Al Imran Ayat 26: Manifestasi Mutlak Kedaulatan dan Kekuasaan Ilahi

Surah Ali Imran, ayat 26, adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur’an yang secara tegas menggambarkan sifat mutlak dari kedaulatan (kekuasaan) Allah SWT atas seluruh ciptaan. Ayat ini sering disebut sebagai inti dari Tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah Penguasa, Pencipta, dan Pengatur tunggal segala urusan di alam semesta. Melalui diksi yang sangat kuat, ayat ini tidak hanya menawarkan penghiburan spiritual tetapi juga memberikan landasan teologis yang kokoh mengenai dinamika kekuasaan, kehormatan, dan rezeki di dunia ini.

Ilustrasi Kedaulatan Ilahi dan Kekuasaan Allah yang Mencakup Segala Sesuatu الملك Kekuasaan Mutlak Milik Allah

Alt: Ilustrasi kedaulatan ilahi dan kekuasaan Allah yang mencakup segala sesuatu.

Teks dan Terjemahan Ayat 26 Surah Ali Imran

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah (Muhammad): "Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan (kerajaan), Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali Imran: 26)

Ayat ini adalah perintah langsung kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk menyatakan pengakuan universal akan kekuasaan Allah. Ayat ini memecah konsep kekuasaan menjadi serangkaian tindakan ilahi yang simultan dan berlawanan, menegaskan bahwa tidak ada satu pun entitas di alam semesta yang memiliki kehendak mutlak selain Dia.

I. Tafsir Fungsional dan Linguistik Ayat 26

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah setiap frasa yang terkandung dalam ayat yang agung ini. Setiap kata membawa bobot teologis yang signifikan dan memerlukan analisis yang luas, yang menjadi dasar bagi elaborasi panjang dalam artikel ini.

1. Qulillahumma Mālikal Mulki (Katakanlah: Wahai Tuhan Pemilik Kekuasaan)

Frasa pembuka ini adalah bentuk permohonan atau seruan (doa) yang sangat kuat. 'Qul' (Katakanlah) menunjukkan perintah tegas. 'Allahumma' adalah bentuk seruan dari 'Allah', yang jarang digunakan dalam Al-Qur’an dan biasanya mengindikasikan doa yang sangat penting dan khusus. 'Mālikal Mulki' adalah gelar inti yang mengidentifikasi Allah sebagai pemilik tunggal dan absolut dari al-Mulk—kerajaan, kekuasaan, otoritas, dan dominion, baik di langit maupun di bumi.

Konsep al-Mulk di sini jauh lebih luas daripada sekadar kekuasaan politik; ia mencakup seluruh kedaulatan eksistensial. Jika seorang raja memiliki *mulk* yang terbatas (hanya di wilayahnya dan sementara waktu), maka Allah adalah *Mālikul Mulk*, Pemilik Kekuasaan dari segala kekuasaan, yang kekuasaan-Nya abadi dan tak terbatas. Pengakuan ini adalah titik awal dari semua penyerahan diri dan ketawakkalan. Keagungan frasa ini melampaui deskripsi, menjadikannya fondasi utama dalam memahami bagaimana segala hal di dunia ini berjalan, mulai dari pergerakan planet hingga denyut nadi terkecil di tubuh makhluk hidup.

2. Tu'til Mulka Man Tasyā'u wa Tanzi'ul Mulka Mimman Tasyā'u (Engkau Beri Kekuasaan dan Engkau Cabut Kekuasaan)

Ini adalah pasangan klausa pertama yang menjelaskan manifestasi kedaulatan Allah di dunia nyata. Pemberian (tu'tī) dan pencabutan (tanzi'u) kekuasaan dihubungkan secara langsung dengan kehendak (man tasyā'u) Allah. Ini menolak anggapan bahwa kekuasaan diperoleh semata-mata melalui kecerdasan, strategi, atau kekuatan manusia.

