Surah Al Jumu'ah adalah surah Madaniyah yang fokus utamanya adalah menegaskan keesaan Allah, kenabian Muhammad SAW, serta pentingnya menunaikan ibadah salat Jumat. Ayat-ayat dalam surah ini datang sebagai panduan bagi komunitas Muslim yang mulai berkembang, menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan spiritual di Madinah.
Di antara semua petunjuk yang termaktub di dalamnya, terdapat satu ayat yang menjadi sorotan tajam, yang secara eksplisit memberikan teguran keras sekaligus pengajaran fundamental mengenai hierarki prioritas dalam kehidupan seorang mukmin. Ayat tersebut adalah ayat ke-11 dari Surah Al Jumu'ah. Ayat ini bukan sekadar norma fikih tentang salat Jumat; ia adalah prinsip universal tentang pilihan antara yang fana dan yang kekal, antara kenikmatan sementara dan ganjaran abadi.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus kembali ke kondisi Madinah pada masa-masa awal. Kaum Muhajirin, yang sebelumnya adalah pedagang ulung di Mekkah, seringkali kesulitan mendapatkan mata pencaharian yang stabil di Madinah, sementara Kaum Anshar lebih fokus pada pertanian. Situasi ekonomi seringkali tegang. Ayat ini turun berkaitan dengan sebuah peristiwa spesifik saat Rasulullah SAW sedang menyampaikan khutbah Jumat.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, saat Rasulullah SAW sedang berdiri menyampaikan khutbah, tiba-tiba datanglah kafilah dagang yang membawa berbagai kebutuhan pokok dan barang-barang mewah dari Syam. Kafilah ini dipimpin oleh Dihyah al-Kalbi. Kafilah dagang ini seringkali diiringi dengan tabuhan rebana (atau bunyi-bunyian lain) sebagai pemberitahuan kedatangan agar orang-orang segera keluar menyambut. Para Sahabat, yang saat itu banyak yang berada dalam keadaan lapar dan membutuhkan sandang pangan, merasa tergoda.
Saat mendengar suara rebana dan menyadari adanya peluang dagang—entah untuk membeli kebutuhan, menjual sesuatu, atau sekadar melihat-lihat—mereka berbondong-bondong meninggalkan Rasulullah SAW yang sedang berdiri di mimbar. Peristiwa ini menunjukkan betapa kuatnya tarikan materi dan godaan kebutuhan primer manusia. Di tengah kerumunan yang ramai meninggalkan tempat salat, hanya tersisa dua belas orang sahabat saja yang tetap teguh bersama Rasulullah SAW, termasuk Abu Bakar dan Umar RA.
Kejadian ini melukai hati Rasulullah SAW, dan seketika Jibril AS turun membawa ayat ini. Teguran dalam ayat ini diarahkan kepada mereka yang terburu-buru meninggalkan Rasulullah, namun pada saat yang sama, ia mengandung janji dan penegasan iman yang sangat mendalam: Bahwa apa pun rezeki yang dikejar, sumbernya tetaplah Allah SWT, dan ganjaran-Nya jauh lebih unggul dari segala bentuk perniagaan dan kesenangan dunia.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah setiap frasa kunci dalam ayat Al Jumu'ah 11, karena susunan kata dalam Al-Qur'an memiliki bobot makna yang sangat presisi dan tidak tergantikan oleh padanan kata lainnya. Analisis ini akan memperjelas mengapa Allah menggunakan istilah tertentu dan apa implikasi linguistik serta teologisnya.
Kata ini menunjukkan bahwa tindakan meninggalkan khutbah dipicu oleh rangsangan visual dan auditori. Mereka ‘melihat’ peluang. Ini menekankan bahwa godaan duniawi seringkali bersifat kasat mata dan instan. Reaksi mereka bersifat segera (*infaddhu*), menunjukkan kurangnya pengendalian diri dan kurangnya pertimbangan atas konsekuensi spiritual dari tindakan mereka. Mereka melihatnya sebagai keuntungan yang harus segera diraih sebelum hilang.
Kata *Tijarah* merujuk pada perniagaan, bisnis, atau transaksi komersial yang bertujuan mencari keuntungan materi. Dalam konteks Madinah saat itu, perdagangan adalah urat nadi kehidupan. Perdagangan mewakili aspek fundamental dari kebutuhan manusia: mencari rezeki untuk mempertahankan hidup. Perdagangan di sini diletakkan mendahului *Lahw* karena bagi kebanyakan orang, rezeki adalah prioritas utama.
