Dalam rangkaian perintah dan larangan yang membentuk fondasi moralitas dan keadilan sosial dalam Islam, Surah Al-Isra menempati posisi yang sangat penting. Ayat ke-26, khususnya, merangkum empat pilar utama yang mendefinisikan hubungan seorang Muslim dengan harta benda dan masyarakatnya. Ayat ini bukan sekadar anjuran; ia adalah blueprint untuk menciptakan ekosistem sosial yang berkeadilan, di mana hak-hak individu, terutama mereka yang rentan, terjamin, sementara nafsu untuk berlebih-lebihan dikekang.
Terjemahan dari ayat tersebut berbunyi: "Dan berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." Ayat yang singkat namun padat ini memuat instruksi ganda: perintah untuk memberi dan larangan untuk memboroskan. Dua aspek yang saling melengkapi ini adalah kunci bagi pengelolaan harta secara spiritual dan etis. Artikel ini akan mengupas tuntas empat elemen fundamental dalam ayat Al-Isra 26 ini, merunut makna mendalam, implikasi hukum, serta relevansinya dalam kehidupan kontemporer.
Perintah pertama dalam ayat ini diarahkan kepada "Dzu al-Qurba," yakni kerabat dekat atau sanak famili. Penekanan pada kerabat sebelum pihak lain adalah refleksi dari prinsip Islam yang meletakkan tanggung jawab sosial utama pada lingkaran terdekat seseorang. Sebelum menoleh jauh, kebaikan haruslah bermula dari rumah dan keluarga. Hak kerabat di sini mencakup lebih dari sekadar dukungan finansial; ia juga menyiratkan hak mereka atas kasih sayang, perhatian, dan pemeliharaan hubungan baik (silaturahim).
Memberikan "haknya" kepada kerabat berarti memenuhi kebutuhan dasar mereka yang mungkin berada di bawah garis kemiskinan atau membutuhkan pertolongan. Para ulama sepakat bahwa jika kerabat terdekat—seperti orang tua, anak, atau saudara kandung—berada dalam kesulitan dan seseorang memiliki kemampuan finansial lebih, memberikan nafkah atau bantuan menjadi kewajiban yang didahulukan di atas sedekah kepada orang lain. Kewajiban ini merupakan jaring pengaman sosial alami yang pertama. Tanpa adanya kewajiban ini, individu cenderung mengabaikan tanggung jawab di lingkungan terdekat mereka, yang pada akhirnya akan merusak kohesi sosial pada skala yang lebih besar.
Konsep Dzu al-Qurba tidak hanya terbatas pada garis keturunan lurus (ascendants dan descendants), tetapi meluas kepada kerabat yang memiliki ikatan darah kuat. Kualitas hubungan ini dihargai tinggi dalam syariat, bahkan dijanjikan pahala ganda bagi mereka yang bersedekah kepada kerabat yang membutuhkan: pahala sedekah dan pahala menjaga silaturahim. Ini adalah motivasi spiritual yang kuat untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di luar lingkungan keluarga, tetapi juga memperkuat fondasi internal komunitas.
Kepatuhan terhadap perintah ini mencegah fenomena di mana seseorang tampak dermawan di mata publik namun mengabaikan kebutuhan mendesak anggota keluarganya sendiri. Ayat ini mengajarkan prioritas: kebaikan dimulai dari dalam, dari inti unit sosial yang paling mendasar, yaitu keluarga besar. Pelaksanaan hak ini adalah ujian pertama bagi keimanan seseorang dalam mengelola kekayaan yang diberikan oleh Tuhan. Jika seseorang gagal menunaikan hak kerabat, mustahil ia mampu menunaikan hak masyarakat secara luas dengan tulus. Kewajiban moral ini adalah prasyarat untuk keadilan sosial yang lebih luas.
Pengabaian hak kerabat, di sisi lain, dianggap sebagai salah satu dosa besar. Memutus tali silaturahim merusak ikatan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan. Oleh karena itu, bagian pertama dari Al-Isra 26 ini berfungsi sebagai mandat etis untuk membangun kekayaan keluarga yang sehat dan saling mendukung, sebuah sistem gotong royong yang diinstitusikan oleh agama itu sendiri. Kekuatan sebuah masyarakat seringkali diukur dari seberapa baik ia merawat anggotanya yang paling lemah, dan dalam konteks ini, anggota keluarga yang rentan adalah garis pertahanan pertama yang harus dijamin.
