Analisis Mendalam tentang Fondasi Fiqh dan Spiritual Shalat Fardhu
Di antara sekian banyak ayat Al-Qur'an yang memberikan petunjuk rinci mengenai praktik ibadah, Surah Al-Isra ayat ke-78 berdiri sebagai pilar utama, sebuah fondasi tekstual yang mengatur waktu-waktu pelaksanaan shalat fardhu sehari semalam. Ayat ini bukan hanya sekadar instruksi temporal; ia adalah manifestasi dari rahmat Ilahi yang menetapkan ritme kehidupan seorang Muslim, mengikatnya pada siklus kosmik pergerakan matahari dan kegelapan malam. Pemahaman yang mendalam terhadap setiap frasa dalam ayat ini—dari aspek linguistik hingga implikasi hukumnya—sangat esensial bagi setiap mukmin yang berusaha menyempurnakan ibadahnya.
Ayat mulia ini berbunyi:
Terjemahan literalnya kurang lebih adalah: "Dirikanlah shalat dari tergelincirnya matahari hingga gelap malam dan (dirikan pula) shalat Subuh (bacaan Subuh). Sesungguhnya bacaan Subuh itu disaksikan." Ayat ini secara eksplisit membagi shalat fardhu ke dalam dua kelompok waktu utama yang dipandu oleh pergerakan benda langit, yaitu waktu siang (dimulai dari tergelincirnya matahari) dan waktu malam (hingga kegelapan malam mencapai puncaknya), diakhiri dengan shalat yang khusus disebutkan, yaitu shalat Fajar.
Gambar 1: Representasi temporal penetapan shalat berdasarkan pergerakan benda langit.
Untuk memahami hukum yang terkandung, kita harus menelaah makna leksikal setiap komponen ayat 78. Bahasa Arab klasik memiliki kedalaman makna yang, ketika diterjemahkan, seringkali kehilangan nuansa penting yang memengaruhi interpretasi fiqh.
Kata kerja Aqimi adalah perintah (fi'il amr) dari akar kata Qama (قام), yang berarti berdiri, bangkit, atau mendirikan. Dalam konteks ibadah, Aqimiṣ-Ṣalāta tidak hanya bermakna ‘melakukan’ shalat secara fisik, tetapi lebih merujuk pada ‘mendirikan’ shalat secara sempurna, konsisten, dan memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Perintah ini menunjukkan kewajiban yang berkelanjutan, menuntut kualitas pelaksanaan yang prima, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Ini adalah perintah absolut yang menandakan kewajiban shalat adalah sesuatu yang harus ditegakkan sebagai pilar agama.
Bentuk perintah yang digunakan menegaskan bahwa shalat bukanlah pilihan melainkan rukun fundamental. Penekanan pada ‘mendirikan’ (iqamah) mencerminkan dimensi spiritual dan sosial, bahwa shalat harus hadir dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan dampak positif pada perilaku mukmin.
Frasa ini adalah titik awal temporal bagi rangkaian shalat harian. Kata Dulūk (دُلُوك) secara harfiah berarti condong, tergelincir, atau miring. Para ulama tafsir klasik memiliki pandangan yang sangat detail mengenai makna spesifik dari Dulūk:
Dengan demikian, frasa Li-Dulūk menetapkan permulaan shalat siang, mencakup Zuhur dan Asar. Pergeseran matahari dari zenit menjadi penanda visual dan astronomis yang paling presisi untuk mengawali kewajiban shalat fardhu.
Kata Ilā (إِلَىٰ) berarti 'hingga' atau 'sampai'. Ia menandai batas akhir dari rangkaian shalat yang dimulai dari Dulūk. Analisis terhadap Gasaqil-Laili (غَسَقِ ٱلَّيۡلِ) sangat krusial. Kata Ghasaq (غَسَق) berarti kegelapan yang pekat, mencapai titik maksimalnya.
