) adalah hari pengulangan kebahagiaan, sukacita, dan ibadah. Dengan menjadikan momen tersebut sebagai ‘Id, Isa (A.S.) memohon agar peristiwa agung ini diabadikan dalam memori kolektif umatnya, menjadi penanda sejarah dan spiritual yang terus diperingati.
Meskipun mukjizat adalah tujuan spiritual utama, aspek kebutuhan fisik tidak diabaikan. Permintaan “Warzuqnā” (dan berilah kami rezeki) menunjukkan bahwa mukjizat itu juga harus berfungsi sebagai rezeki yang nyata, berkah yang berkelanjutan dari Allah, yang secara praktis memenuhi kebutuhan hidup. Kalimat penutup doa, “wa anta khairur rāziqīn” (dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki), adalah pengakuan tauhid yang murni, menegaskan bahwa hanya Allah sumber hakiki dari segala rezeki.
Para ulama tafsir telah membahas secara ekstensif sifat, isi, dan konsekuensi dari turunnya hidangan ini. Perdebatan utama berkisar pada apakah hidangan tersebut benar-benar turun dan apa saja isinya, serta bagaimana Allah menanggapi permintaan tersebut.
Meskipun Al-Qur’an tidak merinci secara spesifik isi dari Ma'idah, riwayat-riwayat (Atsar) dari para sahabat dan tabi’in memberikan beberapa deskripsi yang bervariasi. Para mufassir seperti Ibn Jarir At-Tabari dan Ibn Katsir mencatat beberapa kemungkinan:
Poin Kunci Tafsir: Yang terpenting bukanlah jenis makanannya, melainkan statusnya sebagai mukjizat. Hidangan itu turun tanpa campur tangan manusia, sebuah kebaikan langsung dari langit, berfungsi sebagai penegasan spiritual dan material sekaligus.
Setelah Isa (A.S.) berdoa, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengabulkan permohonan tersebut, namun disertai dengan peringatan keras yang termaktub dalam ayat 115:
Terjemahan: Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, tetapi barangsiapa di antara kamu kafir sesudah (turunnya hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang belum pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia."
Peringatan ini menunjukkan bahwa mukjizat yang bersifat kasat mata seperti Ma'idah datang dengan tanggung jawab keimanan yang sangat besar. Melihat bukti nyata lalu menolaknya (kafir) merupakan dosa yang jauh lebih besar daripada keraguan yang terjadi sebelum bukti tersebut diturunkan. Siksaan yang dijanjikan adalah siksaan yang belum pernah dirasakan oleh umat manapun, sebuah refleksi dari betapa seriusnya penolakan terhadap ayat yang sebegitu jelasnya.
Terdapat dua pandangan utama di kalangan ulama tafsir mengenai apakah hidangan tersebut benar-benar diturunkan secara fisik, ataukah hanya dalam bentuk janji dan ancaman saja, karena kekhawatiran Isa (A.S.) terhadap nasib umatnya setelah ancaman yang begitu dahsyat:
Sebagian besar mufassir, termasuk Imam At-Tabari, Al-Qurtubi, dan Ibn Katsir, berpendapat bahwa hidangan tersebut benar-benar turun. Argumen mereka didasarkan pada keumuman makna Al-Qur’an dan kesaksian riwayat yang menyebutkan detail-detail makanan tersebut. Jika Allah telah berjanji untuk menurunkan (Inni munazziluhā ‘alaikum), maka janji itu pasti dipenuhi. Mukjizat ini menjadi salah satu tanda kenabian Isa (A.S.).
Beberapa ulama, seperti Mujahid dan Al-Hasan Al-Bashri, berpendapat bahwa karena kerasnya ancaman dari Allah, Isa (A.S.) meminta agar permintaan itu dibatalkan, atau umatnya mundur dari permintaan tersebut karena takut akan konsekuensi kekafiran setelah melihat mukjizat. Namun, pandangan ini ditolak oleh mayoritas karena bertentangan dengan konteks ayat yang jelas menunjukkan pengabulan doa.
