Surah Al-Ma'idah, surah kelima dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah yang kaya akan hukum (syariat) dan etika sosial. Ayat kedua dari surah yang agung ini, secara khusus, menetapkan fondasi etika bermasyarakat yang sangat fundamental, mencakup perlindungan terhadap simbol-simbol agama, menjaga kesucian ritual, dan yang terpenting, menegaskan perintah universal untuk berkolaborasi dalam kebaikan serta larangan mutlak untuk bersekutu dalam kejahatan dan permusuhan. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini merupakan kunci untuk membangun peradaban yang berlandaskan keadilan, ketertiban, dan kerukunan, baik dalam konteks internal umat maupun dalam interaksi global.
Terjemahan maknawi ayat tersebut berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hewan-hewan kurban, dan jangan (mengganggu) orang-orang yang memakai kalung (penanda hewan kurban), dan jangan (pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah selesai mengerjakan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
I. Penegasan Kesucian Syi’ar dan Ritus Ilahi (La Tuhillu Sha’a’irillah)
Ayat ini dibuka dengan panggilan agung kepada kaum beriman, diikuti dengan larangan keras untuk melanggar atau menghalalkan apa yang Allah telah sucikan. Istilah sentral di sini adalah "Syi’ar Allah" (شَعَائِرَ اللَّهِ). Secara etimologis, syi’ar merujuk pada tanda, petunjuk, atau simbol yang menandakan suatu keberadaan atau identitas. Dalam konteks syariat, Syi’ar Allah adalah segala sesuatu—baik tempat, waktu, tindakan, atau objek—yang dijadikan tanda pengenal agama-Nya dan diagungkan dalam ritual ibadah.
A. Lingkup Syi’ar Allah dan Implikasinya
Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Tabari dan Imam Al-Qurtubi, memiliki cakupan pandangan yang luas mengenai makna Syi’ar Allah. Secara umum, ia dibagi menjadi dua kategori utama yang saling terkait. Pertama, syi’ar yang spesifik merujuk pada ritual haji dan umrah. Kedua, syi’ar yang bersifat umum yang mencakup semua hukum dan batasan agama. Melanggar syi’ar Allah berarti menganggap remeh, menodai, atau menghalalkan apa yang Allah haramkan, baik secara fisik maupun moral.
Dalam konteks historis penurunan ayat ini, larangan melanggar syi’ar sangat erat kaitannya dengan menjaga ketertiban selama musim haji dan umrah. Masyarakat Arab pada masa jahiliyah sering melanggar bulan-bulan haram dengan peperangan atau merampok kafilah. Islam datang untuk mengokohkan institusi perdamaian ini. Kepatuhan terhadap syi’ar bukan hanya kewajiban ritual, tetapi juga sebuah jaminan keamanan dan stabilitas regional. Kegagalan untuk memuliakan syi’ar adalah indikasi rapuhnya komitmen keimanan seseorang terhadap otoritas Ilahi.
B. Perlindungan Terhadap Waktu dan Tempat Suci
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan beberapa elemen syi’ar yang harus dijaga kesuciannya:
1. Bulan Haram (الشَّهْرَ الْحَرَامَ)
Terdapat empat bulan dalam kalender Hijriah yang ditetapkan sebagai bulan suci, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Di bulan-bulan ini, peperangan (kecuali membela diri) dan kekerasan dilarang keras. Larangan ini bertujuan menciptakan jeda tahunan bagi masyarakat untuk berdagang, berhaji, dan membangun kembali hubungan sosial tanpa ketakutan akan konflik. Menghalalkan pertumpahan darah, merampok, atau melakukan kezaliman besar pada bulan haram dianggap sebagai dosa yang berlipat ganda, menunjukkan betapa sentralnya konsep waktu dalam tatanan etika Islam.
