Seruan Agung Jumat: Mendalami Hikmah Al Jumuah Ayat 9

Panggilan Shalat Jumat Perniagaan Allahu Akbar

I. Panggilan Suci: Memahami Konteks Al Jumuah Ayat 9

Surah Al-Jumuah merupakan surah Madaniyyah yang secara eksplisit membahas dua tema sentral: misi kenabian Muhammad ﷺ sebagai utusan bagi umat yang tidak bisa membaca dan menulis, serta instruksi agung mengenai kewajiban salat Jumat. Di antara ayat-ayatnya yang penuh hikmah, Ayat 9 berdiri tegak sebagai komando ilahi yang fundamental, membentuk etos spiritual dan ekonomi umat Islam. Ayat ini bukan sekadar perintah untuk beribadah; ia adalah cetak biru untuk mencapai keseimbangan sempurna antara tuntutan duniawi (ekonomi) dan kewajiban ukhrawi (spiritualitas).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Terjemahan Literal: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Perintah ini datang dengan nada yang tegas namun penuh kasih sayang, dimulai dengan panggilan universal, "Yā ayyuhal-lażīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman). Ini menandakan bahwa perintah yang akan disampaikan adalah ciri khas keimanan, sebuah ujian ketaatan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang lain. Keimanan diletakkan sebagai prasyarat bagi penerimaan dan pelaksanaan perintah tersebut.

Urgensi Tiga Pilar Utama Ayat

Ayat ke-9 ini mengandung tiga pilar perintah yang harus dipahami secara mendalam:

  1. An-Nidā' (Panggilan): Yaitu seruan azan yang menandakan dimulainya waktu ibadah wajib.
  2. Al-Sa'yu ilā Dzikrillāh (Bersegera kepada Mengingat Allah): Ini adalah kewajiban bergerak menuju salat dan meninggalkan segala kesibukan.
  3. Tarkul-Bai’ (Meninggalkan Jual Beli): Larangan tegas terhadap kegiatan ekonomi yang berpotensi menghalangi pelaksanaan ibadah.

Kajian kita harus melampaui makna literal. Kita harus menyelami bagaimana para ulama menafsirkan “bersegera” (فَاسْعَوْا), mengapa Allah SWT secara spesifik menyebut “jual beli” (الْبَيْعَ), dan apa signifikansi kalimat penutup, “Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Ini adalah kunci menuju pemahaman keberkahan sejati pada Hari Jumat.

II. Tafsir Lughawi dan Fiqhi: Makna Dzikrullah dan Sa'yu

Membedah setiap komponen ayat adalah langkah awal untuk menguak kedalaman maknanya. Kata kunci pertama adalah نُودِيَ (nūdī), yang berarti 'diseru' atau 'dipanggil'. Dalam konteks fikih, seruan ini merujuk pada azan kedua, yaitu azan yang dikumandangkan setelah imam duduk di mimbar, menandakan waktu salat telah tiba dan kewajiban untuk segera berkumpul telah berlaku. Azan ini secara hukum menetapkan dimulainya periode larangan berdagang.

Makna Filosofis dari Al-Sa'yu (Bersegera)

Kata فَاسْعَوْا (fas‘aw), sering diterjemahkan sebagai ‘bersegeralah’, berasal dari kata dasar *sa‘ā* yang berarti berjalan cepat, berusaha keras, atau bergegas. Namun, para mufasir menekankan bahwa makna 'bersegera' di sini bukan sekadar kecepatan fisik, melainkan kecepatan spiritual dan mental.

Imam Qatadah dan Mujahid menjelaskan, Sa'yu di sini adalah berjalan menuju salat dengan tenang dan khusyuk, bukan berlari kencang. Ia adalah kecepatan hati, meninggalkan keragu-raguan, dan memprioritaskan perintah Allah di atas segala kepentingan duniawi.

Sa’yu adalah manifestasi dari urgensi. Ketika panggilan ilahi datang, segala prioritas duniawi harus runtuh. Ini adalah pengakuan bahwa janji Allah lebih besar dan lebih penting daripada keuntungan material sesaat. Jika seseorang dapat bergegas menuju keuntungan bisnis yang besar, seharusnya ia lebih bergegas menuju keuntungan ukhrawi yang abadi.

