Pendahuluan: Moralitas Surah Al-Isra
Surah Al-Isra, yang diturunkan pada periode Makkah, dikenal sebagai surah yang meletakkan fondasi moral dan etika dalam bangunan masyarakat Muslim. Surah ini menetapkan prinsip-prinsip universal yang mendahului hukum-hukum syariat yang lebih spesifik, seperti tauhid, hak orang tua, dan larangan mendekati zina. Di tengah rangkaian perintah moral yang fundamental ini, Allah SWT menyisipkan dua ayat penting yang menjadi fokus pembahasan kita, yaitu ayat 26 dan 27, yang mengatur distribusi kekayaan dan etika konsumsi. Kedua ayat ini secara langsung menyentuh isu keadilan ekonomi, kasih sayang sosial, dan bahaya pemborosan.
Ayat-ayat ini merupakan perintah sosial yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang memiliki kemampuan finansial. Mereka menetapkan prioritas dalam pengeluaran harta, menempatkan kerabat dekat sebagai penerima pertama, diikuti oleh kaum miskin, dan kemudian musafir yang terputus bekalnya (ibnu sabil). Di sisi lain, ayat selanjutnya memberikan peringatan keras mengenai dampak spiritual dan sosial dari perilaku boros dan menghambur-hamburkan harta. Keseimbangan antara kewajiban memberi dan larangan berlebihan inilah yang menjadi inti dari etika ekonomi Islam.
Memahami Al-Isra ayat 26 dan 27 bukan sekadar mengetahui terjemahan harfiah, tetapi menelusuri makna filosofis dari 'hak' (haqqah) yang harus dipenuhi, serta konsekuensi rohaniah dari 'tabdzir' (pemborosan) yang digambarkan sebagai persaudaraan dengan setan. Pembahasan ini akan diuraikan secara mendalam, menggali sudut pandang dari berbagai mufassir klasik dan kontemporer untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai kewajiban mendasar ini.
Ayat 26: Kewajiban Memenuhi Hak Sosial
Ayat ini memuat tiga perintah utama terkait distribusi kekayaan dan satu larangan fundamental mengenai pengelolaannya. Kata kunci yang paling krusial di sini adalah "وَءَاتِ" (Wa Aati), yang berarti 'berikanlah' atau 'tunaikanlah'. Perintah ini datang dalam bentuk kata kerja imperatif (perintah), menunjukkan sifatnya yang wajib dan mendesak. Tindakan memberi ini bukanlah sekadar anjuran moral, melainkan penunaian atas suatu hak.
1. Prioritas Pertama: ذَا ٱلْقُرْبَىٰ (Dza Al-Qurba) – Kerabat Dekat
Allah SWT menempatkan kerabat dekat (keluarga) di urutan pertama penerima hak. Ini menegaskan prinsip bahwa kewajiban utama seorang Muslim dimulai dari lingkup terdekatnya. Memberi kepada kerabat adalah gabungan dari dua ibadah: sedekah dan menyambung silaturahmi. Pahala yang diperoleh pun berlipat ganda. Para ulama tafsir, seperti Qatadah dan Mujahid, menjelaskan bahwa 'haknya' (حَقَّهُۥ - haqqahu) mencakup kewajiban memberi nafkah jika mereka termasuk dalam kategori fakir miskin yang berada di bawah tanggung jawab, serta memberikan bantuan umum untuk menjaga ikatan kekeluargaan.
Konsep Dza Al-Qurba menuntut kita untuk meninjau kembali kondisi ekonomi saudara, paman, bibi, dan keponakan yang mungkin luput dari perhatian. Kewajiban ini mengakar kuat dalam ajaran Islam bahwa pondasi kekuatan masyarakat dimulai dari unit keluarga yang solid dan saling menopang. Jika kerabat dekat sudah tercukupi, barulah perhatian dialihkan ke komunitas yang lebih luas. Melalaikan kerabat dekat demi beramal kepada orang asing, dalam banyak kondisi, dianggap bertentangan dengan spirit ayat ini.
