Dalam khazanah ajaran Islam, pengelolaan sumber daya, baik itu harta, waktu, energi, maupun potensi diri, adalah bagian integral dari ibadah dan manifestasi rasa syukur. Islam menempatkan keseimbangan dan moderasi, yang dikenal sebagai Iqtisad, sebagai poros utama kehidupan seorang Muslim. Di antara berbagai peringatan keras dalam Al-Qur’an terkait etika konsumsi dan pengeluaran, Surah Al-Isra, ayat 27, berdiri sebagai teguran yang paling tajam dan mendalam.
Ayat ini tidak hanya sekadar melarang pemborosan harta, tetapi juga menghubungkannya dengan kerusakan spiritual yang sangat fundamental—persaudaraan dengan entitas yang paling menentang kebaikan, yaitu setan (syaitan). Pemahaman terhadap makna filosofis dan teologis dari Al-Isra 27 mutlak diperlukan agar seorang mukmin dapat mengarungi kehidupan dunia dengan penuh tanggung jawab, jauh dari jurang kefasikan material dan spiritual.
Ayat yang mulia ini adalah barometer etika bagi umat manusia, mengingatkan bahwa setiap tetes air, setiap butir nasi, dan setiap jam kehidupan yang dianugerahkan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Boros atau Tabdzir, dalam konteks ini, melampaui sekadar kerugian finansial; ia adalah sebuah deklarasi ketidakacuhan terhadap nikmat Allah dan ketaatan kepada bisikan iblis.
Untuk memahami kedalaman peringatan ini, marilah kita simak lafazh suci dari Surah Al-Isra ayat ke-27:
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Ayat ini terdiri dari dua klausa utama yang saling menguatkan, menciptakan sebuah identifikasi yang mengejutkan dan menggetarkan: Al-Mubadzirun (orang-orang yang pemboros) disamakan kedudukannya dengan Ikhwanasy Syayathin (saudara-saudara setan). Klausa kedua memberikan alasan teologis mengapa persaudaraan ini terbentuk: karena setan itu sendiri sangat ingkar kepada Tuhannya (Kafuran).
Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa kata yang sering diterjemahkan sebagai 'boros' atau 'berlebihan', namun memiliki nuansa makna yang berbeda, seperti Israf dan Tabdzir. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Tabdzir, sebagaimana yang dilarang dalam Al-Isra 27, memiliki makna yang lebih spesifik dan lebih parah daripada Israf.
Imam Asy-Syafi'i (rahimahullah) memberikan definisi yang ringkas namun kuat: "Tabdzir adalah menghabiskan harta bukan pada tempatnya yang haq." Ini berarti, jika seseorang menggunakan hartanya untuk maksiat, meskipun hanya sedikit, ia telah menjadi Mubadzir. Jika seseorang menggunakan hartanya secara berlebihan untuk hal yang halal, ia disebut Musrif (orang yang israf), yang juga dilarang, tetapi hukuman spiritual bagi Mubadzir (saudara setan) lebih berat.
Tabdzir mencerminkan sikap tidak menghargai nilai dan fungsi sumber daya yang ada. Sumber daya, dalam pandangan Islam, memiliki fungsi ganda: memenuhi kebutuhan individu dan berkontribusi pada kemaslahatan umat (al-maslahah al-'ammah). Ketika seseorang melakukan Tabdzir, ia telah merusak kedua fungsi tersebut, melanggar hak dirinya, dan hak masyarakat atas sumber daya tersebut.
Meski konteks utama ayat ini sering diinterpretasikan seputar harta, para ulama kontemporer menekankan bahwa Tabdzir harus dipahami secara universal. Tabdzir adalah penyia-nyiaan terhadap segala bentuk anugerah, termasuk:
Peringatan bahwa Al-Mubadzirun adalah saudara setan adalah puncak dari teguran Al-Qur'an. Ini bukan sekadar perumpamaan sosial, melainkan penegasan status spiritual. Persaudaraan di sini bukanlah persaudaraan nasab atau keturunan, melainkan persaudaraan dalam perbuatan, sifat, dan tujuan.
Setan (Iblis) adalah arsitek utama kekufuran, sebagaimana diisyaratkan oleh klausa penutup: "dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya" (Kafuran). Kekufuran (ingkar) di sini berarti tidak mengakui atau tidak mensyukuri nikmat Allah. Seorang mubadzir, dengan menyia-nyiakan harta yang telah diberikan Allah, secara praktis menunjukkan ketidakpedulian dan ingkar terhadap sumber rezeki tersebut.