Dalam konteks sosial-politik, ayat ini mengajarkan umat manusia bahwa tidak ada takhta yang permanen. Firaun, Namrud, hingga kekaisaran modern, semua adalah penerima kekuasaan sementara atas izin-Nya. Pencabutan kekuasaan bisa terjadi melalui mekanisme yang tampak alami (revolusi, sakit, kematian) atau yang jelas-jelas ajaib. Poin terpenting adalah bahwa kekuasaan adalah ujian, bukan hak abadi. Bagi seorang Muslim, pemahaman ini menanamkan kerendahan hati ketika berkuasa dan kesabaran serta optimisme saat tertindas.

Lebih dari sekadar kekuasaan politik, kekuasaan di sini juga merujuk pada kekuasaan ekonomi (kekayaan), kekuasaan ilmiah (pengetahuan), atau kekuasaan fisik (kesehatan dan kekuatan). Allah memberikan kemampuan untuk mengatur hidup seseorang (kekuasaan pribadi) dan juga mencabutnya, mengingatkan bahwa kontrol sejati berada di luar genggaman manusia. Analisis mendalam terhadap sejarah menunjukkan siklus naik turunnya peradaban, yang semuanya merupakan bukti visual dari kebenaran ayat ini.

3. Wa Tu'izzu Man Tasyā'u wa Tudhillu Man Tasyā'u (Engkau Muliakan dan Engkau Hinakan)

Ini adalah pasangan klausa kedua, fokus pada kehormatan (al-Izzah) dan kehinaan (adh-Dhullah). Al-Izzah bukanlah semata-mata kekayaan, melainkan kemuliaan, harga diri, kekuatan moral, dan status yang terhormat di mata manusia dan di hadapan Allah. Adh-Dhullah adalah kebalikannya: kerendahan, penghinaan, dan ketiadaan pengaruh.

Penting untuk dicatat bahwa kemuliaan (Izzah) yang diberikan Allah seringkali tidak berkorelasi langsung dengan kemakmuran duniawi. Seringkali, kemuliaan diberikan kepada mereka yang secara lahiriah lemah, seperti para Nabi dan orang-orang saleh yang diuji, namun memiliki integritas dan kedekatan spiritual yang tak tertandingi. Sebaliknya, penghinaan bisa menimpa orang-orang yang tampak kaya dan berkuasa, tetapi hati dan jiwanya kosong dari kebenaran dan akhlak. Pemuliaan dan penghinaan adalah hasil dari rencana Ilahi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar penilaian manusiawi.

4. Biyadikal Khair (Di Tangan Engkaulah Segala Kebajikan)

Frasa ini merupakan kesimpulan agung yang memberikan nuansa optimisme yang mendalam setelah membahas siklus kekuasaan dan kehinaan. Setelah menyebutkan pemberian kekuasaan, pencabutan kekuasaan, pemuliaan, dan penghinaan—empat hal yang bisa dianggap positif atau negatif bagi manusia—Allah menutupnya dengan pernyataan bahwa 'di tangan-Nya lah segala kebajikan (al-Khair)'.

Ini adalah penegasan teologis yang krusial. Bahkan ketika Allah mencabut kekuasaan atau memberikan kehinaan (yang tampak buruk bagi manusia), di dalamnya pasti terkandung Khair (kebajikan) yang diketahui atau tidak diketahui oleh hamba-Nya. Semua takdir, baik yang manis maupun yang pahit, berasal dari sumber kebaikan mutlak. Ini menghilangkan konsep dualistik (seperti Zoroastrianisme) yang membagi kekuasaan antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan. Dalam Islam, segala sesuatu berasal dari Allah, dan sifat dasar tindakan-Nya adalah kebaikan dan keadilan absolut, meskipun hikmahnya tersembunyi. Frasa ini menjadi pondasi bagi konsep Rida (ridha/penerimaan) terhadap ketetapan Ilahi.