Kata *Lahw* memiliki makna yang luas, merujuk pada segala sesuatu yang melalaikan, mengalihkan perhatian, atau bersifat hiburan. Ini bisa berupa permainan, musik (seperti tabuhan rebana yang mengiringi kafilah), atau kesenangan duniawi yang membuat seseorang lupa akan tujuan spiritualnya. Para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan *Lahw* di sini adalah suara-suara atau keramaian yang menyertai kedatangan kafilah dagang, yang menarik perhatian orang-orang yang bosan atau haus hiburan.
Penyebutan *Tijarah* dan *Lahw* secara berdampingan adalah pengajaran penting. Allah menyebutkan dua kategori godaan terbesar manusia:
Kata *Infaddhu* (berasal dari *fadda*) menyiratkan penyebaran, pembubaran, atau berhamburan. Ini menggambarkan tindakan yang tergesa-gesa dan tidak teratur, seperti kawanan burung yang bubar saat melihat makanan. Ini menunjukkan betapa cepat dan spontan reaksi mereka. Tidak ada jeda untuk berpikir, berdiskusi, atau menimbang-nimbang antara ganjaran Allah dan keuntungan dunia. Mereka seketika meninggalkan kewajiban yang sedang berlangsung.
Frasa ini adalah inti dari teguran tersebut. Mereka meninggalkan Rasulullah SAW (yang saat itu adalah representasi utama dari *Dhikrullah* atau peringatan kepada Allah) dalam keadaan beliau sedang berdiri menyampaikan khutbah. Status 'berdiri' (*Qaa'iman*) menekankan keseriusan dan otoritas Rasulullah saat menjalankan tugas kenabiannya. Tindakan meninggalkan beliau saat berkhutbah sama dengan mengabaikan pesan Allah secara langsung.
Ini adalah jawaban profetik dan teologis atas tindakan mereka. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menegaskan sebuah fakta absolut: Apa yang ada di sisi Allah—yaitu ganjaran, pahala, keberkahan, dan rezeki hakiki—jauh lebih baik (*khairun*) daripada objek pengejaran mereka (perdagangan dan hiburan).
Penting untuk dicatat, Allah tidak mengatakan bahwa perdagangan itu buruk, tetapi bahwa apa yang ada di sisi-Nya adalah *lebih baik*. Ini adalah perbandingan kualitas antara yang kekal dan yang fana.
Ayat ditutup dengan penegasan nama Allah, Ar-Raziq (Pemberi Rezeki). Ini adalah klimaks teologis. Mengapa mereka bergegas menuju kafilah? Karena takut kehilangan rezeki. Allah menjawab kekhawatiran ini dengan mengingatkan bahwa sumber rezeki sejati bukanlah kafilah dagang itu, melainkan Dzat yang Maha Memberi Rezeki. Jika mereka mengutamakan Allah, Rezeki mereka tidak akan pernah berkurang, bahkan akan diberkahi.
Secara fikih, ayat Al Jumu'ah 11 memberikan dasar yang sangat kuat mengenai kewajiban mendengarkan khutbah Jumat, menjadikannya bagian integral dari ibadah tersebut. Khutbah bukanlah sekadar pidato pengantar, melainkan pengganti dua rakaat salat Zuhur, dan merupakan sarana utama untuk *Dhikrullah* (mengingat Allah) yang disebutkan pada ayat sebelumnya (ayat 9).
Kewajiban untuk meninggalkan segala aktivitas duniawi, termasuk jual beli, dimulai sejak panggilan kedua (adzan) salat Jumat dikumandangkan, sesuai dengan ayat 9. Ayat 11 memperkuat larangan ini dengan menunjukkan hukuman spiritual bagi mereka yang melanggar. Meninggalkan khutbah tanpa alasan syar’i adalah perbuatan maksiat yang mengurangi kesempurnaan atau bahkan menghilangkan pahala Jumat.
Para ulama mazhab sepakat bahwa:
Ayat ini mengajarkan disiplin waktu ibadah. Ketika Allah memanggil melalui Rasul-Nya (atau melalui imam yang mewarisi tugas kenabian), segala urusan pribadi harus diletakkan di bawah payung ketaatan. Ini adalah pelatihan praktis dalam *Tawakkul* (berserah diri dan percaya pada janji Allah).
