I. Pengantar: Beratnya Janji di Sisi Ilahi
Surah Ali Imran, yang dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah, kaya akan petunjuk yang mendalam mengenai akidah, syariat, dan sejarah interaksi umat Islam dengan kelompok-kelompok terdahulu, khususnya Ahli Kitab. Di antara ayat-ayatnya yang mengandung peringatan keras sekaligus pelajaran fundamental tentang integritas spiritual dan moral adalah ayat ke-77. Ayat ini berbicara tentang konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang bersedia menukar ikrar dan janji mereka kepada Allah demi keuntungan duniawi yang fana.
Ayat 77 QS Ali Imran adalah penanda jelas bahwa nilai sebuah janji, terutama yang diikrarkan atas nama atau demi keridaan Allah, jauh melampaui harga materi apa pun yang ditawarkan dunia. Ayat ini menggarisbawahi kegagalan spiritual—suatu bentuk perdagangan yang merugikan di mana kebenaran abadi ditukarkan dengan kemilau sementara. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini sangat krusial, tidak hanya bagi para cendekiawan dan ahli tafsir, tetapi bagi setiap Muslim yang berjuang menjaga kemurnian imannya di tengah godaan dunia.
Peringatan yang disampaikan dalam ayat ini bersifat universal dan abadi. Meskipun konteks aslinya sering dikaitkan dengan perilaku sebagian Ahli Kitab yang menyembunyikan kebenaran tentang kenabian Muhammad ﷺ demi mempertahankan status sosial atau kekuasaan ekonomi mereka, pelajaran yang dipetik mencakup setiap individu yang mengkhianati amanah, melanggar sumpah, atau mengubah firman Allah demi kepentingan pribadi yang remeh. Inilah yang diistilahkan dalam Al-Qur'an sebagai ‘tsamanan qalila’ – harga yang sedikit.
II. Lafaz dan Terjemahan Ali Imran Ayat 77
Untuk memahami kedalaman pesan Ilahi, kita perlu merenungi lafaz aslinya, yang mengandung kekuatan retorika (balaghah) yang luar biasa:
"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (mereka dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak memperoleh bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berbicara dengan mereka, dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih." (QS. Ali Imran: 77)
III. Tafsir Global dan Konteks Historis (Asbabun Nuzul)
Konsekuensi Fatal Perdagangan Spiritual
Secara garis besar, ayat ini mengidentifikasi kelompok manusia yang melakukan barter terburuk: menukar janji suci dan sumpah atas nama Tuhan dengan imbalan materi yang tak seberapa. Tafsir Ijmali (ringkas) menjelaskan bahwa hukuman bagi tindakan ini sangat berat, mencakup empat penolakan abadi dari Allah di Hari Kiamat:
- Tidak memperoleh bagian di akhirat (لا خَلَاقَ لَهُمْ): Mereka tidak mendapatkan pahala, surga, atau kebaikan sedikit pun.
- Allah tidak akan berbicara dengan mereka (وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ): Ini adalah penolakan kehormatan dan rahmat. Komunikasi dari Allah biasanya bermakna kasih sayang atau petunjuk.
- Allah tidak akan melihat kepada mereka (وَلَا يَنظُرُ إِلَيْهِمْ): Pandangan Allah di sini berarti pandangan rahmat. Penolakan ini menunjukkan murka dan pengabaian total.
- Allah tidak akan menyucikan mereka (وَلَا يُزَكِّيهِمْ): Mereka dibiarkan dalam keadaan dosa dan kotoran spiritual mereka, tanpa kesempatan penyucian.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Para ulama tafsir, seperti At-Tabari dan Ibn Kathir, mencatat bahwa ayat ini sering dikaitkan dengan dua konteks utama, yang keduanya berkaitan dengan pengkhianatan janji:
1. Kasus Ahli Kitab yang Menyembunyikan Kebenaran
Pendapat yang paling dominan menghubungkan ayat ini dengan sebagian pendeta Yahudi di Madinah. Mereka memiliki janji (Ahdullah) yang termaktub dalam Taurat untuk memberitahukan kepada manusia tentang kedatangan Nabi terakhir (Muhammad ﷺ). Namun, karena takut kehilangan kedudukan, penghormatan, dan sumbangan materi yang mereka peroleh dari pengikut mereka, mereka memilih untuk menukarkan janji suci itu (menyembunyikan deskripsi Nabi) dengan keuntungan duniawi yang sedikit (tsamanan qalila).
