Kajian Mendalam Al-Isra Ayat 1: Mukjizat, Tafsir, dan Hikmah Perjalanan Agung Nabi

Surat Al-Isra, yang berarti ‘Perjalanan Malam’, dibuka dengan sebuah pernyataan ilahi yang mengukuhkan salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah kenabian: perjalanan agung Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Yerusalem. Peristiwa ini, dikenal sebagai Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Perjalanan Malam dan Kenaikan), bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah manifestasi kekuatan Allah SWT, pengukuhan status kenabian, dan pameran tanda-tanda kebesaran-Nya yang melampaui batas nalar manusia.

Teks Suci dan Terjemahan Al-Isra Ayat 1

Ayat pertama dari surat yang mulia ini menjadi fondasi bagi seluruh narasi Isra’ Mi’raj. Allah SWT berfirman:

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Terjemahan Resmi

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidilharam ke Al-Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Analisis Leksikal Mendalam (Tafsir Mufradat)

Untuk memahami kedalaman ayat ini, para ulama tafsir membedah setiap kata, mengungkap makna teologis dan linguistik yang terkandung di dalamnya. Analisis ini sangat penting karena setiap frasa dalam ayat ini memuat pesan yang monumental.

1. سُبْحَٰنَ (Subhana): Mahasuci

Kata ini adalah sumber pemuliaan dan pensucian (tanzih). Dengan memulai ayat menggunakan ‘Subhana’, Allah secara eksplisit menyatakan bahwa peristiwa ini adalah di luar kebiasaan, sebuah mukjizat yang hanya dapat dilakukan oleh Dzat yang Mahasuci dan Mahakuasa. Ini adalah penegasan terhadap keesaan (Tauhid) dan penolakan terhadap segala bentuk kelemahan atau keterbatasan yang mungkin dilekatkan pada Dzat-Nya.

  • Implikasi Teologis: Digunakan untuk menandai peristiwa besar yang menakjubkan dan mengagumkan, seperti penciptaan alam semesta atau perjumpaan kenabian yang unik.

2. أَسْرَىٰ (Asra): Memperjalankan

Kata kerja ini secara spesifik merujuk pada perjalanan yang dilakukan di malam hari (sira). Penggunaan bentuk kata kerja transitif (memperjalankan) menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak melakukan perjalanan ini atas kemauan atau kekuatannya sendiri, melainkan atas kehendak dan inisiasi Allah SWT. Ini menegaskan status Rasulullah sebagai penerima anugerah ilahi mutlak.

3. بِعَبْدِهِۦ (Bi-'Abdihi): Dengan Hamba-Nya

Ini adalah titik fokus teologis yang paling penting. Allah memilih untuk menyebut Nabi Muhammad ﷺ dengan gelar "Hamba-Nya" ('Abd) di tengah-tengah peristiwa mukjizat terbesar ini. Ini mengajarkan bahwa puncak kemuliaan bagi seorang nabi bukanlah kekuasaan atau gelar keagungan, melainkan kerendahan hati dan kepatuhan mutlak sebagai seorang hamba.

  • Kontroversi Jasad dan Ruh: Gelar 'Abd' merujuk pada keseluruhan wujud—jiwa dan raga. Ini menguatkan pandangan mayoritas ulama (seperti Ibn Kathir dan Ath-Thabari) bahwa perjalanan Isra' dilakukan secara fisik (jasad dan ruh) dalam keadaan terjaga, karena hanya perjalanan fisik yang dapat dianggap sebagai ujian iman yang besar bagi umatnya.

4. لَيْلًا (Lailan): Pada suatu malam

Penekanan waktu 'malam' menunjukkan kecepatan dan dimensi luar biasa dari perjalanan tersebut. Jika perjalanan ini ditempuh dengan alat transportasi biasa (unta), akan memakan waktu setidaknya 40 malam. Mukjizat terjadi karena seluruh jarak ditempuh dalam bagian kecil dari satu malam, mengalahkan hukum fisika yang dikenal manusia.

5. مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ (Min al-Masjidil Haram): Dari Masjidil Haram

Ini adalah titik tolak geografis, pusat spiritualitas pertama umat Islam. Masjidil Haram, dengan Ka’bah di dalamnya, melambangkan asal usul ajaran tauhid sejak zaman Nabi Ibrahim AS. Penamaan Masjidil Haram menegaskan status Makkah sebagai tempat yang disucikan dan aman.

6. إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا (Ila al-Masjidil Aqsa): Ke Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa, yang berarti "masjid terjauh," adalah titik akhir perjalanan Isra’ dan gerbang menuju Mi’raj. Ini adalah kiblat pertama umat Islam dan tempat yang disucikan oleh banyak nabi sebelumnya, termasuk Ibrahim, Musa, dan Isa AS. Masjidil Aqsa berfungsi sebagai penghubung antara warisan kenabian masa lalu dan kenabian Muhammad ﷺ.

7. بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ (Barakna Haulahu): Yang telah Kami berkahi sekelilingnya

Keberkahan ini bersifat ganda: material dan spiritual. Keberkahan material meliputi kesuburan tanah Syam (Levant), yang merupakan lumbung pangan dan tempat air melimpah. Keberkahan spiritual meliputi fakta bahwa kawasan sekitarnya adalah tempat lahir, hidup, dan dakwah sebagian besar nabi Bani Israil. Ini adalah tanah para nabi.

8. لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ (Liyuriya Min Ayatina): Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami

Tujuan utama perjalanan ini. Perjalanan Isra’ Mi’raj bukan hanya untuk menegaskan kenabian, tetapi untuk mempersiapkan Nabi ﷺ secara rohani dengan menyaksikan tanda-tanda kebesaran ilahi (Ayatullah) yang sangat besar. Tanda-tanda ini melampaui alam materi, mempersiapkan beliau untuk menghadapi tantangan dakwah yang lebih berat di masa depan.

Konteks Historis: Tahun Kesedihan (Amul Huzn)

Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa-masa paling kelam dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ. Perjalanan ini berfungsi sebagai ‘hadiah’ dan ‘hiburan’ ilahi setelah serangkaian musibah berat yang dikenal sebagai Tahun Kesedihan (Amul Huzn).

Kesedihan di Makkah

Sebelum Isra’, Nabi ﷺ baru saja kehilangan dua pilar utama dalam hidupnya: istrinya tercinta, Khadijah RA, dan pamannya, Abu Thalib, pelindung beliau dari kekejaman Quraisy. Dengan wafatnya Abu Thalib, perlindungan suku kabilah dicabut, membuat Nabi dan para sahabatnya rentan terhadap penganiayaan fisik dan psikologis. Selain itu, upaya dakwah di Thaif mengalami kegagalan total, di mana beliau dilempari batu hingga terluka.

Dalam kondisi yang sangat tertekan ini, ketika dukungan fisik dan sosial hilang, Allah SWT mengangkat beliau untuk perjalanan spiritual tertinggi. Perjalanan ini menegaskan bahwa meskipun manusia meninggalkannya, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.

Simbol Perjalanan Malam Representasi perjalanan cepat dari Makkah ke Al Aqsa, melambangkan kecepatan Buraq dan dimensi waktu yang ditekuk. Makkah Al Aqsa Buraq

Visualisasi Perjalanan Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.

Signifikansi Dua Masjid Suci

Ayat 1 Surat Al-Isra secara tegas menghubungkan Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Koneksi ini bukan kebetulan, melainkan penegasan bahwa Islam adalah puncak dari seluruh rantai kenabian yang diturunkan Allah.

Masjidil Haram: Titik Awal Tauhid

Masjidil Haram melambangkan permulaan dan pemurnian ajaran. Dengan adanya Ka’bah, ia menjadi pusat penyembahan yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail AS. Perjalanan dimulai dari sini untuk menunjukkan bahwa Islam berakar kuat pada monoteisme murni yang telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim.

Masjidil Aqsa: Warisan Para Nabi

Masjidil Aqsa di Yerusalem (Baitul Maqdis) adalah salah satu dari tiga masjid yang paling dimuliakan dalam Islam (bersama Haram dan Nabawi). Statusnya sebagai 'tempat yang diberkati sekelilingnya' menjadikannya sebagai poros spiritual yang menghubungkan Nabi Muhammad ﷺ dengan nabi-nabi Bani Israil.

Peran Masjidil Aqsa dalam Isra'

  1. Imamatul Anbiya: Di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad ﷺ memimpin shalat berjamaah yang diikuti oleh semua ruh para nabi terdahulu. Peristiwa ini melambangkan penyerahan tongkat estafet kenabian. Muhammad ﷺ diakui sebagai pemimpin dan penyempurna risalah.
  2. Kiblat Pertama: Masjidil Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam selama periode awal di Madinah, menunjuk pada pengakuan terhadap warisan kenabian Yahudi dan Nasrani sebelum Ka’bah dikembalikan menjadi kiblat utama.