Tentu saja, para ulama juga membahas pengecualian, seperti situasi darurat yang mengancam nyawa atau harta benda yang tidak bisa ditunda (seperti menyelamatkan orang tenggelam atau memadamkan kebakaran). Namun, mencari keuntungan materi atau sekadar hiburan (seperti yang dilakukan oleh para sahabat yang ditegur) jelas tidak termasuk dalam kategori darurat syar’i.
Di balik teguran keras yang terkandung dalam ayat Al Jumu'ah 11, tersembunyi pesan spiritual yang mendalam mengenai bagaimana seorang mukmin harus memandang dunia dan rezeki. Ini adalah pelajaran tentang *Tazkiyatun Nafs* (penyucian jiwa).
Hidup adalah serangkaian pilihan. Ayat ini menguji sistem nilai para Sahabat, dan kini menguji kita semua. Ketika dua hal yang diinginkan (rezeki materi dan pahala Ilahi) hadir secara bersamaan, pilihan mana yang kita dahulukan? Kecenderungan manusiawi adalah memilih yang hasilnya terlihat segera (*cash money*) daripada yang hasilnya bersifat gaib (*pahala*). Allah ingin mengubah cara pandang ini: pahala dan keberkahan yang dijanjikan-Nya adalah kenyataan yang lebih pasti dan lebih menguntungkan daripada keuntungan dagang yang paling besar sekalipun.
Penutup ayat, *“Wa Allahu Khairur Raziqin”*, berfungsi sebagai penawar rasa cemas ekonomi. Rezeki bukanlah hasil dari kecerdasan atau kecepatan kita dalam meraih peluang dagang. Rezeki adalah pemberian yang telah ditetapkan oleh Allah. Tindakan meninggalkan ibadah karena khawatir rezeki hilang menunjukkan adanya kekurangan dalam *Tawhid* (tauhid) dalam aspek rezeki.
Jika seseorang percaya bahwa Allah adalah *Khairur Raziqin*, maka menaati perintah-Nya, bahkan jika itu berarti mengorbankan peluang materi sesaat, akan menghasilkan rezeki yang lebih baik—bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas dan keberkahan (barakah). Keberkahan inilah yang seringkali hilang ketika rezeki dikejar dengan mengorbankan ketaatan.
Tafsir Imam Fakhruddin Ar-Razi menekankan perbedaan mendasar antara kedua godaan tersebut:
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencatat bahwa tindakan meninggalkan khutbah untuk mengejar *Lahw* (permainan) dianggap lebih parah daripada meninggalkan khutbah demi *Tijarah* (kebutuhan). Namun, karena keduanya menyebabkan terputusnya ketaatan, keduanya disamakan dalam hal teguran. Ini menegaskan bahwa fokus terhadap Allah harus mutlak pada waktu yang telah ditetapkan.
Prinsip yang diabadikan dalam Al Jumu'ah 11 tidak lekang dimakan zaman. Meskipun kita tidak lagi hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh kafilah dagang unta, godaan *Tijarah* (bisnis/ekonomi) dan *Lahw* (hiburan/distraksi) hadir dalam bentuk yang jauh lebih canggih dan intensif, terutama dalam konteks kehidupan digital dan kapitalis modern.
Di masa kini, *Tijarah* sering diterjemahkan sebagai peluang investasi yang memerlukan respon instan, seperti perdagangan saham, mata uang kripto, atau transaksi bisnis internasional yang sensitif terhadap waktu. Seseorang mungkin merasa, "Jika saya tidak segera mengecek harga mata uang ini, saya akan rugi besar." Ketakutan akan kehilangan keuntungan (*Fear of Missing Out - FOMO*) menggantikan ketakutan akan kehilangan pahala Jumu'ah.
Ketika panggilan adzan berkumandang, godaan berbentuk:
Jika di masa Nabi, *Lahw* berupa tabuhan rebana, kini *Lahw* berbentuk layar gawai yang memancarkan notifikasi tiada henti. Distraksi digital telah menjadi "kafirilah" yang menarik perhatian massa. Godaan untuk membuka aplikasi, mengecek berita viral, atau terlibat dalam percakapan online saat khutbah berlangsung adalah manifestasi modern dari *infaddhu ilaiha* (segera menuju kepadanya).