“Dzikrullah”: Bukan Sekadar Mengingat

Tujuan dari percepatan ini adalah إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ (ilā dzikrillāh), menuju mengingat Allah. Para ulama sepakat bahwa dalam konteks Ayat 9, Dzikrullah memiliki makna yang sangat spesifik dan luas, mencakup tiga elemen utama:

  1. Khutbah Jumat: Dzikrullah mencakup mendengarkan khutbah (pengajaran) yang disampaikan oleh khatib, yang isinya adalah peringatan dan nasihat.
  2. Salat Jumat: Pelaksanaan salat dua rakaat secara berjamaah, yang merupakan puncak dari ritual Jumat.
  3. Persiapan dan Niat: Termasuk bersuci (mandi), memakai pakaian terbaik, dan niat yang tulus untuk menghadiri majelis ilmu dan ibadah.

Dengan demikian, Dzikrullah pada hari Jumat adalah sebuah paket ibadah kolektif dan komprehensif, dimulai dari saat azan dikumandangkan hingga salat selesai. Ia adalah waktu di mana komunitas Mukmin meninggalkan perannya sebagai pelaku ekonomi dan mengambil peran sebagai hamba yang taat dan pendengar yang tekun.

III. Larangan Tegas: Mengapa Jual Beli Harus Ditinggalkan?

Bagian ayat yang paling spesifik dan mengikat secara hukum adalah وَذَرُوا الْبَيْعَ (wa żarūl-bai‘), 'dan tinggalkanlah jual beli'. Kata *wa żarū* adalah perintah tegas untuk meninggalkan atau menghentikan segera.

Hukum Fiqih Mengenai Penghentian Aktivitas

Mengapa Allah memilih secara spesifik menyebut "jual beli" (al-bai’)? Jual beli adalah representasi paling jelas dari kesibukan duniawi dan pencarian keuntungan materi. Ayat ini memberikan sinyal bahwa tidak hanya jual beli yang dilarang, tetapi juga segala bentuk transaksi, pekerjaan, atau aktivitas yang dapat menyita perhatian atau menghalangi seseorang untuk segera memenuhi panggilan salat Jumat, seperti menyewa, bertani, bekerja di kantor, atau bahkan menyelesaikan hutang piutang.

Para fuqaha (ahli fikih) menetapkan bahwa larangan ini berlaku sejak azan (kedua) dikumandangkan hingga salat Jumat selesai dilaksanakan (yaitu setelah salam). Transaksi yang dilakukan pada rentang waktu ini, meskipun dilakukan dengan sukarela oleh kedua belah pihak, statusnya diperdebatkan:

Terlepas dari perbedaan keabsahan akad, semua mazhab sepakat bahwa melangsungkan jual beli pada waktu ini adalah tindakan maksiat yang mengurangi berkah dan melanggar perintah ilahi yang sangat jelas. Fokusnya adalah pada ketaatan; keuntungan materi yang didapat dari melanggar perintah ini pasti akan diliputi kegelapan dan kekurangan berkah.

Analisis Filosofi Larangan

Jumat adalah hari berkumpul (Al-Jumuah). Jika setiap orang tetap sibuk dengan urusan pribadinya, esensi dari persatuan umat akan hilang. Larangan berdagang berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk memastikan bahwa setiap anggota komunitas Mukmin memiliki waktu yang sama, bebas dari tekanan ekonomi, untuk berfokus pada ibadah kolektif. Ini adalah penegasan bahwa ibadah kolektif (Salat Jumat) memiliki prioritas absolut di atas ekonomi individu.

Fokus pada Dzikrullah Fokus Spiritual

IV. Keutamaan dan Kebaikan: Yang Demikian Itu Lebih Baik Bagimu

Ayat 9 ditutup dengan pernyataan yang tegas dan memotivasi: ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (Żālikum khayrul lakum in kuntum ta‘lamūn), "Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." Pernyataan ini bukan hanya nasihat; ini adalah jaminan ilahi.