5. Innaka ‘Alā Kulli Syai’in Qadīr (Sungguh, Engkau Mahakuasa atas Segala Sesuatu)

Ayat ditutup dengan penegasan nama Allah, Al-Qadīr (Yang Mahakuasa). Ini adalah validasi final dari semua klausa sebelumnya. Tindakan memberi, mencabut, memuliakan, dan menghinakan dapat terjadi karena Allah memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, tidak terbatas oleh hukum fisika, logika, atau keinginan manusia. Kekuasaan (Qudrah) ini memastikan bahwa janji-janji-Nya dan ketetapan-Nya akan terlaksana tanpa kegagalan.

II. Implikasi Teologis dan Eksistensial Ayat 26

Kajian mendalam terhadap Ayat 26 dari Surah Ali Imran menyingkap lapisan-lapisan makna yang relevan, baik dalam skala makro (perjalanan umat manusia) maupun mikro (perjalanan individu). Ayat ini berfungsi sebagai pilar utama dalam akidah Islam, terutama dalam menghadapi dinamika kehidupan yang serba berubah. Kedalaman maknanya memerlukan pembedahan yang detail dan berulang dari berbagai perspektif, dari tafsir klasik hingga aplikasi kontemporer.

A. Konsep Al-Mulk: Antara Kepemilikan dan Penggunaan

Perbedaan antara *Mālikul Mulk* (Pemilik Kekuasaan) dan hanya *Mālik* (Raja atau Pemilik) adalah jurang pemisah teologis yang luas. Raja manusia hanya memiliki kekuasaan atas teritori tertentu dan hanya untuk waktu terbatas; ia bisa digulingkan, kekuasaannya dipertanyakan, dan harta bendanya diwariskan atau dirampas. Sebaliknya, Allah, sebagai *Mālikul Mulk*, memiliki kedaulatan yang absolut, inheren, dan tak terbagi. Kepemilikan-Nya tidak pernah dimulai dan tidak akan pernah berakhir.

Pembedaan ini menciptakan konsekuensi moral bagi manusia: segala kekuasaan, harta, jabatan, atau pengaruh yang kita miliki hanyalah pinjaman, alat, atau amanah yang diberikan (tu’tī) oleh Pemilik Sejati. Ketika pinjaman itu dicabut (tanzi’u), manusia tidak berhak marah atau merasa terzalimi, melainkan harus kembali merenungkan kehendak Yang Memberi. Kekuasaan duniawi, oleh karena itu, harus digunakan sesuai kehendak Pemiliknya, yakni untuk menegakkan keadilan dan kebajikan. Kesadaran ini adalah benteng pertahanan spiritual yang mencegah tirani dan kesombongan. Dalam sejarah peradaban Islam, periode keemasan seringkali terjadi ketika para pemimpin benar-benar memahami bahwa mereka hanyalah pelaksana kehendak *Mālikul Mulk*.

B. Harmoni Pemberian dan Pencabutan (Tu'tī wa Tanzi'u)

Ayat ini menyajikan realitas dunia sebagai arena perubahan yang konstan. Kekuasaan, kekayaan, dan kesehatan bukanlah entitas statis. Para ahli tafsir menekankan bahwa pasangan kata kerja ini (memberi dan mencabut) menunjukkan dinamika takdir yang terus menerus. Ini menolak fatalisme (pandangan bahwa takdir tidak dapat diubah) sekaligus menolak determinisme (pandangan bahwa manusia adalah penguasa mutlak nasibnya sendiri).

Pencabutan kekuasaan (Tanzi'ul Mulka) seringkali menjadi rahmat tersembunyi. Bagi individu, kehilangan harta atau kedudukan mungkin menyelamatkan mereka dari kesombongan yang menghancurkan. Bagi komunitas, pencabutan kekuasaan dari pemimpin yang zalim adalah awal dari restorasi keadilan. Siklus ini mengingatkan bahwa setiap kesulitan adalah bagian dari sistem pengujian dan pemurnian Ilahi. Tidak ada kekuasaan di bumi ini, baik itu negara adidaya, korporasi raksasa, atau individu terkaya, yang kebal dari skema pencabutan kekuasaan oleh Allah SWT.