Para ulama kontemporer sering mengingatkan bahwa membawa telepon genggam ke masjid dan menggunakannya selama khutbah, bahkan untuk sekadar mengecek waktu atau pesan singkat, adalah pelanggaran terhadap semangat ayat ini. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa hati masih lebih terikat pada dunia yang fana daripada pada *Dhikrullah* yang sedang disampaikan.
Penting untuk memahami bahwa *Lahw* tidak selalu harus berupa dosa besar; ia bisa berupa hal yang mubah (diperbolehkan), namun melalaikan dari kewajiban utama. Ayat ini mengajarkan manajemen perhatian, bahwa pada saat ibadah, hati harus sepenuhnya hadir dan tunduk.
Kalimat inti dalam ayat ini, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik,” harus dipahami dalam konteks filosofis yang mendalam. Kebanyakan manusia menilai berdasarkan kuantitas dan kecepatan. Allah mengajak kita menilai berdasarkan kualitas, keberlanjutan, dan sumber.
Ganjaran di sisi Allah memiliki beberapa keunggulan mutlak dibandingkan keuntungan duniawi:
Keyakinan ini harus tertanam kuat. Ketika seorang mukmin meninggalkan peluang dagang besar demi salat, dia bukan sedang menolak rezeki, melainkan sedang memilih sumber rezeki yang lebih unggul dan lebih pasti. Ini adalah investasi jangka panjang yang paling menguntungkan.
Ayat ini bukan ajakan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya atau tidak berdagang. Islam tidak mengenal monastisisme. Ayat ini adalah ajakan untuk menerapkan *Zuhud* (tidak terikat hati pada dunia) yang benar. Zuhud sejati bukanlah kemiskinan, tetapi memegang dunia di tangan, bukan di hati. Ketika panggilan Ilahi datang, seorang yang *Zahid* (asketis) akan dengan mudah melepaskan genggaman tangannya dari harta duniawi.
Kesalahan para sahabat yang ditegur adalah bahwa pada momen krusial, ikatan hati mereka kepada kebutuhan primer (rezeki) mengalahkan ikatan hati mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini mengingatkan kita untuk terus mengevaluasi di mana letak ikatan hati kita yang sesungguhnya.
Mari kita gali lebih dalam mengenai aspek fikih yang ditimbulkan oleh konteks ayat Al Jumu'ah 11, terutama mengenai konsekuensi spiritual dan hukum bagi mereka yang berulang kali menelantarkan kewajiban ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat Jumat adalah dosa besar, terutama jika dilakukan berulang kali tanpa udzur syar’i. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan, niscaya Allah mengunci hatinya." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Kisah dalam Al Jumu'ah 11 adalah contoh *meremehkan* (istikhfaf) yang akut—memilih keuntungan materi yang sepele daripada kehormatan mendengarkan wahyu langsung. Meskipun para sahabat yang terlibat segera bertaubat dan Allah menerima taubat mereka, ayat ini menjadi peringatan keras bagi umat di masa depan. Kerugian yang ditanggung bukan sekadar hilangnya pahala satu shalat, melainkan penguncian hati dari hidayah.
Ayat 9 Surah Al Jumu'ah secara eksplisit melarang jual beli: *“...tinggalkanlah jual beli (Tijarah)...”* Para ahli fikih menekankan bahwa larangan ini berlaku sejak adzan dikumandangkan hingga shalat selesai. Jika seseorang melakukan transaksi dalam rentang waktu tersebut, mayoritas ulama (seperti Mazhab Syafi’i dan Hanbali) berpendapat transaksinya haram dan dosa, tetapi terjadi perbedaan apakah transaksi tersebut batal (*fasid*) atau sah secara perdata (*sah*).
Namun, dalam konteks ayat 11, larangan ini ditegaskan kembali dengan adanya teguran keras dari Allah, menunjukkan bahwa walaupun hukum perdatanya mungkin masih diperdebatkan, hukuman spiritualnya tidak diragukan lagi. Prioritas harus selalu pada kewajiban ibadah.
Mengapa meninggalkan khutbah begitu dicela? Karena khutbah Jumat, dalam esensinya, adalah penegasan kembali misi kenabian dan sarana utama untuk *Dhikrullah*. Pada hari Jumat, seorang Muslim diwajibkan untuk menghentikan hiruk pikuk duniawi dan secara kolektif merenungkan pesan Ilahi. Meninggalkan khutbah berarti memutus ikatan rohani ini pada saat yang paling penting. Khutbah adalah cerminan dari kebutuhan jiwa yang lebih mendesak daripada kebutuhan perut atau dompet.
