Dua ayat yang mulia dalam Surah Al-Jumu'ah, yakni ayat 9 dan 10, merupakan fondasi utama bagi umat Islam dalam memahami etika dan kewajiban di hari Jumat. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur aspek ritual (ibadah) tetapi juga memberikan panduan komprehensif mengenai keseimbangan antara kehidupan duniawi (muamalah) dan kehidupan spiritual (ubudiyah). Kajian terhadap dua ayat ini memerlukan telaah mendalam, mencakup dimensi tafsir, fiqh, linguistik, dan implikasi etika sosial.
Gambar: Keseimbangan yang diinstruksikan dalam Al-Jumu'ah 9 dan 10.
Ayat 9 dari Surah Al-Jumu'ah adalah perintah langsung dari Allah SWT kepada orang-orang yang beriman, sebuah seruan yang memiliki kekuatan hukum wajib (fardhu) dalam syariat Islam.
Perintah ini terikat pada momen spesifik: an-nida' atau seruan. Para ulama tafsir dan fiqh sepakat bahwa seruan yang dimaksud di sini adalah azan kedua (atau azan yang dikumandangkan setelah khatib duduk di mimbar, sesuai praktik di zaman Nabi Muhammad SAW). Di era modern, ini umumnya merujuk pada azan yang menandakan dimulainya waktu shalat Jumat dan azan yang paling dekat dengan khutbah.
Kewajiban untuk bergegas (fas’au) baru berlaku setelah seruan ini dikumandangkan. Sebelum azan, aktivitas mencari rezeki masih diperbolehkan. Namun, kebijaksanaan (hikmah) menuntut seorang mukmin untuk bersiap jauh sebelum azan, misalnya dengan mandi, memakai wangi-wangian, dan menuju masjid dengan tenang.
Mayoritas mazhab fiqh menetapkan bahwa azan yang menjadikan jual beli haram adalah azan yang dikumandangkan saat imam sudah berada di mimbar. Pada saat ini, semua muamalah yang dapat mengalihkan perhatian dari shalat Jumat, terutama jual beli, menjadi terlarang (haram).
Batas waktu haram ini dimulai saat azan dan berakhir saat shalat selesai (sesuai ayat 10). Jika seseorang melakukan transaksi jual beli dalam periode ini, transaksinya tetap sah menurut sebagian ulama (Mazhab Syafi'i), namun pelakunya berdosa karena melanggar perintah Allah. Sementara itu, ulama lain (Mazhab Hanbali dan sebagian Hanafi) berpendapat bahwa transaksi itu sendiri menjadi tidak sah (batal) karena dilakukan pada waktu larangan syariat.
Kata kunci di sini adalah fas’au (فَاسْعَوْا), yang secara harfiah berarti "berjalan cepat" atau "berusaha keras". Namun, konteks ayat ini tidak menekankan kecepatan fisik yang tergesa-gesa, melainkan kecepatan merespons secara spiritual dan mental. Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang melarang datang ke masjid dengan tergesa-gesa; mukmin harus datang dengan tenang (sakinah) dan penuh martabat (waqar).
Dalam konteks ayat 9, "dzikrullah" (mengingat Allah) memiliki cakupan makna yang luas dan spesifik:
Perintah bergegas ini menunjukkan urgensi ibadah Jumat. Ibadah ini adalah kewajiban kolektif (fardhu 'ain bagi laki-laki mukallaf) yang menggantikan Shalat Zhuhur dan menjadi penanda keistimewaan hari tersebut.
Ini adalah larangan tegas yang bersifat mengikat (jazim). Kata al-bai’ (jual beli) dalam ayat ini digunakan sebagai representasi (majaz) dari semua bentuk muamalah atau kesibukan duniawi yang dapat mengalihkan seseorang dari kewajiban Shalat Jumat. Ini mencakup:
Para mufassir menjelaskan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk memfokuskan hati dan pikiran sepenuhnya pada ibadah. Dunia harus diletakkan sejenak. Jika mencari rezeki hukumnya adalah fardhu kifayah atau sunnah, menghadiri panggilan Allah pada hari Jumat adalah fardhu 'ain yang tidak dapat digantikan.
Larangan ini hanya berlaku bagi mereka yang wajib melaksanakan Shalat Jumat (laki-laki, mukim, sehat, baligh). Transaksi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak wajib Jumat (seperti wanita, musafir, atau orang sakit) tidak masuk dalam larangan ini, meskipun jika mereka terlibat dalam transaksi dengan orang yang wajib Jumat pada jam-jam larangan, transaksi tersebut bisa menjadi bermasalah secara etika fiqh.