2. Kasus Pengadilan Palsu dan Sumpah Palsu
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang bersumpah palsu di hadapan Nabi Muhammad ﷺ untuk mengklaim harta orang lain. Ketika ia diminta bersumpah, ia melakukannya tanpa rasa takut kepada Allah, demi mendapatkan sedikit keuntungan duniawi. Nabi ﷺ kemudian membacakan ayat ini sebagai peringatan tegas bahwa bagi penipu yang menggunakan sumpah palsu atas nama Allah untuk keuntungan duniawi, ganjaran di akhirat adalah penolakan total.
Kedua konteks ini menunjukkan bahwa ayat tersebut berlaku umum: baik bagi pengkhianatan janji teologis (menyembunyikan kebenaran) maupun pengkhianatan janji sosial-hukum (sumpah palsu untuk harta).
IV. Analisis Linguistik dan Kedalaman Makna Terminologi
Memahami 'Yasyaruna' (يَشْتَرُونَ) dan Konsep Perdagangan
Kata kerja ‘yasyaruna’ (mereka menukar/membeli) secara harfiah berarti membeli. Namun, dalam konteks Al-Qur’an, terutama saat diikuti oleh preposisi ‘bi’ (dengan), ia sering bermakna menukar atau menjual sesuatu yang lebih berharga dengan sesuatu yang kurang berharga. Contoh klasiknya adalah dalam QS Al-Baqarah: 16, di mana Allah berfirman: ‘Ula-ikallazina-sytarawuḍ-ḍalālata bil-hudā’ (Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk).
Dalam konteks Ali Imran 77, ini adalah sindiran pedas: mereka “membeli” harta duniawi, tetapi harga yang mereka bayar adalah janji Allah dan sumpah mereka. Ini bukan transaksi untung, melainkan kerugian mutlak. Mereka memperlakukan sesuatu yang tak ternilai (integritas spiritual dan janji Allah) sebagai komoditas yang bisa ditukar dengan sesuatu yang murah dan fana.
Ahdullah (عهد الله) dan Aymanihim (أَيْمَٰنِهِمْ): Janji dan Sumpah
A. Ahdullah (Janji Allah)
Ahdullah memiliki cakupan yang sangat luas dalam Islam. Ia merujuk pada beberapa tingkatan janji:
- Janji Fitrah (Al-Mithaq): Perjanjian primordial yang diambil oleh Allah dari seluruh ruh manusia sebelum diciptakan, bahwa Allah adalah Tuhan mereka (QS Al-A'raf: 172).
- Janji Kenabian: Janji yang diikatkan kepada para nabi dan umatnya untuk menyampaikan kebenaran, termasuk janji Ahli Kitab untuk mengakui Nabi Muhammad ﷺ.
- Janji Syar’i: Segala perintah dan larangan Allah yang harus dipatuhi, termasuk amanah, janji yang diucapkan, dan pelaksanaan ibadah.
Ketika seseorang melanggar Ahdullah, ia telah melanggar perjanjian yang melandasi eksistensi dan imannya sendiri. Bagi Ahli Kitab, pelanggaran ini berarti penyangkalan terhadap inti wahyu mereka.
B. Aymanihim (Sumpah Mereka)
Ini merujuk pada sumpah yang diucapkan oleh manusia, baik dalam transaksi, persaksian, atau pengadilan, yang melibatkan nama Allah sebagai penguat janji. Sumpah (Yamin) adalah bentuk pengikatan diri yang paling kuat. Ayat ini secara spesifik mencela mereka yang bersumpah palsu (yamin ghamus) demi mendapatkan keuntungan dunia, karena ini merupakan penistaan terhadap kehormatan nama Allah.