Kajian tafsir mendalam tentang hak kerabat menekankan bahwa hak ini tidak hanya terbatas pada harta, tetapi juga perhatian, dukungan moral, dan waktu. Namun, dalam konteks ayat ini, hak tersebut merujuk pada bagian dari harta yang wajib dikeluarkan. Al-Qurthubi, dalam tafsirnya, menggarisbawahi bahwa penunaian hak ini mencegah potensi iri dan dengki dalam keluarga serta memastikan bahwa sumber daya didistribusikan secara efektif, dimulai dari lingkaran inti.
2. Prioritas Kedua: وَٱلْمِسْكِينَ (Wa Al-Miskin) – Orang Miskin
Setelah kerabat, giliran orang miskin. Al-Miskin adalah mereka yang tidak memiliki kecukupan, meskipun mungkin mereka masih memiliki sedikit harta atau pekerjaan yang tidak mencukupi kebutuhan dasar. Islam sangat menekankan perlindungan terhadap kaum miskin, menjadikannya salah satu pilar utama kesejahteraan sosial.
Hak orang miskin bukan hanya dalam bentuk zakat wajib, tetapi juga dalam bentuk sedekah sunnah dan bentuk bantuan lainnya. Frasa ‘berikanlah haknya’ menyiratkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh orang kaya mengandung bagian yang memang sudah ditetapkan untuk kaum miskin. Ini adalah bentuk pengakuan teologis bahwa kepemilikan harta bukanlah kepemilikan mutlak, melainkan amanah dari Allah SWT.
3. Prioritas Ketiga: وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ (Wa Ibn As-Sabil) – Musafir yang Terputus
Ibnu Sabil secara harfiah berarti 'anak jalanan', namun dalam terminologi syariat, ia merujuk kepada musafir yang kehabisan bekal atau terputus dari hartanya, meskipun di tempat asalnya ia adalah orang kaya. Hak Ibnu Sabil adalah hak universal yang melampaui batas suku atau negara, menegaskan tanggung jawab masyarakat untuk membantu mereka yang sedang dalam perjalanan dan membutuhkan bantuan darurat.
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi kepedulian hanya pada penduduk lokal. Setiap orang yang berada dalam kesulitan, bahkan jika ia adalah pendatang atau hanya singgah, berhak atas bantuan yang memadai agar ia dapat melanjutkan perjalanannya atau kembali ke tempat asalnya. Dalam tafsir kontemporer, Ibnu Sabil juga dapat diperluas maknanya mencakup mahasiswa perantau, pengungsi, atau siapa saja yang terdampar di tempat asing tanpa memiliki sumber daya yang cukup.
Gambaran etika memberi dan menunaikan hak sosial (Al-Isra 26).
Ayat 27: Larangan Pemborosan dan Persaudaraan Setan
Ayat ke-26 ditutup dengan larangan menghambur-hamburkan harta (وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا - *Wa la tubadzir tabdzira*). Ayat ke-27 kemudian memberikan justifikasi dan peringatan yang sangat keras terhadap larangan tersebut, yaitu dengan menetapkan status bagi para pelaku pemborosan (*al-mubadzirin*).
A. Membedah Tabdzir (Pemborosan) dan Israf (Berlebihan)
Dalam khazanah tafsir, terdapat perbedaan tipis namun signifikan antara *Tabdzir* (Pemborosan/Squandering) dan *Israf* (Berlebihan/Extravagance). Meskipun keduanya seringkali dianggap sinonim, para fuqaha dan mufassir memberikan definisi yang lebih spesifik:
1. Tabdzir (Pemborosan): Mengeluarkan Harta Bukan pada Haknya
Menurut mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi'i, *tabdzir* adalah mengeluarkan harta pada jalan yang tidak benar, atau dengan kata lain, membelanjakan harta untuk hal-hal yang diharamkan, atau tanpa tujuan syar'i yang jelas, bahkan jika jumlahnya sedikit. Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas RA menafsirkan *tabdzir* sebagai pengeluaran harta untuk maksiat atau perbuatan sia-sia, terlepas dari seberapa besar kekayaan seseorang. Inti dari *tabdzir* adalah penempatan dana yang salah secara moral atau hukum agama.