Kesimpulan Tafsir: Pandangan yang paling kuat dan diterima secara luas adalah bahwa Ma'idah benar-benar diturunkan, dinikmati oleh kaum Hawariyyun, dan menjadi bukti yang kokoh—tetapi juga menjadi ujian keimanan yang abadi.
Kaligrafi lafaz 'Al-Ma'idah', surah yang menceritakan peristiwa penting ini.
Untuk memahami kedalaman ayat 114, kita perlu membedah istilah-istilah kunci yang digunakan dalam doa Isa (A.S.), yang semuanya memiliki bobot spiritual dan linguistik yang signifikan dalam bahasa Arab klasik.
Kata Ma'idah secara harfiah berarti meja yang di atasnya terdapat makanan. Perbedaan ini penting: jika yang diminta hanya makanan, kata yang digunakan mungkin adalah Ta'am atau Rizq. Penggunaan Ma'idah menyiratkan dua hal: pertama, kuantitas yang cukup untuk menjamu banyak orang; kedua, keteraturan atau penyajian yang formal, menandakan acara atau perjamuan yang istimewa. Permintaan Ma'idah bukan hanya soal menerima makanan, tetapi menerima jamuan, yang berarti kehormatan, berkat, dan pengakuan ilahi.
Dalam konteks teologis, turunnya Ma'idah dari langit adalah simbol kemurahan Allah yang sempurna, menegaskan bahwa Dia mampu menyediakan rezeki dari sumber yang paling murni, tanpa bergantung pada rantai pasok duniawi. Ini adalah rezeki yang turun sebagai rahmat murni (fadhl).
Sebagaimana telah disinggung, 'Idan merujuk pada hari yang kembali berulang, hari raya. Permintaan agar hari itu menjadi ‘Id menunjukkan keinginan Nabi Isa (A.S.) untuk menciptakan sebuah monumen keimanan yang bersifat ritualistik dan historis. Mereka ingin agar kenangan akan mukjizat tersebut tidak pudar ditelan zaman.
Dalam Islam, hari raya (seperti Idul Fitri dan Idul Adha) adalah momen sukacita yang disahkan oleh syariat. Dengan meminta agar momen Ma'idah menjadi ‘Id, para Hawariyyun mencari pengabsahan ilahi untuk sebuah perayaan yang akan mengingatkan generasi penerus tentang kekuatan Allah yang tak terbatas. Hal ini menunjukkan pentingnya ritual dan memori kolektif dalam menjaga keutuhan iman.
Konsep 'Id di sini melampaui sekadar pesta. Ia adalah momen refleksi (tazakkur) dan rasa syukur (syukur). Setiap kali mereka merayakan hari itu, mereka mengingat dua hal: Keagungan Allah dan janji siksaan bagi yang ingkar. Perayaan itu menjadi pedang bermata dua: sukacita dan peringatan.
Kata Ayah berarti tanda, bukti, atau mukjizat. Menariknya, Isa (A.S.) memohon agar hidangan itu menjadi ‘Tanda dari-Mu’ (Minka). Penekanan pada kata ‘dari-Mu’ (Allah) membedakan mukjizat ini dari semua kejadian biasa lainnya. Ini menegaskan bahwa sumbernya adalah Allah semata, bukan sihir, bukan manipulasi alam, melainkan intervensi kosmik yang membuktikan otoritas Ilahi atas hukum-hukum alam semesta.
Ayat yang turun dari langit ini berfungsi sebagai burhan (argumen) yang definitif. Bagi mereka yang tulus, ini adalah pemantapan hati. Bagi mereka yang ragu, ini adalah titik balik, batas antara keimanan dan kekafiran yang mutlak.
Kisah tentang hidangan langit ini bukan hanya catatan sejarah umat masa lalu, tetapi menyimpan hikmah universal yang relevan bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Hikmah-hikmah ini berkaitan dengan ujian keimanan, ketersediaan rezeki, dan konsekuensi dari keraguan yang disengaja.
Mukjizat, meskipun tampak sebagai hadiah dan kemudahan, sesungguhnya adalah ujian yang paling berat. Dalam kasus Ma'idah, Allah memberikan apa yang diminta, tetapi dengan persyaratan keimanan yang sangat ketat. Mengapa ujian ini begitu berat?