2. Hewan Kurban (الْهَدْيَ) dan Penandanya (الْقَلَائِدَ)
Al-Hadyu adalah hewan yang dipersembahkan sebagai kurban di Tanah Suci. Al-Qala’id (kalung atau untaian) adalah penanda yang dipasang pada hewan kurban untuk menunjukkan bahwa hewan tersebut telah diperuntukkan bagi Baitullah dan tidak boleh diganggu atau diserang. Larangan ini merupakan cerminan dari prinsip perlindungan terhadap properti yang disucikan untuk tujuan agama. Bahkan, para peziarah yang membawa hewan tersebut pun harus dilindungi, menunjukkan bahwa perlindungan ritual mencakup semua entitas—baik benda mati, hewan, maupun manusia—yang terkait dengan pelaksanaan ibadah.
C. Perlindungan Peziarah (Ammin al-Bait al-Haram)
Ayat ini secara tegas melarang mengganggu orang-orang yang menuju Baitul Haram (Ka'bah) dengan niat mencari karunia (rezeki) dan keridaan dari Allah. Ini adalah perintah penting mengenai hak asasi manusia dan kebebasan beribadah. Perlindungan ini melampaui batasan suku atau negara, memberikan jaminan keamanan kepada setiap peziarah yang datang ke Mekkah.
Penekanan pada "mencari karunia dan keridaan" menunjukkan bahwa ibadah tidak terpisah dari aspek kehidupan duniawi yang halal, seperti perdagangan dan pencarian nafkah. Allah mengakui dan memberkahi perpaduan antara spiritualitas dan ekonomi yang bersih. Ini menetapkan preseden hukum yang luas: keamanan dan kebebasan bergerak bagi mereka yang menjalankan ritual keagamaan wajib adalah hal yang sakral.
II. Keseimbangan Hukum dan Etika (Hukum Berburu dan Balas Dendam)
Setelah menetapkan serangkaian larangan yang ketat terkait kesucian ritual (Ihram), ayat kedua memberikan kelonggaran dan menetapkan batasan etika yang fundamental saat keluar dari batasan ritual tersebut.
A. Permissifitas Setelah Ihram (Wa Idza Halaltum Fashthadu)
Frasa "apabila kamu telah selesai mengerjakan ihram, maka bolehlah kamu berburu" memberikan contoh klasik dari metodologi hukum Islam (Fiqh), di mana larangan temporer diikuti dengan pembolehan setelah kondisi larangan (Ihram) diangkat. Hal ini mengajarkan bahwa larangan agama memiliki tujuan spesifik dan terikat waktu, bukan sekadar pengekangan permanen. Ini menegaskan bahwa hidup harus dijalani dengan keseimbangan antara batasan ibadah dan kegiatan duniawi yang halal.
B. Keadilan Melampaui Kebencian (Wala Yajrimannakum Shana’anu Qoumin)
Ini adalah salah satu bagian ayat yang paling sering dikutip dalam membahas etika keadilan universal. Ayat ini melarang umat Islam membiarkan kebencian historis terhadap suatu kaum—khususnya kebencian karena mereka pernah menghalangi akses ke Masjidil Haram (merujuk pada peristiwa Hudaibiyah atau pemboikotan lainnya)—mendorong mereka untuk bertindak melampaui batas atau melakukan agresi (i’tida’).
Prinsip yang terkandung di sini sangat mendalam: keadilan harus diterapkan tanpa memandang afiliasi atau permusuhan masa lalu. Jika suatu kelompok telah melakukan kejahatan terhadap Anda (misalnya menghalangi ibadah), Anda tidak boleh membalas dengan kejahatan lain yang melanggar hukum dan moral. Balas dendam harus tunduk pada batasan keadilan Ilahi. Prinsip ini menjadi pilar dalam etika perang, diplomasi, dan penegakan hukum dalam Islam, menekankan bahwa emosi negatif tidak boleh merusak pertimbangan hukum yang objektif. Kebencian tidak boleh menjadi justifikasi untuk melakukan kezaliman.