Walaupun sering diinterpretasikan secara finansial, hak kerabat juga mencakup dimensi non-materiil. Ini termasuk memberikan dukungan emosional, meluangkan waktu, mengunjungi mereka saat sakit, menghadiri acara penting mereka, dan memberikan nasihat yang baik. Kekayaan emosional dan sosial ini seringkali lebih berharga daripada bantuan materi semata. Dalam konteks modern, di mana mobilitas sosial dan geografis sering memisahkan keluarga, perintah untuk memberikan hak kerabat menuntut upaya ekstra untuk mempertahankan koneksi, mungkin melalui teknologi atau kunjungan terjadwal.
Keseimbangan dalam memberikan hak ini juga penting. Seorang Muslim tidak boleh memberikan hak kerabat hingga ia sendiri jatuh ke dalam kesulitan, namun ia juga tidak boleh menimbun kekayaan sementara kerabatnya menderita kelaparan atau kekurangan. Keseimbangan inilah yang menunjukkan kebijaksanaan dalam pengelolaan rezeki. Ulama fikih telah menetapkan batasan-batasan yang jelas mengenai sejauh mana kewajiban nafkah wajib, yang biasanya berhubungan dengan kerabat sedarah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri.
Setelah hak kerabat, perhatian diarahkan kepada kaum miskin. Istilah al-Miskin seringkali digunakan bergantian dengan al-Faqir dalam literatur Islam, namun banyak ahli fikih membedakan keduanya, di mana miskin merujuk pada mereka yang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan pokok, sementara faqir adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki harta atau penghasilan. Terlepas dari perbedaan definisi spesifik, ayat Al-Isra 26 ini secara umum mencakup semua orang yang hidup dalam kesulitan ekonomi dan membutuhkan bantuan.
Perintah untuk memberikan hak kaum miskin menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah milik eksklusif individu yang menguasainya, melainkan memiliki dimensi sosial. Sebagian dari harta yang dimiliki oleh orang kaya sesungguhnya adalah hak orang miskin yang harus didistribusikan. Prinsip ini adalah jantung dari keadilan ekonomi Islam. Jika kekayaan hanya berputar di kalangan orang kaya, masyarakat akan terbelah, kecemburuan sosial meningkat, dan pada akhirnya, stabilitas komunitas terancam.
Hak kaum miskin di sini tidak hanya terpenuhi melalui Zakat (yang merupakan kewajiban tahunan yang terstruktur), tetapi juga melalui bentuk-bentuk sedekah dan pemberian sukarela lainnya, serta komitmen moral untuk membantu mereka yang membutuhkan secara langsung dan segera. Zakat adalah hak yang terinstitusionalisasi, namun perintah dalam Al-Isra 26 ini berbicara tentang tanggung jawab sosial yang lebih luas dan terus-menerus. Ia mendorong sensitivitas terhadap penderitaan orang lain dan respons cepat terhadap kebutuhan yang timbul di luar struktur formal Zakat.
Pemberian hak kepada kaum miskin adalah indikator kesehatan spiritual dan moralitas seseorang. Individu yang menimbun harta dan menutup mata terhadap kemiskinan di sekitarnya telah gagal memahami tujuan utama dari rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Harta seharusnya menjadi alat untuk beribadah dan membangun masyarakat yang adil, bukan sekadar simbol status atau sumber kebanggaan yang berlebihan. Keterlibatan aktif dalam mengatasi kemiskinan adalah bentuk ibadah yang sangat ditekankan.
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya distribusi kekayaan secara merata agar tidak terjadi konsentrasi yang ekstrem. Memberikan hak mereka berarti tidak menunggu mereka datang meminta, tetapi proaktif dalam mencari tahu siapa yang membutuhkan bantuan di lingkungan sekitar. Hal ini menuntut adanya mekanisme sosial yang efektif, baik formal maupun informal, untuk mengidentifikasi dan mendukung kelompok rentan. Dalam masyarakat yang ideal, tidak ada seorang pun yang menderita kelaparan sementara yang lain hidup dalam kemewahan yang tak terbatas. Perbedaan status ekonomi memang ada, namun jurang pemisah yang lebar antara si kaya dan si miskin adalah tanda kegagalan etika sosial.