Jika kita menerima penafsiran mayoritas ulama, rentang waktu dari Dulūk hingga Ghasaqil Lail mencakup Shalat Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya. Batas "gelap malam" ini secara fiqh diakui sebagai pertengahan malam (Nishf al-Lail) sebagai batas akhir waktu ikhtiyar (waktu yang dipilih) untuk shalat Isya, meskipun waktu daruratnya bisa meluas hingga Fajar.
Ayat ini secara eksplisit menyebut Shalat Subuh dengan istilah yang unik: Qur’ānal-Fajri (Bacaan Subuh), bukan hanya Ṣalātal-Fajr (Shalat Subuh). Penyebutan khusus ini memiliki hikmah tersendiri:
Ayat ditutup dengan penegasan spiritual yang mendalam. Kata Masyhūdā (مَشۡهُودًا) berarti 'disaksikan' atau 'hadir'. Para mufasir sepakat bahwa yang menyaksikan shalat fajar adalah:
Meskipun Al-Isra 78 hanya menyebutkan tiga titik waktu utama (Dulūk, Ghasaq, dan Fajar), para fukaha (ahli fiqh) dari empat mazhab utama sepakat bahwa ayat ini secara implisit mencakup lima shalat wajib, yang kemudian diperjelas dan dirinci melalui Sunnah Rasulullah SAW.
Ayat tersebut dapat dipahami sebagai pembagian dua periode waktu shalat fardhu (ditambah satu shalat yang disebutkan secara terpisah):
A. Periode Dulūk ash-Shams: Mencakup dua shalat, yaitu Zuhur dan Asar. Perbedaan antara Zuhur dan Asar terletak pada panjang bayangan. Zuhur dimulai dari tergelincirnya matahari. Asar dimulai ketika panjang bayangan suatu benda sama panjangnya dengan benda itu sendiri (menurut mazhab Hanafi) atau ketika panjang bayangan objek melebihi panjang objek itu (menurut mayoritas mazhab lainnya).
B. Periode Ghasaqil Lail: Mencakup dua shalat, yaitu Maghrib dan Isya. Maghrib dimulai segera setelah matahari terbenam. Isya dimulai setelah hilangnya mega merah (syafaq al-ahmar). Kedua shalat ini berada dalam rentang kegelapan malam.
C. Qur’ānal Fajri: Yaitu Shalat Subuh. Waktunya dimulai dari terbitnya fajar shadiq (cahaya putih yang menyebar di ufuk timur) hingga terbitnya matahari.
Bagian "Ilā Gasaqil-Laili" menimbulkan perdebatan mendalam mengenai batas akhir Shalat Isya:
Sebagian besar ulama Hanbali dan Maliki berpegang pada hadits yang menyatakan bahwa waktu *ikhtiyar* (pilihan) untuk shalat Isya adalah hingga pertengahan malam. Mereka menafsirkan *Ghasaqil Lail* sebagai puncak kegelapan yang dicapai pada tengah malam, sehingga shalat Isya seharusnya tidak diakhirkan hingga lewat batas ini kecuali ada uzur (alasan syar'i).
Mazhab Hanafi dan Syafi'i (terutama untuk waktu *darurah* atau darurat) berpendapat bahwa waktu shalat Isya meluas hingga terbitnya Fajar Shadiq. Mereka memahami batas pertengahan malam lebih sebagai waktu yang utama (*afdhal*), namun shalat yang dilakukan sebelum fajar masih sah. Analisis mereka terhadap Ilā Gasaqil-Laili adalah bahwa batas ini mendefinisikan waktu wajib yang optimal, tetapi tidak serta merta mengakhiri waktu syar'i secara keseluruhan sebelum datangnya waktu shalat berikutnya.
