Tinjauan mendalam terhadap perintah ilahi untuk menjauhi segala bentuk perbuatan keji.
Surah Al-Isra, yang dikenal juga sebagai Surah Bani Israil, adalah surah Makkiyah yang memuat sejumlah besar fondasi etika dan moralitas dalam Islam. Ayat-ayatnya berfungsi sebagai cetak biru bagi perilaku individu dan tatanan sosial yang adil. Di antara perintah-perintah fundamental tersebut, Surah Al-Isra ayat 32 menempati posisi yang sangat vital karena secara tegas membahas perlindungan terhadap kehormatan diri dan menjaga kemurnian nasab (keturunan).
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)
Perintah ini tidak hanya menggunakan kata larangan umum seperti *wala taf'alu* (jangan kamu lakukan), melainkan menggunakan frasa yang jauh lebih tegas dan komprehensif: *wala taqrabu* (janganlah kamu mendekati). Pilihan kata ini menyimpan kedalaman hikmah syariah yang luar biasa. Larangan untuk ‘mendekat’ menunjukkan bahwa segala langkah, perbuatan, pandangan, atau situasi yang berpotensi menjadi jalan (sarana) menuju perbuatan zina harus dihindari secara mutlak. Ini adalah penerapan prinsip *Sadd adz-dzari'ah* (menutup pintu kerusakan) yang paling fundamental.
Jika Allah hanya melarang perbuatan zina itu sendiri, manusia mungkin akan tergoda untuk menguji batas, mencoba hal-hal yang nyaris mendekati zina namun belum sampai pada definisi hukumnya. Namun, dengan larangan mendekat, Islam memotong akar godaan tersebut. Ini mencakup batasan interaksi sosial, batasan pandangan, batasan ucapan, dan bahkan batasan pikiran yang mengarah pada hawa nafsu yang haram. Perlindungan ini bersifat preventif dan proaktif, memastikan masyarakat tetap berada dalam koridor kesucian.
Ayat ini tidak berhenti pada larangan, tetapi juga memberikan alasan logis dan spiritual mengapa larangan tersebut ditetapkan, menegaskan dua sifat buruk dari perbuatan zina:
Kedalaman perintah *wala taqrabu* mewajibkan kajian yang luas terhadap aplikasi praktis dari prinsip *Sadd adz-dzari'ah* (penutupan sarana/jalan). Prinsip ini adalah inti dari hukum pencegahan Islam. Jika sesuatu yang pada dasarnya mubah (boleh) dapat secara pasti atau kuat mengarah kepada yang haram, maka hal mubah tersebut juga dilarang.
Langkah pertama menuju zina seringkali dimulai dari pandangan mata. Allah memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan mereka (QS. An-Nur: 30-31). Pandangan yang dilepaskan tanpa batas adalah benih pertama yang ditanamkan oleh syaitan. Ketika pandangan diumbar, ia menumbuhkan pikiran, pikiran menumbuhkan keinginan, keinginan menumbuhkan tekad, dan tekad menuntun pada perbuatan. Oleh karena itu, menundukkan pandangan adalah benteng pertama yang melindungi perintah Al-Isra 32.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pandangan yang dilarang adalah pandangan yang disengaja dan berulang yang disertai syahwat. Pandangan sekilas yang tidak disengaja dimaafkan, tetapi menindaklanjuti pandangan tersebut adalah dosa. Ini menunjukkan betapa Islam menuntut kontrol diri yang absolut. Pandangan adalah duta hati; apa yang dilihat mata akan diproses dan dicatat oleh hati, dan jika tidak dikendalikan, akan memicu keinginan yang dilarang. Kontrol terhadap indra ini merupakan latihan spiritual yang penting, yang mana kegagalannya secara langsung melanggar spirit dari larangan mendekati zina.
Khalwat adalah keadaan di mana seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berada dalam tempat tertutup atau terisolasi tanpa kehadiran pihak ketiga yang sah secara syar'i. Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidaklah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah syaitan." Larangan ini adalah contoh paling jelas dari *Sadd adz-dzari'ah* yang diterapkan secara sosial.
