Al Maidah 3: Titik Puncak Kenikmatan dan Penyempurnaan Syariat Islam

Teks Suci dan Terjemah Makna

Surah Al-Maidah, ayat ketiga, adalah salah satu ayat teragung dalam Al-Qur'an Al-Karim, yang mengukir sejarah dan menetapkan prinsip abadi bagi seluruh umat manusia. Ayat ini dikenal sebagai ayat yang diturunkan pada akhir masa kenabian, mengumumkan penyempurnaan risalah ilahi:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan anak panah, (karena) itu adalah suatu kefasikan. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Maidah: 3)
Simbol Penyempurnaan Agama

Simbol Penyempurnaan (Ittmam An-Ni'mah).

I. Asbabun Nuzul: Konteks Historis Ayat Puncak

Memahami Al-Maidah ayat 3 tidak lengkap tanpa meninjau konteks penurunannya, yang oleh mayoritas ulama tafsir disepakati terjadi pada momen yang sangat istimewa: hari Arafah, saat menunaikan Haji Wada’ (Haji Perpisahan) Rasulullah ﷺ. Peristiwa ini terjadi setelah Shalat Ashar, pada hari Jumat Agung. Detail konteks ini memberikan bobot teologis yang luar biasa pada setiap frasa dalam ayat tersebut.

A. Haji Wada' dan Hari Agung Arafah

Haji Wada' adalah ziarah terakhir Nabi Muhammad ﷺ. Saat berdiri di padang Arafah, di mana seluruh jemaah haji berkumpul, Nabi ﷺ menyampaikan khutbah yang luar biasa yang merangkum ajaran-ajaran fundamental Islam, termasuk penghapusan riba dan penekanan hak-hak asasi manusia. Penurunan ayat ini pada saat itu bukan hanya kebetulan, melainkan penegasan bahwa hukum yang diturunkan sudah final, disaksikan oleh khalayak terbesar umat Islam yang pernah berkumpul.

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang Yahudi pernah berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian yang kalian baca. Seandainya ayat itu diturunkan kepada kami, niscaya akan kami jadikan hari penurunannya sebagai hari raya.” Umar bertanya, “Ayat apa itu?” Orang Yahudi itu menjawab: "Al-Yauma akmaltu lakum dinakum..." (QS. Al-Maidah: 3). Umar kemudian menjawab dengan tegas, “Sungguh, kami mengetahui kapan dan di mana ayat itu diturunkan, yaitu pada hari Arafah, pada hari Jumat.”

Penggabungan hari Jumat (sayyidul ayyam, penghulu hari) dengan hari Arafah (sebaik-baik hari dalam setahun) menunjukkan bahwa pesan yang dibawa ayat ini adalah puncak dari kemuliaan syariat, menandakan bahwa risalah kenabian telah mencapai garis akhir secara sempurna. Ini adalah proklamasi kenikmatan (ni'mah) terbesar bagi umat Islam.

II. Tiga Pilar Teologis: Penyempurnaan, Kecukupan, dan Keridhaan

Bagian kedua dari ayat ini, yang berbunyi, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu," memuat tiga pilar akidah yang menjadi fondasi bagi pemahaman Syariah Islam setelah era kenabian.

A. Al-Ikmal (Penyempurnaan Agama)

Frasa "Al-Yauma akmaltu lakum dinakum" (Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu) adalah penegasan ilahi bahwa semua prinsip dasar, hukum, dan tata cara ibadah yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat telah lengkap. Penyempurnaan ini memiliki implikasi besar dalam fikih dan akidah:

1. Penutupan Pintu Legislasi

Ayat ini menandai ditutupnya pintu penambahan atau perubahan substansial dalam Syariat Islam. Setelah ayat ini turun, tidak ada lagi hukum dasar yang akan ditambahkan. Ini berarti bahwa Islam adalah agama yang paripurna, relevan, dan mencukupi hingga akhir zaman. Para ulama ijma' (konsensus) bahwa ayat ini adalah salah satu ayat terakhir yang berkaitan dengan hukum-hukum wajib dan haram.

2. Penolakan Terhadap Bid'ah (Inovasi dalam Ibadah)

Konsep penyempurnaan ini menjadi dalil utama dalam menolak segala bentuk penambahan atau inovasi yang tidak berdasar (bid'ah) dalam urusan ibadah murni (ibadah mahdhah). Jika agama telah sempurna, maka menambahkan sesuatu ke dalamnya berarti menyiratkan bahwa pada mulanya agama itu cacat atau kurang. Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki, pernah berkata, “Siapa saja yang membuat bid'ah dalam Islam dan menganggapnya baik, maka dia telah mengklaim bahwa Muhammad mengkhianati risalah. Karena Allah telah berfirman, 'Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu'.” Oleh karena itu, kesempurnaan ini menuntut ketaatan pada apa yang telah diajarkan, tanpa penambahan atau pengurangan.