Tanggung jawab terhadap kaum miskin ini membawa dimensi spiritual yang mendalam. Mereka yang membantu fakir miskin sesungguhnya membantu diri mereka sendiri dalam membersihkan hati dari sifat kikir dan sombong. Kekayaan yang dibagikan adalah kekayaan yang diberkati, sedangkan kekayaan yang ditimbun tanpa menunaikan hak sosialnya dapat menjadi sumber bencana, baik di dunia maupun di akhirat. Fokus pada hak kaum miskin ini mencerminkan pandangan holistik Islam terhadap kemakmuran, di mana kemakmuran sejati adalah kemakmuran bersama.
Keberadaan kaum miskin dalam masyarakat bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan elemen yang menantang dan memurnikan bagi mereka yang memiliki kelebihan. Mereka adalah penerima hak, tetapi juga subjek yang harus diperlakukan dengan penuh martabat. Islam melarang pemberian sedekah yang disertai dengan cemoohan atau penghinaan, karena hal itu merusak nilai spiritual dari tindakan memberi itu sendiri. Memberikan hak kepada kaum miskin harus dilakukan dengan ihsan (kesempurnaan dan kebaikan), mengakui martabat mereka sebagai sesama manusia.
Lebih jauh lagi, pemberian ini harus diarahkan pada solusi jangka panjang, bukan sekadar bantuan sesaat. Walaupun bantuan darurat (seperti makanan dan tempat tinggal) adalah wajib, visi ideal adalah membantu kaum miskin menjadi mandiri. Dalam konteks modern, ini berarti memberikan akses pendidikan, pelatihan keterampilan, atau modal usaha, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam perekonomian. Kewajiban yang terkandung dalam Al-Isra 26 ini mencakup spektrum penuh dari bantuan karitatif hingga investasi sosial yang transformatif.
Elemen ketiga yang diamanatkan dalam ayat ini adalah memberikan hak kepada Ibn as-Sabil, yang secara harfiah berarti "anak jalan" atau musafir/orang yang dalam perjalanan. Dalam konteks klasik, ini merujuk pada para pelancong yang kehabisan bekal, terdampar jauh dari rumah, meskipun mereka mungkin kaya di tempat asalnya. Keadaan ini menempatkan mereka dalam posisi rentan dan membutuhkan bantuan untuk melanjutkan perjalanan atau kembali ke rumah.
Penempatan hak musafir sejajar dengan hak kerabat dan kaum miskin adalah luar biasa. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial melampaui batas geografis atau ikatan kekeluargaan. Ayat ini mendorong solidaritas yang bersifat universal. Seseorang yang sedang dalam perjalanan dan mengalami kesulitan, apa pun status asalnya, berhak atas dukungan dari komunitas tempat ia singgah. Ini adalah manifestasi dari etos hospitalitas yang kuat dalam Islam.
Dalam perspektif yang lebih luas dan kontemporer, hak Ibn as-Sabil dapat diinterpretasikan untuk mencakup:
Inti dari perintah ini adalah bahwa kemiskinan dan kesulitan bisa bersifat sementara atau kontekstual. Musafir mungkin adalah seorang dermawan besar di kotanya, tetapi dalam perjalanan, ia menjadi penerima bantuan. Ini mengajarkan kerendahan hati kepada semua pihak dan memastikan bahwa sistem sosial memiliki jaring pengaman yang melayani setiap individu yang mengalami dislokasi atau keterasingan. Tanggung jawab ini menuntut masyarakat untuk membuka diri dan memberikan perlindungan kepada orang asing yang terdampar.
Kewajiban terhadap musafir menekankan bahwa harta yang kita miliki adalah amanah, dan penggunaannya harus fleksibel untuk merespons kebutuhan yang tidak terduga, termasuk kebutuhan orang yang tidak dikenal. Dengan menunaikan hak musafir, umat Islam secara kolektif berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan kelancaran mobilitas yang sah, baik untuk perdagangan, pendidikan, atau tujuan religius (seperti haji). Ini adalah kontribusi fundamental untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan terhubung.