Tsamanan Qalila (ثَمَنًا قَلِيلًا): Harga yang Sedikit
Frasa ini adalah inti retorika ayat tersebut. Mengapa Allah menyebut keuntungan duniawi sebagai "harga yang sedikit" (tsamanan qalila)?
- Kuantitas vs. Kualitas: Keuntungan dunia, sebanyak apa pun, tetap "sedikit" jika dibandingkan dengan apa yang hilang, yaitu keridaan Allah, pahala akhirat, dan keselamatan abadi.
- Fana vs. Baqa: Dunia adalah fana (sementara). Akhirat adalah baqa (kekal). Menukar yang kekal dengan yang sementara, sekaya apa pun yang sementara itu, tetaplah transaksi yang merugikan dan harganya "sedikit."
- Konteks Ahli Kitab: Bagi pendeta Yahudi yang menyembunyikan kebenaran, keuntungan mereka hanyalah berupa sedikit harta persembahan atau kehormatan sesaat dari pengikut mereka, sebuah harga yang benar-benar remeh dibandingkan dengan tugas mereka menyampaikan risalah Ilahi.
V. Tafsir Muqarin: Pandangan Para Mufassir Klasik dan Kontemporer
A. Perspektif Mufassirin Klasik
1. Imam At-Tabari (W. 310 H)
At-Tabari cenderung mengaitkan ayat ini dengan konteks Ahli Kitab yang spesifik. Menurutnya, janji Allah yang dimaksud adalah ikrar Allah kepada mereka dalam kitab-kitab suci untuk mengikuti Nabi Muhammad ﷺ. Ketika mereka menolak karena mempertahankan kekuasaan dan jabatan, mereka telah menukar janji tersebut dengan harga dunia yang remeh. At-Tabari menegaskan bahwa penolakan Allah untuk berbicara, melihat, dan menyucikan mereka pada hari Kiamat adalah hukuman maksimal, menunjukkan bahwa dosa ini berada pada level yang sangat tinggi karena melibatkan penipuan atas nama Allah.
2. Imam Ibn Kathir (W. 774 H)
Ibn Kathir menyajikan kedua riwayat Asbabun Nuzul (Ahli Kitab dan sumpah palsu). Ia menyimpulkan bahwa meskipun konteks awalnya mungkin spesifik, pelajaran yang diambil bersifat umum. Ia menekankan bahwa tsamanan qalila mencakup semua kesenangan duniawi yang diperoleh melalui pengkhianatan janji Allah. Ia juga memberikan perhatian khusus pada empat bentuk hukuman di akhirat, menjelaskan bahwa ketiadaan ‘Khalaq’ (bagian) berarti ketiadaan rahmat dan kebaikan sedikit pun.
3. Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Al-Qurtubi dalam tafsirnya memperluas makna Ahdullah, mencakup seluruh kewajiban yang diturunkan kepada manusia. Ia berpendapat bahwa siapa pun, dari umat mana pun, yang melanggar sumpah demi materi, termasuk dalam ancaman ayat ini. Al-Qurtubi menyoroti bahwa kalimat ‘Allah tidak akan berbicara dengan mereka’ tidak berarti Allah tidak dapat berbicara (karena Allah Maha Berbicara), melainkan sebagai ungkapan metaforis yang menunjukkan murka, sebagaimana seorang raja menolak untuk berdialog dengan hamba yang ia benci.
B. Perspektif Mufassirin Kontemporer
1. Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an
Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai cerminan psikologi manusia yang materialistis. Menurutnya, ayat ini adalah peringatan tentang bagaimana kepentingan ekonomi dan status sosial bisa menggerogoti integritas spiritual. Qutb menekankan bahwa ‘harga yang sedikit’ adalah mentalitas yang menganggap materi lebih bernilai daripada kebenaran Ilahi. Ia mengajak pembaca kontemporer untuk melihat di mana mereka menukar janji mereka kepada Allah—mungkin dalam pekerjaan, politik, atau bisnis—demi keuntungan sesaat, sebuah pengkhianatan yang sama buruknya dengan yang dilakukan Ahli Kitab.
2. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir
Az-Zuhaili menegaskan bahwa dosa menjual janji Allah adalah dosa yang melibatkan dua aspek: Pertama, pelanggaran terhadap janji suci; Kedua, penggunaan nama Allah (sumpah) sebagai alat penipuan. Ia menggarisbawahi bahwa ancaman ini berlaku bagi semua yang menyembunyikan kebenaran demi harta, termasuk mereka yang memalsukan dalil, memberi kesaksian palsu, atau bahkan politisi yang melanggar sumpah jabatan demi memperkaya diri.
VI. Implikasi Akidah dan Syariah Terhadap Pelanggaran Janji
Ancaman Mutlak di Akhirat: لا خَلَاقَ لَهُمْ
Konsep ‘La Khalaqa Lahum’ (mereka tidak memiliki bagian) adalah ancaman teologis yang paling serius. Dalam terminologi akidah, ini berarti mereka tidak memiliki klaim atau jatah atas rahmat dan pahala yang disediakan Allah bagi orang-orang beriman. Para ulama berbeda pendapat apakah ancaman ini berarti kekal di neraka (jika tindakan itu diiringi dengan kekufuran dan penolakan iman) atau hanya berarti tidak mendapatkan bagian rahmat di awal hisab.
Namun, dalam konteks Ahli Kitab yang menolak kebenaran kenabian setelah mengetahuinya, ancaman ini mengarah pada kekufuran (kufr) yang nyata. Sementara bagi Muslim yang melakukan sumpah palsu, ini menunjukkan bahwa dosanya sangat besar hingga ia terancam kehilangan kesempatan mendapatkan syafaat atau pengampunan, kecuali jika ia bertaubat secara tulus (tawbah nasuha).
Hukuman Spiritual: Penolakan Komunikasi dan Pandangan Rahmat
Tiga bentuk penolakan—Tidak Berbicara, Tidak Melihat, Tidak Menyucikan—adalah hukuman spiritual tertinggi, jauh lebih berat dari siksaan fisik. Ini melambangkan:
- Keterputusan Total: Penolakan Allah untuk berbicara menunjukkan keterputusan total antara hamba dan Rabbnya. Di Hari Kiamat, berbicara dengan Allah adalah kehormatan bagi para nabi dan orang saleh.
- Murka Abadi: Tidak adanya pandangan rahmat (La yanzuruhum) menegaskan bahwa mereka ditimpa murka Ilahi yang tidak terhingga.
- Gagalnya Penyucian (Tazkiyah): Penyucian (Tazkiyah) adalah proses membersihkan jiwa dari dosa dan noda. Dengan ditolaknya penyucian oleh Allah, mereka dipastikan akan menghadapi azab dalam keadaan penuh dosa.
Hukum Fikih Sumpah Palsu (Yamin Ghamus)
Dalam fikih Islam, sumpah palsu untuk mengambil hak orang lain disebut Yamin Ghamus (sumpah yang menenggelamkan). Sumpah ini disebut demikian karena ia menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa besar di dunia dan ke dalam api neraka di akhirat. Ayat Ali Imran 77 ini merupakan dalil utama yang menunjukkan betapa seriusnya dosa sumpah palsu. Sumpah ini, karena dilakukan dengan kesengajaan dan melibatkan penyalahgunaan nama Allah, tidak memiliki kaffarah (tebusan) selain taubat nasuha, pengembalian hak yang diambil, dan memohon ampunan Allah. Ini berbeda dengan sumpah yang dilanggar secara tidak sengaja (yamin al-mun’aqidah) yang memiliki kaffarah.