B. Al-Itmam (Pencukupan Nikmat)

"Wa atmamtu 'alaikum ni'mati" (Dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku) merujuk pada nikmat risalah dan hidayah. Nikmat terbesar yang dicukupkan oleh Allah adalah nikmat diutusnya Rasulullah ﷺ dan diturunkannya Al-Qur'an. Ini bukan sekadar pencukupan kebutuhan materi, melainkan pencukupan kebutuhan spiritual dan petunjuk hidup. Seluruh kenikmatan duniawi dan ukhrawi kini terangkum dalam bingkai syariat yang telah lengkap.

Pencukupan nikmat ini juga termasuk penetapan kemenangan dan tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah, di mana kaum Muslimin tidak lagi takut dalam menjalankan agama mereka. Ketakutan yang sebelumnya dirasakan oleh kaum Muslimin saat masa-masa awal Islam di Mekah telah sirna, dan kini mereka dapat melaksanakan seluruh hukum Allah dengan leluasa. Ini adalah nikmat keamanan (amn) dan nikmat kekuasaan (tamkin) yang melengkapi nikmat iman (iman).

C. Ar-Ridhi (Keridhaan Islam)

"Wa radhitu lakumul Islaama diinaa" (Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu) adalah penutup agung dari tiga pilar ini. Keridhaan Allah adalah tujuan akhir dari setiap Muslim. Frasa ini menegaskan bahwa Islam (yang berarti penyerahan diri secara total kepada Allah) adalah satu-satunya sistem hidup (din) yang diterima dan diridhai oleh Sang Pencipta.

Semua sistem hidup, ideologi, atau agama lain, yang muncul setelah kenabian, tidak akan pernah mencapai derajat keridhaan ini, karena telah terjadi penyempurnaan dan pencukupan. Keridhaan ini mengikat umat Islam untuk tetap teguh pada Syariat Muhammad ﷺ dan menolak ajaran lain yang menyimpang dari fondasi yang telah dipatri sempurna ini.

III. Bagian Inti Fikih: Hukum Makanan yang Diharamkan

Ayat Al-Maidah 3 dimulai dengan penetapan hukum-hukum makanan yang haram, yang secara substansial melengkapi dan mengulang beberapa pengharaman yang sudah disebutkan dalam surah lain (seperti Al-Baqarah 173), namun dengan perincian yang lebih luas. Pengharaman ini bertujuan untuk menjaga kesucian (thaharah) spiritual dan kesehatan fisik umat Islam.

Simbol Makanan Halal dan Haram

Penanda Halal dan Haram.

A. Al-Maytah (Bangkai)

Bangkai (Al-Maytah) adalah hewan yang mati bukan karena proses penyembelihan syar’i, baik karena sebab alami, penyakit, atau kecelakaan. Mayoritas ulama fikih menegaskan keharaman bangkai karena dua alasan utama:

1. Faktor Kesehatan dan Kebersihan

Ketika hewan mati tanpa disembelih, darah kotornya (yang membawa kuman, racun, dan produk metabolisme berbahaya) tetap tertahan di dalam daging dan urat. Proses penyembelihan (dzabihah) berfungsi mengeluarkan darah ini secara maksimal, sehingga daging menjadi lebih bersih dan aman dikonsumsi. Bangkai dianggap membawa penyakit dan kekotoran (khabits).

2. Faktor Spiritual dan Ketaatan

Ketaatan terhadap perintah Allah adalah ujian utama. Penyembelihan syar’i adalah ibadah yang menunjukkan pengakuan manusia atas kekuasaan Allah terhadap kehidupan dan kematian. Melewatkan proses ini adalah bentuk pengabaian terhadap perintah suci.

Pengecualian Fikih untuk Bangkai:

B. Ad-Dam (Darah)

Darah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah 'darah yang mengalir' (ad-dam al-masfuh), sebagaimana diperjelas dalam Surah Al-An’am ayat 145. Darah yang tertinggal sedikit di urat daging setelah penyembelihan, atau darah yang membentuk gumpalan seperti hati dan limpa, tidak termasuk dalam kategori haram. Keharaman darah yang mengalir sangat kuat karena mengandung unsur kotoran (najis), dan secara medis seringkali menjadi media ideal bagi pertumbuhan bakteri.