Ketika seseorang melakukan Tabdzir, dia bertindak seolah-olah sumber daya itu tidak memiliki nilai ilahiah dan tidak ada pertanggungjawaban di baliknya. Sikap ini adalah esensi dari kekafiran praktis.
Tujuan setan adalah menyebarkan kerusakan (Fasad) di muka bumi. Pemborosan, terutama dalam konteks sosial yang lebih luas, menghasilkan kerusakan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketika kekayaan disalurkan ke dalam kesia-siaan, ia gagal memenuhi fungsi ekonomi yang seharusnya—yaitu mendorong pertumbuhan yang adil, memberikan lapangan kerja, atau membantu yang membutuhkan. Mubadzir merusak rantai distribusi kekayaan yang ideal dalam Islam.
Setan tidak memiliki tujuan mulia selain penyesatan. Begitu pula, tindakan Tabdzir adalah tindakan tanpa tujuan yang dibenarkan syariat. Pengeluaran yang sia-sia adalah buah dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Ini menunjukkan bahwa hati si pemboros telah dikuasai oleh dorongan-dorongan sesaat, bukan oleh petunjuk akal dan wahyu. Dalam hal ini, Mubadzir telah menyerahkan akalnya kepada bisikan Syaitan.
Para ulama tafsir menekankan, jika seorang Muslim tahu bahwa setan itu musuhnya yang nyata, dan dia tahu bahwa tujuan setan adalah menghancurkan umat manusia melalui pemborosan, namun ia tetap memilih jalan boros, maka ia telah menjadikan setan sebagai sekutunya, bahkan saudaranya dalam perbuatan.
Konsep Tabdzir yang diturunkan 14 abad yang lalu memiliki relevansi yang luar biasa dalam masyarakat konsumtif saat ini. Jika di masa lalu Tabdzir mungkin terbatas pada pengeluaran yang tidak perlu untuk perjamuan besar atau pakaian mahal, kini Tabdzir merambah ke hampir setiap aspek kehidupan.
Era digital melahirkan bentuk-bentuk Tabdzir yang halus dan massif. Pembelian impulsif, pengeluaran berlebihan untuk hiburan digital yang melenakan, dan kecanduan belanja online yang mengakibatkan penumpukan barang yang tidak terpakai adalah bentuk-bentuk Tabdzir modern yang mengikis kekayaan individu dan menciptakan utang. Menyia-nyiakan bandwidth internet untuk konten yang merusak moral atau membuang waktu secara ekstrem di media sosial yang tidak produktif adalah pemborosan sumber daya energi dan waktu yang harus dipertanggungjawabkan.
Salah satu manifestasi Tabdzir yang paling memprihatinkan adalah dalam pengelolaan makanan. Laporan global menunjukkan tingginya angka pembuangan makanan, bahkan di tengah kelaparan di berbagai belahan dunia. Membuang makanan yang masih layak adalah Tabdzir yang jelas, karena ia menyia-nyiakan hasil panen, energi yang digunakan untuk memproses, dan potensi gizi bagi yang membutuhkan. Sikap ini adalah bentuk paling kasat mata dari ketidakacuhan terhadap rezeki Allah.
Demikian pula, penggunaan air dan listrik secara berlebihan, di luar kebutuhan yang wajar, terutama di wilayah yang menghadapi kelangkaan sumber daya, merupakan Tabdzir terhadap anugerah alam. Etika Islam menuntut kesadaran ekologis; menjadi mubadzir berarti merusak keseimbangan yang telah ditetapkan Allah di alam semesta.
Boros tidak hanya tentang uang. Mubadzir juga bisa menyia-nyiakan hubungan sosial dan emosional. Misalnya, menghabiskan energi emosional untuk permusuhan yang tidak perlu, atau menyia-nyiakan talenta dan kemampuan yang diberikan Allah untuk mengkritik dan mencela tanpa memberikan solusi konstruktif. Tabdzirul Mahabbah (pemborosan kasih sayang) terjadi ketika energi cinta dan kasih sayang disalurkan ke tempat yang dilarang atau disia-siakan dalam konflik yang destruktif.