Kebaikan yang Melampaui Logika Ekonomi

Mengapa meninggalkan keuntungan materi yang pasti demi ibadah yang hasilnya tidak terlihat secara kasat mata dikatakan lebih baik? ‘Kebaikan’ (khayr) di sini mencakup dua dimensi:

1. Kebaikan Ukhrawi (Jangka Panjang)

Ketaatan pada perintah ini adalah indikator iman tertinggi. Meninggalkan kesibukan duniawi demi panggilan Allah menjamin pahala besar, pengampunan dosa, dan peningkatan derajat di sisi-Nya. Kebaikan ini bersifat abadi dan tak terhingga nilainya dibandingkan akumulasi kekayaan duniawi yang fana.

2. Kebaikan Duniawi (Keberkahan)

Paradoksnya, meskipun kita diperintah untuk meninggalkan jual beli, ketaatan ini justru mendatangkan keberkahan pada rezeki yang tersisa dan rezeki yang akan datang. Allah menjamin bahwa waktu yang 'hilang' karena ibadah akan diganti dengan kualitas rezeki yang lebih baik, kemudahan dalam urusan, dan kepuasan hati (qana’ah). Ini mengajarkan prinsip tauhid dalam rezeki: pemberi rezeki sejati bukanlah pasar atau transaksi, melainkan Allah SWT.

Frasa "jika kamu mengetahui" (in kuntum ta‘lamūn) adalah tantangan sekaligus undangan. Ia menyiratkan bahwa manfaat sejati dari ketaatan ini hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki pengetahuan spiritual yang mendalam, yang mampu melihat melampaui perhitungan untung rugi materialistik. Pengetahuan sejati memandu Mukmin untuk memilih prioritas abadi di atas prioritas sementara.

V. Keseimbangan Spiritual dan Material: Menghubungkan Ayat 9 dan 10

Untuk memahami kedalaman Ayat 9, kita tidak bisa mengabaikan Ayat 10, yang berfungsi sebagai penutup dan pelengkap etos Jumat:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)

Terjemahan Literal: "Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."

Peralihan dari Konsentrasi ke Penyebaran

Ayat 10 memberikan izin, bahkan dorongan, untuk kembali bekerja. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan monastisisme (kerahiban) atau pengabaian total terhadap dunia. Sebaliknya, Islam menuntut keseimbangan yang dinamis.

Ketika panggilan datang (Ayat 9), seluruh energi difokuskan pada Dzikrullah. Ketika ibadah selesai (Ayat 10), energi tersebut harus segera dialihkan kembali untuk mencari nafkah. Ini adalah siklus suci: konsentrasi spiritual yang intens diikuti oleh aksi ekonomi yang produktif, memastikan bahwa semua aktivitas kehidupan berada dalam kerangka ketaatan kepada Allah.

Mencari Karunia Allah (Fadlullāh)

Pencarian rezeki setelah salat Jumat disebut وابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ (wabtaghū min faḍlil-lāhi), 'dan carilah karunia Allah'. Penggunaan kata 'karunia' atau 'keutamaan' (faḍl) daripada sekadar 'rezeki' menekankan bahwa rezeki itu bukan hasil semata dari jerih payah manusia, melainkan anugerah dan kebaikan dari Allah.

Keberkahan rezeki yang didapat setelah Jumat adalah buah dari ketaatan sebelumnya. Seseorang yang meninggalkan perniagaannya karena takut kepada Allah, akan melihat Allah membalasnya dengan cara yang tidak terduga dalam perniagaan selanjutnya. Ini mengajarkan umat Islam untuk bekerja keras, namun dengan kesadaran bahwa usaha hanya akan menghasilkan jika disertai izin dan karunia Ilahi.

Integritas Dzikir dalam Kerja

Ayat 10 menambahkan syarat penting saat kembali bekerja: وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا (ważkurullāha kaṡīran), 'dan ingatlah Allah banyak-banyak'. Ini memastikan bahwa meskipun secara fisik seseorang kembali ke pasar atau kantor, secara spiritual ia tetap terhubung dengan Allah.