Dalam praktik fikih modern, keharaman darah mencakup segala bentuk produk olahan yang bahan dasarnya adalah darah hewan, seperti 'daging darah' atau makanan tradisional yang menggunakan darah sebagai pengental. Meskipun sebagian kecil darah yang tidak mengalir diizinkan, ulama tetap menyarankan untuk membersihkan daging semaksimal mungkin.

C. Lahm Al-Khinzir (Daging Babi)

Pengharaman daging babi bersifat mutlak dan qath'i (pasti) dalam Islam, baik dagingnya, lemaknya, maupun seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada pengecualian fikih untuk jenis haram yang satu ini. Meskipun alasan biologis dan medis (seperti keberadaan cacing pita dan trikinosis) sering diangkat, alasan fundamentalnya tetap adalah perintah ilahi.

Dalam konteks teologis, babi dianggap sebagai hewan yang secara inheren kotor dan memiliki tabiat yang rendah. Syariat Islam menekankan kebersihan dan kemuliaan manusia, dan pengharaman ini berfungsi sebagai penjaga moral dan spiritual. Babi juga diharamkan dalam Taurat, menunjukkan konsistensi dalam hukum-hukum Allah mengenai kebersihan.

D. Hewan yang Disembelih atas Nama Selain Allah (Ma Uhilla li Ghairillah)

Ini adalah poin yang paling sensitif secara akidah. Hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah—misalnya, atas nama dewa, arwah leluhur, atau berhala—diharamkan secara total, bahkan jika proses penyembelihannya dilakukan dengan cara yang benar secara fisik (memotong saluran napas dan makanan).

Alasan pengharaman ini adalah perlindungan terhadap Tauhid (keesaan Allah). Tindakan menyembelih adalah ibadah. Jika tindakan ibadah ini ditujukan kepada selain Allah, maka ia jatuh dalam kategori syirik (mempersekutukan Allah). Mengonsumsi daging tersebut adalah bentuk partisipasi dalam perbuatan syirik tersebut. Hukum ini tegas dan tidak dapat dita’wilkan (diinterpretasi) berbeda, karena menyentuh inti keimanan.

E. Kategori Hewan Mati Akibat Kekerasan atau Kecelakaan

Ayat ini secara spesifik menyebutkan lima kategori hewan yang mati karena sebab-sebab tidak wajar, yang semuanya dikategorikan sebagai bangkai (Maytah), kecuali jika sempat disembelih sebelum mati (Idrak Ad-Dzakka).

1. Al-Munkhaniqah (Yang Tercekik)

Hewan yang mati karena tercekik, baik oleh tali, jaring, atau karena terjerat. Kematian terjadi karena terhentinya pasokan oksigen, bukan karena pemotongan pembuluh darah leher.

2. Al-Mauqudhah (Yang Dipukul)

Hewan yang mati karena pukulan keras benda tumpul (seperti kayu atau batu) yang menyebabkan kematian tanpa mengeluarkan darah yang mengalir secara syar’i.

3. Al-Mutaraddiyah (Yang Jatuh)

Hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi (misalnya, jurang, tebing, atau sumur) hingga menyebabkan kematiannya.

4. An-Nathiihah (Yang Ditanduk)

Hewan yang mati akibat tandukan hewan lain, biasanya dalam perkelahian antar ternak.

5. Ma Akala As-Sab'u (Yang Diterkam Binatang Buas)

Hewan yang sebagian tubuhnya telah dimakan oleh binatang buas (singa, harimau, serigala), dan kematiannya disebabkan oleh luka terkaman tersebut.

Pengecualian Fikih: Idrak Ad-Dzakka

Kelima kategori di atas diharamkan, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya (illa maa dzakkaytum). Ini adalah keringanan fikih yang sangat penting. Jika seseorang menemukan hewan dalam salah satu kondisi di atas (misalnya, baru saja terjatuh atau tertanduk) dan hewan itu masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang kuat (seperti gerakan mata, hentakan kaki, atau napas yang jelas), maka jika ia sempat disembelih sesuai syariat, ia menjadi halal. Namun, jika ia ditemukan sudah dalam kondisi sekarat atau telah mati, maka ia tetap dihukumi bangkai.

F. Hewan yang Disembelih untuk Berhala (Ma Dzubiha 'Ala An-Nushub)

An-Nushub adalah batu-batu yang didirikan di sekitar Ka'bah (pada masa jahiliyah) atau di tempat lain, di mana orang-orang menyembelih hewan sebagai persembahan atau pengorbanan kepada berhala. Pengharaman ini melengkapi pengharaman pada poin D, karena keduanya berkaitan dengan penyembelihan yang melanggar Tauhid, meskipun fokus An-Nushub adalah pada tempat atau tujuan persembahan.