III. Pilar Etika Sosial: Ta’awun (Kerja Sama)
Inti filosofis dan sosial dari Al-Ma’idah 2 terletak pada dua perintah sentral mengenai interaksi sosial, yang menjadi penutup ayat: perintah untuk bekerja sama dalam kebaikan dan larangan untuk bekerja sama dalam kejahatan.
A. Perintah untuk Bekerja Sama dalam Kebajikan dan Ketakwaan (Ta’awanu ‘Ala Al-Birri wa At-Taqwa)
Perintah ini adalah konstitusi bagi pembangunan masyarakat yang etis. Allah memerintahkan umat beriman untuk saling membantu (ta’awun) dalam dua kategori besar: Al-Birr dan At-Taqwa.
1. Definisi Komprehensif Al-Birr (Kebajikan)
Al-Birr memiliki makna yang sangat luas, melampaui sekadar 'kebaikan'. Dalam konteks Al-Qur'an (seperti dalam Al-Baqarah 177), Birr mencakup segala macam ketaatan, amal saleh, akhlak mulia, kebenaran dalam perkataan, dan kemurahan hati. Kerja sama dalam Birr berarti mendukung setiap proyek, upaya, atau perilaku yang meningkatkan kualitas hidup spiritual dan material umat manusia.
Kerja sama dalam Birr meliputi:
- Kolaborasi Intelektual: Saling membantu dalam mencari ilmu, mendirikan institusi pendidikan, dan menyebarkan pengetahuan yang bermanfaat.
- Kolaborasi Ekonomi: Mendukung praktik ekonomi yang adil, melawan riba, dan bergotong royong dalam menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
- Kolaborasi Sosial: Membantu yang lemah, mendamaikan yang berselisih, dan menjaga tali silaturahim serta hak-hak tetangga.
Para mufasir menekankan bahwa Birr mencakup pelaksanaan semua perintah Allah secara lahiriah yang bersifat positif, termasuk menegakkan amar ma'ruf (perintah kebaikan). Prinsip ta'awun menuntut umat Islam tidak boleh berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan kebaikan; sinergi adalah esensi dari masyarakat yang kuat.
2. Kedalaman Konsep At-Taqwa (Ketakwaan)
At-Taqwa, atau ketakwaan, pada dasarnya adalah kesadaran Ilahi yang memotivasi seseorang untuk menjauhi segala yang dilarang dan melaksanakan segala yang diperintahkan, dengan rasa takut dan harap kepada Allah. Jika Birr sering diinterpretasikan sebagai kebaikan yang tampak (eksternal), Taqwa adalah dimensi internal (spiritual dan moral) yang mendorong kebaikan tersebut.
Kerja sama dalam Taqwa berarti saling mengingatkan akan batasan-batasan Allah, membantu seseorang menjauhi perbuatan maksiat, dan memperkuat fondasi keimanan. Dalam skala sosial, kerja sama dalam Taqwa berarti membangun lingkungan yang kondusif bagi peningkatan spiritual, di mana penegakan syariat dilakukan dengan hikmah dan kasih sayang. Ini mencakup, misalnya, saling mendukung dalam menahan diri dari godaan duniawi yang merusak moral kolektif dan individu. Tanpa Taqwa sebagai dasar, Birr bisa menjadi sekadar pameran sosial; Ta’awun dalam Taqwa menjamin keikhlasan dan keberlanjutan amal saleh.
B. Larangan Keras Kerja Sama dalam Dosa dan Permusuhan (Wala Ta’awanu ‘Ala Al-Ithm wa Al-‘Udwan)
Jika ta’awun dalam kebaikan adalah perintah, maka larangan untuk bekerja sama dalam kejahatan adalah batasan yang tidak boleh dilanggar. Kerja sama dilarang ketika substansinya adalah Al-Ithm dan Al-‘Udwan.
