Keseimbangan dalam mengelola harta: Kontras antara Infaq yang terarah dan Tabzir (pemborosan) yang menyebabkan ketidakseimbangan.
Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Israil, adalah surah Makkiyah yang kaya akan ajaran fundamental mengenai moralitas, etika sosial, dan hubungan yang benar antara manusia dengan Penciptanya. Dalam rangkaian ayat-ayatnya, Surah Al-Isra menyajikan panduan komprehensif tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani kehidupan, mulai dari menghormati orang tua, menjaga hak yatim, hingga menjaga kesucian diri.
Di tengah petunjuk-petunjuk luhur tersebut, terselip sebuah peringatan keras yang sangat relevan dengan kondisi ekonomi dan gaya hidup manusia modern. Peringatan ini terdapat dalam ayat ke-27, yang secara eksplisit membahas bahaya pemborosan dan penyalahgunaan kekayaan. Ayat ini tidak hanya memberikan larangan, tetapi juga menyajikan konsekuensi spiritual yang mendalam bagi pelakunya, yaitu disamakan dengan saudara-saudara setan.
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا
Untuk memahami kedalaman Ayat 27, penting untuk melihat konteksnya. Ayat ini adalah kelanjutan logis dari serangkaian perintah etika sosial (Ayat 23-26). Ayat-ayat sebelumnya menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua, tidak mendekati zina, dan memberikan hak kepada kerabat, fakir miskin, dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal). Ayat 26 secara khusus memerintahkan: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros."
Ayat 27 kemudian datang sebagai justifikasi mengapa kita dilarang menghambur-hamburkan harta. Larangan tersebut bukan sekadar urusan ekonomi semata, tetapi memiliki akar spiritual dan moral yang kuat. Penghamburan harta bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga melanggar hak-hak orang lain yang seharusnya menerima bagian dari harta tersebut sesuai tuntunan syariat.
Pesan sentral dari ayat ini terletak pada dua istilah utama: Al-Mubazzirin (pemboros) dan Ikhwan Asy-Syayathin (saudara-saudara setan). Memahami perbedaan istilah ini dengan konsep serupa adalah kunci untuk mengupas tuntas pesan ayat ini.
Kata Tabzir berasal dari kata dasar Bazara (بذر) yang berarti menaburkan atau menyebar benih. Dalam penggunaannya secara harfiah, seorang petani yang menabur benih berharap benih itu tumbuh di tempat yang subur. Namun, tabzir dalam konteks ekonomi dan etika memiliki konotasi negatif. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa tabzir bukanlah sekadar pengeluaran besar, tetapi pengeluaran harta pada hal-hal yang tidak selayaknya, yang sia-sia, atau yang melanggar ketentuan agama, tanpa memandang kuantitasnya.
Imam Mujahid, salah seorang tabi'in terkemuka, memberikan definisi yang sangat spesifik: "Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam kebenaran, ia bukanlah seorang mubazzir. Tetapi jika seseorang membelanjakan satu mud (segenggam) pada kebatilan, ia adalah seorang mubazzir." Definisi ini mengubah fokus dari 'seberapa banyak' menjadi 'ke mana' harta itu dibelanjakan.
Perbedaan Tabzir dan Israf:
Meskipun sering disamakan, ulama membedakan Tabzir dan Israf (الإِسْرَافُ):
Dalam konteks Ayat 27, larangan tabzir adalah larangan yang sangat ketat, karena ia mencerminkan ketidakpedulian terhadap nilai harta sebagai anugerah Ilahi dan sarana untuk mencapai kebaikan.
Seorang mubazzir adalah individu yang telah menjadikan tabzir sebagai karakteristik permanen dalam dirinya. Mereka adalah orang-orang yang melupakan bahwa harta adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Dalam pandangan Islam, harta bukanlah milik mutlak seseorang untuk diperlakukan sesuka hati, tetapi merupakan alat yang harus digunakan untuk mencapai keridaan Allah, menopang kehidupan yang bermartabat, dan membantu masyarakat.
Ketika seorang mubazzir membelanjakan harta pada hal-hal yang tidak membawa manfaat, atau bahkan membawa mudarat (seperti judi, minuman keras, atau pamer yang merusak), ia secara tidak langsung menolak konsep kepemilikan Ilahi dan bertindak seolah-olah dia adalah penguasa tunggal atas hartanya tanpa pertanggungjawaban.