G. Al-Azlaam (Mengundi Nasib dengan Anak Panah)

Ayat ini menutup daftar pengharaman dengan larangan terhadap praktik jahiliyah yang disebut Al-Azlaam. Ini adalah semacam undian nasib atau ramalan yang dilakukan menggunakan anak panah yang tidak berbulu. Praktik ini melibatkan menentukan apakah seseorang harus melakukan sesuatu ("ya," "tidak," atau "tunda") berdasarkan anak panah mana yang diambil.

Larangan ini menegaskan bahwa Islam menolak segala bentuk takhayul, perdukunan, dan praktik yang mengandalkan kebetulan untuk membuat keputusan penting, karena ini bertentangan dengan konsep tawakkal (berserah diri setelah berusaha) dan akal sehat. Allah secara tegas menyebut praktik ini sebagai fiskun (suatu kefasikan), yaitu penyimpangan dari jalan ketaatan yang benar. Larangan ini bukan hanya hukum makanan, tetapi hukum muamalah yang menjaga akidah dari kontaminasi syirik minor.

IV. Pengecualian dan Keringanan (Hukum Dharurat)

Setelah menetapkan serangkaian hukum yang ketat mengenai makanan, ayat Al-Maidah 3 ditutup dengan klausul belas kasih dan kemudahan (taysir) dari Allah, yang merupakan karakteristik utama Syariat Islam:

"Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

A. Prinsip Dharurat (Kondisi Darurat)

Klausul ini menetapkan kaidah fikih universal: Adh-Dharurat tubihu al-mahzhurat (Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang). Jika seseorang berada dalam kondisi kelaparan yang mengancam nyawa (makhmasah) dan tidak ada makanan halal yang tersedia, ia diizinkan mengonsumsi makanan yang haram (seperti bangkai atau daging babi) sebatas untuk menyelamatkan nyawanya.

Syarat Penerapan Dharurat:

Penerapan dharurat tidak boleh sembarangan. Ayat ini secara spesifik menyebutkan dua syarat kunci:

  1. Fii Makhmasah (Karena Kelaparan Ekstrem): Kondisi di mana tidak makan akan menyebabkan kematian atau sakit parah. Ini bukan sekadar rasa lapar biasa, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup.
  2. Ghaira Mutajaanifin li Itsm (Tanpa Sengaja Berbuat Dosa): Ini berarti orang tersebut tidak boleh berniat untuk melanggar hukum (bukan seorang yang sengaja mencari makanan haram karena keinginan, atau mengonsumsi lebih dari batas yang diperlukan). Ia harus mengonsumsi secukupnya untuk bertahan hidup (bi qadr al-hajah), dan bukan untuk menikmati atau berlebihan.

Pengecualian darurat ini menunjukkan bahwa tujuan Syariah (Maqashid Syariah) adalah untuk menjaga lima kebutuhan pokok manusia, di mana menjaga jiwa (Hifzh An-Nafs) adalah salah satu yang tertinggi. Dalam konflik antara menjaga kehidupan dan menjalankan hukum halal-haram, menjaga kehidupan didahulukan.

V. Implikasi Abadi Ayat Al-Maidah 3 dalam Kehidupan Umat

Ayat ini adalah sumbu yang menghubungkan akidah (Tauhid), syariat (Hukum), dan akhlak (Adab). Implikasinya terus relevan melintasi zaman, membimbing umat Islam dalam menghadapi tantangan modern.

A. Kesempurnaan Syariat vs. Modernisasi

Pengumuman kesempurnaan agama di Arafah memberikan batas yang jelas antara nilai-nilai Islam yang abadi (tsawabit) dan hal-hal yang dapat berubah sesuai kondisi (mutaghayyirat). Hukum-hukum dasar yang disebutkan, seperti haramnya riba, zina, dan makanan yang diharamkan, bersifat abadi dan tidak dapat diubah atas nama modernisasi.

Namun, dalam urusan muamalah (interaksi sosial), Islam memberikan ruang yang luas untuk ijtihad (penalaran hukum) dan adaptasi. Kesempurnaan Islam berarti ia telah menyediakan metodologi (ushul al-fikih) yang memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang tidak ada pada masa Nabi, tanpa perlu menambahkan hukum dasar baru pada fondasi Syariat.

Oleh karena itu, setiap seruan untuk ‘reformasi’ Islam yang melibatkan penghapusan atau penambahan hukum yang sudah pasti (qath'i) yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, akan bertentangan langsung dengan pesan "Al-Yauma akmaltu lakum dinakum." Penyempurnaan ini adalah benteng bagi Islam dari distorsi internal.