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur’an menetapkan kerangka waktu, sementara Sunnah (khususnya Hadits Jibril yang mengajarkan Nabi SAW waktu awal dan akhir shalat) memberikan perincian praktis yang memisahkan kelima shalat tersebut. Al-Isra 78 adalah perintah dasar, dan Sunnah adalah implementasi operasionalnya. Tanpa Hadits, kita tidak akan mengetahui secara pasti kapan Zuhur berakhir dan Asar dimulai, atau perbedaan antara Maghrib dan Isya.
Gambar 2: Penekanan pada perintah ‘Aqimi’ (mendirikan) shalat dengan sempurna.
Para mufasir besar sepanjang sejarah Islam telah menghabiskan waktu bertahun-tahun merenungkan kedalaman ayat ini. Pendekatan mereka membantu kita mengapresiasi keragaman pandangan yang muncul dari satu teks yang sama.
Ath-Thabari dalam Jami' al-Bayan-nya sangat fokus pada definisi linguistik Dulūk dan Ghasaq. Ia mencatat bahwa di kalangan sahabat dan tabi'in, terdapat dua riwayat mengenai Dulūk: tergelincirnya matahari (Zuhur) dan terbenamnya matahari (Maghrib). Namun, Thabari cenderung menguatkan pandangan mayoritas yang mengartikannya sebagai tergelincir, karena hal itu lebih konsisten dengan tata bahasa Arab dan riwayat hadits yang memisahkan Maghrib/Isya dengan Zuhur/Asar.
Mengenai Ghasaqil Lail, Thabari menegaskan bahwa itu adalah saat kegelapan pekat mulai melanda, dan ini mencakup waktu Isya. Kontribusi utamanya adalah mengaitkan ayat ini dengan hadits yang menunjukkan pergeseran waktu shalat, menunjukkan bahwa batas-batas temporal yang diberikan oleh Al-Qur'an adalah batas terluar, yang kemudian diisi dengan praktik Nabawi.
Fakhruddin Al-Razi, dengan pendekatan rasional dan filosofisnya dalam Mafatih al-Ghayb, melakukan analisis yang sangat rinci mengenai hubungan antara shalat dan pergerakan kosmik. Ia menyoroti hikmah di balik pemilihan waktu shalat yang terkait dengan perubahan kondisi cahaya dan kegelapan, yang merupakan manifestasi keagungan Allah SWT.
Al-Razi berpendapat bahwa penempatan shalat Maghrib dan Isya dalam satu kategori (Ghasaqil Lail) menekankan kedekatan waktu kedua shalat tersebut, sementara pemisahan shalat Fajar sebagai Qur’ānal-Fajri memberikan keistimewaan dan urgensi pada ibadah pagi hari. Ia juga membahas dimensi "disaksikan" (Masyhūdā), menghubungkannya dengan peningkatan spiritual yang dialami oleh hamba saat shalat di saat heningnya malam.
Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, adalah seorang ahli fiqh yang menafsirkan ayat dari perspektif hukum. Ia menggunakan Al-Isra 78 sebagai bukti utama kewajiban shalat lima waktu.
Qurtubi sangat tegas dalam menafsirkan Dulūk ash-Shams sebagai Zuhur, karena jika itu adalah Maghrib, maka shalat Zuhur dan Asar tidak memiliki dasar penetapan waktu dalam Al-Qur'an, yang tidak mungkin terjadi. Ia juga membahas panjang lebar kontroversi waktu Isya, menyajikan argumen fiqh dari semua mazhab mengenai apakah batasnya adalah sepertiga malam, setengah malam, atau fajar.
Ibnu Katsir dikenal karena pendekatannya yang mengutamakan riwayat (manqul), menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Ia mengaitkan Al-Isra 78 langsung dengan hadits-hadits shahih tentang penetapan waktu shalat, memperkuat bahwa ayat tersebut mencakup empat shalat (Zuhur, Asar, Maghrib, Isya) dalam satu rangkaian, ditambah shalat Subuh yang disebutkan secara khusus.