Inilah inti peringatan yang paling mengguncang dari Ayat 27. Allah tidak hanya menyebut pemborosan sebagai perilaku buruk, tetapi menyandingkan pelakunya dengan Setan (Iblis). Frasa "saudara-saudara setan" (Ikhwan Asy-Syayathin) harus dipahami dalam konteks metaforis yang kuat.
Persaudaraan di sini bukan persaudaraan darah atau nasab, tetapi persaudaraan dalam tindakan, tujuan, dan metodologi. Orang yang boros (mubazzir) menjadi saudara setan karena:
Setan memiliki satu tujuan utama: menyesatkan manusia dan merusak tatanan yang telah ditetapkan Allah. Dalam konteks ekonomi, tatanan Ilahi menuntut adanya distribusi harta yang adil dan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Ketika seseorang melakukan tabzir, ia secara aktif merusak tatanan ini. Ia membuang-buang sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk menopang kehidupan orang lain, dan ia menciptakan ketidakseimbangan sosial.
Setan membisikkan hawa nafsu dan kesenangan sesaat. Tabzir sering kali didorong oleh dorongan impulsif, keinginan untuk pamer (riya’), atau kepuasan instan, yang semuanya merupakan perangkap setan. Seorang mubazzir mengikuti ajakan setan untuk mengutamakan kesenangan duniawi yang sia-sia di atas tanggung jawab spiritual dan sosial.
Ayat 27 ditutup dengan pernyataan: "dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya" (وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا). Ini adalah penghubung logis antara pemborosan dan kekufuran. Kekufuran (ingkar) di sini berarti tidak mensyukuri nikmat Allah. Bagaimana seorang mubazzir ingkar?
Ketika Allah memberikan harta sebagai nikmat, Ia juga menetapkan batasan dan panduan penggunaannya. Pemborosan adalah bentuk penolakan terhadap panduan tersebut. Ini menunjukkan bahwa si pemboros tidak menghargai nilai dari nikmat tersebut, atau menganggap nikmat itu sebagai hasil mutlak usahanya sendiri, bukan karunia dari Tuhan. Sikap ini sangat mirip dengan sikap Iblis yang sombong dan menolak perintah Allah.
Dengan demikian, tabzir bukan hanya dosa kecil terkait pengelolaan uang, melainkan gerbang menuju kekufuran praktis (kufrul ni'mah) karena ia mencerminkan penolakan terhadap status harta sebagai amanah.
Larangan keras terhadap tabzir ini membentuk salah satu pilar utama dalam Fiqh Muamalah (hukum transaksi dan ekonomi Islam). Konsep ini berdampak luas pada penetapan hukum penggunaan harta, baik pribadi maupun publik.
Para fuqaha (ahli fikih) sepakat bahwa harta memiliki fungsi sosial yang tidak dapat diabaikan. Ketika seseorang menghamburkan hartanya, ia tidak hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Jika pemborosan ini masif, ia dapat mengganggu stabilitas pasar, meningkatkan inflasi, dan mengurangi sumber daya yang tersedia untuk kebutuhan yang lebih mendesak (seperti zakat, sedekah, dan pembangunan fasilitas umum).
Dalam hukum Islam, seorang yang terbukti secara permanen menderita sifat tabzir (disebut sebagai safih) bahkan dapat dikenakan hajr (pembatasan hak bertindak hukum) oleh wali atau pengadilan, demi melindungi hartanya agar tidak dihabiskan sia-sia dan merugikan ahli waris atau masyarakat. Ini menunjukkan betapa seriusnya pandangan syariat terhadap pemborosan.
Kontras utama dari tabzir adalah Iqtisad (الْاِقْتِصَاد), yaitu sikap moderat atau hemat. Islam menganjurkan jalan tengah. Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang baik (Ibadurrahman) dalam Surah Al-Furqan Ayat 67, yang berbunyi:
Ayat ini menunjukkan bahwa keseimbangan adalah tujuan. Menjadi kikir (bakhil) dilarang karena menahan hak orang lain, sementara tabzir dilarang karena menyia-nyiakan hak Allah atas sumber daya. Moderasi adalah jalan yang memastikan harta berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai jembatan menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Di era konsumerisme global saat ini, perangkap tabzir jauh lebih banyak dan lebih halus daripada di masa lalu. Pemborosan tidak terbatas pada emas dan perak, tetapi meliputi segala bentuk sumber daya yang berharga.
Salah satu bentuk tabzir paling nyata di masyarakat modern adalah pemborosan makanan. Dalam banyak budaya, terutama dalam perayaan dan pesta, menyediakan makanan berlebihan hingga terbuang menjadi hal yang lumrah. Padahal, Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar kita makan dan minum secukupnya tanpa berlebihan, dan makanan yang berlebih harus dimanfaatkan atau disedekahkan.