Bantuan yang diberikan kepada musafir haruslah yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan tujuannya—baik kembali pulang atau mencapai destinasi yang dituju. Ini bisa berupa biaya transportasi, makanan, atau tempat tinggal sementara yang layak. Memberikan hak musafir adalah bentuk ibadah yang melampaui batas-batas kenegaraan, mengajarkan umat bahwa mereka adalah bagian dari satu kesatuan global yang saling bertanggung jawab. Dalam tradisi Nabi Muhammad, keramahan terhadap tamu, termasuk musafir, adalah bagian tak terpisahkan dari iman.
Prinsip ini sangat relevan dalam dunia yang semakin terglobalisasi. Saat ini, perbatasan politik seringkali menjadi penghalang, namun etika Al-Isra 26 menuntut bahwa kebutuhan dasar seorang musafir yang terdampar harus diutamakan di atas pertimbangan lain, menegaskan bahwa kemanusiaan dan solidaritas melintasi batas-batas identitas dan kewarganegaraan. Kehadiran musafir dalam ayat ini melengkapi spektrum penerima manfaat, mulai dari yang terdekat (kerabat) hingga yang paling jauh (orang asing yang terdampar), membentuk sebuah lingkaran distribusi kekayaan yang sempurna.
Setelah tiga perintah positif untuk memberi, ayat Al-Isra 26 ditutup dengan larangan yang tegas: "dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." Larangan ini, yang dikenal sebagai Tabdzir, adalah elemen krusial yang mengimbangi perintah memberi. Tujuannya adalah memastikan bahwa pemberian dilakukan dengan bijaksana dan bukan berasal dari sisa-sisa yang tidak terkelola atau harta yang didapatkan dengan cara boros.
Penting untuk membedakan antara Tabdzir (pemborosan) dan Israf (berlebihan/melampaui batas).
Larangan pemborosan memiliki implikasi yang luas, jauh melampaui sekadar masalah keuangan pribadi. Ia mencakup etika konservasi sumber daya:
Larangan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa hak kerabat, miskin, dan musafir tidak dapat dipenuhi jika seseorang tidak mampu mengelola hartanya sendiri secara bijak. Pemborosan adalah kebalikan dari rasa syukur. Orang yang boros menunjukkan bahwa ia tidak menghargai nilai dari rezeki yang diberikan Tuhan, dan oleh karena itu, ia cenderung gagal dalam menunaikan hak-hak sosial yang melekat pada rezeki tersebut.
Al-Isra 26 menempatkan keseimbangan antara memberi dan menjaga. Seorang Muslim diperintahkan untuk memberi dengan murah hati, tetapi pada saat yang sama, ia dilarang menggunakan kekayaan yang tersisa untuk kesenangan pribadi yang sia-sia atau merusak. Ini adalah prinsip al-Qasd (moderasi) dalam membelanjakan harta. Hidup yang moderat memastikan bahwa sumber daya tetap tersedia untuk memenuhi kewajiban sosial dan kebutuhan mendesak di masa depan.
Larangan Tabdzir ini juga menjadi kritik keras terhadap budaya konsumerisme yang berlebihan. Dalam masyarakat kontemporer, di mana iklan mendorong konsumsi tanpa batas dan cepatnya pergantian tren, perintah ini menuntut adanya kesadaran kritis terhadap setiap pengeluaran. Apakah pengeluaran ini bermanfaat? Apakah ini menunaikan hak? Jika tidak, maka itu berpotensi masuk dalam kategori pemborosan yang dilarang keras. Etika konservasi ini adalah kunci untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan dan adil.
Ayat Al-Isra 26 adalah cetak biru abadi untuk keadilan sosial. Dalam dunia modern yang kompleks, ayat ini menawarkan solusi yang relevan terhadap berbagai masalah, mulai dari kesenjangan ekonomi hingga krisis lingkungan. Keempat pilar—kerabat, miskin, musafir, dan konservasi—harus diterapkan melalui lensa realitas masa kini.