VII. Relevansi Universal dan Penerapan Kontemporer
Jangkauan Ayat: Bukan Hanya Ahli Kitab
Meskipun Asbabun Nuzulnya merujuk pada Ahli Kitab, para ulama sepakat bahwa kaidah tafsir menyebutkan: "Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab." Oleh karena itu, ancaman dalam Ali Imran 77 berlaku bagi semua individu, komunitas, atau bahkan negara yang melakukan pengkhianatan spiritual dan moral demi keuntungan duniawi.
1. Integritas Publik dan Politik
Dalam konteks modern, ayat ini sangat relevan bagi pemimpin, pejabat publik, dan politisi yang mengambil sumpah jabatan untuk melayani rakyat dan menegakkan keadilan. Jika mereka melanggar sumpah tersebut, menyalahgunakan kekuasaan, atau melakukan korupsi demi kekayaan pribadi (tsamanan qalila), mereka telah jatuh ke dalam kategori yang diancam oleh ayat ini. Pengkhianatan amanah negara adalah bentuk pengkhianatan Ahdullah yang diwujudkan melalui ikrar publik.
2. Etika Bisnis dan Profesional
Dalam dunia bisnis, ayat ini mewajibkan integritas mutlak. Seorang profesional yang bersumpah palsu di hadapan pengadilan, seorang pedagang yang bersumpah bahwa barangnya adalah asli padahal palsu, atau seorang karyawan yang melanggar kontrak demi suap kecil, semuanya menjual janji dan sumpah mereka. Keuntungan yang didapat, meskipun besar di mata manusia, tetaplah "harga yang sedikit" di mata Allah.
3. Amanah Ilmu dan Pendidikan
Bagi para ulama, pendidik, dan pemegang ilmu, janji Allah adalah menyampaikan ilmu secara jujur. Jika seorang ulama menyembunyikan kebenaran, memutarbalikkan hukum syariah, atau mengeluarkan fatwa yang sesat demi mendapatkan donasi, popularitas, atau jabatan duniawi, ia telah menukar janji ilmu yang mulia dengan tsamanan qalila yang hina. Tindakan ini mencerminkan secara langsung pengkhianatan Ahli Kitab yang dicela dalam konteks awal ayat.
Menjaga Kemurnian Niat (Ikhlas)
Inti dari ayat ini adalah menjaga kemurnian niat. Ketika janji (baik janji kepada Allah maupun janji yang melibatkan nama-Nya) dilanggar, itu menunjukkan bahwa motivasi utama seseorang adalah materi, bukan keridaan Ilahi. Integritas adalah keselarasan antara perkataan, perbuatan, dan niat. Pelanggaran sumpah menunjukkan inkonsistensi yang mematikan bagi ruhani.
Urgensi Taubat dan Pengembalian Hak
Mengingat beratnya ancaman, para ulama menekankan bahwa taubat dari dosa melanggar janji dengan sumpah palsu harus memenuhi syarat yang ketat:
- Penyesalan Tulus: Menyesali perbuatan secara mendalam.
- Penghentian Segera: Berhenti dari perbuatan dosa tersebut.
- Tidak Mengulangi: Berazam untuk tidak mengulangi.
- Pengembalian Hak (Radd al-Mazalim): Ini adalah bagian yang paling sulit. Jika harta atau hak orang lain telah dirampas melalui sumpah palsu, harta tersebut harus dikembalikan sepenuhnya kepada pemiliknya, bahkan jika harus dilakukan secara anonim, demi membersihkan tanggung jawab di akhirat.
VIII. Elaborasi Hukuman Akhirat: Penolakan yang Menghinakan
Makna Spiritual 'Allah Tidak Akan Berbicara dengan Mereka'
Hukuman ini melampaui sanksi fisik neraka. Ini adalah penghinaan spiritual. Di Hari Kiamat, orang-orang beriman akan mendapatkan kehormatan untuk mendengar dan berinteraksi dengan Allah, sebagaimana Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya. Namun, bagi para pengkhianat janji, Allah menahan komunikasi-Nya. Ini berarti mereka sepenuhnya ditinggalkan. Mereka tidak akan menerima belas kasih, penegasan, atau bahkan teguran yang menunjukkan adanya perhatian Ilahi. Mereka dikucilkan dari hadirat-Nya.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa berbicara di sini adalah berbicara dengan kelembutan (kalam latif). Allah tentu akan berbicara dengan mereka untuk menghukum dan mencela, sebagaimana firman-Nya kepada penghuni neraka, tetapi Ia menolak berbicara dengan mereka dengan kasih sayang atau perhatian yang menyelamatkan.