Bagian penutup ini berfungsi sebagai penekanan hikmah (kebijaksanaan) dari perintah tersebut. Allah SWT menegaskan bahwa meninggalkan keuntungan materi sesaat demi ketaatan adalah pilihan yang secara substansial lebih menguntungkan.
Keuntungan yang dimaksud bersifat ganda:
Frasa "jika kamu mengetahui" menantang akal manusia untuk menimbang antara nilai dunia yang fana dan nilai akhirat yang kekal. Mereka yang hanya melihat keuntungan materi di hadapan mata tidak akan memahami kebaikan hakiki dari menaati seruan ilahi ini.
Jika ayat 9 mengatur mobilisasi menuju ibadah, ayat 10 mengatur demobilisasi—kembalinya ke kehidupan normal—setelah ibadah selesai, namun dengan syarat yang krusial: tidak melupakan Allah dalam proses tersebut.
Izin untuk kembali mencari rezeki dan menjalani aktivitas duniawi diberikan setelah shalat Jumat (termasuk khutbah) selesai seluruhnya. Ini menunjukkan bahwa ibadah memiliki prioritas waktu yang absolut. Setelah kewajiban selesai, bumi terbuka kembali.
Perintah fantasyirū (menyebar) dalam bentuk perintah (amr) di sini menunjukkan izin (ibahah) atau anjuran (nadhb), bukan kewajiban mutlak. Ayat ini menghilangkan anggapan bahwa setelah ibadah Jumat, seseorang harus tetap berdiam diri di masjid atau mengisolasi diri dari dunia.
Ayat ini adalah legitimasi syariat terhadap bekerja dan mencari nafkah. Islam menghargai kerja keras. Setelah mengisi bejana spiritual, seorang mukmin dianjurkan untuk menggunakan energi tersebut dalam mencari rezeki yang halal (kasb al-halal).
Rezeki, baik materi maupun non-materi, disebut sebagai fadhlillah (karunia atau anugerah Allah). Penyebutan rezeki sebagai karunia Allah mengingatkan bahwa:
Frasa ini menyatukan ibadah dan kerja. Kerja menjadi bagian dari ibadah ketika diniatkan untuk ketaatan, menafkahi keluarga, dan menghindari meminta-minta.
Ini adalah bagian terpenting dari ayat 10, yang berfungsi sebagai jembatan antara masjid dan pasar. Allah memerintahkan mukmin untuk mengingat-Nya 'banyak-banyak' (katsiran) bahkan saat mereka kembali ke hiruk pikuk dunia.
Perintah dzikir yang banyak ini memiliki implikasi besar terhadap etika bisnis. Ketika seseorang mengingat Allah secara intens di tengah transaksi:
Dzikir yang banyak adalah kunci menuju tuflihun (keberuntungan, kesuksesan sejati), yang mencakup kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat. Keberuntungan sejati bukanlah akumulasi kekayaan, melainkan pencapaian ridha Ilahi melalui keseimbangan kerja dan ibadah.
Dua ayat ini menjadi dasar hukum (dalil) utama bagi banyak ketentuan Fiqh terkait Shalat Jumat dalam mazhab-mazhab Islam, khususnya mengenai keabsahan transaksi dan penentuan waktu larangan.
Larangan jual beli dan segala bentuk akad yang mengalihkan perhatian dari Shalat Jumat adalah haram. Ini didukung oleh kaidah Fiqh: "Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya." Karena Allah memerintahkan fas'au ilaa dzikrillah (bergegas menuju dzikir), maka Allah melarang dzaru al-bai' (meninggalkan jual beli). Siapa pun yang melanggar larangan ini secara sadar dan sengaja telah berbuat maksiat.
Pandangan yang lebih kuat dari segi etika adalah menghindari segala transaksi pada waktu larangan, bahkan jika keabsahan akadnya masih diperdebatkan, demi menjaga keagungan perintah ilahi.
Ayat 9 menyebutkan "dzikrillah." Karena secara historis khutbah adalah sarana utama Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan peringatan di hari Jumat, ulama fiqh menetapkan bahwa mendengarkan khutbah (jika mampu) adalah wajib atau sangat ditekankan (wajib atau sunnah muakkadah), dan khutbah itu sendiri merupakan syarat sahnya Shalat Jumat.