Ibnu Katsir menyajikan hadits-hadits mengenai Malaikat yang menyaksikan shalat Fajar, memberikan detail riwayat tentang pergantian penjagaan (ta'aqub) antara Malaikat malam dan siang, sehingga memberikan dimensi spiritual yang kuat pada keutamaan Shalat Subuh yang diselenggarakan pada waktunya.
Penetapan waktu shalat dalam Al-Isra 78 bukan semata-mata masalah jadwal, melainkan sebuah desain sempurna yang mengandung hikmah spiritual, psikologis, dan bahkan fisiologis. Shalat berfungsi sebagai pemutus siklus duniawi dan pengingat akan tujuan hakiki kehidupan.
Waktu shalat ditetapkan pada titik-titik krusial dalam siklus energi harian manusia:
Penyebutan khusus shalat Subuh dan penegasannya sebagai ibadah yang "disaksikan" (Masyhūdā) menekankan nilai spiritualnya yang tinggi. Ini adalah ibadah yang dilakukan saat manusia sedang dalam kondisi tidur nyenyak, membutuhkan perjuangan ekstra untuk bangun. Siapa pun yang mampu menunaikan shalat Fajar berjamaah menunjukkan tingkat keimanan dan disiplin yang luar biasa, sehingga pantas mendapatkan kehadiran dan kesaksian dari para malaikat.
Para ulama juga menafsirkan bahwa kesaksian tersebut merujuk pada kesaksian batin. Di waktu fajar, jiwa masih bersih dari kontaminasi duniawi, menjadikan hati lebih reseptif terhadap ayat-ayat yang dibaca (Qur’an al-Fajr), sehingga shalatnya lebih khusyuk dan berdampak pada kemurnian tauhid.
Mengingat pentingnya detail waktu dalam fiqh, mari kita eksplorasi lebih dalam tentang terminologi Dulūk dan Ghasaq, mengingat kompleksitas leksikalnya yang mendasari keragaman hukum.
Di masa awal Islam, kata Dulūk memiliki makna yang lebih luas. Secara etimologis, Dulūk berasal dari kata yang berarti menggesek atau mendorong, yang secara metaforis diaplikasikan pada matahari yang "didorong" atau "digeser" dari posisinya. Imam Mujahid, salah satu tabi'in terkemuka, pernah menafsirkannya sebagai Maghrib (terbenam), sebagaimana dicatat oleh Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya. Namun, riwayat ini kemudian dihadapkan pada konsensus yang lebih kuat.
Konsensus ulama abad pertengahan yang menetapkan Dulūk sebagai permulaan Zuhur didasarkan pada dua alasan utama yang harus kita pahami secara komprehensif:
Perbedaan interpretasi leksikal ini menunjukkan bagaimana ilmu Ushul Fiqh (metodologi hukum Islam) harus bekerja; bukan hanya melihat makna kata secara terpisah, tetapi melihat keseluruhan konteks ayat, kaitannya dengan ayat lain, dan klarifikasi yang diberikan oleh Sunnah Nabi SAW.
Ghasaq secara linguistik sering dihubungkan dengan permulaan malam, tetapi dalam konteks fiqh, ulama mengevaluasi apakah ia berarti permulaan Maghrib atau permulaan Isya.
Beberapa linguis awal menyebut Ghasaq sebagai permulaan kegelapan segera setelah terbenam, yang mungkin menunjuk pada Maghrib. Namun, frasa Ilā Gasaqil-Laili (HINGGA gelap malam) menandai batas akhir waktu shalat yang dimulai dari Dulūk (Zuhur). Jika batas akhirnya adalah Maghrib, maka hanya Zuhur dan Asar yang wajib, sementara Isya tidak tercover.
Pendapat yang dominan, yang didukung oleh analisis fiqhiyyah, adalah bahwa Ghasaqil Lail merujuk pada titik di mana kegelapan mencapai puncaknya (pertengahan malam). Mengapa? Karena hadits Nabi SAW menetapkan waktu Isya berakhir pada pertengahan malam. Dengan demikian, ayat tersebut memberikan rentang waktu yang mencakup Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya, dengan batas akhir kolektif yang dikonfirmasi oleh Sunnah.