Dalam khalwat, potensi kerusakan sangat tinggi karena hilangnya pengawasan sosial dan hadirnya godaan yang dilepaskan. Bahkan jika niat awalnya murni, situasi tertutup menciptakan lingkungan yang rentan terhadap pelanggaran etika. Menghindari khalwat adalah kepatuhan praktis terhadap ayat "janganlah kamu mendekati zina." Ini berlaku di mana saja, baik di kantor, di dalam kendaraan, atau di rumah yang sepi. Keberadaan syaitan sebagai pihak ketiga bukanlah kiasan semata, melainkan penegasan bahwa dalam kondisi sepi, godaan untuk melanggar batas syariat akan sangat kuat.
Meskipun Islam mengakui perlunya interaksi antara jenis kelamin yang berbeda dalam urusan muamalah (bisnis, pendidikan, kemasyarakatan), interaksi tersebut harus terikat pada adab dan batas-batas ketat. Ikhtilat yang dilarang adalah percampuran yang tidak perlu, yang mengarah pada sentuhan yang tidak dibolehkan, candaan yang berlebihan, dan keakraban yang melampaui batas profesional atau kebutuhan dasar.
Adab-adab ini mencakup menjaga jarak fisik, menjaga kualitas pembicaraan (tidak melembutkan suara bagi wanita), dan memastikan niat interaksi hanya sebatas kebutuhan yang sah. Tujuannya adalah menjaga martabat kedua belah pihak dan mencegah hati terlibat dalam ikatan emosional yang haram yang pada akhirnya bisa menjadi jembatan menuju zina. Pelonggaran dalam adab interaksi seringkali dianggap sepele, padahal ia adalah gerbang lunak yang membuka jalan bagi pelanggaran besar yang dilarang oleh Al-Isra 32.
Para fuqaha (ahli fikih) membahas secara rinci bagaimana suara wanita, meskipun bukan aurat, dapat menjadi fitnah jika dibuat merayu atau dilembutkan secara tidak wajar (*tabarruj bil qaul*). Demikian pula, sentuhan (bersalaman) antara non-mahram dilarang keras, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah R.A., Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita yang bukan mahramnya saat baiat. Pelarangan sentuhan ini adalah tembok pencegahan fisik yang dibangun untuk menghormati dan menjaga kesucian ikatan pernikahan.
Allah SWT menegaskan bahwa zina adalah *fahisyah* (kekejian yang nyata) dan *sa’a sabila* (seburuk-buruk jalan). Penekanan ganda ini menunjukkan bahwa konsekuensi perbuatan tersebut meluas jauh melampaui pelaku tunggal, mempengaruhi seluruh struktur sosial dan spiritual.
Dampak paling krusial dari zina adalah hilangnya kejelasan nasab. Dalam Islam, nasab adalah fundamental. Nasab menentukan hak waris, hak nafkah, siapa yang boleh dinikahi, dan siapa yang menjadi wali. Zina merusak nasab secara total, menciptakan keraguan siapa ayah biologis dari seorang anak, sehingga meruntuhkan hak-hak sah anak tersebut dan mencampuradukkan hubungan kekerabatan. Perlindungan nasab adalah salah satu dari lima tujuan utama Syariah (Maqasid Syariah), dan Al-Isra 32 adalah perisai utamanya.
Anak yang lahir dari zina tidak berhak dinasabkan kepada ayah biologisnya dalam hukum Islam, melainkan hanya kepada ibunya. Ini adalah konsekuensi hukum yang keras yang bertujuan untuk melindungi institusi pernikahan dan menegaskan bahwa prokreasi harus terjadi dalam kerangka ikatan yang sah dan sakral. Perbuatan ini menempatkan beban berat pada anak yang tidak bersalah, merampas haknya atas identitas paternal dan dukungan keluarga yang sah.
Ketika perbuatan zina menjadi umum atau dianggap remeh, rasa malu (*haya'*) akan hilang dari masyarakat. Hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran etika kolektif. Zina menumbuhkan kecurigaan, ketidaksetiaan dalam rumah tangga, dan ketidakstabilan keluarga. Masyarakat yang didominasi oleh perzinahan akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap penyakit menular, kriminalitas, dan minimnya rasa tanggung jawab sosial. *Sa’a Sabila* menekankan bahwa jalan ini membawa masyarakat menuju degradasi.