Tanpa khutbah, Shalat Jumat tidak sah, sebab khutbah adalah pengganti dua rakaat Shalat Zhuhur (menurut sebagian ulama) dan menjadi inti dari "dzikrullah" yang diperintahkan.
Perintah fantasyirū (menyebar) dalam ayat 10 menunjukkan bahwa tidak ada ritual wajib yang harus dilakukan segera setelah Shalat Jumat. Segala sesuatu setelah salam adalah sunnah (seperti shalat sunnah ba’diyah), dan secara hukum, mukmin bebas kembali mencari rezeki.
Ini mematahkan praktik yang menahan orang terlalu lama di masjid setelah kewajiban selesai, menunjukkan keseimbangan Islam yang unik antara spiritualitas dan aktivitas duniawi.
Dua ayat ini mengajarkan prinsip fundamental dalam Islam: penyeimbangan (tawazun) antara dimensi ubudiyah (pengabdian) dan dimensi muamalah (interaksi sosial/ekonomi). Ini adalah peta jalan etika bagi setiap mukmin yang bekerja.
Panggilan azan Jumat berfungsi sebagai "uji coba ketaatan." Seberapa besar seseorang bersedia melepaskan keuntungan finansial yang jelas demi janji pahala yang gaib. Dalam terminologi ekonomi, ini adalah biaya peluang (opportunity cost) yang diyakini akan diganti dengan berkah yang jauh lebih besar.
Tafsir klasik sering menyertakan kisah tentang sahabat Nabi yang, ketika azan kedua dikumandangkan, meninggalkan timbangan, barang dagangan, bahkan makanan yang sedang mereka makan untuk bergegas ke masjid. Hal ini menunjukkan tingkat komitmen absolut terhadap perintah fas’au ilaa dzikrillah.
Ayat 10 secara eksplisit menolak ajaran atau filosofi yang menganjurkan pengasingan diri dari dunia (monastisisme). Setelah ibadah, umat Islam diperintahkan untuk "menyebar di bumi" dan mencari karunia Allah. Ini adalah penegasan bahwa kehidupan ekonomi yang produktif adalah bagian integral dari kehidupan beragama yang sehat.
Seorang mukmin yang saleh bukanlah yang miskin dan menganggur, melainkan yang bekerja keras, mencari yang halal, dan pada saat yang sama, tidak lalai dalam ketaatan.
Perintah untuk "wa dzakurullaha katsiran" (mengingat Allah banyak-banyak) saat bekerja adalah revolusioner. Ini mengubah pekerjaan dari sekadar aktivitas ekonomi menjadi sarana ibadah (dzikir). Bagaimana dzikir ini diwujudkan dalam pasar dan kantor?
Kekuatan ayat 9 dan 10 terletak pada pilihan kata (lafadz) dan struktur kalimatnya yang menunjukkan ketegasan, anjuran, dan hikmah.
Allah tidak menggunakan kata rizq (rezeki) secara langsung dalam ayat 10, melainkan fadhlillah (karunia Allah). Penggunaan fadhl (keutamaan/karunia) menunjukkan bahwa rezeki yang diperoleh setelah menunaikan shalat adalah bonus, limpahan kebaikan, atau keberkahan yang Allah tambahkan sebagai balasan atas ketaatan di ayat 9.
Kedua ayat ditutup dengan janji imbalan yang berbeda namun saling berkaitan:
Bagaimana ayat 9 dan 10 relevan dalam konteks masyarakat dan ekonomi modern yang serba cepat dan global?
Dalam konteks korporasi atau industri, seruan azan Jumat harus dihormati sebagai penghenti aktivitas wajib. Perusahaan atau institusi yang mempekerjakan laki-laki muslim wajib memberikan kelonggaran waktu yang cukup bagi pekerjanya untuk melaksanakan Shalat Jumat, termasuk waktu tempuh menuju masjid.
Kegagalan perusahaan dalam memfasilitasi Shalat Jumat (misalnya dengan mengadakan rapat wajib atau transaksi krusial saat waktu azan) dianggap melanggar etika Islam dan hak pekerja yang dijamin oleh perintah ilahi ini.
Ayat 9 melarang al-bai’, yang mencakup segala bentuk transaksi. Di era digital, ini berarti bahwa platform perdagangan elektronik (e-commerce), pasar saham, atau transaksi mata uang (forex) yang dioperasikan oleh mukmin yang wajib Shalat Jumat harus dihentikan pada saat azan kedua dikumandangkan hingga shalat selesai.