Ayat Al Jumu'ah 11 juga menawarkan wawasan psikologis tentang kelemahan mendasar manusia, yang menjadi target utama syaitan. Kelemahan ini berakar pada ketidakmampuan manusia untuk menilai sesuatu yang bersifat abstrak dan jangka panjang (Akhirat) melawan sesuatu yang nyata dan instan (Dunia).
Tindakan 'berhamburan' atau *infaddhu* seringkali didorong oleh psikologi massa. Ketika satu orang bergerak menuju peluang dagang, orang lain akan ikut karena takut ketinggalan (FOMO). Di Madinah saat itu, ketika kafilah tiba, kebiasaan sosial menuntut orang keluar menyambut. Untuk bisa menolak arus massa ini diperlukan kekuatan spiritual yang sangat besar.
Ayat ini mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki pendirian, bahkan ketika mayoritas sedang bergerak menuju godaan duniawi. Dua belas orang yang tersisa bersama Nabi SAW adalah contoh keimanan yang tangguh, yang mampu menahan tekanan sosial dan ekonomi.
Meskipun mereka tahu Allah Maha Pemberi Rezeki, saat peluang materi (kafirilah) datang, rasa tidak aman ekonomi muncul. Mereka takut jika kesempatan itu terlewat, mereka akan kelaparan. Allah mengatasi rasa takut ini dengan penegasan final: *“Wa Allahu Khairur Raziqin.”* Solusi untuk rasa tidak aman ekonomi bukanlah dengan mengejar setiap peluang, tetapi dengan menumbuhkan keyakinan (iman) pada Sumber Rezeki yang tidak terbatas.
Dalam konteks modern, rasa tidak aman ini diwujudkan dalam kerja lembur yang berlebihan, menumpuk hutang, atau melakukan transaksi yang berisiko tinggi saat waktu ibadah. Semuanya berakar pada ketidakpercayaan bahwa Allah telah menjamin kebutuhan dasar kita, asalkan kita berusaha sesuai syariat.
Prinsip Al Jumu'ah 11 tidak hanya terbatas pada shalat Jumat. Ia harus menjadi kerangka kerja untuk seluruh manajemen prioritas dalam hidup seorang Muslim. Setiap kali kewajiban spiritual berbenturan dengan aktivitas duniawi, ayat ini menjadi hakim.
*Tijarah* dapat diartikan lebih luas sebagai "urusan duniawi yang produktif." Ini bisa mencakup:
*Lahw* juga meluas dari sekadar hiburan kosong. Ia bisa berkedok "refreshing," "networking," atau "self-care," namun sebenarnya hanya pengalih perhatian dari introspeksi diri dan kewajiban utama. Contohnya:
Penutup ayat ini, *“Wa Allahu Khairur Raziqin”*, adalah janji abadi dan penegasan yang menenangkan. Ini adalah fondasi dari seluruh ajaran tentang rezeki dalam Islam. Ketika manusia merasa dirinya adalah penentu rezeki—bahwa kesempatan dagang harus diambil saat itu juga—dia telah melupakan Sumber Rezeki yang sesungguhnya.
Allah tidak hanya menjamin rezeki; Dia menjamin rezeki yang terbaik. Kehidupan dunia adalah ladang ujian, dan salah satu ujian terberat adalah memprioritaskan yang Gaib (janji Allah) di atas yang Nyata (godaan dunia). Dengan ketaatan, Allah akan memberikan keberkahan yang membuat sedikit terasa cukup, dan menyingkirkan rezeki yang didapat dari jalan yang keliru.
Oleh karena itu, pesan sentral dari Al Jumu'ah Ayat 11 adalah panggilan untuk introspeksi diri: Di manakah posisi Allah dalam daftar prioritas hidup kita? Apakah kita, seperti para Sahabat yang ditegur itu, masih mudah terhambur menuju kilauan perdagangan atau suara-suara yang melalaikan, meninggalkan *Dhikrullah* yang menanti di tempat kita berdiri? Bagi seorang Muslim yang sejati, jawaban atas pertanyaan tersebut harus selalu mengarah pada keyakinan bahwa apa yang di sisi Allah, selamanya, adalah yang terbaik.
Kisah ini, yang diabadikan dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai cermin untuk setiap generasi, mengingatkan bahwa perjuangan melawan godaan materi adalah abadi. Dengan memegang teguh prinsip *Maa ‘inda Allahi Khairun*, kita dapat menavigasi kompleksitas dunia modern tanpa kehilangan fokus pada tujuan akhir yang kekal.