Jika Tabdzir adalah jalan setan, maka Iqtisad (moderasi atau keseimbangan) adalah jalan Rasulullah SAW dan para nabi. Iqtisad adalah lawan sejati dari pemborosan; ia adalah penempatan segala sesuatu pada porsinya yang tepat.
Iqtisad bukan berarti kikir (bakhil), melainkan menjaga agar pengeluaran berada di tengah-tengah antara boros (Tabdzir) di satu sisi dan kikir di sisi lain. Konsep ini ditegaskan dalam ayat lain di Surah Al-Furqan, yang menjelaskan sifat 'Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang):
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Al-Furqan: 67)
Iqtisad menuntut perencanaan yang matang, kesadaran akan prioritas, dan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Seorang yang Iqtisad adalah seorang yang pandai dalam manajemen aset dan manajemen spiritual.
Ketika umat Muslim menerapkan Iqtisad, kekayaan tidak akan terpusat pada segelintir orang yang boros, melainkan tersebar untuk menggerakkan roda ekonomi yang adil. Tabdzir menyebabkan stagnasi ekonomi dan kesenjangan sosial yang parah. Sebaliknya, Iqtisad menjamin bahwa aset yang ada digunakan untuk pengembangan ilmu, sosial, dan infrastruktur, sesuai dengan tuntutan syariah.
Iqtisad adalah strategi pertahanan diri dari godaan Syaitan. Syaitan selalu berusaha menggiring manusia ke ekstrem, baik ekstrem materialisme (boros) maupun ekstrem kefakiran yang tidak produktif (kikir). Jalan tengah adalah jalan yang selamat.
Klausa penutup ayat Al-Isra 27, "dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya" (وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا), memberikan kunci spiritual mengapa persaudaraan ini begitu berbahaya.
Kata Kafuran adalah bentuk *sighah mubalaghah* (bentuk superlatif) dari kata *Kafir* (ingkar). Ini menunjukkan tingkat ingkar yang ekstrem dan berkelanjutan. Setan tidak hanya sekali ingkar (ketika menolak sujud), tetapi ia terus-menerus dalam keadaan ingkar yang mendalam.
Ketika seorang Mubadzir membuang harta atau nikmat, ia tidak hanya merugikan dirinya, tetapi juga secara implisit meniru sifat dasar setan, yaitu penolakan terhadap kehendak Ilahi. Allah berkehendak agar harta menjadi sarana ibadah dan kebaikan; Mubadzir berkehendak agar harta menjadi sarana pemuasan nafsu tanpa batas.
Keingkaran dalam konteks Tabdzir memiliki beberapa dimensi:
Penyamaan Mubadzir dengan setan adalah sebuah sinyal bahaya bahwa perilaku boros dapat menggerus iman seseorang hingga mencapai tingkat kekafiran praktis, di mana hati tidak lagi merasakan nilai syukur atas nikmat yang diberikan.
Seorang yang boros cenderung menjadi egois. Fokusnya adalah pemuasan diri semata. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan solidaritas sosial. Bagaimana mungkin seseorang menghamburkan ribuan untuk kemewahan yang sia-sia, sementara tetangga atau saudara seiman sedang dilanda kelaparan atau kekurangan fasilitas dasar? Hilangnya empati ini adalah ciri khas setan, yang tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, bahkan menikmati penyesatan yang mengakibatkan penderitaan.
Jika harta adalah nikmat yang harus dipertanggungjawabkan, maka waktu (az-zaman) adalah nikmat yang paling krusial dan tidak dapat dikembalikan. Para ulama sering menafsirkan Tabdzir juga mencakup pemborosan waktu.
Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka berlalu pula sebagian darimu."
Waktu adalah sarana untuk mendapatkan kekayaan abadi di akhirat. Menyia-nyiakannya berarti menyia-nyiakan investasi masa depan yang paling hakiki. Seorang Mubadzir waktu sama seperti seorang yang membuang-buang emas murni. Dalam hal ini, setan berhasil mengalihkan fokus manusia dari tujuan penciptaannya yang mulia.
Kajian mendalam tentang Al-Isra 27 mengharuskan kita untuk mengukur setiap menit kehidupan. Apakah menit ini menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, ataukah ia termasuk dalam kategori yang dibuang (Tabdzir)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan seberapa jauh kita telah menjauhi persaudaraan dengan setan.