Larangan ini berlaku pada tindakan transaksi itu sendiri, bukan hanya kehadiran fisik di pasar. Seorang muslim yang menjalankan bot trading otomatis pada jam-jam tersebut, meskipun tidak secara langsung mengoperasikannya, secara etika melanggar semangat ayat ini jika ia tidak menonaktifkannya dan wajib melaksanakan Shalat Jumat.
Perintah wa dzakurullaha katsiran setelah Shalat (Ayat 10) menjadi sangat penting dalam ekonomi digital yang rentan terhadap informasi palsu, manipulasi data, dan spekulasi berlebihan. Dzikir yang banyak menuntut integritas dalam setiap klik, setiap postingan, dan setiap transaksi digital. Ia menuntut kejujuran dalam iklan dan keadilan dalam berinteraksi dengan pelanggan global.
Inti filosofis dari Surah Al-Jumu'ah 9 dan 10 adalah redefinisi konsep 'keuntungan' dan 'keberuntungan' (tuflihun).
Seseorang mungkin mendapatkan keuntungan finansial yang besar dengan mengabaikan panggilan Jumat atau dengan melakukan kecurangan (lalai dzikrullah). Namun, keuntungan seperti itu akan dicabut berkahnya. Harta itu mungkin tidak membawa ketenangan, menjadi sumber masalah, atau habis tanpa manfaat yang berarti.
Kisah-kisah zaman dahulu sering mengingatkan bahwa toko yang ditutup selama Shalat Jumat sering kali justru lebih diberkahi keuntungannya daripada toko yang tetap buka, karena berkah Allah mendampingi ketaatan.
Al-Falah (Keberuntungan) yang dijanjikan di ayat 10 adalah tujuan akhir dari semua ibadah. Ia mencakup tiga aspek:
Dzikir yang banyak berfungsi sebagai asuransi spiritual; ia memastikan bahwa meskipun kita kembali sibuk dengan dunia, jangkar spiritual kita tetap kokoh tertanam pada ketaatan kepada Allah SWT.
Ayat-ayat ini menekankan kewajiban individu (fardhu 'ain) untuk hadir di Shalat Jumat, namun dampaknya bersifat kolektif. Ketika semua mukmin yang memenuhi syarat meninggalkan pasar pada waktu yang sama, ini menciptakan sebuah momentum spiritual kolektif yang menguatkan identitas umat.
Kepatuhan terhadap ayat 9 dan 10 membentuk ritme mingguan dalam masyarakat Islam:
Perintah dzikir yang banyak pasca shalat bukan sekadar anjuran tambahan, melainkan prasyarat untuk keberuntungan. Bayangkan seorang pedagang yang baru saja beribadah, ia kembali ke pasar dengan kesadaran penuh bahwa Allah melihatnya. Kesadaran inilah yang mencegah keserakahan, yang merupakan penyakit utama dalam aktivitas ekonomi.
Jika dzikrullah diabaikan setelah Shalat Jumat, maka manfaat spiritual dari shalat itu akan cepat menguap, dan ia akan kembali terjebak dalam jebakan duniawi yang telah diperingatkan oleh ayat 9.
Oleh karena itu, keseimbangan yang diajarkan oleh Al-Jumu'ah 9 dan 10 adalah siklus abadi: tinggalkan dunia untuk Allah, kemudian kembalilah ke dunia dengan bekal Allah (dzikrullah) agar rezeki yang dicari menjadi karunia yang berkah, bukan sekadar kekayaan yang fana.
Urgensi ketaatan dalam ayat 9 dan 10 tidak hanya dilihat dari sisi perintah, tetapi juga dari ancaman bagi yang melalaikannya. Meninggalkan Shalat Jumat tanpa alasan syar'i adalah dosa besar. Kelalaian ini sering berakar pada kecintaan berlebihan terhadap materi (hubbud dunya) yang secara eksplisit dilarang oleh semangat ayat 9.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, terdapat peringatan keras bagi mereka yang meninggalkan Shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur. Hal ini menunjukkan bahwa perintah dalam Al-Jumu'ah 9 bukanlah perintah ringan, melainkan pilar utama dalam membangun keimanan komunal.
Pengabaian Shalat Jumat sering dimulai dari penundaan, menunda persiapan, hingga akhirnya membiarkan diri disibukkan oleh jual beli atau aktivitas lain saat azan berkumandang. Ayat 9 berfungsi sebagai pencegah (saddu dzari’ah) terhadap perilaku tersebut.