Contoh klasik *tabdzir* adalah menggunakan uang untuk membeli minuman keras, berjudi, atau membiayai proyek yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti menyelenggarakan pesta yang penuh dengan kemaksiatan. Orang yang boros dianggap telah melanggar prinsip amanah harta.
2. Israf (Berlebihan): Melampaui Batas Kebutuhan yang Wajar
*Israf* adalah pengeluaran yang berlebihan atau melampaui batas kewajaran, meskipun pengeluaran itu dilakukan untuk hal yang mubah (diperbolehkan). Misalnya, makan berlebihan hingga sakit, membeli pakaian yang terlalu banyak padahal sudah punya, atau membangun rumah yang sangat mewah tanpa kebutuhan yang mendesak. *Israf* seringkali berkaitan dengan konsumsi yang melampaui batas kebutuhan (*hajat*) dan kesederhanaan (*qana'ah*).
Meskipun ayat 26 secara spesifik menggunakan kata *tabdzir*, peringatan ini mencakup makna umum dari *israf*. Kedua perilaku ini bertentangan dengan perintah sebelumnya untuk menunaikan hak kerabat dan fakir miskin. Seseorang tidak akan mampu menunaikan kewajiban sosialnya jika hartanya telah dihabiskan untuk kesenangan pribadi yang sia-sia.
B. Status Mubadzirin: Saudara Setan
Bagian terkuat dari ayat 27 adalah penamaan tegas: إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ (Ikhwan asy-Syayathin) – saudara-saudara setan. Ini bukan sekadar perumpamaan ringan; ini adalah vonis spiritual yang sangat berat dalam Al-Qur'an.
Mengapa pemboros disamakan dengan saudara setan?
- Mengikuti Jejak Kemaksiatan: Setan selalu mengajak manusia kepada keburukan dan penyia-nyiaan nikmat. Sifat pemborosan adalah bentuk penyangkalan terhadap nikmat Allah dan penggunaan nikmat tersebut pada jalan yang tidak diridhai. Dengan menyia-nyiakan harta, *mubadzir* secara efektif mengikuti bisikan setan.
- Pelanggaran Amanah: Harta adalah amanah untuk digunakan dalam ketaatan. Setan ingin manusia melalaikan amanah. Ketika seseorang membelanjakan harta untuk hal yang diharamkan atau sia-sia, ia telah berkhianat terhadap amanah tersebut, sehingga tindakannya sejalan dengan tujuan setan.
- Kufur Nikmat: Ayat ini ditutup dengan frasa: وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا (Wa kana asy-Syaithanu li-Rabbihi Kafuran), yang berarti "dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." Koneksi ini menunjukkan bahwa pemborosan adalah pintu menuju kekafiran (kufur nikmat). Orang yang boros menunjukkan tidak adanya rasa syukur atas rezeki yang diberikan, yang pada dasarnya adalah manifestasi dari sifat ingkar.
Gambaran pentingnya keseimbangan dan menghindari pemborosan.
Implikasi Fiqh dan Sosial dari Al-Isra 26-27
Dua ayat ini tidak hanya memberikan arahan moral, tetapi juga menjadi dasar bagi banyak hukum fikih terkait pengelolaan harta dan kewajiban sosial. Perintah ‘berikanlah haknya’ seringkali dibahas dalam konteks Zakat, Nafaqah (Nafkah), dan Sedekah.
1. Kedudukan 'Hak' (Haqqah) dalam Ayat 26
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ‘hak’ yang dimaksud dalam ayat 26 ini merujuk pada hak wajib yang bersifat Zakat, atau hak yang lebih luas mencakup kewajiban silaturahmi yang bersifat wajib maupun sunnah. Pendapat yang kuat, terutama dari kalangan ulama mutaqaddimin (terdahulu), berpendapat bahwa ayat ini diturunkan sebelum penetapan kewajiban Zakat secara terperinci.