C. Dimensi Spiritual Izzah dan Dhullah

Kemuliaan (Izzah) dan kehinaan (Dhullah) adalah dua sisi mata uang yang sangat kontekstual. Dalam pandangan dunia sekuler, kehormatan diukur dari kekayaan, popularitas, atau jabatan tinggi. Namun, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan sejati (al-Izzah) terletak pada ketaatan kepada Allah. Ayat ini menyelaraskan dengan ayat lain yang menegaskan bahwa kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin (QS. Al-Munafiqun: 8).

Tafsir Razi dan Qurtubi menjelaskan bahwa terkadang Allah memuliakan orang kafir dengan kekayaan dan kekuasaan di dunia (Izzah majazi/semu), namun kehinaan yang hakiki menanti mereka di akhirat. Sebaliknya, orang mukmin yang mungkin miskin dan teraniaya di dunia (Dhullah duniawi) akan dimuliakan secara abadi (Izzah hakiki). Poin pentingnya adalah bahwa kedua kondisi tersebut adalah ketetapan ilahi yang harus dihadapi dengan keridhaan. Kemuliaan yang dicari seorang Muslim haruslah kemuliaan yang berasal dari Allah, bukan pujian manusiawi yang fana.

III. Analisis Detail: Biyadikal Khair – Segala Kebajikan di Tangan-Nya

Frasa Biyadikal Khair adalah penegasan paling penting dari ayat ini, berfungsi sebagai penyeimbang teologis. Ketika seseorang mendengar tentang 'pencabutan kekuasaan' dan 'penghinaan', ia mungkin merasa takut atau putus asa. Namun, dengan pernyataan bahwa 'Di tangan-Nya lah segala kebajikan', semua rasa takut itu harus sirna. Ini adalah deklarasi bahwa sistem Allah—meskipun tampak keras atau sulit—selalu beroperasi di bawah prinsip kebaikan mutlak (al-Khair al-Mutlaq).

A. Penolakan Konsep Kejahatan Absolut

Ayat ini secara eksplisit menolak pandangan dualistik yang menganggap bahwa ada kekuatan independen yang bertanggung jawab atas kejahatan atau kesulitan. Walaupun dalam hadis disebutkan bahwa keburukan (syarr) tidak disandarkan secara langsung kepada Allah dalam konteks adab doa, Ayat 26 menjelaskan bahwa semua takdir berada dalam kekuasaan-Nya, dan pada akhirnya, semua hasil dari takdir tersebut, bahkan yang menyakitkan, membawa unsur kebaikan atau hikmah yang lebih besar. Kesulitan (syarr) hanyalah konsekuensi yang tampak di mata manusia, namun esensinya (bagi Allah) adalah keadilan atau hikmah yang menuju kebaikan universal.

Contohnya adalah bencana alam atau kerugian besar. Meskipun kerugian itu adalah syarr (keburukan) bagi manusia, ia mungkin berfungsi sebagai pengingat, penebus dosa, atau mekanisme untuk memunculkan kebaikan yang lebih besar (misalnya, solidaritas kemanusiaan, penemuan teknologi baru, atau kebangkitan spiritual). Dalam lingkup tauhid, al-Khair melingkupi seluruh kehendak dan tindakan Allah.

B. Optimisme dan Tawakkal

Pemahaman mendalam terhadap Biyadikal Khair menghasilkan tingkat tawakkal (ketergantungan total) yang tertinggi. Seorang hamba yang yakin bahwa segala sesuatu, bahkan penderitaan, berasal dari sumber kebaikan mutlak akan mampu menghadapi musibah dengan keridhaan (rida). Hal ini memungkinkan Muslim untuk tidak pernah berputus asa, bahkan di tengah keterpurukan politik, sosial, atau pribadi yang paling gelap. Jika nasibnya dipegang oleh Yang Mahakuasa dan Mahabaik, maka hasil akhirnya pasti mengandung kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.

IV. Kekuatan Ayat Ini sebagai Doa (Dua)

Ayat 26 Surah Ali Imran bukan hanya pernyataan teologis; ia adalah doa yang paling kuat dan efektif, khususnya ketika seorang hamba mencari kekuasaan, rezeki, atau jalan keluar dari kehinaan.