Ketika seseorang beriman tanpa melihat bukti fisik yang melanggar hukum alam, imannya didasarkan pada akal, fitrah, dan keyakinan spiritual (iman kepada yang gaib). Namun, ketika bukti fisik yang luar biasa telah disajikan—seperti hidangan yang turun dari langit—penolakan terhadap bukti tersebut menunjukkan penyakit hati yang jauh lebih dalam dan disengaja. Ini adalah penolakan terhadap kebenaran yang tidak bisa lagi disangkal oleh panca indra.
Kisah ini mengajarkan bahwa pemberian bukti nyata dari Allah meningkatkan tanggung jawab penerima. Semakin besar tanda yang diberikan, semakin besar pula hukuman bagi pengingkaran.
Ayat ini memperkuat konsep tauhid dalam rezeki (tauhid al-rububiyyah). Nabi Isa (A.S.) menegaskan, "wa anta khairur rāziqīn". Hal ini mengajarkan bahwa rezeki sejati tidak hanya datang melalui jalur konvensional (bekerja di bumi), tetapi Allah berdaulat penuh untuk memberikan rezeki dari sumber yang tak terduga (langit).
Mukjizat Ma'idah adalah penegasan visual bahwa Allah tidak terikat oleh keterbatasan materi dan mekanisme sebab-akibat yang dipahami manusia. Dia adalah Pemberi Rezeki yang terbaik, yang rezeki-Nya bersifat mutlak dan melimpah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual secara serentak.
Pengajaran ini penting dalam menghadapi kesulitan ekonomi atau rasa kekurangan. Umat Islam diajarkan untuk selalu menggantungkan harapan rezeki mereka kepada Allah, yang bahkan mampu menurunkan hidangan surgawi demi meneguhkan hati hamba-hamba-Nya yang beriman.
Meskipun permintaan para Hawariyyun diampuni oleh Isa (A.S.) dan dikabulkan oleh Allah, ayat 112 sebelumnya ("Apakah Tuhanmu sanggup...") mengandung potensi bahaya. Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan bahwa umat hendaknya berhati-hati dalam menuntut mukjizat, karena seringkali mukjizat menjadi garis pemisah yang menentukan antara keselamatan dan kehancuran. Umat Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur'an sebagai mukjizat abadi yang bersifat intelektual dan spiritual, tanpa perlu permintaan mukjizat materi yang berisiko tinggi.
Kisah Ma'idah menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa fondasi iman yang paling mulia adalah iman kepada yang gaib (al-ghayb), tanpa harus menuntut bukti-bukti fisik yang melanggar adat kebiasaan (khawariq al-adat). Tuntutan berlebihan bisa mengubah rahmat menjadi laknat jika diikuti dengan kekafiran.
Kisah Ma'idah berdiri unik di antara mukjizat-mukjizat para nabi. Meskipun ada mukjizat rezeki lainnya (seperti manna dan salwa untuk Bani Israil pada masa Musa), hidangan ini memiliki karakteristik yang berbeda, khususnya dalam hal tuntutan spiritual yang menyertainya.
Pada masa Nabi Musa (A.S.), Bani Israil diberi Manna (makanan manis seperti madu) dan Salwa (burung puyuh) di padang pasir. Manna dan Salwa adalah rezeki yang berkelanjutan dan diberikan tanpa diminta secara eksplisit sebagai 'ayat' (tanda) yang menguji. Itu adalah rezeki untuk bertahan hidup.
Sebaliknya, Ma'idah diminta secara spesifik oleh Hawariyyun sebagai 'ayat' dan 'Id'. Ini adalah mukjizat yang bersifat transformatif, bukan sekadar penopang hidup biasa. Keunikan Ma'idah terletak pada permintaannya yang langsung dikaitkan dengan hari raya dan peringatan abadi, menunjukkan derajat kepentingan spiritual yang lebih tinggi.