Keyakinan pada janji Allah ini menuntut sebuah transformasi total dalam cara pandang. Transformasi ini harus dimulai dari pengakuan bahwa segala upaya manusia, sekuat apapun, hanyalah wasilah (perantara). Hasil mutlak dan penetapan rezeki adalah di tangan Allah, Ar-Raziq. Apabila kita berusaha dengan cara yang diridhai-Nya, niscaya rezeki yang datang akan membawa keberkahan dan ketenangan. Sebaliknya, rezeki yang dikejar dengan mengorbankan ketaatan, meskipun terlihat banyak, pasti akan membawa kegelisahan dan kehampaan.
Para mufassir menekankan bahwa *tijarah* (perdagangan) yang dirujuk dalam ayat ini tidak hanya merujuk pada pembelian dan penjualan barang fisik, melainkan juga setiap bentuk aktivitas ekonomi yang mendatangkan profit duniawi. Dalam spektrum yang lebih luas, ini mencakup spekulasi pasar modal, negosiasi kontrak besar, hingga upaya pencarian kerja yang sangat intensif. Semua ini harus dihentikan ketika azan Jumat dikumandangkan, menandakan superioritas perintah agama di atas kepentingan ekonomi.
Ayat ini juga memberikan pedoman etika bagi para pedagang Muslim. Ia menanamkan prinsip bahwa etika bisnis dan kepatuhan spiritual harus selalu mendominasi strategi pencarian nafkah. Seorang pedagang yang menjunjung tinggi ayat ini akan memastikan bahwa keuntungan yang ia dapatkan tidak dicapai dengan mengorbankan hak-hak Allah, termasuk hak untuk beribadah secara kolektif pada hari Jumat.
Mari kita renungkan lagi makna dari *Lahw*. Secara etimologi, *lahw* berasal dari akar kata yang berarti ‘mengalihkan’ atau ‘melupakan’. Di era modern, *lahw* yang paling berbahaya adalah yang menyerap waktu dan energi secara halus. Ini adalah kegiatan yang tidak secara eksplisit haram, tetapi mengikis waktu kita untuk refleksi, zikir, dan peningkatan spiritual. Seseorang mungkin meninggalkan khutbah bukan untuk berdagang, tetapi hanya karena ingin segera kembali mengecek serial drama terbaru, atau bermain game online yang sedang memanas. Daya tarik kesenangan instan ini, menurut ayat 11, setara bahayanya dengan godaan materi.
Keseimbangan adalah kunci. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mencari rezeki. Justru, setelah selesai shalat (ayat 10), Allah memerintahkan: *“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”* Ayat 10 memberikan izin untuk kembali beraktivitas, namun ayat 11 memberikan batasan moral yang tegas: jangan pernah biarkan aktivitas tersebut menenggelamkan kewajiban, sebab rezeki yang hakiki adalah milik Sang Pencipta.
Oleh karena itu, setiap kali kita mendengar seruan untuk ibadah, kita dihadapkan pada ujian yang sama dengan para Sahabat di Madinah: Apakah kita memilih kapal dagang yang datang, atau kita memilih keteguhan berdiri di sisi Rasulullah (atau pewaris ilmunya) untuk meraih janji Allah yang lebih baik? Jawaban atas pilihan ini menentukan arah keberuntungan spiritual kita, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Pilihan yang bijak adalah yang mengutamakan Yang Kekal di atas yang Fana, karena hanya dengan begitu, rezeki kita akan benar-benar terjamin dan diberkahi.
Inti dari ayat ini adalah pelatihan kepribadian yang tangguh. Kita dilatih untuk berani melawan naluri dasar manusia yang cenderung materialistis dan segera mencari gratifikasi instan. Ketaatan pada perintah untuk mendengarkan khutbah Jumat, meskipun terdapat peluang bisnis yang sangat menggiurkan di luar, adalah manifestasi tertinggi dari iman yang memprioritaskan *taqwa* (ketakutan kepada Allah) di atas ambisi duniawi.