Dzikir yang banyak ini berfungsi sebagai:

  1. Penjaga Moral: Mencegah pelaku ekonomi dari kecurangan, riba, atau penipuan, karena ia sadar Allah selalu mengawasinya.
  2. Sumber Kekuatan: Memberikan ketenangan jiwa di tengah hiruk pikuk persaingan duniawi.
  3. Kontinuitas Ibadah: Menjaga agar aktivitas mencari rezeki tidak terlepas dari tujuan utama penciptaan manusia, yaitu ibadah.

Dengan demikian, Al Jumuah Ayat 9 dan 10 adalah sepasang ayat yang mengajarkan manajemen waktu dan prioritas yang sempurna: fokus total pada ibadah ketika dipanggil, dan kerja keras yang dihiasi dengan dzikir setelah ibadah selesai.

VI. Implikasi Syariat dan Fiqh yang Meluas

Perintah dalam Al Jumuah Ayat 9 memiliki resonansi hukum yang sangat luas, membentuk praktik sosial dan personal umat Islam selama berabad-abad. Pemahaman mengenai siapa yang terikat oleh perintah ini dan bagaimana pelaksanaannya menjadi sangat krusial.

Kewajiban Salat Jumat (Wujub)

Mayoritas ulama sepakat bahwa Salat Jumat adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu) bagi laki-laki Muslim yang baligh, berakal, merdeka, sehat, dan tidak memiliki uzur syar'i (seperti sakit parah atau sedang dalam perjalanan jauh—musafir).

Kewajiban ini secara otomatis mengaktifkan larangan berdagang. Bagi mereka yang tidak wajib salat Jumat (misalnya wanita, anak-anak, atau musafir), mereka tidak terikat oleh larangan jual beli tersebut. Namun, jika mereka melakukan transaksi dengan seseorang yang wajib salat Jumat, transaksi tersebut tetap bermasalah dan hukumnya makruh atau haram, karena membantu orang lain melanggar perintah Allah.

Pengecualian dan Uzur

Pengecualian bagi kewajiban salat Jumat, seperti kondisi sakit atau ketakutan, secara implisit juga membebaskan seseorang dari larangan bekerja. Namun, prinsip umumnya adalah, setiap orang yang mendengar panggilan azan dan wajib hadir, harus segera menghentikan segala aktivitas yang bertentangan dengan Al-Sa'yu ilā Dzikrillāh. Ini termasuk:

Semua harus ditangguhkan untuk jangka waktu terbatas demi menunaikan kewajiban suci tersebut. Waktu tunggu ini adalah waktu yang disucikan dan diprioritaskan oleh syariat.

Fenomena Kontemporer dan Penerapan Ayat 9

Dalam masyarakat modern, konsep "jual beli" telah meluas menjadi berbagai bentuk interaksi ekonomi digital dan global. Pertanyaannya, apakah seorang trader saham online, seorang pekerja daring, atau seorang kasir di toko non-Muslim, termasuk dalam larangan ini?

Para ulama kontemporer menegaskan bahwa prinsip dasarnya tetap sama: Segala aktivitas yang menghasilkan keuntungan material dan memerlukan perhatian penuh, yang jika dilanjutkan akan menghalangi kehadiran fisik atau mental di salat Jumat, hukumnya haram setelah azan dikumandangkan.

Ini memerlukan kesadaran diri yang tinggi. Seorang karyawan Muslim harus mengatur jadwalnya, dan seorang pengusaha harus menutup usahanya, memastikan tidak ada kegiatan yang mengikatnya pada saat ‘Dzikrullah’ berlangsung. Ini adalah komitmen etis dan spiritual yang menunjukkan bahwa ketaatan lebih berharga daripada dividen kuartalan.

Mencari Karunia Allah Fadlullah

VII. Analisis Mendalam Mengenai Kebaikan Abadi

Inti dari Al Jumuah Ayat 9 adalah pertukaran nilai. Allah meminta kita menukar waktu (yang biasanya bernilai ekonomi) dengan ibadah (yang bernilai spiritual). Hasil dari pertukaran ini—kebaikan abadi—dijelaskan melalui beberapa dimensi teologis dan psikologis.