Ketika mukmin bertebaran mencari karunia Allah (fadhlillah) setelah shalat, ia harus yakin bahwa karunia itu mencakup lebih dari sekadar uang. Karunia itu termasuk:
Semua aspek ini adalah hasil dari dzikrullah katsiran. Ketika kita meletakkan dunia di tangan dan bukan di hati, kita mendapatkan keduanya: ibadah yang sempurna dan karunia yang berkah.
Surah Al-Jumu'ah ayat 9 dan 10 adalah intisari kehidupan muslim yang seimbang dan produktif. Ayat ini menolak dualisme ekstrem: menolak kerahiban total yang meninggalkan dunia, dan menolak materialisme total yang meninggalkan agama.
Hidup seorang mukmin adalah perjalanan yang diwarnai oleh panggilan-panggilan prioritas. Pada hari Jumat, panggilan Allah melalui azan adalah prioritas mutlak yang harus menghentikan segala pergerakan ekonomi. Setelah kewajiban itu ditunaikan, pintu dunia terbuka dengan izin Ilahi, tetapi dengan syarat bahwa pintu hati tetap tertutup bagi kelalaian dan terbuka lebar bagi dzikrullah.
Ketaatan pada perintah fas’au ilaa dzikrillah (bergegas menuju dzikir) dan implementasi wa dzakurullaha katsiran (mengingat Allah banyak-banyak) memastikan bahwa setiap langkah dalam mencari rezeki adalah ibadah, dan setiap transaksi adalah kesaksian atas keimanan. Inilah jalan menuju keberuntungan abadi yang dijanjikan dalam firman-Nya, sebuah janji yang hanya dipahami oleh mereka yang memilih ketaatan di atas keuntungan materi sesaat.
Pelajaran yang paling mendalam dari ayat ini adalah bahwa kesuksesan sejati (al-falah) tidak diukur dari seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa baik kita menyeimbangkan antara waktu yang kita dedikasikan untuk Pencipta dan waktu yang kita gunakan untuk mencari karunia-Nya di muka bumi.
Dengan mengikuti panduan mulia ini, umat Islam dapat membangun peradaban yang makmur, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal moral dan spiritual, menjamin bahwa transaksi di pasar sama sucinya dengan ibadah di masjid, selama dzikrullah selalu menyertai.
Pengulangan instruksi dan nasihat dalam kedua ayat ini adalah bentuk kasih sayang Allah agar manusia tidak pernah lalai. Kita diingatkan bahwa waktu adalah karunia, dan prioritas adalah kunci. Menutup toko selama satu jam di hari Jumat adalah investasi spiritual yang imbalannya jauh melampaui segala keuntungan duniawi yang dapat dibayangkan. Inilah inti dari kebijaksanaan ilahi yang terkandung dalam Surah Al-Jumu'ah ayat 9 dan 10.
Berapa banyak pun keuntungan yang dijanjikan, jika itu bertentangan dengan panggilan Shalat Jumat, maka keuntungan itu harus ditinggalkan, karena kebaikan yang sejati ada pada ketaatan. Dan setelah ketaatan terpenuhi, dunia kembali dibuka, namun kini dihiasi dengan cahaya dzikir dan keberkahan yang tak terhingga. Kesatuan antara ritus dan realitas, antara masjid dan pasar, adalah warisan abadi dari perintah agung dalam Al-Qur'an ini.
Melalui penerapan konsisten dari prinsip-prinsip ini, setiap mukmin menjadi duta keseimbangan, membuktikan kepada dunia bahwa puncak kesuksesan duniawi hanya dapat dicapai melalui fondasi spiritual yang kokoh, di mana azan Jumat berfungsi sebagai penyeimbang mingguan yang mengatur ulang seluruh fokus kehidupan.
Kita menutup kajian mendalam ini dengan penegasan bahwa seruan untuk bertebaran mencari karunia setelah shalat adalah dorongan, sebuah izin yang penuh rahmat, bukan perintah. Hal ini memastikan bahwa mereka yang bekerja memiliki legitimasi agama untuk mencari nafkah, tetapi mereka yang memilih untuk beribadah lebih lama (misalnya shalat sunnah atau dzikir) juga tidak dicela. Pilihan ada pada individu, selama dzikrullah tetap menjadi poros utama kehidupan mereka.