1. Bahaya Al-Ithm (Dosa Internal dan Pelanggaran Hukum)
Al-Ithm merujuk pada dosa atau pelanggaran yang merusak hubungan seseorang dengan Allah dan dirinya sendiri, seringkali mencakup pelanggaran hukum (seperti mencuri, berzina, memakan harta haram, atau menyaksikan kebohongan). Bekerja sama dalam Al-Ithm berarti memfasilitasi atau mendukung orang lain dalam melakukan dosa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa berupa memberikan modal untuk proyek haram, menutupi kejahatan, atau menciptakan sistem yang memudahkan praktik dosa.
Larangan ini menetapkan tanggung jawab moral kolektif. Masyarakat beriman tidak boleh menjadi lingkungan yang membiarkan atau bahkan memfasilitasi dosa. Setiap upaya untuk menormalisasi pelanggaran syariat harus ditolak. Sinergi yang dilarang adalah sinergi yang bertujuan untuk merusak tatanan moral dan spiritual individu atau komunitas.
2. Kerusakan Al-‘Udwan (Agresi dan Permusuhan Eksternal)
Al-‘Udwan merujuk pada agresi, permusuhan, melampaui batas, atau pelanggaran hak orang lain. Jika Al-Ithm berfokus pada pelanggaran hukum, Al-‘Udwan berfokus pada kezaliman terhadap sesama, baik individu maupun kelompok. Ini adalah dosa yang dampaknya bersifat sosial dan politik.
Bekerja sama dalam Al-‘Udwan berarti:
- Mendukung tirani atau kezaliman penguasa.
- Ikut serta dalam penindasan kelompok minoritas.
- Melanggar perjanjian atau janji (kecuali perjanjian tersebut secara eksplisit mendorong dosa).
- Membantu pihak yang zalim dalam konflik yang tidak benar.
Prinsip ini menegaskan bahwa meskipun persatuan dan solidaritas umat adalah penting, solidaritas tersebut harus selalu berada di bawah payung keadilan. Tidak ada solidaritas yang dibenarkan jika tujuannya adalah melakukan kezaliman atau agresi terhadap pihak lain. Persatuan yang didasarkan pada dosa atau permusuhan adalah persatuan yang rapuh dan terlarang secara agama. Fokus utama adalah pada penjagaan hak-hak, bukan hanya hak kaum beriman, tetapi hak seluruh manusia.
IV. Analisis Linguistik dan Jurisprudensi Mendalam
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif sebagaimana dituntut oleh keagungan ayat ini, diperlukan analisis mendalam terhadap struktur bahasa Arabnya dan implikasi hukum (fiqh) yang diturunkan oleh para mujtahid. Setiap kata dalam ayat ini membuka pintu menuju bab-bab hukum yang luas.
A. Tafsir Kata Kunci dan Struktur Hukum
1. Makna Asal Kata 'La Tuhillu'
Kata kerja ‘Tuhillu’ berasal dari kata dasar *halla* (حل). Ia memiliki dua makna utama: menjadi halal (permisif) dan menyelesaikan (seperti menyelesaikan ihram). Dalam konteks awal ayat (La Tuhillu Sha’a’irallah), ia berarti ‘jangan kamu anggap halal’ atau ‘jangan kamu nodai’. Ini adalah larangan yang bersifat pencegahan (preventif), menunjukkan bahwa syi’ar harus dijaga dengan penghormatan tertinggi, bukan sekadar dihindari pelanggarannya, tetapi dijaga kesakralannya.
2. Implikasi Fiqh dari Perintah dan Larangan Ta’awun
Perintah “Wa Ta’awanu” (dan tolong-menolonglah) merupakan perintah (Amr) yang mengindikasikan wajib (wujub). Oleh karena itu, kerja sama dalam kebaikan bukanlah pilihan etis yang netral, melainkan kewajiban kolektif (Fardhu Kifayah atau bahkan Fardhu Ain jika konteksnya mendesak dan tidak ada orang lain yang mampu). Demikian pula, larangan “Wala Ta’awanu” (dan jangan tolong-menolong) adalah larangan (Nahyu) yang mengindikasikan pengharaman mutlak (Tahrim).