Secara global, jutaan ton makanan terbuang setiap tahun. Ini adalah bentuk tabzir yang paling menyakitkan, mengingat jutaan manusia lain hidup dalam kelaparan. Membuang makanan yang masih layak konsumsi adalah tindakan yang bertentangan langsung dengan ajaran Al-Isra 27 dan menempatkan pelakunya dalam risiko spiritual yang serius.
Meskipun ayat ini secara primer membahas harta (uang), para ulama modern sering memperluas konsep tabzir pada sumber daya non-materi. Waktu adalah modal yang paling berharga bagi manusia. Menghabiskan waktu pada hal-hal yang sia-sia, tidak bermanfaat untuk dunia maupun akhirat, atau bahkan merusak (seperti kecanduan media sosial atau hiburan yang melalaikan), dapat dikategorikan sebagai bentuk tabzir atas waktu.
Allah bersumpah demi waktu (Q.S. Al-‘Asr), menekankan betapa pentingnya pemanfaatan setiap detik. Seorang mubazzir waktu, layaknya mubazzir harta, menyia-nyiakan amanah yang diberikan Tuhannya.
Budaya konsumerisme mendorong manusia untuk terus menerus membeli barang-barang baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan, seringkali hanya demi status sosial atau mengikuti tren. Pembelian impulsif yang didorong oleh iklan dan rasa ingin menyaingi orang lain (gaya hidup "keeping up with the Joneses") adalah manifestasi modern dari tabzir.
Membeli pakaian mahal yang hanya akan dipakai sekali, membeli gadget terbaru padahal yang lama masih berfungsi optimal, atau menumpuk koleksi yang tidak memiliki nilai manfaat yang jelas, semuanya berakar pada kegagalan memandang harta sebagai sumber daya yang terbatas dan harus dipertanggungjawabkan.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita harus menggali lebih jauh mengapa Allah menggunakan istilah yang begitu ekstrem—persaudaraan dengan setan—untuk menggambarkan pemboros.
Setan, atau Iblis, memiliki karakteristik fundamental yang menjadi ciri khas para pemboros:
Setan tidak pernah membangun, ia selalu merusak. Pemborosan adalah tindakan destruktif terhadap kekayaan, sumber daya, dan potensi ekonomi. Harta yang seharusnya menjadi alat kemaslahatan, diubah menjadi alat kehancuran atau kesia-siaan oleh pemboros.
Setan adalah entitas pertama yang menunjukkan kesombongan (istkibar) dengan menolak sujud kepada Adam. Pemboros, dalam skala mikro, menunjukkan kesombongan dengan menolak hukum alam dan hukum agama tentang keterbatasan dan tanggung jawab. Mereka bertindak seolah-olah sumber daya tidak terbatas, atau bahwa mereka kebal terhadap konsekuensi dari perbuatan mereka.
Salah satu taktik setan adalah memberikan janji-janji palsu tentang kenikmatan sesaat, yang ujungnya adalah penyesalan (seperti yang digambarkan dalam Q.S. Al-Hasyr: 16). Pemboros, setelah menghabiskan harta mereka pada hal yang sia-sia, akan menghadapi penyesalan yang mendalam, terutama di Hari Kiamat ketika mereka ditanya tentang bagaimana mereka menghabiskan harta mereka.
Selain aspek spiritual, frasa "saudara setan" juga memiliki implikasi sosiologis. Setan bekerja melalui jaringan pengaruh yang buruk. Ketika seseorang hidup dalam gaya hidup pemborosan, ia cenderung bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat serupa. Lingkaran ini saling menguatkan dalam tindakan yang menyimpang dari moderasi, sehingga sulit bagi individu tersebut untuk kembali ke jalan yang lurus.
Komunitas pemboros menciptakan standar hidup yang tidak realistis, mendorong iri hati, kompetisi materialistis, dan pada akhirnya, ketidakadilan ekonomi di masyarakat. Ini adalah jaringan yang secara efektif dikendalikan oleh bisikan setan.
Penting untuk memperluas pemahaman tabzir melampaui pengeluaran rumah tangga. Konsep ini relevan dalam skala besar, dari pemerintahan hingga industri.