Di era kapitalisme global, kesenjangan antara si kaya dan si miskin mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perintah dalam Al-Isra 26 menantang asumsi bahwa akumulasi kekayaan adalah tujuan akhir. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kekayaan individu memiliki fungsi sosial yang melekat. Konsep "hak" kaum miskin harus diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang adil, sistem pajak yang progresif, dan, yang paling penting, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang berbasis etika.
Perusahaan-perusahaan besar, yang merupakan agregasi dari kekayaan individu, juga harus menunaikan "hak" kaum miskin dan kerabat, tidak hanya melalui sumbangan filantropis yang dangkal, tetapi melalui praktik bisnis yang adil—memberi upah yang layak, memastikan lingkungan kerja yang aman, dan berinvestasi di komunitas lokal. Ayat ini mengubah pemberian amal dari tindakan opsional menjadi kewajiban sistemik. Kegagalan menunaikan hak-hak ini pada skala makro akan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan politik.
Larangan Tabdzir (pemborosan) mendapatkan makna baru yang mendesak di hadapan krisis iklim. Boros tidak hanya berarti menyia-nyiakan uang, tetapi juga menyia-nyiakan sumber daya alam yang terbatas. Konsumsi berlebihan, produksi limbah yang tidak perlu, dan eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan adalah manifestasi modern dari Tabdzir. Ketika sumber daya alam diboroskan, hak generasi mendatang (Dzu al-Qurba masa depan) dan hak makhluk hidup lain (yang termasuk dalam tanggung jawab umum seorang khalifah) terlanggar.
Ayat ini mendorong gerakan menuju kehidupan minimalis dan berkelanjutan, di mana setiap pembelian dan penggunaan energi dipertimbangkan secara etis. Ketaatan pada larangan Tabdzir adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan ekologis. Tidak ada pembenaran dalam Islam bagi pemborosan yang merusak bumi, karena bumi itu sendiri adalah amanah yang harus dilestarikan. Borosnya negara-negara maju dalam konsumsi energi dan barang mewah, sementara negara-negara miskin menderita dampak perubahan iklim, adalah pelanggaran besar terhadap etika distribusi yang diajarkan oleh Al-Isra 26.
Ibn as-Sabil (musafir) hari ini sering kali adalah pengungsi perang, korban bencana, atau pekerja migran yang terpisah dari keluarga. Ayat ini menuntut komunitas Muslim dan negara-negara untuk berperan aktif dalam menyediakan tempat berlindung, kebutuhan dasar, dan penghormatan martabat bagi mereka yang terlantar. Tanggung jawab ini tidak terbatas pada satu negara; ia adalah kewajiban transnasional. Membantu musafir di era ini adalah tindakan kemanusiaan yang konkret dan langsung menunaikan perintah Ilahi. Ini menentang sentimen xenofobia dan nasionalisme sempit yang cenderung mengabaikan penderitaan orang luar.
Oleh karena itu, Surah Al-Isra 26 bukanlah sekadar ajaran moral pribadi; ia adalah cetak biru untuk tata kelola sosial yang adil dan beretika. Ia membangun sistem di mana setiap individu memiliki nilai, setiap harta memiliki kewajiban, dan setiap tindakan harus diukur berdasarkan manfaat dan keadilannya. Menunaikan hak kerabat, miskin, dan musafir, sambil menghindari pemborosan, adalah jalan menuju kemakmuran spiritual dan material yang seimbang. Kepatuhan terhadap ayat ini adalah refleksi nyata dari pemahaman seorang hamba atas konsep Tauhid: mengakui bahwa segala rezeki berasal dari Allah, dan oleh karena itu, harus digunakan sesuai kehendak-Nya, yaitu untuk menegakkan keadilan di muka bumi.
Ayat selanjutnya dalam Al-Isra (ayat 27) memberikan peringatan yang sangat keras terhadap pemborosan, menghubungkannya secara langsung dengan sifat-sifat setan: "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." Keterkaitan yang ekstrem ini menunjukkan betapa seriusnya pandangan Islam terhadap Tabdzir. Pemborosan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi merupakan penyakit spiritual yang mendalam.