Ayat 114 Surah Al-Ma'idah muncul dalam konteks yang lebih luas, yaitu pembahasan panjang lebar tentang Isa (A.S.) pada akhir surah ini, yang berpuncak pada pertanyaan Allah tentang apakah Isa (A.S.) pernah memerintahkan umatnya untuk menyembah dirinya dan ibunya (Ayat 116). Kisah Ma'idah berfungsi sebagai penutup dari serangkaian bukti kenabian Isa (A.S.) yang menunjukkan ketaatan mutlaknya kepada Allah dan sifatnya yang hanya seorang hamba.
Dengan menurunkan hidangan atas doa Isa (A.S.), Allah menegaskan otoritas Isa (A.S.) sebagai utusan-Nya yang sah, yang doanya dikabulkan. Ini adalah bukti material yang menguatkan status kenabian Isa (A.S.), memisahkan beliau dari klaim-klaim ketuhanan yang kemudian dilekatkan oleh sebagian pengikutnya di masa depan.
Ancaman keras dalam ayat 115 patut dianalisis lebih lanjut. Siksaan yang dijanjikan bagi mereka yang kafir setelah melihat Ma'idah (‘adzāban lā u’adzdzibuhu ahadan minal ‘ālamīn) menekankan prinsip keadilan Ilahi yang proporsional.
Manusia pada umumnya memiliki alasan untuk keraguan (misalnya, kurangnya pengetahuan, lingkungan yang menentang, atau kelemahan nalar). Namun, ketika sebuah mukjizat yang sebegitu besar dan material telah disajikan, tidak ada lagi alasan yang sah untuk ragu. Kekafiran pada titik ini adalah pilihan murni yang disengaja, sebuah tindakan pembangkangan yang disadari penuh terhadap kebenaran yang telah diperlihatkan.
Siksaan yang unik dan belum pernah ditimpakan kepada siapapun menunjukkan bahwa tingkat dosa ini melampaui dosa-dosa kekafiran yang dilakukan di tengah ketidaktahuan. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan Ilahi dan pengabaian rahmat yang luar biasa.
Umat Islam tidak meminta mukjizat fisik seperti Ma'idah. Mukjizat terbesar bagi umat ini adalah Al-Qur'an itu sendiri. Al-Qur'an berfungsi sebagai 'ayat' yang jauh lebih abadi dan universal daripada hidangan fisik. Jika hidangan tersebut hanya dinikmati oleh satu generasi, Al-Qur'an adalah mukjizat yang dapat disaksikan, dipelajari, dan dibuktikan kebenarannya oleh setiap generasi hingga Hari Kiamat.
Pelajaran dari Al-Ma'idah 114 mengajarkan kepada umat Muhammad SAW tentang risiko menolak mukjizat. Jika menolak hidangan fisik mendatangkan siksaan yang dahsyat, maka menolak Al-Qur'an, yang merupakan mukjizat yang lebih agung dan abadi, tentu saja memiliki konsekuensi yang tak kalah besar.
Kisah ini, dengan segala detailnya, terus menerus menegaskan tema sentral: hubungan antara kebutuhan material dan pemenuhan spiritual. Para Hawariyyun meminta makanan, tetapi dengan tujuan spiritual. Mereka meminta rezeki, tetapi dengan tujuan memperkuat iman. Mereka meminta hidangan duniawi, tetapi dengan harapan janji surgawi.
Perhatikan struktur doa Isa (A.S.):
Doa ini adalah contoh sempurna bagaimana permintaan duniawi harus selalu diikatkan pada tujuan akhirat dan ketauhidan. Isa (A.S.) tidak hanya meminta agar kebutuhan perut diisi, tetapi agar hati diisi dengan keyakinan, dan sejarah diisi dengan peringatan.
Permintaan 'Idan' mencakup seluruh komunitas (li’awwalinā wa ākhirinā). Ini menunjukkan bahwa mukjizat itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan sosial dan keimanan kolektif umat. Makanan yang turun bersama-sama, yang dimakan bersama-sama, menciptakan kenangan komunal yang menyatukan mereka dalam tujuan yang sama: mengesakan Allah dan mengikuti risalah Isa (A.S.).
Hidangan langit adalah pelajaran tentang persatuan. Ketika rahmat besar diturunkan, umat harus bersatu dalam rasa syukur dan peringatan. Kegagalan untuk bersyukur, atau penyalahgunaan mukjizat, akan memecah belah komunitas dan menarik murka Ilahi.