Ketika Ayat 27 diterapkan pada tingkat negara, tabzir merujuk pada pemborosan anggaran publik. Penggunaan dana negara untuk proyek-proyek yang tidak mendesak, korupsi yang menyedot sumber daya, atau pembangunan infrastruktur mewah tanpa manfaat nyata bagi rakyat adalah bentuk tabzir yang paling parah, karena melibatkan harta milik umat.
Seorang pemimpin atau pejabat yang menyia-nyiakan sumber daya publik, yang merupakan amanah kolektif, telah menjadi "saudara setan" dalam skala yang jauh lebih besar dan dengan dampak kerugian yang lebih luas. Hal ini menghancurkan potensi kesejahteraan jutaan orang.
Di masa ketika isu keberlanjutan menjadi krusial, tabzir juga mencakup penyalahgunaan sumber daya alam. Penggunaan energi berlebihan, eksploitasi hutan tanpa memperhatikan regenerasi, atau pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem adalah bentuk pemborosan sumber daya yang tidak terpulihkan.
Allah menciptakan bumi dan segala isinya untuk dimanfaatkan secara seimbang. Merusak lingkungan demi keuntungan sesaat atau kenyamanan yang berlebihan adalah perbuatan yang melampaui batas (israf) dan sia-sia (tabzir), yang menunjukkan kekufuran terhadap nikmat alam yang diberikan Allah.
Setiap individu dianugerahi bakat, kecerdasan, dan kesehatan. Menyia-nyiakan potensi ini—dengan menolak belajar, tidak memanfaatkan ilmu yang dimiliki untuk kebaikan, atau merusak kesehatan melalui gaya hidup yang buruk—dapat dianggap sebagai tabzir atas modal manusia. Modal ini adalah anugerah Ilahi yang harus diinvestasikan, bukan disia-siakan.
Jika tabzir adalah jalan menuju persaudaraan setan, maka perlindungan terhadapnya adalah melalui penguatan tiga pilar fundamental dalam Islam.
Sadarilah bahwa segala yang dimiliki adalah milik Allah. Uang di rekening, rumah yang didiami, dan makanan di piring hanyalah pinjaman sementara. Kesadaran Tauhid (keesaan Allah) dalam kepemilikan ini menuntut pertanggungjawaban. Dengan menanamkan konsep bahwa kita hanyalah pengelola (khalifah), setiap pengeluaran akan dipertimbangkan, apakah ia mendekatkan atau menjauhkan dari keridaan Sang Pemilik Sejati.
Hidup moderat bukan berarti hidup dalam kekurangan, tetapi hidup dalam kecukupan tanpa berlebihan. Praktik iqtisad melibatkan perencanaan anggaran yang cermat, memprioritaskan kebutuhan di atas keinginan (hajat di atas syahwat), dan menghindari utang konsumtif yang hanya didorong oleh kesenangan sesaat.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tidak akan rugi orang yang berpegang pada istikharah (meminta petunjuk) dan tidak akan menyesal orang yang berpegang pada iqtisad (hemat/moderat)." Moderasi adalah kunci untuk melindungi diri dari kekikiran dan pemborosan.
Salah satu cara terbaik untuk memerangi tabzir adalah dengan mengarahkan kelebihan harta ke jalan yang benar, yaitu infaq (sedekah sukarela) dan zakat (sedekah wajib). Infaq adalah kebalikan dari tabzir. Jika tabzir adalah pengeluaran untuk kebatilan, infaq adalah pengeluaran untuk kebenaran, bahkan jika jumlahnya besar.
Zakat memastikan bahwa harta tidak menumpuk di tangan segelintir orang dan berfungsi membersihkan sisa harta dari hak orang lain. Dengan menunaikan kewajiban ini, seorang Muslim memastikan bahwa sebagian hartanya telah diarahkan pada pemanfaatan yang paling hakiki, sehingga ia terhindar dari tuduhan menyia-nyiakan karunia Allah.
Ayat mulia QS Al-Isra [17]: 27 adalah fondasi etika ekonomi Islam. Ia tidak hanya melarang tindakan boros, tetapi juga memberikan peringatan keras mengenai identitas spiritual pelakunya. Dengan menyamakan pemboros dengan saudara setan, Al-Qur'an menekankan bahwa masalah harta adalah masalah hati dan akidah. Kekacauan dalam pengelolaan harta mencerminkan kekacauan dalam hubungan seseorang dengan Tuhannya.