- Sebelum Zakat: Jika ayat ini turun sebelum Zakat, maka 'hak' adalah kewajiban umum untuk berbagi dan menafkahi kerabat yang membutuhkan, yang merupakan dasar dari sistem jaminan sosial Islam.
- Setelah Zakat: Jika ayat ini dipertahankan setelah Zakat diwajibkan, maka 'hak' dapat diartikan sebagai hak yang wajib (zakat jika mereka termasuk mustahik) ditambah dengan hak-hak lain yang muncul dari kewajiban silaturahmi (nafkah kerabat terdekat, hadiah, dll.).
Secara umum, Al-Isra 26 menetapkan prinsip fundamental bahwa menunaikan kebutuhan keluarga dan kaum lemah adalah kewajiban yang harus diprioritaskan di atas segala bentuk pengeluaran mewah atau sia-sia.
2. Lingkup Larangan Tabdzir dalam Fiqh Muamalah
Larangan *tabdzir* telah mempengaruhi hukum pengelolaan harta, terutama terkait dengan masalah penyitaan harta (*al-hajr*) terhadap orang yang boros. Dalam hukum Islam, seorang *mubadzir* yang secara terus-menerus menghabiskan hartanya untuk hal yang sia-sia atau haram dapat dikenakan *hajr* (pembatasan hak) oleh hakim untuk melindungi hartanya dari kehancuran, sehingga hartanya dapat dikelola oleh wali atau pengurus hingga ia menunjukkan tanda-tanda kematangan finansial. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang pemborosan, bukan hanya sebagai dosa moral, tetapi sebagai kejahatan sosial-ekonomi.
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa pemborosan adalah salah satu bentuk kebodohan dalam pengelolaan harta yang dapat membatalkan hak seseorang untuk mengelola hartanya sendiri, demi kebaikan dirinya dan masyarakat yang memiliki hak atas hartanya (sebagaimana diuraikan di ayat 26).
3. Tafsir Modern: Tabdzir Sumber Daya Alam
Dalam konteks kontemporer, penafsiran *tabdzir* telah diperluas melampaui sekadar uang. Para sarjana Muslim modern menafsirkan *tabdzir* juga mencakup pemborosan terhadap sumber daya alam, energi, dan waktu. Ketika seorang individu atau negara menggunakan energi atau air secara berlebihan, menghasilkan polusi yang tidak perlu, atau menyia-nyiakan makanan dalam jumlah besar (seperti yang sering terjadi di negara maju), ini termasuk dalam kategori *tabdzir* karena bertentangan dengan prinsip keseimbangan (*mizan*) dan penunaian hak generasi mendatang.
Pemborosan makanan (*food waste*) di restoran atau rumah tangga, misalnya, adalah manifestasi nyata dari *tabdzir*. Makanan yang dibuang seharusnya dapat menjadi hak bagi kaum miskin (ayat 26). Dengan membuangnya, seseorang tidak hanya melakukan *tabdzir* tetapi juga menghalangi penunaian hak sosial, secara tidak langsung menggenapkan peringatan pada ayat 27.
Memperluas Konteks Etika Sosial dan Ekonomi
Ayat 26 dan 27 dari Surah Al-Isra berfungsi sebagai landasan bagi filosofi ekonomi Islam, yang menekankan bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya di antara orang-orang kaya (sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hasyr [59]: 7) dan bahwa konsumsi harus didasarkan pada kebutuhan, bukan hawa nafsu.
A. Kontras antara Pemberian Hak dan Pemborosan
Penting untuk dicatat bahwa kedua ayat ini disandingkan secara langsung. Hubungan kausalitasnya sangat jelas: ketidakmampuan untuk memberi hak (ayat 26) seringkali berakar pada kebiasaan menghambur-hamburkan harta (ayat 27). Orang yang boros tidak akan pernah merasa cukup, dan karena itu, ia akan kesulitan menunaikan kewajiban sosialnya.