Interpretasi mengenai Al-Isra 27 telah menjadi topik sentral dalam literatur etika Islam (Adab) dan Fiqh Ekonomi. Para ulama memberikan penekanan yang berbeda namun saling melengkapi.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya yang monumental menekankan bahwa penyakit Tabdzir berakar dari dua sifat tercela: kebodohan (ketidaktahuan akan hakikat harta dan akhirat) dan kesombongan (keinginan untuk dipuji dan meniru gaya hidup yang tidak sesuai). Al-Ghazali melihat Tabdzir sebagai lawan dari *syukur* dan *zuhud* yang benar (tidak berarti menolak dunia, tetapi tidak diperbudak olehnya).
Menurut Al-Ghazali, orang yang boros telah memutus mata rantai keberkahan, karena harta yang seharusnya menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah justru diubah menjadi tujuan pemuasan nafsu.
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, mengutip pendapat para sahabat dan tabi'in yang menjelaskan bahwa Tabdzir adalah menghabiskan harta dalam maksiat. Beliau menekankan bahwa hubungan 'persaudaraan' dengan setan terjadi karena setan adalah pembuat kerusakan di muka bumi, dan Mubadzir adalah mitra setan dalam perusakan sumber daya. Kerusakan ini juga mencakup penyaluran harta untuk proyek-proyek yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pembiayaan kezaliman atau kemewahan yang melanggar batas syariat.
Dalam fiqh (hukum Islam), larangan Tabdzir ini menjadi dasar bagi hukum Hajr (pembatasan hak) terhadap individu yang terbukti boros. Jika seseorang secara terus-menerus memboroskan hartanya hingga membahayakan dirinya sendiri atau hak ahli warisnya, hakim syar'i memiliki hak untuk membatasi pengelolaannya atas harta tersebut. Ini menunjukkan betapa seriusnya Tabdzir, karena ia dianggap sebagai penyakit sosial dan personal yang memerlukan intervensi hukum.
Pesan Al-Isra 27 jauh melampaui etika pribadi; ia adalah cetak biru untuk masyarakat yang adil. Jika seluruh umat manusia hidup dalam Tabdzir, konsekuensinya adalah kehancuran sistemik.
Ketika sekelompok kecil masyarakat mempraktikkan Tabdzir secara masif, mereka menciptakan jurang pemisah yang lebar dengan kelompok miskin. Keinginan untuk boros mendorong harga-harga kebutuhan naik, menciptakan inflasi gaya hidup, dan menempatkan beban yang tidak semestinya pada kaum dhuafa. Inilah yang dihindari oleh Islam, yang ingin agar kekayaan tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja (sebagaimana firman Allah dalam Al-Hasyr: 7).
Dengan kata lain, Tabdzir adalah penghalang bagi tercapainya keadilan distributif dalam masyarakat. Pemborosan yang dilakukan oleh satu individu secara tidak langsung mengurangi potensi sedekah, zakat, atau investasi yang bisa menolong banyak orang lain.
Di era krisis iklim dan kelangkaan sumber daya, ayat ini menjadi seruan keras terhadap etika lingkungan. Setiap tindakan pemborosan bahan bakar, konsumsi berlebihan, atau produksi sampah yang tidak perlu adalah manifestasi Tabdzir. Allah SWT telah menciptakan alam semesta dalam keadaan seimbang (Mizan), dan Mubadzir adalah orang yang merusak keseimbangan itu.
Konsep persaudaraan dengan setan ini mengingatkan bahwa dampak perbuatan boros kita tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi memiliki bobot moral yang berat di akhirat. Setiap sisa makanan, setiap tetes air yang terbuang, akan menjadi saksi atas ketaatan atau ketidaktaatan kita terhadap prinsip Iqtisad.
Perjuangan melawan Tabdzir adalah perjuangan melawan hawa nafsu yang bekerja sama dengan bisikan Syaitan. Untuk memutuskan persaudaraan yang membinasakan ini, diperlukan pengendalian diri (Mujahadah) yang kuat.
Al-Isra 27 adalah sebuah panggilan universal menuju kehidupan yang penuh makna, jauh dari kehampaan materialisme yang ditawarkan oleh setan. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas dan ekonomi tidak dapat dipisahkan. Orang yang boros adalah orang yang miskin spiritual, tidak peduli seberapa kaya hartanya di dunia. Hanya dengan mengadopsi Iqtisad, kita dapat memastikan bahwa kita berjalan di jalan para hamba Allah yang bersyukur, dan bukan di jalan yang menjerumuskan ke dalam persaudaraan dengan setan yang ingkar.