Ketika seseorang mengucapkan 'Qulillahumma Mālikal Mulki...', ia mengakui totalitas kedaulatan Allah sebelum meminta apa pun. Ini adalah adab doa tertinggi. Seorang hamba yang meminta rezeki, kemuliaan, atau kekuasaan harus terlebih dahulu mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya sumber dari hal-hal tersebut. Doa ini adalah penyerahan diri total, yang membuat permintaan menjadi lebih bermakna. Para ulama salaf menganjurkan pembacaan ayat ini dalam situasi-situasi sulit, terutama ketika seseorang merasa tertindas atau ketika menghadapi krisis ekonomi.

A. Kekuatan Psikologis Doa

Membaca ayat ini menstabilkan jiwa. Ketika manusia merasa gagal atau terhina, doa ini mengingatkannya bahwa kehinaan adalah sementara dan ditetapkan oleh Dzat yang sama yang dapat memuliakannya kembali. Ini adalah transferensi kekuasaan: dari perasaan tidak berdaya menjadi keyakinan penuh pada kekuatan Allah. Doa ini mengajarkan bahwa kehormatan yang layak dikejar adalah kehormatan yang diberikan oleh Allah, bukan yang dirampas dari orang lain.

B. Ayat 26 dalam Konteks Kekayaan dan Rezeki

Meskipun ayat ini lebih fokus pada kekuasaan politik, kekuasaan di sini juga mencakup rezeki dan kekayaan. Pemberian kekayaan (kekuasaan ekonomi) dan pencabutannya juga sepenuhnya berada di tangan Allah. Ayat ini menjadi peringatan bagi mereka yang menggunakan kekayaan mereka secara zalim, meyakini bahwa kekayaan mereka adalah hasil mutlak dari usaha mereka semata (sebagaimana Qarun). Pada saat yang sama, ia menjadi harapan bagi yang miskin, bahwa perubahan status (Izzah dan Dhullah) bisa terjadi seketika, kapan pun Allah menghendaki.

V. Hubungan Ayat 26 dengan Ayat 27 dan Kesatuan Kosmik

Kekuatan Ali Imran 26 menjadi lebih jelas ketika dilihat bersamaan dengan ayat berikutnya, Ayat 27, yang menggambarkan kedaulatan Allah atas waktu dan alam fisik. Ayat 27 berbunyi:

تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan.

Para mufassir menekankan bahwa Ayat 27 adalah analogi kosmik dan fisik untuk Ayat 26 yang bersifat sosio-politik. Jika Allah mampu mengatur siklus alam yang teratur (memasukkan malam ke siang, mengeluarkan hidup dari mati), yang merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya, maka tentu saja Dia mampu mengatur siklus kekuasaan dan kehormatan manusia. Transisi dari kedaulatan politik/moral (Ayat 26) ke kedaulatan kosmik (Ayat 27) menegaskan bahwa seluruh alam semesta—baik yang terlihat maupun tidak, baik yang bersifat material maupun spiritual—berada di bawah komando Yang Sama. Kekuatan yang membalikkan siang menjadi malam adalah kekuatan yang sama yang dapat membalikkan nasib seorang individu atau bangsa.

VI. Elaborasi Ekstensif Mengenai Dinamika Takdir dan Kedaulatan dalam Pandangan Islam

Untuk benar-benar memahami bobot teologis Ayat 26, kita harus terus menggali implikasi dari setiap komponen frasa, mengulang dan memperluasnya ke dalam berbagai skenario kehidupan modern dan historis. Ayat ini adalah refleksi abadi atas ketidakpastian dunia dan kepastian Ilahi.