B. Menjaga Kebersihan (Thaharah) dan Halal Lifestyle

Rincian tentang makanan haram dalam ayat ini mendasari seluruh industri dan konsep Halal global. Konsep Halal bukan hanya tentang tidak makan babi atau bangkai, tetapi mencakup seluruh mata rantai produksi, mulai dari sumber makanan, proses penanganan, pengemasan, hingga penyajian. Ini adalah manifestasi praktis dari keinginan Allah agar umat-Nya hidup dalam keadaan suci (thayyib) dan bersih (thaharah).

Perhatian terhadap Syariat makanan ini juga mencerminkan perhatian Islam terhadap kualitas spiritual. Apa yang dimasukkan ke dalam tubuh akan memengaruhi hati dan amal perbuatan. Para ulama salaf sering menekankan bahwa makanan halal adalah syarat penting diterimanya doa dan ibadah.

C. Bahaya Tasyri' (Membuat Hukum Sendiri)

Penyempurnaan agama juga berfungsi sebagai peringatan keras terhadap Tasyri' (klaim membuat atau mengganti hukum). Hanya Allah lah satu-satunya sumber hukum. Mengingkari hukum yang sudah jelas (seperti menghalalkan yang haram atau sebaliknya) setelah adanya ayat penyempurna ini dapat membawa seseorang keluar dari lingkup keridhaan yang disebutkan: "Wa radhitu lakumul Islaama diinaa." Ayat ini menempatkan otoritas legislatif sepenuhnya di tangan Allah dan Rasul-Nya.

VI. Analisis Fikih Mendalam: Perbedaan Mazhab dalam Detail Al-Maidah 3

Meskipun prinsip dasar pengharaman bersifat universal, ulama fikih dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memperdebatkan beberapa detail yang timbul dari interpretasi lafaz ayat dan hadits pendukung, terutama terkait dengan Bangkai dan Darah:

A. Pembahasan Mengenai Darah yang Mengalir

Sebagaimana disebutkan, Al-Qur'an melarang darah yang mengalir (dam masfuh). Namun, bagaimana status cairan yang keluar saat daging direbus atau dipanggang?

B. Definisi Bangkai (Al-Maytah) pada Hewan Air dan Darat

Ayat ini secara umum mengharamkan bangkai, namun Sunnah Rasulullah ﷺ mengecualikan ikan dan belalang. Perbedaan muncul pada hewan air yang hidup di dua alam (amfibi) atau hewan yang hanya hidup sebentar di air:

C. Status Hukum "Idrak Ad-Dzakka" (Penyembelihan Setelah Kecelakaan)

Poin "kecuali yang sempat kamu menyembelihnya" memerlukan penentuan apakah hewan itu masih layak hidup atau tidak. Kriterianya adalah "hayat mustaqirrah" (kehidupan yang stabil) atau "hayat mutaharrikah" (kehidupan yang bergerak):

VII. Mengurai Inti Pesan: Keseimbangan antara Hukum dan Rahmat

Struktur ayat Al-Maidah 3 yang unik—dimulai dengan detail hukum haram dan diakhiri dengan proklamasi kesempurnaan agama dan keridhaan Allah—mengandung pesan filosofis mendalam. Seolah-olah Allah berfirman: Syariat telah sempurna, dan bukti kesempurnaan tersebut adalah ketetapan hukum yang rinci tentang makanan dan kehidupan, yang semuanya bertujuan menjaga kemaslahatan manusia.

Ayat ini mengajarkan bahwa kesempurnaan Islam tidak terletak pada dogma yang abstrak, tetapi pada aplikasinya yang detail dan praktis dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam urusan sesederhana memilih apa yang kita makan. Hukum-hukum makanan adalah ujian kepatuhan yang kasat mata, membedakan antara yang mengikuti Syariat dan yang tidak.

Sementara itu, penutup ayat yang berbicara tentang dharurat dan pengampunan (Ghafurur Rahīm) menunjukkan Rahmat Allah yang tak terbatas. Syariat bukanlah rantai yang membelenggu, melainkan sistem yang fleksibel dan manusiawi. Ketika nyawa terancam, hukum yang ketat pun diberi keringanan. Inilah esensi dari Ittmam An-Ni'mah: Syariat yang sempurna adalah Syariat yang menyeimbangkan antara tuntutan ketaatan yang tinggi dan kasih sayang (rahmah) yang melimpah.

Al-Maidah ayat 3 bukan hanya ayat hukum, melainkan deklarasi kemenangan spiritual dan legislatif yang menetapkan Islam sebagai jalan hidup yang abadi, lengkap, suci, dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hari Kiamat.

🏠 Kembali ke Homepage