Pesan abadi dari Al-Isra 27 adalah ajakan untuk menjadi pengelola bumi yang bijaksana, bukan perusak yang tamak. Kekayaan sejati terletak pada keberkahan (barakah) harta, dan keberkahan hanya dapat diraih melalui penggunaan yang sesuai dengan keridhaan Ilahi, yaitu Iqtisad, dan menjauhi segala bentuk Tabdzir.
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata Arab yang sangat tepat. Memahami struktur linguistiknya membantu kita menggali lebih dalam makna teologisnya. Pilihan kata Ikhwanasy Syayathin (saudara setan) dan Kafuran (sangat ingkar) adalah contoh retorika Al-Qur'an yang memiliki dampak maksimal.
Kata "Ikhwan" (bentuk jamak dari "akh") sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan hubungan persahabatan, persekutuan, atau kesamaan sifat. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu bukan sekadar metafora ringan. Ini adalah pernyataan tentang afiliasi esensial. Persaudaraan dalam konteks ini berarti bahwa orang yang boros telah mengadopsi prinsip kerja setan sebagai panduan hidupnya. Mereka memiliki kesamaan tujuan: penggunaan sumber daya untuk kemaksiatan atau kesia-siaan. Setan berinvestasi dalam penyesatan, dan Mubadzir berinvestasi dalam kehancuran diri dan masyarakat.
Jika kita meneliti penggunaan "Ikhwan" dalam ayat-ayat lain, kita dapati ia merujuk pada kesamaan ideologi atau tindakan. Misalnya, "saudara-saudara Yusuf" atau "saudara-saudara 'Ad." Namun, ketika merujuk pada setan, hubungannya menjadi spiritual dan ideologis. Mubadzir secara sadar atau tidak sadar, menjalankan agenda setan, yaitu memisahkan manusia dari kesadaran akan tanggung jawab. Semakin seseorang terperosok dalam Tabdzir, semakin kuat ikatan persaudaraannya dengan Syaitan, karena Syaitan senang melihat manusia menyia-nyiakan nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Seperti yang telah dibahas, *sighah mubalaghah* Kafuran sangat penting. Bentuk ini menunjukkan intensitas dan kelanggengan sifat ingkar. Setan tidak hanya sekali ingkar, tetapi ia menetap dalam kekafirannya. Pengaitannya dengan Mubadzir memberikan pesan: jika pemborosan dibiarkan, ia akan menjadi sifat menetap yang setara dengan kekafiran yang terus-menerus. Ini adalah peringatan bahwa Tabdzir bukan sekadar kesalahan sesaat, melainkan potensi menjadi identitas spiritual yang permanen jika tidak dihentikan.
Pengingkaran ini juga dapat dihubungkan dengan Rabbih (Tuhannya). Setan ingkar kepada Tuhannya, Sumber segala nikmat. Demikian pula, Mubadzir menunjukkan ingkar terhadap Sumber rezeki tersebut. Ia memperlakukan rezeki seolah-olah rezeki itu tidak memiliki Sumber yang harus dihormati dan dituruti kehendak-Nya.
Hukum ekonomi dalam Islam dibangun di atas fondasi moralitas. Al-Isra 27 berfungsi sebagai salah satu pilar utama dari etika ini, memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak terpisah dari tujuan spiritual (Maqashid Syariah).
Dalam Islam, harta (maal) memiliki tiga tujuan utama:
Tabdzir secara langsung menyerang ketiga tujuan ini. Ketika harta dihabiskan untuk hiburan yang melalaikan atau kemewahan yang berlebihan, harta tersebut gagal memelihara agama. Ketika harta dihabiskan untuk kesenangan yang merusak, ia gagal memelihara jiwa dan akal. Oleh karena itu, Mubadzir secara efektif telah menyimpang dari tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Setiap individu Muslim adalah pengelola (khalifah) harta yang ada di tangannya. Pengelolaan ini melibatkan pertanggungjawaban ganda: kepada masyarakat dan kepada Allah SWT. Hadis Nabi SAW menegaskan bahwa di Hari Kiamat, manusia tidak akan beranjak hingga ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan. Ayat Al-Isra 27 memberikan konteks moral yang ketat terhadap pertanyaan kedua: jika harta itu dibelanjakan dalam Tabdzir, jawabannya adalah 'ia dibelanjakan di jalan setan', yang konsekuensinya sangat mengerikan.