Dalam dunia yang didominasi oleh iklan dan dorongan konsumtif, ayat ini berfungsi sebagai filter spiritual yang mendesak umat manusia untuk kembali kepada prinsip dasar: kesederhanaan, tanggung jawab, dan kesadaran bahwa segala kekayaan adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Jalan keselamatan adalah jalan moderasi, yang menjamin bahwa harta tidak menjadi sumber kebinasaan, melainkan alat untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Memahami dan mengamalkan larangan tabzir berarti menjaga martabat manusia, melindungi hak-hak sosial, dan yang terpenting, memutuskan rantai persaudaraan dengan setan yang hanya menginginkan kerugian dan kekufuran. Kesadaran penuh atas fungsi harta sebagai amanah adalah benteng terbaik melawan bisikan-bisikan pemborosan.
Kekayaan sejati bukanlah pada apa yang kita konsumsi secara berlebihan, melainkan pada apa yang kita sisihkan untuk tujuan yang kekal dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Hal inilah yang membedakan seorang hamba Allah yang bersyukur dengan seorang saudara setan yang ingkar.
Pemborosan tidak berhenti pada kerugian finansial. Ia memiliki efek domino yang merusak karakter dan moral seseorang. Ketika seseorang terbiasa membelanjakan harta tanpa batas dan tanpa pertimbangan syariat, integritas moralnya perlahan terkikis. Sifat boros seringkali dibarengi dengan sifat-sifat negatif lain seperti pamer (riya’), takabur (sombong), dan hasad (iri hati) terhadap orang lain yang memiliki barang yang lebih mewah.
Pola pikir pemboros adalah pola pikir yang mementingkan tampilan luar dan kepuasan ego. Mereka lebih peduli pada citra yang mereka proyeksikan daripada substansi dari pengeluaran mereka. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk mencari sumber pendapatan yang tidak halal (haram) demi menopang gaya hidup borosnya, seperti korupsi, riba, atau penipuan. Dengan demikian, tabzir bukan hanya akhir dari rantai kerusakan, tetapi juga bisa menjadi pemicu awal dari dosa-dosa besar lainnya.
Ulama dari berbagai mazhab telah mencoba mendefinisikan batasan yang jelas mengenai kapan suatu pengeluaran berubah dari kebutuhan menjadi tabzir. Meskipun definisi umum (pengeluaran pada kebatilan) disepakati, aplikasi praktisnya bergantung pada tiga faktor:
Imam Al-Ghazali dalam karyanya, Ihya' Ulumuddin, menekankan bahwa kunci untuk menghindari tabzir adalah menanamkan sifat qana'ah (merasa cukup) dan menjauhkan diri dari keinginan berlebihan. Beliau menyebutkan bahwa pemborosan adalah pintu yang sangat lebar yang dibuka oleh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang materialisme yang tak berujung.
Pencegahan sifat tabzir harus dimulai dari unit terkecil masyarakat: keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan etika pengelolaan harta sejak dini kepada anak-anak mereka. Ini tidak hanya mencakup ajaran teoretis, tetapi juga contoh praktis.
Anak-anak perlu diajarkan nilai sejati dari barang, bukan hanya harga. Mereka harus memahami proses produksi barang (misalnya, bagaimana makanan dihasilkan) agar timbul rasa menghargai dan menghindari pembuangan. Praktik mendaur ulang, menggunakan barang hingga rusak total, dan membelikan barang berdasarkan kebutuhan mendesak adalah cara konkret memerangi bibit-bibit pemborosan.
Sifat boros sering berakar pada ketidakmampuan menunda kepuasan (delayed gratification). Keluarga harus mengajarkan pentingnya menabung, merencanakan pembelian, dan memahami bahwa tidak semua keinginan harus segera dipenuhi. Hal ini membangun karakter yang kuat, yang tahan terhadap godaan konsumtif yang didorong oleh setan.
Jika keluarga gagal mengajarkan etika ini, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang rentan terhadap tekanan sosial, mudah tergoda oleh tren, dan akhirnya, menjadi mubazzir yang secara efektif menjadi mitra setan dalam merusak sumber daya yang ada.
Dari sudut pandang psikologi modern, perilaku boros dan konsumtif seringkali merupakan mekanisme koping yang tidak sehat terhadap kecemasan, rasa tidak aman, atau rendah diri. Seseorang mungkin membeli barang mewah secara berlebihan untuk mengisi kekosongan emosional atau untuk mendapatkan validasi dari lingkungan sosial.
Ironisnya, tindakan ini justru menghasilkan lingkaran setan: pembelian memberikan kepuasan sesaat, diikuti oleh penyesalan finansial dan peningkatan kecemasan. Setan mengeksploitasi kelemahan psikologis ini. Bisikan untuk "membeli sekarang, menyesal kemudian" adalah manifestasi dari dorongan setan yang ingin manusia tidak pernah merasa damai dan puas.