Meskipun sering digambarkan sebagai pemenuhan hasrat, zina pada kenyataannya meninggalkan kekosongan spiritual dan tekanan psikologis yang parah. Perbuatan haram ini merusak hubungan antara hamba dan Penciptanya. Perasaan bersalah, takut terbongkar, dan hilangnya keberkahan hidup adalah dampak internal yang tak terhindarkan. Zina mereduksi hubungan intim yang seharusnya suci dan penuh kasih sayang (sebagaimana dalam pernikahan) menjadi pemuasan nafsu sesaat, meninggalkan luka emosional yang sulit disembuhkan.
Keseriusan ayat Al-Isra 32 dipertegas oleh Syariat melalui penetapan hukuman (had) yang sangat berat bagi pelakunya. Hukuman ini bukan dimaksudkan untuk kekejaman, melainkan sebagai pencegahan kolektif dan penebusan dosa di dunia, menegaskan bahwa perlindungan kehormatan masyarakat lebih utama daripada kebebasan pribadi yang merusak.
Hukum Islam membedakan hukuman zina berdasarkan status pernikahan pelaku pada saat perbuatan itu dilakukan:
Ketegasan hukuman ini menunjukkan bahwa zina adalah salah satu dari dosa-dosa terbesar (*al-Kaba'ir*). Meskipun demikian, Islam menetapkan standar pembuktian yang sangat tinggi (empat saksi mata yang adil melihat langsung perbuatan tersebut secara eksplisit) atau pengakuan berulang dari pelaku, memastikan bahwa hukuman hanya diterapkan jika kejahatan itu terbukti tanpa keraguan sedikit pun.
Ayat Al-Isra 32 diletakkan dalam konteks larangan lain seperti larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Al-Isra: 33) dan larangan memakan harta anak yatim (Al-Isra: 34). Penempatan zina di antara dosa-dosa besar ini menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkannya sebanding dengan kejahatan merampas nyawa atau harta orang lain. Zina merampas kehormatan, ketenangan jiwa, dan kejelasan nasab, yang nilainya setara dengan nyawa itu sendiri.
Meskipun zina adalah dosa besar, pintu taubat senantiasa terbuka lebar. Bagi mereka yang telah terjerumus, Syariat menekankan perlunya penyesalan yang mendalam (*nadm*), meninggalkan perbuatan tersebut secara total (*iqla'*) dan bertekad untuk tidak mengulanginya (*‘azam*). Bahkan bagi mereka yang dikenakan hukuman dunia, hukuman tersebut berfungsi sebagai pembersih (kafarat), asalkan taubatnya sungguh-sungguh.
Meskipun ayat ini diwahyukan di Makkah, relevansinya semakin tajam di zaman modern, terutama dengan munculnya teknologi dan media sosial yang mempercepat proses ‘mendekati’ zina dengan cara-cara yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Media digital, termasuk pornografi, film, dan gambar yang merangsang, merupakan bentuk paling berbahaya dari ‘mendekati zina’ di era ini. Pornografi secara eksplisit melanggar perintah *ghaddul bashar* (menundukkan pandangan) dan merusak jiwa individu, menjadikannya tiran hawa nafsu. Konsumsi konten haram ini adalah bentuk awal dari *wala taqrabu*, di mana seseorang secara sadar membuka pintu kehancuran moral di ruang pribadinya. Para ulama kontemporer sepakat bahwa melihat konten pornografi adalah perbuatan yang sangat mendekati zina, dan termasuk dalam cakupan larangan ayat 32 ini.
Media sosial dan aplikasi obrolan sering menciptakan apa yang disebut ‘Khalwat Digital’. Obrolan pribadi yang intim, yang melampaui batas kebutuhan, antara non-mahram menghasilkan kedekatan emosional dan ketergantungan yang seharusnya hanya ada dalam ikatan pernikahan. Kedekatan virtual ini, meskipun tanpa kontak fisik, adalah jalan pintas yang sangat cepat menuju *fahisyah* karena ia meruntuhkan penghalang psikologis dan emosional, menjadikan perzinahan fisik hanya tinggal menunggu waktu dan kesempatan.