Barakah (keberkahan) adalah penambahan kebaikan Ilahi pada sesuatu. Barakah hilang ketika Tabdzir hadir. Berapapun banyak harta yang dimiliki seorang Mubadzir, ia tidak akan pernah merasa cukup, karena keberkahannya telah ditarik. Kekayaan mereka terasa hampa dan selalu mendorong pada pengeluaran yang lebih besar dan lebih sia-sia. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan: semakin boros, semakin kurang bersyukur, semakin kurang bersyukur, semakin hilang keberkahan.
Untuk benar-benar mengatasi Tabdzir, kita harus memahami faktor psikologis yang mendorongnya, yang seringkali dieksploitasi oleh 'saudara' kita, Syaitan.
Pemborosan seringkali bukan didorong oleh kebutuhan intrinsik, melainkan oleh tekanan eksternal: keinginan untuk mengesankan orang lain (riya'), menjaga citra sosial, atau meniru gaya hidup selebritas. Dorongan ini, yang dikenal sebagai konsumerisme, adalah mesin utama Tabdzir modern. Seseorang membeli barang mahal bukan karena ia memerlukannya, tetapi karena ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu membelinya.
Banyak ulama berpendapat bahwa Tabdzir adalah upaya untuk mengisi kekosongan spiritual. Ketika seseorang kehilangan hubungan yang bermakna dengan Tuhannya, ia mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan sensasi sesaat yang ditawarkan oleh kepemilikan material. Namun, kepuasan material selalu sementara, mendorong siklus pengeluaran yang lebih besar dan sia-sia.
Mubadzir mungkin adalah orang yang tidak pernah mengalami kekurangan atau tidak pernah menghargai proses sulitnya mendapatkan rezeki. Anak-anak yang tumbuh tanpa kesadaran akan nilai uang dan sumber daya cenderung menjadi Mubadzir. Pendidikan yang diajarkan oleh Al-Isra 27 harus dimulai sejak dini: menanamkan kesadaran bahwa segala sesuatu memiliki nilai dan batas.
Budaya modern mempromosikan kecepatan dan kebaruan. Mubadzir adalah korban dari kebutuhan konstan akan 'yang terbaru' (newest version) atau 'yang paling cepat'. Hal ini mengakibatkan pembuangan barang yang masih berfungsi sempurna, hanya demi sensasi kepemilikan baru. Ini adalah Tabdzir murni, menghabiskan harta untuk fungsi yang sudah terpenuhi.
Inti ajaran dari Surah Al-Isra ayat 27 harus merasuk ke dalam setiap keputusan mikro dalam kehidupan kita. Larangan Tabdzir adalah panduan praktis untuk mencapai Falah (kesuksesan sejati) di dunia dan akhirat. Boros adalah jalan yang licin menuju ketidakpuasan abadi, sementara Iqtisad menawarkan kedamaian dan keberkahan.
Setiap individu harus menanyakan pada dirinya, apakah pengeluaran yang saya lakukan saat ini mencerminkan rasa syukur ataukah ia adalah ketaatan terselubung kepada bisikan setan? Apakah saya menggunakan rezeki ini untuk tujuan mulia, ataukah untuk kesia-siaan yang akan menjadi penyesalan di Hari Perhitungan?
Peringatan Innal Mubadzirina Kanu Ikhwanasy Syayathin adalah pengingat bahwa tidak ada ruang abu-abu dalam pengelolaan harta. Anda berada di salah satu kubu: kubu Iqtisad yang bersyukur, atau kubu Tabdzir yang ingkar. Pilihan ada di tangan kita, dan konsekuensinya abadi.
Mengakhiri kajian mendalam ini, penting untuk kembali pada esensi tauhid. Semua yang kita miliki adalah milik Allah. Kita hanyalah pemegang amanah sementara. Memboroskan amanah adalah bentuk pengkhianatan spiritual terberat, yang menempatkan pelakunya dalam golongan yang menentang kehendak Ilahi—saudara-saudara setan.
Penerapan ajaran Al-Isra 27 harus menjadi bagian integral dari pendidikan keluarga dan masyarakat. Keluarga adalah benteng pertama melawan budaya konsumtif yang didorong oleh Tabdzir. Orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk menanamkan nilai-nilai Iqtisad.