Dalam bagian akhir doa, Isa (A.S.) menggunakan kata ‘Rizq’ (rezeki). Rizq dalam Islam memiliki spektrum makna yang luas, melampaui sekadar makanan.
Hidangan dari langit ini adalah Rizq Qawiy, rezeki yang kuat. Ia menguatkan tubuh yang lemah dan sekaligus menguatkan iman yang goyah. Dalam kondisi penindasan atau kekurangan, rezeki yang datang secara mukjizat ini memberikan kekuatan mental dan spiritual kepada Hawariyyun untuk terus berjuang dalam menyampaikan risalah. Mereka tidak perlu lagi khawatir tentang sumber daya; fokus mereka dapat sepenuhnya dialihkan kepada dakwah.
Rizq ini adalah bukti bahwa iman dan upaya tidak akan pernah sia-sia, karena Allah akan selalu menyediakan jalan keluar (makhraja) dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, bahkan dari langit itu sendiri.
Dalam tafsir yang lebih esoteris, sebagian ulama berpendapat bahwa Ma'idah juga bisa diartikan sebagai rezeki spiritual, yakni ilmu dan hikmah yang diturunkan kepada para nabi dan pengikutnya. Makanan yang dihidangkan adalah simbol dari ilmu yang bergizi, yang memberi kehidupan pada hati dan akal. Dalam konteks ini, mukjizat Ma'idah adalah penegasan bahwa Isa (A.S.) dikaruniai rezeki ilmu yang khusus, yang diturunkan langsung dari sisi Allah.
Oleh karena itu, permintaan Ma'idah adalah permintaan untuk penguatan di segala aspek: fisik, spiritual, dan intelektual. Hidangan tersebut harus memenuhi seluruh dimensi keberadaan manusia.
Integrasi Makna: Al-Ma'idah 114 mengajarkan bahwa mukjizat bukanlah pelarian dari ujian, melainkan intensifikasi dari ujian tersebut. Rahmat yang besar menuntut kesyukuran yang besar, dan penolakan terhadap rahmat yang jelas adalah dosa yang tak terampuni, membawa siksaan yang tiada taranya.
Di era modern, di mana manusia seringkali bergantung pada ilmu pengetahuan empiris dan menuntut bukti material untuk segala hal, kisah Ma'idah kembali relevan. Manusia modern sering kali mirip dengan Hawariyyun yang meminta bukti fisik, menantang yang gaib untuk diukur dengan mikroskop.
Kisah ini menantang pandangan materialistis yang mendominasi dunia. Ia menegaskan bahwa ada sumber rezeki di luar rantai produksi dan konsumsi yang dikenal. Keimanan yang benar adalah mengakui kedaulatan Allah yang dapat mematahkan hukum-hukum alam kapan pun Dia kehendaki. Bagi seorang mukmin, rezeki bisa datang dari langit, bukan hanya dari bumi.
Konsep menjadikan hari turunnya hidangan sebagai 'Id (perayaan dan peringatan) adalah pengingat penting akan fungsi ritual keagamaan. Ritual (seperti shalat, puasa, atau hari raya) berfungsi untuk mengembalikan ingatan kolektif umat kepada peristiwa-peristiwa penting yang menegaskan janji dan ancaman Allah. Tanpa peringatan ini, kebenaran akan mudah pudar.
Ayat ini adalah testimoni abadi terhadap kekuatan doa seorang Nabi yang tulus. Isa (A.S.) berdoa dengan kerendahan hati dan keyakinan total, dan Allah mengabulkan permintaan yang sebegitu besarnya. Ini memberikan harapan kepada umat bahwa pintu langit selalu terbuka bagi doa yang dipanjatkan dengan keikhlasan dan kepasrahan (tawakkul).
Al-Ma'idah 114, oleh karena itu, adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang membahas hubungan langsung antara mukjizat material dan tanggung jawab spiritual. Ia mengikat rezeki dengan iman, dan kenikmatan dengan ancaman, memastikan bahwa manusia tidak pernah mengambil karunia Ilahi sebagai sesuatu yang remeh atau biasa saja. Setiap gigitan dari hidangan itu, setiap perayaan 'Id, adalah pengingat akan janji Allah dan peringatan keras-Nya.