1. Penanaman Rasa Takut (Khauf)

Ketaatan segera pada perintah meninggalkan perniagaan menanamkan rasa takut kepada Allah. Rasa takut ini bukan rasa gentar yang melumpuhkan, melainkan kesadaran yang menuntun bahwa hak Allah harus didahulukan. Rasa takut inilah yang menjadi benteng moral seorang Mukmin dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berbisnis, menjadikan seluruh aktivitasnya bernilai ibadah.

2. Penguatan Solidaritas Sosial

Salat Jumat adalah perwujudan persatuan. Ketika para pengusaha, pekerja, pedagang, dan pejabat berkumpul di tempat yang sama, meninggalkan status duniawi mereka di luar masjid, ini menciptakan kesetaraan yang mendalam. Kebaikan (khayr) yang dimaksud dalam ayat ini juga mencakup kebaikan komunal—yaitu terbangunnya masyarakat yang harmonis, saling mengenal, dan saling menasihati melalui khutbah.

Bayangkan jika perintah ini diabaikan. Para pedagang akan tetap sibuk, dan yang hadir di masjid hanyalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Salat Jumat akan kehilangan maknanya sebagai pertemuan agung umat Islam. Ayat 9 memastikan bahwa seluruh umat, terutama mereka yang sibuk dengan harta, harus tunduk pada panggilan yang sama.

3. Pembersihan Hati dari Materialisme

Dunia sering kali menarik hati manusia dengan janji keuntungan tanpa akhir. Ayat 9 berfungsi sebagai obat spiritual, memaksa jiwa untuk melepaskan genggaman terhadap harta benda pada saat-saat krusial. Pelepasan sementara ini mengajarkan hati bahwa rezeki tidak ditentukan oleh volume transaksi, melainkan oleh kehendak Allah. Ini adalah latihan mental yang melawan godaan materialisme murni, membersihkan hati dari kecintaan berlebihan pada dunia.

Para ahli hikmah mengatakan, "Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik." Ayat 9 adalah aplikasi langsung dari prinsip ini. Meninggalkan keuntungan kecil yang fana diganti dengan keuntungan besar yang kekal.

4. Konsep Rizqi yang Barakah (Berkah)

Kebaikan yang dijanjikan dalam ayat ini erat kaitannya dengan berkah. Berkah (barakah) adalah bertambahnya kebaikan dan manfaat dalam harta, waktu, atau usaha, meskipun jumlahnya terlihat sedikit. Keuntungan yang didapat karena melanggar larangan Jumat mungkin besar secara kuantitas, tetapi hilang keberkahannya. Sebaliknya, rezeki yang didapat setelah ketaatan Jumat akan sedikit pun terasa cukup, membawa ketenangan, dan manfaatnya meluas kepada keluarga dan masyarakat.

Ayat ini mengajarkan prioritas utama: keberkahan datang dari ketaatan, bukan dari volume kerja. Semakin seseorang taat pada pemisahan waktu suci ini, semakin Allah merahmati sisa waktunya. Ini adalah salah satu prinsip ekonomi tauhid yang paling mendasar dan penting dalam syariat.

VIII. Penghayatan Spiritualitas Jumuah: Sebuah Ibadah Penuh Makna

Salat Jumat, dengan segala aturan ketatnya (seperti larangan berdagang), ditetapkan bukan sebagai beban, melainkan sebagai kemurahan hati Allah. Ia adalah hadiah mingguan bagi umat Islam untuk melakukan reset spiritual, membersihkan diri, dan menguatkan ikatan komunitas.

Perbedaan Antara Jumat dan Salat Fardhu Lain

Mengapa larangan berdagang tidak berlaku pada salat Dzuhur di hari lain? Perintah tarkul-bai’ secara spesifik hanya berlaku pada hari Jumat karena dua alasan utama:

  1. Sifat Khusus Salat Jumat: Salat Jumat adalah ibadah yang mewajibkan berkumpulnya seluruh komunitas, termasuk mereka yang biasanya sangat sibuk. Mengingat signifikansi sosial ini, penghentian aktivitas massal diperlukan untuk menjamin kehadiran.
  2. Adanya Khutbah: Khutbah adalah bagian integral yang berfungsi sebagai pendidikan dan peringatan mingguan. Ia menuntut fokus yang tidak boleh terpecah oleh urusan dunia.