Anak-anak harus diajarkan bahwa uang saku, mainan, dan sumber daya alam (air, listrik) bukanlah hak absolut untuk dihambur-hamburkan, melainkan amanah. Mereka harus mengerti bahwa membuang makanan atau merusak barang adalah bentuk Tabdzir yang dibenci Allah.
Orang tua harus menjadi model Iqtisad. Jika orang tua sendiri hidup dalam keborosan, sering membeli barang impulsif, atau membuang makanan, maka semua nasihat tentang Al-Isra 27 akan kehilangan maknanya. Keluarga yang menerapkan Iqtisad adalah keluarga yang berorientasi pada nilai, bukan pada penampilan materi.
Penting untuk mengajarkan bahwa di dalam harta kita terdapat hak orang lain. Boros berarti mengurangi porsi yang seharusnya dialokasikan untuk sedekah atau membantu kaum miskin. Kesadaran ini menumbuhkan empati sosial, yang merupakan antitesis dari sifat egois Mubadzir.
Pendidikan anti-Tabdzir adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang bertanggung jawab secara finansial, ekologis, dan spiritual. Jika masyarakat berhasil mengendalikan pemborosan individu, maka fondasi ekonomi umat akan menjadi jauh lebih kuat dan adil.
Mengapa Allah SWT menggunakan istilah "saudara" setan? Analisis teologis menunjukkan bahwa Tabdzir adalah salah satu dosa yang paling efektif dalam melunakkan hati terhadap dosa-dosa lain. Boros mematikan sensitivitas hati (kepekaan spiritual).
Ketika seseorang terbiasa membelanjakan hartanya untuk kesia-siaan atau maksiat, hatinya menjadi keras. Harta yang seharusnya menyucikan jiwa melalui zakat dan sedekah, justru menjadi alat polusi spiritual. Kerugian iman ini terjadi bertahap:
Oleh karena itu, menjauhi Tabdzir adalah perlindungan (Hifzh) terhadap iman kita, melindungi hati dari kekerasan yang disebabkan oleh keterikatan yang berlebihan pada materi fana.
Meskipun Tabdzir adalah dosa individu, ia dipicu dan didukung oleh budaya kolektif. Mengatasi masalah ini memerlukan solusi sosial dan institusional yang berakar pada ajaran Al-Isra 27.
Masyarakat Muslim perlu secara aktif mempromosikan gaya hidup yang menekankan kualitas spiritual daripada kuantitas material. Konsep *Zuhud* yang benar (memiliki dunia di tangan, bukan di hati) harus digalakkan. Ini melawan pesan-pesan iklan yang terus menerus menyarankan kekurangan dan kebutuhan akan barang baru.
Model ekonomi berbagi, seperti penggunaan bersama, daur ulang, dan mengurangi kepemilikan individu atas barang-barang yang jarang dipakai, secara inheren menentang Tabdzir. Ini adalah penerapan Iqtisad di level komunitas, di mana sumber daya dimanfaatkan secara maksimal.
Banyak Tabdzir terjadi dalam konteks perayaan sosial (pernikahan, khitanan, pesta). Islam menganjurkan walimah yang sederhana dan penuh berkah. Masyarakat harus berani kembali ke sunnah, menolak tekanan sosial untuk mengadakan pesta mewah yang seringkali berujung pada pemborosan makanan dan harta yang besar.
Penguatan nilai-nilai ini adalah jihad melawan hegemoni Syaitan dalam bidang konsumsi. Setiap kali seorang Muslim menolak pembelian impulsif, mengurangi sampah makanan, atau menggunakan waktu luangnya untuk kebaikan, ia telah memutuskan satu ikatan persaudaraan dengan setan dan memilih untuk bergabung dengan golongan orang-orang yang bersyukur.
Secara ringkas, ayat 27 Surah Al-Isra adalah kompas moralitas dan etika ekonomi bagi umat manusia. Ia menetapkan batas yang jelas: di satu sisi adalah jalan pertengahan Iqtisad yang membawa pada keridhaan Allah, dan di sisi lain adalah jurang Tabdzir yang membawa pada persaudaraan dengan setan yang sangat ingkar kepada Tuhannya. Pengulangan, elaborasi, dan penanaman nilai-nilai ini dalam setiap sendi kehidupan menjadi keharusan mutlak bagi setiap individu yang mendambakan keselamatan sejati.