Budaya kencan (dating) modern pada dasarnya adalah sistem yang melegalkan proses ‘mendekati zina’. Hubungan pacaran, dengan segala bentuk sentuhan, janji, dan keterikatan emosional sebelum akad nikah, secara fundamental melanggar prinsip *wala taqrabu*. Islam hanya mengakui satu jalur interaksi mendalam antara laki-laki dan perempuan, yaitu pernikahan yang sah. Segala upaya membangun hubungan emosional atau fisik di luar bingkai tersebut adalah jalan yang buruk (*sa’a sabila*) karena menempatkan hubungan pada dasar yang rapuh dan haram.
Penerapan Al-Isra 32 di rumah tangga modern membutuhkan pendidikan yang proaktif. Orang tua harus mengajarkan konsep *haya’* (rasa malu) dan batasan aurat sejak dini, serta memantau lingkungan digital anak. Lingkungan rumah yang kondusif, di mana pernikahan dianggap sebagai institusi mulia, adalah pertahanan utama melawan arus budaya yang mendorong pelanggaran batasan suci ini.
Untuk mencapai pemahaman holistik tentang keluasan makna Al-Isra 32, penting untuk menelaah bagaimana para mufassir (ahli tafsir) dari berbagai generasi memahami dan menjabarkan setiap elemen dalam ayat ini. Konsensus para ulama tafsir menegaskan bahwa ayat ini adalah salah satu landasan etika terpenting.
Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam Jami' al-Bayan, menekankan kata *fahisyah*. Menurut Ath-Thabari, zina adalah perbuatan keji yang paling buruk dan hina. Ia menafsirkan bahwa kehinaan tersebut bukan hanya karena ia melanggar perintah Allah, tetapi karena ia merendahkan martabat manusia, menghilangkan fitrah malu, dan menyebabkan kekacauan moral yang merusak. Ath-Thabari juga menyoroti bahwa larangan mendekat meliputi segala jenis tindakan provokatif yang dapat memicu syahwat dan mengarahkan pada perbuatan utama.
Pendekatan Ath-Thabari bersifat menyeluruh, melihat zina sebagai penyakit sosial yang harus diisolasi sejak gejala pertamanya muncul. Beliau mengaitkan larangan ini dengan perintah-perintah moral yang mendahuluinya dalam surah yang sama, menunjukkan konsistensi Syariat dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan terstruktur. Larangan mendekat, baginya, adalah metode perlindungan yang sempurna untuk individu yang jiwanya cenderung lemah di hadapan godaan.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, setelah menjelaskan makna *wala taqrabu*, memperkuat pemahaman ayat tersebut dengan menyertakan banyak hadits Nabi ﷺ yang mendukung prinsip *Sadd adz-dzari'ah*. Beliau mengutip riwayat-riwayat tentang larangan khalwat, larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram, dan perintah *ghaddul bashar*. Penekanan Ibnu Katsir adalah bahwa ayat 32 adalah landasan teologis, sementara Sunnah (Hadits) adalah implementasi praktis dan rinci dari perintah Ilahi tersebut.
Ibnu Katsir juga menekankan bahwa penamaan zina sebagai *sa’a sabila* berarti zina merupakan jalan yang membawa pelakunya kepada dosa-dosa lain yang lebih besar dan menjerumuskan pelakunya pada siksa dunia dan akhirat. Jalan yang buruk ini, menurutnya, tidak hanya mencakup hukuman *had* di dunia, tetapi juga merusak iman dan menjauhkan individu dari ketaatan.
Imam Al-Qurtubi, dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, lebih banyak berfokus pada aspek hukum (fiqih) yang diturunkan dari ayat ini. Beliau membahas secara rinci perbedaan hukuman antara *muhsan* dan *ghairu muhsan*, serta syarat-syarat pembuktian zina. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa konsensus ulama (ijma') menegaskan larangan zina dan bahwa perbuatan tersebut merupakan dosa besar yang tidak dapat dimaafkan hanya dengan istighfar tanpa taubat nasuha.
Al-Qurtubi juga memperluas definisi *fahisyah* dengan memasukkan segala bentuk perbuatan yang dilakukan secara tersembunyi namun menimbulkan efek kehinaan, baik secara moral maupun fisik. Baginya, larangan mendekati mencakup segala pemicu, termasuk kata-kata mesra yang tidak pantas atau perhiasan yang dipamerkan secara berlebihan (*tabarruj*), yang kesemuanya dapat mengikis batas-batas kesucian.