Ketika seseorang digambarkan sebagai "saudara syaitan," itu bukan sekadar kiasan. Ini berarti bahwa perilaku pemborosan—yaitu penggunaan sumber daya dengan cara yang sia-sia dan destruktif—mencerminkan tujuan syaitan: kekacauan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap nikmat Tuhan. Syaitan ingin manusia mengingkari nikmat Tuhan dengan cara menggunakannya secara serampangan. Pemboros melakukan hal yang sama; ia tidak menghargai rezeki dan menggunakannya tanpa rasa tanggung jawab, padahal rezeki tersebut seharusnya bisa menunaikan hak kerabat, miskin, dan musafir.
Sifat Tabdzir menumbuhkan keangkuhan dan ketidakpekaan sosial. Orang yang boros cenderung hanya memikirkan kepuasan instan dan nafsu pribadi, mengabaikan fakta bahwa sumber daya yang ia sia-siakan bisa menjadi penyelamat hidup bagi orang lain. Dengan demikian, pemborosan adalah antitesis dari keadilan dan kasih sayang yang diperintahkan oleh Islam. Ini adalah sebuah dosa yang merusak tatanan sosial dari dalam.
Etika harta Islam berjuang melawan dua ekstrem:
Oleh karena itu, setiap Muslim dituntut untuk menjadi pengelola sumber daya yang sangat hati-hati, memahami bahwa setiap tetes air, setiap butir nasi, dan setiap sen uang adalah anugerah yang harus dipertanggungjawabkan. Kegagalan dalam konservasi adalah kegagalan spiritual. Ayat ini secara efektif mengangkat masalah pengelolaan harta dari urusan duniawi semata menjadi urusan ibadah yang terikat erat dengan keimanan.
Kekuatan Al-Isra 26 terletak pada integrasinya antara perintah hukum yang mengikat (seperti nafkah wajib kepada kerabat) dan dorongan moral yang tinggi (seperti sedekah sukarela dan menghindari pemborosan). Ayat ini tidak hanya menetapkan standar apa yang harus diberikan, tetapi juga bagaimana harta yang tersisa harus digunakan.
Kewajiban terhadap kerabat adalah garis pertama pertahanan ekonomi. Fokus pada Dzu al-Qurba memastikan bahwa sebelum pemerintah atau lembaga sosial perlu turun tangan, jaringan keluarga telah berupaya semaksimal mungkin. Sistem ini mengurangi beban pada negara dan memperkuat ikatan kekeluargaan. Dalam masyarakat di mana nilai-nilai keluarga terkikis, perintah ini berfungsi sebagai pengingat mendasar akan pentingnya ikatan darah dan tanggung jawab timbal balik. Kewajiban nafkah wajib adalah manifestasi hukum dari hak ini, namun kewajiban moral untuk menjenguk, membantu saat krisis, dan memberikan dukungan emosional memperluas cakupan hak tersebut.
Para fuqaha (ahli fikih) secara rinci membahas siapa saja yang termasuk dalam kategori kerabat yang wajib diberi nafkah berdasarkan kedekatan dan kemampuan finansial. Kesepakatan umumnya adalah bahwa hak kerabat ini melampaui hak Zakat dalam beberapa situasi, karena kewajiban kerabat (nafkah) didasarkan pada hubungan darah yang tak terputus, sedangkan Zakat didasarkan pada kepemilikan harta. Kejelasan hukum ini memberikan struktur pada perintah moral Al-Isra 26. Kegagalan menunaikan nafkah wajib kepada kerabat yang membutuhkan dapat menghasilkan gugatan hukum, menunjukkan bahwa perintah ini memiliki dimensi penegakan yang serius dalam syariat.
Hak kaum miskin memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang produktivitas atau status sosialnya, memiliki bagian yang layak dari kekayaan masyarakat. Ini mencegah stagnasi modal, mendorong sirkulasi uang, dan meningkatkan daya beli. Jika sebagian besar harta terkonsentrasi pada segelintir orang, permintaan agregat akan turun, dan ekonomi akan melambat. Dengan memberikan hak kaum miskin, Al-Isra 26 secara implisit menganjurkan model ekonomi yang dinamis dan inklusif. Pemberian hak ini juga berfungsi sebagai katup pengaman sosial, meredakan ketegangan yang disebabkan oleh kesenjangan yang mencolok.