Ayat ini, dengan keindahan ringkasnya, mencakup empat shalat dalam satu rangkaian temporal: shalat yang dimulai ketika matahari condong ke barat, berlangsung melalui sore, terbenam, dan berakhir ketika malam mencapai puncaknya. Ini adalah contoh luar biasa dari I'jaz al-Qur'an (kemukjizatan Al-Qur'an) dalam kehematan kata yang kaya makna hukum.
Penggunaan istilah Qur'ānal-Fajri secara eksplisit mengajarkan umat Islam mengenai prioritas dan metodologi shalat fajar. Shalat ini adalah satu-satunya yang dinamai berdasarkan aspek tilawahnya, bukan sekadar waktunya (seperti Shalat az-Zuhur).
Perintah untuk ‘mendirikan’ (Aqimi) pembacaan Qur’an pada saat Fajar mengingatkan kita bahwa khusyu' dan perhatian harus maksimal. Pada saat itu, udara masih jernih, pikiran belum dipenuhi urusan duniawi, dan itulah waktu terbaik untuk menerima cahaya wahyu yang dibacakan.
Para ulama tafsir kontemporer juga menekankan kaitan antara Masyhūdā (disaksikan) dengan fenomena alam fajar. Fajar adalah masa kesaksian cahaya yang memecah kegelapan total. Maka, ibadah di saat itu adalah kesaksian seorang hamba yang memilih cahaya Ilahi di atas kehangatan tempat tidur, sebuah kesaksian iman yang nyata.
Surah Al-Isra ayat 78 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam syariat Islam, yang menetapkan kerangka waktu bagi pilar kedua agama, yaitu shalat. Melalui perintah Aqimiṣ-Ṣalāta, ayat ini menanamkan kewajiban untuk melaksanakan shalat bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai tegakan yang sempurna dan konsisten.
Dari tergelincirnya matahari (Dulūk ash-Shams) hingga puncak kegelapan malam (Ghasaqil Lail), empat waktu shalat (Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya) terangkum dalam satu kesatuan temporal yang logis. Sementara shalat Subuh, yang disebut sebagai Qur’ānal-Fajri, disajikan sebagai permulaan spiritual hari, diberkahi dengan kesaksian para malaikat.
Kajian mendalam terhadap Al-Isra 78 mengajarkan bahwa penetapan waktu shalat bukanlah jadwal yang acak, melainkan sebuah siklus yang terintegrasi dengan alam semesta dan dirancang untuk menjaga kesadaran spiritual manusia tetap hidup di tengah dinamika dunia. Memahami ayat ini adalah memahami mengapa kita shalat: untuk mendirikan hubungan yang konstan dan disempurnakan dengan Sang Pencipta, sesuai dengan irama yang telah ditetapkan-Nya sejak permulaan waktu.
Setiap detail leksikal dalam ayat ini, dari Dulūk hingga Masyhūdā, menegaskan bahwa shalat adalah intisari dari penyerahan diri, sebuah janji harian yang harus dipenuhi dengan kekhusyu'an tertinggi, tepat waktu, dan sempurna dalam pelaksanaannya.
Ayat 78 dari Al-Isra menekankan integritas dalam pelaksanaan shalat melalui perintah Aqimi. Integritas ini mencakup dua dimensi: dimensi internal (khusyuk) dan dimensi eksternal (ketepatan waktu dan pemenuhan rukun). Kedisiplinan dalam menjaga waktu shalat, yang didefinisikan secara astronomis oleh Dulūk dan Ghasaq, adalah manifestasi tertinggi dari kepatuhan seorang hamba.