Kajian yang mendalam dan berulang terhadap setiap aspek ayat 114 Surah Al-Ma'idah ini mengungkapkan lautan hikmah yang luas. Dari analisis linguistik kata Ma'idah yang menyiratkan jamuan kehormatan, hingga urgensi menjadikan peristiwa tersebut sebagai 'Idan yang abadi, setiap elemen dalam doa Isa (A.S.) dirancang untuk memaksimalkan efek spiritual pada umatnya. Permintaan rezeki yang diiringi dengan penegasan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki menggarisbawahi kebergantungan total kepada Sang Pencipta. Mukjizat ini bukan akhir dari kisah, melainkan permulaan dari sebuah ujian yang jauh lebih besar, sebuah ujian yang akan menentukan nasib abadi para pengikut Isa (A.S.) yang menyaksikan kemuliaan tersebut.
Hidangan yang turun dari langit adalah representasi konkret dari rahmat tak terhingga, sebuah manifestasi Qudrah (Kekuasaan) Allah yang mutlak. Manusia cenderung melupakan sumber rezeki ketika kenyamanan telah tercapai. Allah menurunkan Ma'idah sebagai intervensi Ilahi yang kuat, yang tidak mungkin dilupakan oleh para saksinya. Peristiwa ini mengguncang fondasi keyakinan mereka, memaksa mereka untuk mengambil sikap yang tegas: menerima kebenaran mutlak atau menolaknya dengan konsekuensi yang tak terperi. Keunikan siksaan yang dijanjikan dalam ayat 115—siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada siapapun di alam semesta—adalah penanda betapa seriusnya penolakan terhadap bukti yang telah disajikan di hadapan mata kepala.
Dalam perspektif Tafsir Al-Manar, mukjizat seperti ini ditujukan untuk memutus semua kemungkinan pembenaran atau alasan yang dapat digunakan manusia untuk menyangkal risalah. Ketika hidangan datang dari langit, mereka tidak bisa menuduh Isa (A.S.) menggunakan sihir duniawi atau trik-trik ilusi. Hal ini sepenuhnya adalah urusan Allah, yang menegaskan kenabian Isa (A.S.) tanpa celah sedikit pun. Oleh karena itu, kekafiran setelahnya adalah kekafiran yang didasari oleh kesombongan dan penolakan kebenaran secara terang-terangan, bukan karena kebodohan atau ketidaktahuan. Inilah yang membedakan siksaan mereka dari umat-umat sebelumnya.
Kita dapat merenungkan mengapa Nabi Isa (A.S.) menekankan agar 'Id tersebut berlaku untuk generasi awal dan akhir. Ini adalah proyeksi kenabian yang visioner. Isa (A.S.) menyadari bahwa risalahnya harus memiliki fondasi historis yang kuat, sebuah monumen yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hidangan tersebut menjadi penanda waktu yang suci, sebuah poros di sekitar mana sejarah keimanan mereka berputar. Bagi generasi yang datang kemudian, kisah Ma'idah berfungsi sebagai narasi penguatan: "Jika Allah mampu menurunkan hidangan surgawi untuk nenek moyang kita, maka Dia pasti mampu menolong kita dalam setiap kesulitan."
Analisis mendalam terhadap kata Al-Mā’idah juga membuka pemahaman tentang etika makanan dalam Islam. Makanan dalam Islam adalah sarana ibadah, bukan sekadar pemuasan nafsu. Ketika makanan datang langsung dari Allah tanpa usaha manusia, ia mencapai tingkatan kesucian tertinggi. Para Hawariyyun diingatkan bahwa makanan terbaik adalah makanan yang dikaruniakan oleh Allah, bebas dari unsur-unsur keraguan duniawi. Hal ini memberikan pelajaran bagi umat Islam untuk selalu mensyukuri setiap rezeki dan menjaga kehalalan sumber rezeki mereka, meskipun rezeki itu diperoleh melalui upaya biasa, karena sumber hakiki tetaplah Allah.