Para ahli ushul fiqh mengambil kaidah universal dari ayat ini: segala sesuatu yang mengarah pada pelaksanaan wajib adalah wajib (wasilah al-wajibat wajibat), dan segala sesuatu yang mengarah pada terwujudnya yang haram adalah haram (wasilah al-muharramat muharramat). Hal ini menjadikan ayat Al-Ma’idah 2 sebagai landasan bagi hukum tentang keterlibatan, dukungan finansial, dan pemanfaatan teknologi dalam Islam.
B. Prinsip-Prinsip Hukum yang Diperoleh dari Ayat
Dari Al-Ma'idah 2, para fuqaha telah merumuskan beberapa prinsip yurisprudensi penting yang membentuk kerangka hukum sosial Islam:
1. Prinsip Perlindungan Eksklusif (Hurmat)
Ayat ini menetapkan bahwa ada entitas (waktu, tempat, objek, dan orang) yang memiliki kekebalan hukum khusus (hurmat) yang tidak boleh dilanggar. Kekebalan ini bersifat mutlak selama kondisi yang menyebabkannya (seperti bulan haram atau keadaan ihram) masih berlaku. Pelanggaran terhadap hurmat ini membawa konsekuensi hukum dan teologis yang berat.
2. Prinsip Keadilan Absolut (Al-Adl)
Perintah “Wala Yajrimannakum…” adalah penegasan tertinggi terhadap prinsip bahwa keadilan harus diterapkan secara absolut, terlepas dari rasa permusuhan atau provokasi. Keadilan (Adl) adalah tujuan (maqasid) utama syariat, dan ia harus lebih diutamakan daripada sentimen kelompok. Prinsip ini menjadi penting dalam hukum perjanjian internasional dan perlakuan terhadap tawanan atau musuh yang berada di bawah kekuasaan umat Islam.
3. Prinsip Sinergi Moral (Ta’awun)
Ayat ini mengubah kerja sama dari sekadar tindakan sosiologis menjadi kewajiban teologis. Ta’awun mengikat individu dan institusi untuk secara proaktif mencari dan mendukung peluang kebaikan. Jika Birr dan Taqwa adalah tujuan, Ta’awun adalah metodologi untuk mencapai tujuan tersebut. Ini menuntut pembentukan struktur sosial, politik, dan ekonomi yang dirancang untuk memfasilitasi kebaikan, bukan kejahatan.
V. Implementasi Ayat 2 Al-Ma’idah dalam Konteks Modern
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks ritual haji dan permusuhan suku pada abad ke-7, ajarannya tentang etika kerja sama, keadilan, dan perlindungan kesucian memiliki relevansi universal dan abadi, terutama dalam menghadapi tantangan global kontemporer.
A. Penerapan Prinsip Ta’awun dalam Isu Global
Prinsip Ta’awun dalam Birr dan Taqwa harus diaplikasikan dalam menangani isu-isu yang melintasi batas-batas negara dan budaya:
1. Kerjasama dalam Kesejahteraan Sosial Global (Birr)
Di era modern, Birr harus diinterpretasikan sebagai upaya kolektif untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan, termasuk kemiskinan ekstrem, ketidaksetaraan akses pendidikan, dan ancaman kesehatan publik. Kerja sama menuntut umat Islam untuk berpartisipasi aktif dalam badan amal internasional yang bersih, mendukung pengembangan teknologi yang mengurangi penderitaan, dan mendorong perdagangan yang adil.
2. Kerjasama dalam Menjaga Lingkungan (Taqwa)
Taqwa terhadap Allah juga mencakup ketaatan terhadap perintah-Nya untuk menjaga alam semesta (khalifah di bumi). Ta’awun dalam Taqwa hari ini sangat relevan dengan isu lingkungan dan iklim. Polusi, eksploitasi sumber daya yang berlebihan, dan kerusakan ekosistem dapat dikategorikan sebagai ‘Udwan (agresi) terhadap ciptaan Allah. Oleh karena itu, kerja sama dalam Birr dan Taqwa menuntut adopsi praktik berkelanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati.