A. Konteks Historis dan Kenabian

Ayat 26 diyakini turun dalam konteks di mana umat Islam dihadapkan pada ancaman dari dua kekuatan super pada masanya: Kekaisaran Romawi (Bizantium) dan Persia. Kedua kerajaan ini memiliki kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa, membuat komunitas Muslim yang kecil dan lemah merasa tidak signifikan. Dalam kondisi psikologis seperti ini, Ayat 26 berfungsi sebagai obat penenang, mengingatkan bahwa kekuatan Romawi dan Persia hanyalah pinjaman, dan kedaulatan mutlak dipegang oleh entitas yang sama yang bersama kaum Muslim. Janji tersembunyi dalam ayat ini adalah, jika Allah menghendaki, kekuasaan yang dimiliki oleh Romawi dapat dengan mudah dicabut dan dipindahkan kepada komunitas yang sebelumnya diremehkan. Sejarah kemudian membuktikan kebenaran janji ini, di mana kekuasaan beralih ke tangan khilafah dalam waktu yang relatif singkat.

Pemahaman konteks historis ini sangat penting, karena mengajarkan bahwa skala kekuatan yang dilihat manusia (populasi, senjata, kekayaan) tidak pernah menjadi faktor penentu akhir. Faktor penentu adalah kehendak *Mālikal Mulk*.

B. Kekuatan Kata ‘Tasyā’u’ (Engkau Kehendaki)

Kata kerja ‘Tasyā’u’ diulang empat kali dalam ayat ini: (1) Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, (2) Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki, (3) Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan (4) Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Pengulangan ini bukan sekadar retorika, melainkan penekanan mutlak pada kebebasan berkehendak Ilahi (Iradah Ilahiyyah) yang tidak dapat diganggu gugat, diprediksi, atau dimanipulasi oleh usaha manusia.

Walaupun manusia diberi kebebasan memilih (ikhtiyar) dan bertanggung jawab atas usahanya (kasb), hasil akhir dari kedaulatan (kekuasaan, kemuliaan) tetap berada di luar kendali mutlaknya. Ini adalah keseimbangan antara Tauhid Qada’ dan Qadar. Anda berusaha sekuat tenaga mendapatkan kekuasaan, tetapi yang menentukan apakah Anda akan mendapatkannya atau tidak adalah kehendak Allah. Pemahaman ini mencegah munculnya rasa 'berhak' atau 'superioritas' ketika mencapai puncak kekuasaan, dan mencegah keputusasaan ketika berada di bawah.

C. Tafsir Filosofis Mengenai ‘Khair’ dan Keadilan Ilahi

Pengkaji teologi seringkali membahas bagaimana Biyadikal Khair dapat diselaraskan dengan keberadaan penderitaan dan kejahatan di dunia. Jawaban teologisnya terletak pada konsep Hikmah (Hikmat/Kebijaksanaan Ilahi). Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah adil dan baik dalam kerangka kebijaksanaan-Nya yang Maha Luas.

Pencabutan kekuasaan atau kehinaan yang dialami oleh seseorang mungkin adalah khair baginya karena:

  1. Pembersihan Dosa (Kaffarah): Penderitaan duniawi berfungsi sebagai penebus dosa yang akan mencegah siksa yang lebih besar di akhirat.
  2. Peningkatan Derajat (Raf'u Darajat): Ujian yang berat, jika dihadapi dengan sabar, akan meningkatkan posisi spiritual hamba di sisi Allah.
  3. Pencegahan Kezaliman: Kekuasaan yang dicabut mungkin melindungi seseorang dari kesempatan untuk menjadi tiran atau zalim.
  4. Peringatan Kolektif: Keruntuhan suatu bangsa adalah peringatan bagi bangsa lain.

Oleh karena itu, ketika kita mengatakan bahwa segala kebajikan ada di tangan-Nya, kita menegaskan bahwa kacamata keadilan Ilahi jauh melampaui perhitungan untung rugi manusia. Ini adalah fondasi dari keyakinan bahwa Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya sedikit pun.