Jika harta digunakan untuk *tabdzir*, maka harta tersebut hilang tanpa menghasilkan manfaat duniawi atau ukhrawi. Sebaliknya, jika harta digunakan untuk menunaikan hak kerabat, miskin, dan musafir, harta tersebut menghasilkan pahala dan stabilitas sosial. Al-Qur'an secara implisit mengajarkan bahwa setiap unit kekayaan harus diposisikan di salah satu dari dua kutub ini: manfaat atau kesia-siaan (yang terakhir dianggap sebagai perbuatan setan).
B. Hak untuk Diberi dan Hak untuk Tidak Diboroskan
Pemahaman yang lebih dalam mengenai ayat ini juga menyentuh hak bagi orang yang membelanjakan harta itu sendiri. Ketika seseorang memboroskan hartanya, ia bukan hanya merugikan orang lain yang berhak atas harta itu, tetapi ia juga merusak dirinya sendiri secara spiritual dan ekonomi. Kesejahteraan psikologis dan stabilitas ekonomi jangka panjang hancur karena perilaku boros, yang pada akhirnya menjerumuskannya ke dalam ketergantungan atau keburukan moral.
Para mufassir menekankan bahwa keindahan Islam terletak pada ajaran keseimbangan (*wasathiyyah*). Ayat ini melengkapi perintah untuk tidak terlalu kikir (QS. Al-Isra [17]: 29): "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir), dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (boros)." Al-Isra 26-27 adalah penjelasan spesifik tentang bagaimana mencapai keseimbangan tersebut: dengan memberi hak kepada yang berhak, dan menahan diri dari pemborosan yang melampaui batas.
Penyimpangan dari jalan tengah ini, baik berupa kekikiran yang menahan hak (bukhul) maupun pemborosan yang merugikan diri dan orang lain (tabdzir/israf), keduanya dicela keras. Islam mendorong aliran kekayaan yang dinamis dan bertanggung jawab.
C. Tafsir Linguistik Kata 'Tabdzir'
Secara linguistik, kata *tabdzir* (تَبْذِير) berasal dari akar kata *badzara* (بَذَرَ), yang berarti menyebar atau menabur benih. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, ia diartikan sebagai menaburkan benih di tempat yang salah, atau menyebarkan harta tanpa tujuan yang benar, sehingga hasilnya hanyalah kehancuran dan kerugian. Perumpamaan ini sangat kuat: seperti petani yang menyebar benihnya di tanah gersang yang tidak akan menghasilkan apa-apa, orang yang boros menyebarkan hartanya di tempat yang tidak membawa manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan bahwa *tabdzir* adalah membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak disukai oleh Allah. Dalam pandangan ini, bahkan jika seseorang memiliki harta triliunan, mengeluarkan satu rupiah pun untuk maksiat atau hal yang sia-sia sudah termasuk *tabdzir*.
Elaborasi Mendalam: Konsekuensi Sosial dan Spiritual Tabdzir
Menyelami lebih dalam makna ‘saudara setan’ mengharuskan kita memahami mengapa pemborosan dipandang sebagai dosa yang memiliki dimensi sosial yang menghancurkan.
1. Kerusakan Stabilitas Ekonomi Keluarga dan Masyarakat
Pada tingkat individu dan keluarga, *tabdzir* menghancurkan stabilitas ekonomi. Seorang *mubadzir* yang menghabiskan hartanya secara cepat dan tidak bertanggung jawab akan menjadi beban bagi keluarganya dan masyarakat di sekitarnya. Ketika kekayaan dihamburkan, peluang investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat akan hilang.
Jika seluruh masyarakat mengadopsi perilaku *tabdzir*, konsumsi akan menjadi tidak berkelanjutan, sumber daya akan terkuras, dan kesenjangan sosial akan semakin melebar. Ayat 26 menekankan bahwa harta harus mengalir ke bawah (kepada kerabat, miskin, musafir); *tabdzir* justru menghentikan aliran ini dan memusatkan penggunaan harta pada kesenangan pribadi yang sesaat, mengabaikan tanggung jawab kolektif.