Dengan menghubungkan dua lokasi suci ini, Al-Quran menetapkan batas wilayah spiritual umat Islam, dari Makkah yang didirikan oleh Ibrahim hingga Syam, pusat dakwah Musa dan Isa AS.

Hakekat Perjalanan: Jasad, Ruh, dan Kecepatan Ilahi

Perdebatan mengenai apakah Isra’ Mi’raj terjadi secara fisik (jasad) atau hanya spiritual (ruh) telah ada sejak masa awal Islam. Ayat 1 memberikan jawaban yang kuat dan tegas terhadap perdebatan ini.

Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur)

Mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, termasuk para sahabat, tabi'in, dan mufassirin klasik, berpendapat bahwa perjalanan Isra’ (dari Makkah ke Yerusalem) dilakukan dengan jasad dan ruh secara fisik, dalam keadaan sadar. Argumen utama didasarkan pada:

Implikasi Fisika dan Metafisika

Jika perjalanan fisik terjadi dalam waktu kurang dari satu malam, ini menunjukkan adanya intervensi ilahi terhadap hukum relativitas dan kecepatan. Kendaraan yang digunakan, Buraq (yang namanya berasal dari kata barq, kilat), melambangkan kecepatan yang melampaui cahaya. Ini adalah penegasan bahwa hukum alam tunduk sepenuhnya pada perintah Penciptanya.

Konsep Waktu dalam Isra'

Dalam tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, dijelaskan bahwa peristiwa ini tidak hanya mukjizat jarak, tetapi mukjizat waktu. Nabi ﷺ diangkat ke dimensi di mana waktu tidak bergerak linier seperti di bumi. Beliau kembali ke Makkah sementara tempat tidurnya masih hangat dan air wudhu yang tumpah belum kering, menunjukkan betapa singkatnya waktu yang berlalu di dimensi duniawi.

Tanda-Tanda Kebesaran Ilahi (Min Ayatina)

Tujuan utama perjalanan ini adalah agar Allah memperlihatkan kepada Nabi ﷺ "sebagian dari tanda-tanda Kami" (Min Ayatina). Tanda-tanda ini berfungsi sebagai penguat jiwa dan bekal bagi dakwah yang akan datang.

Tanda-Tanda di Perjalanan Isra'

Meskipun Mi’raj (kenaikan ke langit) memiliki tanda-tanda yang lebih spektakuler, perjalanan Isra’ itu sendiri sudah dipenuhi dengan pemandangan yang mendalam, termasuk:

  1. Melihat Para Nabi: Di Aqsa, beliau bertemu dan shalat bersama para nabi terdahulu, menegaskan bahwa risalah adalah satu, dan beliau adalah penutupnya.
  2. Gambaran Surga dan Neraka: Menurut beberapa riwayat hadis, dalam perjalanan tersebut beliau diperlihatkan gambaran balasan bagi orang-orang yang taat dan hukuman bagi para pelaku dosa besar (seperti pemakan riba, pengumpat, dan pengkhianat amanah).
  3. Tiga Cangkir: Beliau ditawarkan tiga cangkir (anggur, air, dan susu). Beliau memilih susu, yang ditafsirkan sebagai simbol fitrah (kesucian) dan jalan yang lurus (Islam).

Setiap 'Ayat' yang diperlihatkan berfungsi sebagai pelajaran moral dan teologis yang mempersiapkan Nabi ﷺ untuk memimpin umat manusia menuju keadilan dan tauhid.

Tanda-Tanda di Perjalanan Mi’raj (Kenaikan)

Meskipun Mi’raj terjadi setelah Isra’, ia adalah bagian integral dari tujuan "Liyuriya Min Ayatina." Tanda-tanda di Mi’raj meliputi:

Implikasi Syar’i dan Pengaruh Abadi

Ayat Al-Isra 1 bukan hanya narasi sejarah, tetapi juga fondasi yang kuat bagi hukum Islam dan pandangan dunia Muslim.

1. Kedudukan Shalat

Shalat, yang ditetapkan sebagai kewajiban dalam perjalanan ini, adalah tiang agama. Dengan menerima shalat di langit ketujuh, ia dilekatkan dengan martabat spiritual yang tiada banding. Ia menjadi medium bagi setiap mukmin untuk melakukan 'Mi’raj' pribadi, berkomunikasi langsung dengan Penciptanya.