Interpretasi modern hak kaum miskin juga harus mencakup akses terhadap pelayanan publik yang berkualitas, seperti kesehatan dan pendidikan. Jika seseorang memiliki kekayaan, tanggung jawabnya bukan hanya memberikan uang tunai, tetapi juga mendukung infrastruktur sosial yang memungkinkan kaum miskin untuk bangkit dari kemiskinan secara permanen. Ini adalah pergeseran dari amal pasif menjadi investasi sosial yang aktif dan transformatif. Keterlibatan dalam wakaf produktif, misalnya, adalah cara untuk menunaikan hak ini secara berkelanjutan.
Musafir adalah simbol kerentanan universal. Siapa pun bisa menjadi musafir yang membutuhkan. Menunaikan hak mereka adalah praktik etika antarbudaya yang penting. Dalam sejarah Islam, banyak lembaga (seperti wakaf untuk sabilillah atau tempat singgah) didirikan semata-mata untuk melayani musafir. Kewajiban ini memperkuat identitas komunitas yang terbuka, ramah, dan siap membantu mereka yang berada dalam transisi atau kesulitan. Hak musafir mengajarkan umat untuk melihat melampaui batas-batas suku dan kelompok.
Tabdzir adalah masalah moral yang paling penting untuk diatasi karena ia meracuni jiwa. Sifat boros mencerminkan ketidaksabaran, keserakahan, dan kekurangan iman terhadap jaminan rezeki Tuhan. Ketika larangan ini ditempatkan berdampingan dengan perintah memberi, pesan menjadi sangat jelas: gunakan apa yang kamu miliki dengan hati-hati agar kamu punya cukup untuk dibagikan.
Kepatuhan terhadap larangan ini menuntut introspeksi konstan mengenai motivasi pengeluaran. Apakah pembelian ini didorong oleh kebutuhan, atau sekadar keinginan untuk pamer atau mengejar tren? Jika tujuannya adalah pamer atau kesia-siaan, maka itu adalah Tabdzir. Filosofi di balik larangan ini adalah bahwa rezeki itu suci, dan penggunaannya haruslah mulia. Mengubah orientasi hidup dari konsumsi berlebihan menjadi kebermanfaatan adalah inti dari etika Al-Isra 26.
Secara keseluruhan, Al-Isra 26 adalah sebuah undang-undang moral yang komprehensif. Ia memetakan jalur yang seimbang antara altruisme dan manajemen diri, antara kewajiban kepada keluarga dan kewajiban kepada masyarakat yang lebih luas, dan antara menikmati rezeki dan menjaga diri dari kesia-siaan. Penerapan ayat ini secara utuh menghasilkan masyarakat yang harmonis, stabil, dan secara intrinsik adil, di mana setiap individu merasa dihargai dan kebutuhan dasarnya terpenuhi, sementara budaya pemborosan yang merusak dikekang secara spiritual dan sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa kekayaan bukan hanya tentang akumulasi, tetapi tentang distribusi yang bertanggung jawab.
Untuk memastikan spirit Al-Isra 26 tetap hidup dan relevan, umat Islam harus terus mengintegrasikan ajarannya dalam setiap aspek kehidupan, baik personal, komunal, maupun institusional. Implementasi berkelanjutan dari ayat ini memerlukan perhatian terhadap detail dalam setiap pilar yang diamanatkan.
Dalam masyarakat modern yang serba cepat, hubungan keluarga sering menjadi korban jarak dan kesibukan. Revitalisasi hak Dzu al-Qurba memerlukan upaya proaktif untuk menjembatani kesenjangan ini. Memberikan hak kepada kerabat kini juga berarti memberikan dukungan profesional, membimbing generasi muda dalam keluarga, dan menggunakan platform digital untuk menjaga koneksi emosional dan spiritual yang kuat. Investasi waktu dan perhatian kepada kerabat yang lebih tua atau yang membutuhkan dukungan mental sama pentingnya dengan dukungan finansial. Fondasi umat yang kuat hanya bisa dibangun di atas ikatan keluarga yang tak terputus.