Kisah ini juga memperlihatkan dinamika yang kompleks antara seorang Nabi dan pengikutnya. Meskipun Isa (A.S.) mungkin memiliki kekhawatiran pribadi terhadap risiko yang diemban oleh permintaan tersebut, beliau tetap bertindak sebagai mediator dan pendoa yang tulus. Beliau menerima permintaan tersebut, namun dengan bijak ia menyertakan elemen penegasan tauhid dan permintaan rezeki yang bermanfaat, membingkai permintaan material dalam kerangka spiritual yang kokoh. Kepemimpinan Isa (A.S.) dalam situasi ini adalah contoh keteladanan seorang utusan yang memenuhi janji kepada kaumnya, sambil sepenuhnya tunduk pada kehendak dan peringatan Allah.
Para ahli bahasa Arab juga menyoroti penggunaan kata kerja dalam ayat 114: anzil ‘alainā (turunkanlah kepada kami), yang merupakan bentuk perintah (doa yang kuat) yang menunjukkan kerinduan mendalam. Permintaan ini bukanlah permintaan pasif, melainkan permohonan yang aktif dan penuh harapan. Ia mencerminkan kondisi hati yang benar-benar membutuhkan konfirmasi dan bukti, bukan karena ketidakpercayaan pada kekuasaan Allah, tetapi karena kebutuhan spiritual untuk mencapai ‘ainul yaqin (keyakinan yang terlihat oleh mata) setelah ilmul yaqin (keyakinan melalui ilmu).
Di masa kini, di tengah krisis pangan global dan ketidakpastian ekonomi, kisah Ma'idah berfungsi sebagai janji dan penenang. Janji bahwa ketersediaan rezeki Ilahi bersifat mutlak, dan penenang bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang tulus kelaparan, baik secara fisik maupun spiritual. Iman kepada khairur rāziqīn harus menjadi benteng psikologis dan spiritual bagi umat dalam menghadapi tekanan hidup yang berat.
Perenungan terhadap Surah Al-Ma'idah 114 mendorong kita untuk terus memeriksa kualitas keimanan diri sendiri. Apakah iman kita cukup kuat tanpa menuntut mukjizat material? Apakah kita menghargai mukjizat abadi Al-Qur'an dan sunnah melebihi keinginan akan tanda-tanda sesaat? Jawabannya terletak pada penerimaan kita terhadap peringatan keras dalam ayat 115. Kita telah diberikan mukjizat terbesar, dan penolakan terhadap kebenaran yang terkandung di dalamnya akan membawa konsekuensi yang sebanding dengan penolakan terhadap hidangan langit yang turun di hadapan Hawariyyun.
Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah para nabi penuh dengan interaksi yang intens antara dimensi gaib dan dimensi nyata. Hidangan yang turun adalah titik persinggungan antara langit dan bumi, sebuah momen di mana kedaulatan Tuhan dipertontonkan secara nyata. Detail mengenai isi hidangan—yang konon mencakup makanan surgawi—menunjukkan bahwa kenikmatan duniawi yang paling tinggi pun dapat diturunkan sebagai hadiah dari Allah, asalkan manusia menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan takwa dan bukan sebagai alasan untuk kesombongan. Kesombongan dan penolakan setelah melihat bukti adalah dosa yang membuat azab Allah menjadi unik dan dahsyat.
Oleh karena itu, ketika kita membaca Surah Al-Ma'idah, dan khususnya ayat 114, kita tidak hanya membaca kisah lama, tetapi kita menyerap pelajaran abadi tentang ujian spiritual di balik karunia material. Kisah ini adalah cermin bagi hati yang bimbang, pedoman bagi jiwa yang lapar, dan penegasan bagi setiap orang yang mencari tanda kebenaran dari sumber yang paling murni: sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Setiap huruf dalam ayat ini memancarkan hikmah yang mendalam, mengukuhkan bahwa Allah adalah sumber segala kemurahan dan kekuasaan, dan bahwa tugas manusia adalah menerima tanda-tanda tersebut dengan penuh kerendahan hati dan kepatuhan mutlak, menghindari nasib buruk mereka yang menolak bukti paling jelas yang pernah diturunkan dari langit.