2. Penetapan Hukum Tiga Masjid

Perjalanan ini secara tidak langsung menegaskan kemuliaan tiga masjid yang tidak membutuhkan perjalanan khusus untuk mendapatkan pahala (selain Ka’bah): Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjid Nabawi.

Hadis mengenai perjalanan khusus: "Tidak disiapkan perjalanan (untuk mendapatkan pahala ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa."

3. Perlindungan terhadap Aqsa

Ayat ini memberikan status permanen kepada Masjidil Aqsa sebagai bagian integral dari iman Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memegang teguh amanah untuk melindungi dan memelihara kesucian tanah di sekitar Masjidil Aqsa, karena ia adalah tanah yang 'diberkati sekelilingnya' oleh Allah SWT.

4. Kesatuan Umat dan Risalah

Perjalanan ini menunjukkan bahwa semua nabi membawa risalah yang sama, yaitu tauhid. Muhammad ﷺ adalah penutup dan penyempurna, dan umatnya adalah umat yang mewarisi seluruh ajaran kenabian. Isra’ Mi’raj secara simbolis menyatukan semua nabi di bawah kepemimpinan terakhir.

Penutup Ayat: Innahu Huwas Sami’ul Basir

Ayat ditutup dengan penegasan dua sifat Allah yang Mahatinggi: إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ (Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat).

Penutupan ini sangat relevan dengan konteks ayat:

  1. As-Sami’ (Maha Mendengar): Allah Maha Mendengar segala keluh kesah dan doa Nabi ﷺ di Makkah dan Thaif. Mukjizat Isra’ adalah jawaban langsung terhadap kesabaran dan permohonan hamba-Nya.
  2. Al-Basir (Maha Melihat): Allah Maha Melihat segala penganiayaan yang dialami Nabi ﷺ. Allah juga melihat dengan jelas tujuan dari perjalanan ini dan menyaksikan setiap 'Ayat' (tanda) yang diperlihatkan kepada hamba-Nya.

Klausa penutup ini berfungsi sebagai jaminan dan hiburan. Allah mengetahui kondisi Rasulullah dan meresponnya dengan mukjizat yang melampaui imajinasi, membuktikan bahwa meskipun seluruh dunia menolak, Allah selalu hadir, mendengar, dan melihat.

Masjidil Aqsa dan Ka'bah Visualisasi simbolik yang menghubungkan dua masjid suci, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Masjidil Haram Masjidil Aqsa

Representasi Simbolis Dua Masjid Suci yang Terhubung oleh Peristiwa Isra'.

Pelajaran Abadi dari Al-Isra Ayat 1

Kajian mendalam tentang ayat ini memberikan warisan spiritual, hukum, dan moral bagi umat Islam sepanjang masa:

Ketahanan dan Ketergantungan Total kepada Allah (Tawakkal)

Perjalanan ini menunjukkan bahwa ketika semua dukungan duniawi hilang, dukungan ilahi datang dalam bentuk yang tak terduga dan melampaui segala batas. Ini adalah pelajaran bagi setiap mukmin yang menghadapi kesulitan: Kesabaran akan selalu dibalas dengan anugerah yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.

Martabat Kemanusiaan (‘Abd)

Penekanan pada gelar 'Hamba-Nya' mengajarkan bahwa kehormatan tertinggi terletak pada ketaatan dan penyerahan diri total. Kekuatan seorang Muslim bukanlah pada kekayaan atau kekuasaan, melainkan pada keikhlasan dalam beribadah.

Pentingnya Tanah Suci

Ayat ini menanamkan pengakuan dan penghormatan mendalam terhadap Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan seluruh wilayah Syam yang diberkati. Ini adalah pengakuan atas sejarah kenabian yang panjang dan tanggung jawab umat Islam untuk menjaga situs-situs suci ini.

Realitas Mukjizat dan Kekuatan Allah

Al-Isra’ adalah penegasan kuat terhadap sifat Mahakuasa Allah (Subhana). Mukjizat adalah nyata, dan keterbatasan akal manusia tidak boleh membatasi keyakinan akan kemampuan mutlak Sang Pencipta. Hal-hal yang mustahil secara fisik adalah mungkin melalui kehendak Allah.

Sebagai kesimpulan, Surat Al-Isra Ayat 1 adalah permulaan dari sebuah narasi suci yang mendefinisikan kembali hubungan antara langit dan bumi, waktu dan ruang, dan antara Allah SWT dan hamba-Nya yang paling mulia, Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini, dengan segala detail tafsir dan implikasinya, tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas bagi seluruh umat manusia.

🏠 Kembali ke Homepage