2. Dimensi Kufur Nikmat
Penutup ayat 27, yang menyebutkan bahwa setan itu ingkar (*kafuran*) kepada Tuhannya, berfungsi sebagai peringatan bahwa akar dari pemborosan adalah masalah hati, yaitu kurangnya syukur. Seseorang yang bersyukur akan menghargai rezeki yang diberikan dan akan menggunakannya sesuai dengan tujuan Penciptanya.
Pemborosan adalah tindakan tidak menghargai proses rezeki, tenaga kerja, dan keberkahan di baliknya. Ketika seseorang membuang-buang makanan yang ditanam dengan susah payah oleh petani, atau menghabiskan uang untuk kemewahan yang merusak lingkungan, ia menunjukkan pengingkaran terhadap tatanan ilahi dan nikmat yang telah dikaruniakan.
3. Tafsir al-Qurthubi dan Tabdzir
Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya, mengutip riwayat yang menjelaskan bahwa setan adalah makhluk yang selalu menyebar kekacauan dan mengajak manusia untuk melanggar batas. Ketika seseorang menjadi pemboros, ia telah mengambil peran yang sama dengan setan dalam menyebar kekacauan finansial dan moral. Keterkaitan sebagai 'saudara' menunjukkan bahwa sifat dan tujuan *mubadzir* telah menyelaraskan diri dengan sifat setan, yaitu menyalahgunakan kebebasan dan nikmat yang diberikan Allah.
Diskusi tentang *tabdzir* juga erat kaitannya dengan masalah hak waris. Seorang pewaris yang memboroskan hartanya sebelum kematiannya dapat merugikan ahli warisnya yang berhak. Oleh karena itu, hukum waris Islam sangat ketat mengenai pengelolaan harta dan melarang wasiat yang melebihi sepertiga harta, untuk memastikan hak ahli waris tidak terampas oleh pemborosan di akhir hayat.
4. Pengelolaan Harta Sebagai Bentuk Ibadah
Islam memandang pengelolaan harta (*tadbir al-mal*) sebagai bagian integral dari ibadah. Ayat 26 dan 27 memberikan panduan operasional untuk ibadah finansial ini:
- Investasi Sosial (Ayat 26): Mengeluarkan harta untuk kebutuhan sosial yang wajib dan mendesak.
- Konservasi (Ayat 27): Menahan diri dari konsumsi yang tidak perlu dan merusak, menjaga agar harta tetap produktif dan tidak sia-sia.
Kepatuhan terhadap kedua ayat ini memastikan bahwa harta seorang Muslim akan menjadi sumber pahala dan tidak menjadi sumber penyesalan di Hari Akhir. Keseimbangan ini adalah cerminan dari prinsip tauhid: mengakui bahwa harta berasal dari Allah dan harus digunakan sesuai kehendak-Nya.
Jika kita tinjau kembali prinsip-prinsip ini, terlihat bahwa perintah di ayat 26 adalah perintah proaktif untuk menciptakan keadilan, sementara larangan di ayat 27 adalah perintah preventif untuk menghindari kehancuran. Keduanya bekerja secara simultan untuk membentuk individu yang bertanggung jawab secara finansial dan sosial.
Bahkan dalam urusan makanan dan minuman, larangan *israf* (berlebihan) telah ditetapkan dalam Surah Al-A’raf [7]: 31: “...Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” Ini menunjukkan bahwa prinsip moderasi adalah aturan universal yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari makanan hingga pengelolaan kekayaan yang besar. Seorang Muslim dituntut untuk hidup dalam batas-batas yang telah ditentukan syariat, tidak mengurangi hak orang lain, dan tidak melampaui batas yang ditetapkan untuk dirinya sendiri.
Para ulama juga membahas perbedaan antara *tabdzir* yang dilakukan oleh orang miskin dan orang kaya. Secara kuantitas, *tabdzir* oleh orang kaya terlihat lebih besar, namun secara esensi moral, *tabdzir* oleh siapa pun tetap dicela. Meskipun demikian, orang kaya memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena mereka memiliki hak (zakat, infak) yang harus dikeluarkan, dan pemborosan mereka menghalangi hak-hak tersebut terwujud. Bagi seorang yang berharta, pemborosan yang besar adalah dosa yang berlipat ganda karena ia secara bersamaan gagal melaksanakan kewajiban sosial dan melanggar perintah Allah untuk berlaku hemat.