Ayat Al-Isra 32 tidak dapat dipahami secara terpisah dari hukum pernikahan. Pelarangan zina berfungsi untuk meninggikan dan menguatkan ikatan pernikahan. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang disucikan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan emosional manusia. Dengan melarang semua jalur alternatif yang haram, Islam secara efektif mendorong umatnya menuju pernikahan, yang dalam Al-Qur'an digambarkan sebagai *mitsaqan ghalizha* (ikatan yang kuat).
Konteks Al-Isra 32 adalah pembangunan masyarakat yang didasarkan pada kejelasan, tanggung jawab, dan kehormatan. Ayat ini adalah seruan untuk kembali kepada fitrah manusia yang suci, di mana cinta dan prokreasi hanya dapat diwujudkan melalui komitmen permanen dan disaksikan oleh Allah.
Implementasi sejati dari Al-Isra 32 memerlukan lebih dari sekadar pemahaman hukum; ia menuntut perubahan internal dan pembinaan karakter, terutama penanaman kembali nilai *Haya’* (rasa malu) dan komitmen pada *Istiqamah* (konsistensi dalam kebenaran).
Rasa malu adalah benteng internal terakhir yang mencegah individu mendekati *fahisyah*. Rasulullah ﷺ bersabda, "Malu itu adalah sebagian dari iman." Ketika rasa malu hilang, batasan-batasan syariat akan mudah dilanggar. Zina secara inheren adalah perbuatan yang dilakukan dalam kerahasiaan dan penghinaan, sebab ia bertentangan dengan fitrah malu. Pendidikan etika harus memprioritaskan penanaman rasa malu di hadapan Allah dan di hadapan makhluk-Nya, menjadikan setiap individu sebagai pengawas moral bagi dirinya sendiri, sehingga ia secara otomatis menjauhi hal-hal yang dapat mengarah pada pelanggaran Al-Isra 32.
Penguatan rasa malu ini mencakup cara berpakaian (menutup aurat dengan sempurna), cara berbicara, dan cara berinteraksi di ruang publik. Pakaian yang tidak senonoh atau provokatif, misalnya, adalah pelanggaran terhadap prinsip *haya’* dan secara aktif membuka pintu bagi pandangan yang dilarang, sehingga termasuk dalam kategori 'mendekati zina'.
Manusia adalah makhluk sosial yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Menjaga diri dari ‘mendekati zina’ menuntut pemilihan lingkungan sosial yang baik (*ash-shahabah ash-shalihah*). Bergaul dengan orang-orang yang menjaga kehormatan dan ketaatan akan memperkuat tekad untuk menjauhi maksiat. Sebaliknya, lingkungan yang meremehkan batasan-batasan ini akan memfasilitasi pelanggaran *wala taqrabu*.
Hal ini berlaku juga dalam konteks media. ‘Lingkungan’ digital kita—grup obrolan, *feed* media sosial, dan konten yang kita konsumsi—harus disensor dan disucikan agar tidak menjadi sumber godaan yang mendekatkan kita pada *sa’a sabila*. Isolasi diri dari segala stimulus yang membangkitkan syahwat haram adalah langkah preventif yang krusial.
Zina fisik diawali dengan zina hati. Rasulullah ﷺ bersabda, "Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah ucapan, dan zina hati adalah keinginan dan harapan." Oleh karena itu, perjuangan terbesar untuk mematuhi Al-Isra 32 adalah *mujahadatun nafs* (perjuangan melawan diri sendiri) di tingkat pikiran.
Seseorang harus aktif mengalihkan pikirannya dari fantasi haram, menggantinya dengan dzikir, membaca Al-Qur'an, dan fokus pada tujuan hidup yang lebih tinggi. Pengendalian diri yang sejati berarti tidak hanya menghindari perbuatan fisik, tetapi juga membersihkan hati dari segala kecenderungan maksiat. Ini adalah proses penyucian terus-menerus yang memastikan bahwa benteng spiritual tetap kokoh, jauh dari segala sesuatu yang berbau *fahisyah*.
Larangan mendekati zina dalam Al-Isra 32 merupakan contoh sempurna dari bagaimana Islam memberikan solusi yang bukan hanya remedial (mengobati setelah terjadi), tetapi preventif total. Filosofi perlindungan ini dibangun di atas fondasi bahwa pencegahan lebih utama daripada pengobatan, terutama ketika kerusakan yang ditimbulkan bersifat fundamental bagi eksistensi masyarakat.