Mari kita ulas sekali lagi mengenai konteks historis. Kafilah yang datang itu bukan sekadar membawa barang mewah, tetapi juga kebutuhan pangan di masa paceklik. Artinya, pilihan yang dihadapi para Sahabat adalah pilihan antara spiritualitas versus kelangsungan hidup fisik. Dengan tegas, Allah mengatakan bahwa memilih spiritualitas akan menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik dan lebih mulia. Jika kita mengutamakan Allah, Dia akan mengurus kebutuhan kita dengan cara yang tidak pernah kita duga. Inilah makna terdalam dari *Tawakkul* yang diajarkan oleh ayat Al Jumu'ah 11.
Analisis mendalam mengenai struktur kalimat menunjukkan bagaimana Allah menggunakan kata kerja lampau untuk menggambarkan tindakan mereka (*ra’au*, *infaddhu*, *tarakuuk*), seolah-olah mengabadikan momen kelemahan manusia sebagai pelajaran yang universal dan tidak lekang oleh waktu. Kemudian, Allah memberikan respons yang menggunakan kata keterangan superlatif (*khairun* dan *khairur raziqin*), yang memastikan keunggulan mutlak dari sisi Ilahi.
Kita harus menyadari bahwa dalam masyarakat yang sangat kompetitif, tekanan untuk terus bekerja dan mencari rezeki semakin besar. Pasar tidak pernah tidur, dan godaan untuk melakukan transaksi di waktu ibadah selalu hadir. Ayat ini menjadi jangkar moral bagi para profesional Muslim, mengingatkan mereka bahwa waktu untuk Allah haruslah suci dan tidak dapat diganggu gugat oleh tuntutan ekonomi. Apabila kita menghormati waktu ibadah, Allah akan menghormati waktu kerja kita dengan keberkahan yang berlimpah.
Pelajaran etika sosial juga muncul dari ayat ini. Mereka yang tetap tinggal—para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan yang lainnya—menunjukkan solidaritas dan penghormatan kepada Rasulullah. Meninggalkan khatib sendirian saat berkhutbah adalah tindakan yang kurang menghormati posisi kenabian. Di masa kini, menghormati imam yang sedang berkhutbah dan tetap fokus adalah cerminan dari penghormatan kita terhadap ajaran Allah yang sedang disampaikan. Kekosongan kursi di masjid karena orang-orang bergegas pulang atau meninggalkan ibadah untuk urusan sepele adalah cerminan kegagalan kita dalam memahami semangat ayat ini.
Kesimpulan dari Surah Al Jumu'ah ayat 11 adalah penguatan iman dalam tiga aspek penting:
Seorang mukmin sejati menyadari bahwa keberuntungan sejati (al-falah) bukan terletak pada banyaknya harta yang dikumpulkan, melainkan pada ketenangan jiwa dan keridhaan Allah yang diperoleh melalui ketaatan yang konsisten. Keberuntungan yang dijanjikan Allah adalah keberuntungan yang komprehensif, mencakup kemakmuran dunia dan keselamatan akhirat. Inilah janji yang jauh lebih berharga daripada semua kafilah dagang yang pernah melintasi padang pasir Madinah.
Melalui ayat ini, kita diajak untuk selalu memperbaharui niat dan memastikan bahwa ibadah kita, terutama salat Jumat, dilakukan dengan penuh kekhusyukan, tanpa ada gangguan dari *tijarah* maupun *lahw*. Sebab, Allah, Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, melihat pilihan hati kita pada saat-saat krusial tersebut. Pilihan yang kita ambil di momen prioritas menentukan kualitas rezeki dan hidup kita secara keseluruhan.
Ayat penutup ini mengajarkan kita untuk selalu kembali kepada tauhid rezeki. Ketika tekanan ekonomi menghimpit, suara yang seharusnya kita dengar adalah: "Allah adalah sebaik-baik Pemberi Rezeki." Suara ini jauh lebih nyaring dan pasti daripada bunyi lonceng pasar modal atau janji keuntungan sesaat. Siapa yang memilih Allah, maka Allah akan memilih yang terbaik untuknya.
Ini adalah seruan universal bagi semua umat Muslim di seluruh penjuru dunia, di tengah hiruk pikuk globalisasi dan kecepatan informasi. Ketika dunia berteriak "Ayo cepat raih keuntungan!", Al-Qur'an mengingatkan, "Tahanlah dirimu, karena apa yang di sisi Allah itu lebih baik dan kekal." Prinsip inilah yang membedakan seorang hamba yang benar-benar bertawakal dari mereka yang hanya mengandalkan usaha keras semata. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa memprioritaskan panggilan-Nya.