Hak Ibnu Sabil dan Relevansinya dalam Dunia Global
Hak Ibnu Sabil (musafir) di ayat 26 membawa pesan universalisme Islam. Dalam konteks Mekkah saat itu, menolong musafir sangat vital karena perjalanan sangat berisiko. Saat ini, konsep Ibnu Sabil tidak hanya terbatas pada orang yang bepergian untuk mencari rezeki atau melakukan perdagangan, tetapi mencakup isu-isu kemanusiaan yang lebih luas.
1. Hak Pengungsi dan Imigran
Ibnu Sabil dapat diinterpretasikan sebagai semua orang yang terputus dari sumber daya di kampung halaman mereka, termasuk pengungsi perang, pencari suaka, atau imigran yang baru tiba dan belum stabil secara ekonomi. Ayat 26 menuntut komunitas Muslim untuk mengulurkan tangan bantuan kepada mereka tanpa memandang latar belakang asal, karena kesulitan mereka dalam perjalanan memberikan mereka hak atas sebagian dari kekayaan umat Islam.
2. Konsep Kemanusiaan Lintas Batas
Perintah ini menekankan bahwa kekayaan yang dimiliki komunitas Muslim harus memiliki dimensi global. Kesulitan yang dialami di belahan dunia lain (bencana alam, kelaparan, konflik) menuntut respons yang cepat, sejalan dengan menunaikan hak Ibnu Sabil dalam arti luas—yaitu setiap orang yang terpisah dari tempat amannya dan membutuhkan bekal untuk melanjutkan kehidupan.
Mufassir kontemporer Yusuf Qaradawi sering menekankan bahwa penekanan pada Ibnu Sabil ini merupakan penolakan terhadap nasionalisme sempit dalam distribusi kekayaan. Kebaikan harus melintasi batas geografis; seseorang yang terdampar di suatu tempat menjadi tanggung jawab komunitas di tempat itu.
3. Koneksi antara Kerabat dan Komunitas
Urutan pemberian hak (Kerabat → Miskin → Ibnu Sabil) menunjukkan hierarki tanggung jawab:
- Lingkaran Dalam (Kerabat): Ikatan darah dan emosional.
- Lingkaran Tengah (Miskin): Ikatan wilayah/komunitas.
- Lingkaran Luar (Ibnu Sabil): Ikatan kemanusiaan universal.
Menciptakan keseimbangan dalam memenuhi ketiga hak ini sambil menahan diri dari *tabdzir* adalah ujian sejati dari keimanan dan etika sosial seorang Muslim. Kegagalan dalam salah satu aspek akan merusak seluruh bangunan moral yang coba didirikan oleh Surah Al-Isra ini. Jika harta diboroskan, ia tidak akan cukup untuk memenuhi hak kerabat. Jika hak kerabat tidak terpenuhi, ikatan sosial melemah, dan kemiskinan akan merajalela, yang pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat dari dalam.
Oleh karena itu, dua ayat ini adalah fondasi bagi kebijakan fiskal yang adil: kewajiban mengeluarkan harta secara tepat guna, dan kewajiban menahan diri dari penggunaan harta yang merusak. Keduanya harus dipegang teguh untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis dan adil, di mana tidak ada yang kelaparan karena kekikiran dan tidak ada yang menderita karena pemborosan.
Keterangan detail mengenai pemenuhan hak-hak ini seringkali menjadi landasan bagi diskusi tentang *awqaf* (wakaf), di mana aset diserahkan untuk tujuan amal secara berkelanjutan. Wakaf adalah mekanisme institusional yang sempurna untuk memastikan hak kaum miskin dan Ibnu Sabil terus terpenuhi, terlepas dari kondisi finansial individu pewakaf di masa depan, melawan sifat *tabdzir* yang cenderung menghabiskan harta tanpa berpikir panjang.