Para ahli fiqh menekankan bahwa menggeser shalat dari waktu yang telah ditetapkan tanpa alasan syar'i yang dibenarkan, meskipun dilakukan dalam waktu darurat (bagi Isya), mengurangi kesempurnaan ibadah. Ayat ini memotivasi mukmin untuk selalu berada dalam keadaan siap menyambut masuknya waktu shalat. Disiplin waktu ini bukan hanya kewajiban perorangan; ia membentuk karakter komunitas yang teratur dan bertanggung jawab.
Meskipun ada perbedaan minor dalam penetapan batas waktu Asar (antara Syafi'i/Maliki/Hanbali versus Hanafi) dan batas akhir Isya, semua madzhab bersepakat bahwa Al-Isra 78 adalah dasar Al-Qur'an untuk keseluruhan shalat lima waktu. Konsensus ini menunjukkan kekuatan otoritas Al-Qur'an yang ringkas, yang memerlukan interpretasi Sunnah secara komplementer.
Perbedaan interpretasi atas Ghasaqil Lail, apakah ia mengacu pada sepertiga malam, pertengahan malam, atau fajar, lebih merupakan diskusi tentang waktu *afdhal* (terbaik) vs. waktu *jawaz* (diperbolehkan). Namun, inti dari ayat ini tetap utuh: shalat harus didirikan pada interval waktu yang ditentukan oleh pergerakan langit, menandai bahwa manusia, meskipun hidup di bumi, terikat pada tatanan kosmik Ilahi.
Penyebutan khusus Qur’ānal-Fajri secara otomatis memecah siklus temporal menjadi tiga zona waktu utama yang jelas: zona siang (Zuhur/Asar), zona transisi dan malam awal (Maghrib/Isya), dan zona fajar yang disaksikan. Pembagian ini memungkinkan pengaturan waktu yang fleksibel namun terstruktur bagi umat di berbagai belahan dunia dengan durasi siang dan malam yang berbeda-beda.
Filosofi waktu dalam Islam sangat terkait erat dengan tanggung jawab. Shalat lima waktu adalah pengingat harian bahwa waktu adalah aset yang tidak dapat dipulang-pusingkan. Ayat Al-Isra 78 memastikan bahwa setiap segmen hari, dari tergelincir matahari hingga fajar berikutnya, disakralkan melalui kewajiban ibadah. Keindahan ayat ini terletak pada caranya mengajarkan umat untuk menghargai setiap momen peralihan: peralihan dari terang ke bayangan, dari bayangan ke kegelapan, dan dari kegelapan kembali ke cahaya.
Ini adalah pengajaran tentang kewaspadaan. Seorang mukmin yang benar-benar memahami Al-Isra 78 tidak akan pernah lalai terhadap waktu shalat karena ia menyadari bahwa penanda-penanda waktu itu bersifat kosmik, tidak buatan manusia. Ketika matahari tergelincir, itu adalah panggilan yang tidak dapat ditunda; ketika mega merah menghilang, itu adalah penanda bahwa waktu ibadah malam telah tiba. Penjelasan yang panjang dan mendalam mengenai frasa kunci Dulūk dan Ghasaq ini menegaskan betapa sentralnya pemahaman astronomis sederhana bagi penetapan syariat.
Setiap pengulangan dalam analisis linguistik dan fiqhiyyah—tentang makna akar kata Arab dan interpretasi madzhab—bertujuan untuk membangun fondasi pemahaman yang kokoh. Ayat ini adalah dasar hukum yang abadi, yang terus relevan dan menuntut penafsiran yang cermat seiring perkembangan zaman, terutama dalam konteks penentuan waktu shalat di lokasi geografis ekstrem (seperti di kutub, di mana Dulūk dan Ghasaq mungkin tidak muncul secara normal).
Secara keseluruhan, Surah Al-Isra 78 adalah peta jalan untuk mengarungi kehidupan spiritual, memastikan bahwa ritme hati seorang mukmin selalu selaras dengan ritme alam semesta yang diciptakan dan diatur oleh Allah SWT.