Jika salat Jumat dapat digantikan oleh urusan dunia, maka Khutbah Rasulullah ﷺ dan para penerusnya akan diabaikan, dan persatuan umat akan tercerai berai. Dengan perintah tegas dalam Ayat 9, Allah melindungi waktu suci umat-Nya dari penetrasi kepentingan materialistik.

Menjaga Waktu Emas: Sebelum dan Sesudah Azan

Meskipun larangan mutlak baru berlaku setelah azan (kedua), seorang Mukmin yang berakal akan memulai Sa'yu (bersegera) jauh sebelum azan dikumandangkan. Sunnah-sunnah Jumat (mandi, memakai wewangian, bersegera ke masjid) adalah bagian dari persiapan mental dan spiritual yang mendukung pelaksanaan Ayat 9.

Kehadiran yang cepat memungkinkan seseorang mendapatkan keutamaan yang besar, seolah-olah menyembelih unta atau sapi sebagai kurban. Keberkahan Jumat diperoleh melalui persiapan total, kepatuhan instan, dan penyerahan diri sepenuhnya pada panggilan Allah. Kualitas kehadiran menentukan kualitas keberkahan yang akan didapatkan pada hari itu.

Oleh karena itu, al jumuah ayat 9 adalah peta jalan yang jelas menuju kesuksesan abadi. Ia menggarisbawahi filosofi hidup Mukmin: dunia adalah sarana, akhirat adalah tujuan. Waktu ibadah adalah waktu penanaman, dan waktu bekerja adalah waktu menuai, di mana kedua waktu tersebut harus tetap terikat pada tali Dzikrullah.

Setiap kali azan Jumat berkumandang, setiap Muslim diuji: Apakah Anda memilih keuntungan sesaat yang diharamkan, ataukah Anda memilih karunia Allah yang abadi? Ayat 9 menuntun kita kepada jawaban yang benar, menjamin bahwa pilihan ketaatan adalah pilihan yang pasti lebih baik, bagi mereka yang benar-benar memahami.

Inilah inti dari pesan suci: melepaskan genggaman dunia sebentar untuk menggenggam janji kebahagiaan abadi.

IX. Kesimpulan Penguatan Ketaatan

Surah Al-Jumuah Ayat 9 adalah poros yang memutar roda kehidupan seorang Muslim, memisahkannya secara tegas antara waktu Tuhan dan waktu dunia. Ia mengajarkan disiplin waktu, penentuan prioritas, dan keyakinan mutlak pada janji rezeki dari Sang Pencipta. Bersegera kepada Dzikrullah, meninggalkan perniagaan, adalah tindakan imani yang berimplikasi langsung pada keberkahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Tingkat kedalaman tafsir dan aplikasi syar’i dari ayat ini menunjukkan betapa seriusnya Allah SWT dalam mengatur waktu ibadah kolektif ini. Larangan berdagang yang spesifik, penggunaan kata ‘sa’yu’ yang mengandung makna kecepatan hati, dan jaminan ‘khayrul lakum’ (lebih baik bagimu) semuanya berfungsi untuk menanamkan dalam diri umat Islam bahwa rezeki yang didapat dari melanggar perintah suci tidak akan pernah setara nilainya dengan ketenangan dan keberkahan yang diperoleh dari ketaatan penuh.

Dalam menjalani kehidupan yang semakin cepat dan materialistik, pesan Al Jumuah Ayat 9 menjadi semakin relevan. Ia adalah pengingat mingguan bahwa kita adalah hamba Allah sebelum kita menjadi pedagang, insinyur, atau pekerja. Dan ketika panggilan tertinggi datang, segala gelar duniawi harus ditinggalkan demi berdiri di hadapan Sang Raja diraja, yang pada akhirnya adalah Sumber segala karunia dan keberuntungan sejati.

Ketaatan ini adalah investasi terbaik, yang nilainya dijamin oleh Allah sendiri. Mari kita sambut panggilan Jumat dengan hati yang lapang dan langkah yang bersegera, menjamin diri kita termasuk orang-orang yang mengetahui bahwa kepatuhan kepada Allah adalah kebaikan yang paling utama.

🏠 Kembali ke Homepage