Tafsir Imam Fakhruddin Ar-Razi menyoroti hikmah di balik larangan pemborosan dan perintah menunaikan hak. Menurut Ar-Razi, Allah menghendaki hamba-Nya memiliki sifat kedermawanan yang terpuji, yang terletak di antara dua ekstrem tercela: kekikiran yang menghimpun harta dan pemborosan yang merusak harta. Ayat 26 mengajak kepada kedermawanan, sementara ayat 27 memperingatkan terhadap kehancuran finansial dan moral akibat pemborosan. Kedermawanan yang benar adalah yang terarah dan bertanggung jawab, bukan sekadar membuang-buang uang.
Dalam konteks ekonomi kontemporer, larangan *tabdzir* juga relevan dengan isu utang dan kredit. Berutang untuk tujuan konsumsi yang mewah dan tidak perlu (yang masuk kategori *israf* atau *tabdzir*) dapat merusak stabilitas finansial dan moral individu, menjerumuskannya ke dalam ketergantungan. Seorang Muslim yang hidup sesuai dengan prinsip Al-Isra 26 dan 27 akan selalu mengutamakan penunaian hak dan kebutuhan dasar di atas kemewahan yang fana.
Harta yang diperoleh melalui cara yang halal (*tayyib*) harus dibelanjakan pada jalan yang halal, bijak, dan produktif. Jika harta dibelanjakan pada jalan yang haram, meskipun jumlahnya sedikit, itu adalah *tabdzir*. Jika harta dibelanjakan pada jalan yang mubah tetapi melebihi kebutuhan secara mencolok, itu adalah *israf*. Kedua perilaku ini secara spiritual menjauhkan pelakunya dari ketaatan dan menempatkan mereka dalam kategori 'saudara setan', yang sifatnya ingkar terhadap nikmat Allah SWT.
Kesimpulan Etika Kekayaan Surah Al-Isra
Surah Al-Isra ayat 26 dan 27 memberikan peta jalan yang komprehensif mengenai etika kekayaan dalam Islam. Ayat 26 menetapkan hak-hak yang wajib ditunaikan, menekankan bahwa harta adalah alat untuk mencapai keadilan sosial dan memperkuat ikatan kekeluargaan dan kemanusiaan. Ayat 27, sebaliknya, berfungsi sebagai rambu peringatan yang mencegah penyalahgunaan harta yang akan berujung pada kehancuran spiritual dan ekonomi.
Prinsip moderasi, yang dicerminkan dalam keseimbangan antara menunaikan hak secara adil dan menghindari pemborosan, adalah inti dari ajaran ini. Sifat *tabdzir* adalah sifat yang dibenci karena ia merusak amanah harta, menghalangi hak kaum lemah, dan menyerupai sifat ingkar (kufur nikmat) yang merupakan ciri utama setan. Dengan mematuhi perintah ini, seorang Muslim tidak hanya menjaga hartanya dari kehancuran, tetapi juga memelihara jiwanya dari pengaruh buruk dan memastikan masyarakatnya tetap berdiri di atas pilar keadilan dan kasih sayang. Keseimbangan ini adalah esensi dari kehidupan yang berkah dan diridhai Allah SWT.
Melaksanakan ayat 26 berarti secara aktif mencari tahu kondisi kerabat dekat, memastikan bahwa tidak ada di antara mereka yang kelaparan atau kekurangan, dan melanjutkan kedermawanan ini kepada kaum miskin dan musafir. Mengamalkan ayat 27 berarti secara sadar menghindari segala bentuk kesia-siaan, baik dalam makanan, pakaian, perumahan, maupun penggunaan sumber daya lainnya, memastikan bahwa setiap pengeluaran memiliki nilai dan manfaat yang jelas, jauh dari bisikan godaan setan.
Oleh karena itu, kedua ayat ini harus menjadi pedoman abadi bagi setiap Muslim dalam mengelola kekayaan di setiap zaman. Kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk meraih keridhaan Allah melalui keadilan sosial dan kehidupan yang penuh tanggung jawab.