B. Menghindari Kerja Sama dalam Kejahatan Modern (Ithm dan ‘Udwan)
Al-Ithm dan Al-‘Udwan kini bermanifestasi dalam bentuk yang lebih kompleks dan sistemik. Larangan Ta’awun dalam konteks ini mencakup:
1. Korupsi dan Kejahatan Finansial (Ithm)
Korupsi adalah bentuk Ithm yang paling merusak tatanan sosial, karena ia mencuri hak publik. Ta’awun dalam korupsi bisa berupa penyuapan, pencucian uang, atau manipulasi sistem hukum. Larangan dalam ayat ini menuntut umat Islam tidak hanya menolak terlibat, tetapi juga harus bekerja sama untuk memerangi struktur yang memfasilitasi kejahatan finansial.
2. Propaganda dan Kekerasan Digital (‘Udwan)
Di era informasi, ‘Udwan dapat terjadi melalui penyebaran berita palsu (hoaks), ujaran kebencian, atau dukungan terhadap gerakan ekstremis yang mengancam keamanan dan kedamaian. Larangan kerja sama dalam permusuhan berarti menahan diri untuk tidak memfasilitasi narasi yang mendiskreditkan, memprovokasi kekerasan, atau merusak kehormatan individu secara tidak adil. Ini adalah seruan untuk menjadi agen perdamaian dan kebenaran dalam ruang digital.
C. Kesucian Syi’ar dalam Era Pluralitas
Prinsip perlindungan Syi’ar Allah juga relevan dalam konteks pluralitas agama. Menjaga syi’ar tidak hanya berarti melindungi ritual internal Islam, tetapi juga memastikan bahwa perilaku umat Islam mencerminkan kemuliaan syi’ar tersebut. Ketika interaksi antara komunitas agama lain terjadi, prinsip keadilan (anti-‘Udwan) yang ditekankan dalam ayat ini harus menjadi panduan. Bahkan kebencian historis (seperti konflik yang terjadi ribuan tahun lalu) tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar hak dan martabat orang lain.
VI. Pengukuhan Ketakwaan sebagai Pengawasan Tertinggi
Ayat Al-Ma’idah 2 ditutup dengan dua frasa yang saling menguatkan: "Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
Penutup ini berfungsi sebagai peringatan sekaligus penekanan terhadap seluruh rangkaian perintah dan larangan sebelumnya. Perintah Ta’awun, perlindungan Syi’ar, dan penegakan keadilan adalah beban moral dan hukum yang berat. Yang dapat memastikan ketaatan total terhadap perintah-perintah ini hanyalah Taqwa, yakni kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi.
Ancaman “sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” bukanlah dimaksudkan untuk menakut-nakuti secara berlebihan, melainkan untuk membangun keseriusan dalam ketaatan. Pelanggaran terhadap prinsip Ta’awun dalam dosa dan permusuhan (seperti membiarkan kezaliman berlanjut) bukanlah sekadar kesalahan sosial, tetapi pelanggaran langsung terhadap perjanjian dengan Allah, yang berpotensi menarik hukuman yang setimpal. Ini menegaskan bahwa hukum etika yang ditetapkan dalam ayat ini bersifat mutlak dan tidak dapat dikompromikan demi keuntungan duniawi, politik, atau kelompok.
Kesimpulannya, Al-Ma’idah ayat 2 adalah sebuah piagam etika yang mengajarkan bahwa kehidupan beriman harus dicirikan oleh Kehormatan (terhadap syi’ar), Keadilan (melampaui kebencian), dan Kerja Sama (hanya dalam kebaikan). Ayat ini menyediakan peta jalan yang jelas bagi umat manusia untuk keluar dari lingkaran permusuhan dan kezaliman menuju masyarakat yang harmonis, adil, dan senantiasa berorientasi pada keridaan Ilahi.