Ketenangan sejati, yang dijamin oleh Islam, hanya didapatkan melalui qana'ah dan kepatuhan pada perintah Allah, termasuk perintah untuk hidup moderat. Harta yang dikelola dengan bijak dan dimanfaatkan untuk kebaikan akan menghasilkan ketenangan (sakinah), sementara harta yang dihamburkan hanya akan menghasilkan kegelisahan abadi.
Pengulangan penekanan pada sifat kufur setan di akhir ayat (وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا) memiliki bobot teologis yang sangat signifikan. Kalimat ini berfungsi sebagai peringatan terakhir dan rangkuman spiritual.
Kenapa Kufur? Kufur, dalam arti luas, adalah menolak atau tidak mensyukuri nikmat. Setan secara fundamental adalah kafir karena menolak mengakui kebenaran perintah Allah. Pemboros melakukan hal yang analogis. Ketika mereka menyalahgunakan harta—nikmat dari Allah—mereka secara praktis menunjukkan ketidakpercayaan atau penolakan terhadap ajaran dan batasan Sang Pemberi Nikmat. Mereka memperlakukan harta seolah-olah nikmat itu tidak memiliki sumber dan tidak memiliki konsekuensi di akhirat.
Jika setan menggunakan kesombongan untuk menjadi kafir, pemboros menggunakan harta sebagai media untuk mengekspresikan kekufuran mereka terhadap aturan Illahi. Kedua-duanya sama-sama menolak otoritas transenden yang menetapkan batasan. Inilah alasan mendasar mengapa mereka disebut bersaudara; mereka berbagi filosofi penolakan terhadap kehendak Tuhan dalam aspek yang berbeda.
Sebagai antitesis dari tabzir, ajaran Al-Qur'an dan Sunnah menawarkan kerangka kerja yang solid untuk pengelolaan harta. Kerangka kerja ini mencakup tiga dimensi utama:
Mematuhi ketiga dimensi ini akan memposisikan seorang Muslim di jalur shirat al-mustaqim (jalan yang lurus) dalam urusan finansial, jauh dari jurang pemborosan yang didalangi oleh setan. Keberkahan harta (barakah) tidak diukur dari jumlahnya, tetapi dari kemampuannya untuk mendatangkan manfaat di dunia dan pahala di akhirat.
Kekuatan pesan dari Al-Isra Ayat 27 terletak pada sifatnya yang abadi. Walaupun diturunkan di Mekah lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansinya terus meningkat seiring kompleksitas kehidupan modern. Ayat ini adalah seruan untuk introspeksi mendalam, menanyakan pada diri sendiri: "Apakah cara saya membelanjakan harta mencerminkan rasa syukur atau keingkaran? Apakah saya bertindak sebagai hamba Allah yang bertanggung jawab, atau sebagai saudara setan yang merusak?" Jawaban atas pertanyaan ini menentukan posisi kita di hadapan Sang Pencipta.
Larangan terhadap tabzir adalah perlindungan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat. Ia mengajarkan bahwa kemewahan sejati bukanlah pada apa yang kita buang, tetapi pada ketenangan yang kita rasakan karena telah menggunakan setiap anugerah Ilahi sesuai dengan petunjuk-Nya. Mencapai keseimbangan dalam pengeluaran adalah jihad ekonomi seorang Muslim di zaman ini.
Kesempurnaan pengamalan ajaran ini adalah ketika seorang individu dapat hidup di tengah kelimpahan duniawi tanpa terjebak dalam perangkap kemewahan yang sia-sia, dan mampu mengarahkan energi serta sumber dayanya untuk investasi yang akan abadi, yaitu bekal di akhirat. Inilah hakikat dari janji kehidupan yang sejahtera dan diridai, yang disajikan secara ringkas namun mendalam dalam Surah Al-Isra Ayat 27.
Pemahaman yang utuh terhadap ayat ini menuntut tindakan nyata untuk mereformasi kebiasaan konsumsi. Mulai dari menolak pembelian yang didorong oleh emosi, mengurangi pembuangan makanan, hingga memastikan bahwa kelebihan harta diarahkan pada proyek-proyek amal dan kemanusiaan. Dengan demikian, kita secara aktif menolak persaudaraan setan dan memilih persaudaraan dengan orang-orang saleh yang mengelola nikmat Allah dengan penuh kesyukuran dan tanggung jawab.