D. Al-Qadir: Kekuasaan atas Kemustahilan

Penutupan ayat dengan Innaka ‘Alā Kulli Syai’in Qadīr (Engkau Mahakuasa atas Segala Sesuatu) memberikan penekanan bahwa jika seorang hamba berdoa dengan Ayat 26, ia memohon kepada Dzat yang kekuasaan-Nya adalah infinitif. Kekuasaan (Qudrah) Allah tidak mengenal batasan. Kekuasaan yang Dia berikan atau cabut dapat diberikan kepada yang paling lemah dan dicabut dari yang paling kuat, karena bagi Allah, semua adalah setara dalam ketidakberdayaan mereka di hadapan Qudrah-Nya.

Para sufi dan ahli tafsir menekankan bahwa ayat ini harus menjadi pengingat harian bagi kaum Muslim: tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan oleh Allah, dan tidak ada musuh yang terlalu kuat untuk dijatuhkan oleh-Nya. Kekuasaan Ilahi adalah realitas yang melampaui hukum sebab-akibat (kausalitas) yang dipahami manusia. Dia dapat memberikan kekuasaan tanpa sebab yang jelas (mukjizat), dan Dia dapat mencabut kekuasaan meskipun semua sebab-sebab duniawi tampaknya mendukung keberlanjutannya.

VII. Aplikasi Praktis Ayat 26 dalam Kehidupan Modern

Bagaimana Ayat 26 Surah Ali Imran dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan kontemporer yang sarat persaingan dan ketidakpastian?

1. Manajemen Krisis dan Kegagalan

Di era modern, kehinaan (Dhullah) seringkali diterjemahkan sebagai kegagalan finansial, kerugian besar, atau kehilangan status profesional. Ayat ini mengajarkan bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan fase yang ditetapkan oleh Mālikal Mulk. Ketika menghadapi krisis, Ayat 26 berfungsi sebagai jangkar: ingatkan diri bahwa pencabutan atau kehinaan ini berada di tangan Dzat yang Maha Kuasa, dan bahwa di dalamnya pasti ada Khair.

2. Etika Kekuasaan dan Kepemimpinan

Bagi para pemimpin bisnis, politik, atau komunitas, Ayat 26 adalah konstitusi moral. Ia menuntut pertanggungjawaban yang lebih tinggi. Karena kekuasaan hanyalah pinjaman (Tu'til Mulk), penggunaannya harus bijaksana. Pemimpin yang memahami ayat ini akan menghindari tirani, kesombongan, dan korupsi, karena ia tahu bahwa Tanzi'ul Mulka (pencabutan kekuasaan) dapat terjadi kapan saja tanpa pemberitahuan.

3. Perlawanan terhadap Materialisme

Ayat ini adalah antitesis terhadap materialisme. Ia menempatkan nilai sejati bukan pada apa yang dimiliki (kekuasaan yang fana), tetapi pada hubungan dengan Sumber Kekuasaan Mutlak. Ketika masyarakat modern mendewakan kekayaan, Ayat 26 menegaskan bahwa kekayaan itu hanyalah alat yang dapat ditarik kembali dalam sekejap, sehingga fokus utama harus tetap pada Akhirat.

4. Menggali Kedalaman Tafsir Melalui Pengulangan dan Perenungan

Inti dari mencapai kedalaman makna Al-Qur'an (Tadabbur) adalah melalui perenungan yang berkelanjutan. Ayat 26 layak diulang dalam refleksi harian. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apa makna al-Mulk bagi saya hari ini? Apakah saya mencari Izzah dari Allah atau dari manusia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan terus membimbing jiwa untuk selalu berada dalam koridor tauhid yang murni.

Setiap subjek dalam ayat ini—kekuasaan, kemuliaan, kehinaan, dan kebajikan—adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih luas tentang kehendak Allah di alam semesta ini. Dalam keindahan diksi dan ringkasnya susunan kata, Surah Ali Imran Ayat 26 berdiri tegak sebagai monumen pengakuan terhadap Kedaulatan Ilahi yang tak tertandingi.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa takdir, dengan segala fluktuasi dan siklusnya, adalah sistem yang sempurna yang diatur oleh kebaikan mutlak dan kekuasaan yang tak terbatas.

🏠 Kembali ke Homepage