Perintah untuk menjaga kehormatan ini sangat erat kaitannya dengan penghormatan terhadap wanita. Ketika zina dilarang, kehormatan dan martabat wanita terlindungi dari eksploitasi dan objektifikasi. Dalam sistem yang tidak melarang zina, wanita seringkali menjadi korban utama dari kekerasan emosional, penelantaran, dan ketidakpastian nasab. Syariat, melalui Al-Isra 32, memastikan bahwa wanita ditempatkan dalam posisi terhormat yang hanya dapat didekati melalui janji suci pernikahan.
Islam tidak mengebiri naluri seksual manusia, karena naluri tersebut adalah fitrah yang diciptakan oleh Allah. Akan tetapi, Islam memberikan kerangka penyaluran yang sah, yakni pernikahan. Pelarangan zina dan segala jalan menuju padanya adalah cara untuk mengarahkan energi dan hasrat manusia ke dalam saluran yang produktif, stabil, dan mendapatkan pahala. Ayat 32 mengajarkan bahwa kebebasan tanpa batas (anarkisme seksual) bukanlah kebahagiaan, melainkan perbudakan terhadap hawa nafsu yang berujung pada kerusakan diri dan masyarakat.
Keseimbangan ini adalah inti dari ajaran Islam: mengakui kebutuhan, menetapkan batasan yang jelas, dan menjanjikan kebahagiaan sejati dalam ketaatan. Setiap batasan yang ditetapkan dalam *wala taqrabu* adalah sebuah rahmat, bukan beban, karena ia melindungi individu dari konsekuensi mengerikan yang secara intrinsik melekat pada *fahisyah* dan *sa’a sabila*.
Analisis menyeluruh terhadap Al-Isra 32 menunjukkan konsistensi Syariat. Perintah ini sejalan dengan perintah menutup aurat, larangan melihat, larangan interaksi bebas, dan penetapan wali dalam pernikahan. Semua aturan ini bekerja secara sinergis, menciptakan ekosistem moral di mana godaan untuk melanggar batas adalah minimal. Jika salah satu pilar pencegahan ini dilemahkan (misalnya, melonggarkan aturan berpakaian), maka seluruh benteng perlindungan terhadap zina akan terancam runtuh, membuktikan betapa vitalnya larangan 'mendekati' dalam ayat ini.
Oleh karena itu, kepatuhan terhadap Al-Isra 32 membutuhkan kepatuhan komprehensif terhadap seluruh aturan yang mengelilinginya. Ini adalah panggilan untuk hidup dalam kesadaran spiritual yang konstan, menyadari bahwa setiap pandangan, setiap langkah, dan setiap ucapan memiliki bobot moral yang menentukan kedekatan atau kejauhan kita dari perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT.
Surah Al-Isra ayat 32 adalah mercusuar etika bagi umat manusia. Ia bukan sekadar larangan, melainkan peta jalan menuju kesucian, stabilitas keluarga, dan martabat sosial. Perintah “Dan janganlah kamu mendekati zina” adalah manifestasi rahmat Ilahi yang bertujuan melindungi fondasi masyarakat dari erosi moral yang paling berbahaya.
Dengan memahami kedalaman makna *wala taqrabu*, umat Islam dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga batas-batas ini, baik dalam ruang publik maupun di ranah privat kehidupan digital. Kehormatan pribadi dan kemurnian nasab adalah amanah yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Mematuhi ayat ini berarti memilih jalan ketaatan (*sa'a sabila* yang baik) di atas jalan kekejian (*sa'a sabila* yang buruk), memastikan bahwa kehidupan kita dibangun di atas landasan kesucian dan keberkahan.
Marilah kita senantiasa memohon pertolongan Allah agar diberikan kekuatan untuk menundukkan pandangan, mengendalikan hawa nafsu, dan menjauhkan diri dari segala sarana yang dapat menjerumuskan kepada *fahisyah*, demi meraih keridhaan Allah dan menjamin keselamatan diri serta generasi kita di dunia dan akhirat. Inilah pesan abadi dan mendalam dari Surah Al-Isra: 32.