Menunaikan hak al-Miskin tidak lagi cukup hanya dengan membagikan makanan. Diperlukan inovasi dalam program sedekah dan wakaf. Fokus harus beralih ke:
Konsep Ibn as-Sabil harus terus diperluas untuk mencakup situasi krisis baru. Misalnya, korban bencana alam yang terlantar di daerah lain, atau mereka yang mengalami "keterasingan digital" karena tidak memiliki akses ke teknologi dasar. Tanggung jawab ini menuntut kesiapan logistik dan finansial dari komunitas untuk merespons krisis di luar batas wilayah mereka sendiri, menjadikan umat Islam sebagai kekuatan respons kemanusiaan global. Hak musafir adalah pengingat bahwa empati harus bersifat universal dan responsif terhadap kerentanan, di mana pun ia muncul.
Pilar terakhir, larangan Tabdzir, harus menjadi budaya harian. Ini berarti:
Kepatuhan terhadap Surah Al-Isra ayat 26 merupakan indikator utama dari keimanan yang sejati dan tanggung jawab sosial yang matang. Ayat ini mengajarkan bahwa kekayaan yang diberkahi adalah kekayaan yang telah dibagikan, dikelola dengan bijak, dan dijauhkan dari pemborosan. Ini adalah landasan teologis dan etis untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, seimbang, dan berkelanjutan, yang senantiasa menunaikan hak-hak Ilahi dan hak-hak sesama manusia. Implementasi berkelanjutan dari ayat ini adalah janji untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Keseimbangan yang diajarkan oleh ayat ini adalah sebuah keajaiban retorika Al-Qur'an. Ia tidak hanya menyuruh kita untuk memberi, tetapi juga mendefinisikan batas-batas yang mencegah pemberian itu menjadi sumber kerusakan melalui kebangkrutan pribadi atau kesia-siaan. Dalam setiap kata terkandung hikmah mendalam yang memandu umat menuju sistem hidup yang harmonis. Pengelolaan harta haruslah menjadi jembatan menuju ketaatan, bukan penghalang.
Oleh karena itu, setiap Muslim didorong untuk secara rutin merenungkan isi ayat Al-Isra 26 dan mengaplikasikannya dalam skala mikro maupun makro. Mulai dari meninjau anggaran rumah tangga agar tidak ada pemborosan, hingga memastikan bahwa sumbangan amal diberikan kepada pihak yang paling berhak, terutama kerabat yang membutuhkan dan komunitas miskin. Ketaatan ini adalah pengejawantahan dari rasa syukur atas nikmat yang tak terhingga.
Ayat ini berdiri tegak sebagai pilar keadilan sosial dalam Islam. Ia menuntut tindakan nyata dan konsisten dari setiap individu. Ia menantang kemalasan dalam menunaikan tanggung jawab keluarga dan mengkritik keras keegoisan yang menghalangi distribusi kekayaan. Kepatuhan terhadap Al-Isra 26 adalah investasi jangka panjang dalam integritas moral dan stabilitas sosial umat manusia secara keseluruhan. Kekayaan yang diperoleh dengan susah payah harus disalurkan dengan bijak: memperkuat ikatan keluarga, meringankan beban yang kurang beruntung, membantu mereka yang terdampar, dan dijauhkan dari perilaku pemborosan yang merusak.
Kesejahteraan yang diimpikan oleh Islam tidak akan terwujud tanpa pengamalan penuh dari keempat prinsip ini. Masyarakat yang mengabaikan kerabatnya akan hancur dari dalam. Masyarakat yang membiarkan kaum miskinnya menderita akan memunculkan kekerasan dan revolusi. Masyarakat yang menutup pintunya bagi musafir yang terdampar akan kehilangan solidaritasnya. Dan masyarakat yang boros akan menghancurkan sumber dayanya sendiri. Al-Isra 26 adalah formula yang menjamin keharmonisan di semua lapisan, menjadikannya salah satu ayat terpenting dalam etika kekayaan Islami.
Keutamaan Al-Isra 26 terletak pada penekanan bahwa tanggung jawab finansial bukanlah sesuatu yang sekunder, melainkan inti dari ibadah seorang Muslim. Ini adalah bukti bahwa iman yang benar harus bermanifestasi dalam interaksi sosial dan pengelolaan sumber daya yang adil. Dengan memahami dan menjalankan sepenuhnya amanat yang terkandung dalam ayat yang mulia ini, umat Islam dapat berharap untuk membangun sebuah peradaban yang berlandaskan pada kasih sayang, keadilan, dan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.