Makna 'Allah Tidak Akan Melihat Kepada Mereka'
Secara bahasa, Allah selalu melihat segala sesuatu (Maha Melihat). Oleh karena itu, ‘tidak melihat’ dalam konteks ini adalah majas (kiasan) untuk ‘tidak memberikan pandangan rahmat’. Di sisi lain, melihat Allah (bagi yang diizinkan) adalah puncak kenikmatan surga (ru’yatullah). Dengan menolak pandangan rahmat kepada para pengkhianat ini, Allah menegaskan bahwa mereka tidak layak mendapatkan belas kasihan-Nya dan tidak akan pernah mendekati kenikmatan spiritual tertinggi.
Pandangan Allah (Nazarullah) adalah sumber segala kebaikan. Ketika pandangan itu ditahan, maka yang tersisa hanyalah keputusasaan dan siksaan yang pedih ('adzabun alim).
Ketiadaan Penyucian (La Yuzakkihim)
Tazkiyah (penyucian) adalah tujuan utama ajaran Islam. Di dunia, penyucian terjadi melalui ibadah, taubat, dan akhlak mulia. Di akhirat, penyucian mutlak diperlukan untuk masuk surga. Penolakan penyucian pada Hari Kiamat berarti semua dosa dan kotoran spiritual mereka tetap melekat pada diri mereka. Mereka akan dihisab dan dihukum berdasarkan akumulasi dosa tersebut tanpa ada pengampunan atau keringanan, karena mereka telah memperdagangkan tiket penyelamat mereka—janji Ilahi—demi kesenangan dunia yang remeh.
IX. Pelajaran Utama dan Hikmah yang Diperoleh
Ayat 77 Surah Ali Imran mengajarkan kepada kita pelajaran tentang prioritas hidup dan bahaya materialisme spiritual. Ayat ini mengingatkan kita bahwa:
- Nilai Abadi vs. Harga Sementara: Tidak ada keuntungan duniawi, seberapa pun besarnya, yang dapat membenarkan pelanggaran janji atau sumpah atas nama Allah. Kehidupan dunia, dengan segala kemewahannya, adalah tsamanan qalila (harga yang sedikit).
- Integritas adalah Pondasi Iman: Menjaga janji dan sumpah adalah manifestasi dari takwa dan kejujuran iman. Pengkhianatan janji menunjukkan bahwa hati seseorang telah dikuasai oleh hawa nafsu dunia.
- Konsekuensi Berlipat Ganda: Dosa ini tidak hanya menghasilkan siksaan fisik (adzabun alim) tetapi juga sanksi spiritual yang mematikan: penolakan komunikasi, pengabaian rahmat, dan kegagalan penyucian. Ini adalah hukuman yang paling menghinakan.
- Peringatan Universal: Ayat ini menjadi cermin bagi umat Islam agar tidak meniru kesalahan yang dilakukan oleh umat terdahulu. Setiap kali kita tergoda untuk melanggar janji pernikahan, kontrak bisnis, amanah jabatan, atau sumpah kesetiaan, kita harus mengingat ancaman keras ini.
Akhirnya, ayat ini memanggil setiap Muslim untuk melakukan introspeksi mendalam: Apa ‘tsamanan qalila’ yang saat ini sedang kita kejar, yang mungkin tanpa sadar kita tukar dengan janji kita kepada Allah? Menjaga janji Allah adalah menjaga jalan menuju keselamatan abadi, sebuah perdagangan yang tidak akan pernah merugi.