Ilustrasi visual yang mencerminkan kekayaan geografis dan spiritual Nusantara.
Panggilan dari Kedalaman: Memulai Perjalanan Menyambangi
Nusantara, sebuah gugusan pulau yang terhampar luas melintasi garis khatulistiwa, menyimpan lebih dari sekadar keindahan alam yang kasat mata. Di balik deru ombak dan rindangnya hutan tropis, tersimpan narasi panjang peradaban, mitos yang berbisik dari generasi ke generasi, serta situs-situs yang menjadi saksi bisu dari zaman purba. Inilah esensi dari perjalanan yang kami lakukan: sebuah ekspedisi spiritual dan antropologis untuk menyambangi, bukan sekadar mengunjungi, namun menyelami dan menghormati setiap jejak langkah sejarah yang membentuk identitas bangsa ini.
Pilihan untuk menyambangi lokasi-lokasi terpencil didasari oleh keyakinan bahwa warisan paling murni seringkali berada jauh dari keramaian, di tempat-tempat yang menuntut pengorbanan waktu dan tenaga untuk mencapainya. Destinasi yang kami pilih adalah cerminan dari tiga pilar utama kekayaan Nusantara: Megalitik yang menyimpan memori leluhur, Keanekaragaman Hayati yang menjadi paru-paru dunia, dan Kriya Spiritual yang menghubungkan manusia dengan kosmos.
Filosofi Menyambangi: Lebih dari Sekadar Turisme
Dalam konteks perjalanan ini, kata menyambangi mengandung makna yang lebih berat dan mendalam daripada sekadar 'berkunjung'. Menyambangi adalah upaya aktif untuk menjalin koneksi, memahami konteks, dan menunjukkan rasa hormat. Ini melibatkan izin dari tetua adat, mengikuti ritual setempat, dan melarikan diri dari kesibukan modernitas untuk sepenuhnya tenggelam dalam irama kehidupan lokal. Perjalanan ini adalah pembersihan diri, pelepasan ego, dan penyerahan diri pada kebijaksanaan yang telah bertahan ribuan tahun.
Kita sering mendengar istilah 'surga tersembunyi', namun istilah tersebut cenderung mereduksi lokasi menjadi sekadar latar belakang estetika. Kami mencari lebih dari itu; kami mencari narasi yang hidup. Kami ingin memahami mengapa komunitas adat di Sumba masih teguh memeluk kepercayaan Marapu di tengah derasnya modernisasi, bagaimana komunitas bahari di timur mempertahankan ekosistem laut yang kritis, dan mengapa para perajin di Jawa masih mempertahankan teknik membatik yang memakan waktu berbulan-bulan, yang semuanya dilakukan demi menjaga keseimbangan kosmik yang mereka yakini.
Setiap langkah yang diambil dalam ekspedisi ini adalah investasi dalam pemahaman interkultural. Tujuan utama kami bukanlah mendokumentasikan untuk konsumsi massa, melainkan untuk internalisasi. Dengan menyambangi tempat-tempat ini, kami berharap dapat membawa kembali esensi ketahanan budaya yang dapat menjadi fondasi bagi masa depan bangsa yang semakin terhubung namun seringkali terputus dari akar spiritualnya sendiri. Kesiapan mental dan fisik adalah prasyarat, sebab akses ke lokasi-lokasi ini seringkali menantang, membutuhkan negosiasi dengan alam, cuaca, dan kadang, dengan batas-batas kemampuan diri sendiri.
Dari padang savana yang kering hingga hutan hujan yang lebat, dari puncak gunung berapi yang sunyi hingga desa pesisir yang terisolasi, Indonesia menawarkan sebuah spektrum pengalaman yang tak tertandingi. Selama perjalanan ini, kami akan menemukan bahwa peninggalan purba bukan hanya benda mati yang diletakkan di museum, melainkan energi yang terus mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang menjaganya. Inilah janji dari ekspedisi ini: sebuah penemuan kembali diri melalui interaksi otentik dengan harta karun tersembunyi Nusantara.
Destinasi Pertama: Menyambangi Keagungan Megalitik di Jantung Sumba
Langkah pertama kami membawa kami ke bagian timur Indonesia, khususnya ke pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sumba bukanlah destinasi yang sepenuhnya asing, tetapi kami memilih untuk menyambangi kantong-kantong budaya di pedalaman, tempat tradisi Marapu masih dipraktikkan dengan ketat. Fokus utama kami adalah Sumba Barat Daya dan Sumba Timur, kontras geografis yang mencerminkan keragaman praktik adat.
Desa Adat Ratenggaro: Simfoni Atap Menjulang
Kedatangan di Ratenggaro, yang terletak di ujung barat daya Sumba, adalah pengalaman yang mengubah perspektif. Desa ini dikelilingi oleh lanskap pantai yang dramatis, namun perhatian segera tersedot oleh rumah adat (Uma Kalada) yang atapnya menjulang tinggi, bisa mencapai lebih dari 20 meter, seolah berusaha meraih langit. Struktur arsitektur ini bukan sekadar desain; ia adalah manifestasi dari kosmologi Marapu.
Kami menghabiskan beberapa hari di sana, berusaha menyambangi kehidupan sehari-hari komunitas. Kami belajar bahwa ketinggian atap melambangkan status sosial dan, yang lebih penting, kedekatan dengan arwah leluhur yang bersemayam di langit (Marapu). Bagian bawah rumah digunakan untuk ternak, bagian tengah untuk kehidupan manusia, dan bagian atas yang kosong adalah tempat sakral bagi leluhur.
Tradisi Penguburan Megalitik dan Makna Batu Kubur
Salah satu ciri paling menonjol dari Sumba adalah praktik penguburan megalitik yang masih berlangsung hingga saat ini. Di tengah desa Ratenggaro, terhampar puluhan batu kubur besar (dolmen) yang berusia ratusan tahun. Prosesi pemakaman seorang tokoh adat adalah peristiwa masif yang membutuhkan persiapan bertahun-tahun dan pengorbanan kerbau dan babi dalam jumlah besar—sebuah pertunjukan kemakmuran dan rasa hormat kepada yang telah tiada.
Batu-batu ini, yang dapat mencapai bobot puluhan ton, dipahat dan diangkut secara manual oleh seluruh komunitas. Aktivitas ini bukan hanya tugas fisik, melainkan ikatan spiritual yang kuat, mengingatkan setiap individu akan peran mereka dalam rantai kehidupan dan kematian. Saat menyambangi situs-situs ini, kami merasakan getaran energi kolektif yang dihasilkan dari upaya ribuan tangan yang menyusun batu-batu tersebut demi menghormati leluhur mereka, memastikan perjalanan roh ke alam Marapu berjalan lancar.
Kontemplasi di Savana Prailiu
Beralih ke Sumba Timur, lanskap berubah drastis menjadi savana yang luas dan kering. Di sini, kami menyambangi Prailiu, sebuah desa yang terkenal dengan seni tenun ikatnya. Tenun ikat Sumba bukanlah sekadar kain; ia adalah narasi visual. Setiap motif—kuda, buaya, tengkorak, atau patung Marapu—memiliki makna filosofis dan hierarki sosial yang ketat.
Proses pembuatan kain ini sangat panjang. Mulai dari menanam kapas, memintal benang, menyiapkan pewarna alami (khususnya indigo dan akar mengkudu), hingga proses pengikatan dan pencelupan, setiap tahap memakan waktu hingga tiga tahun untuk sehelai kain premium. Kami menyaksikan para penenun, sebagian besar wanita paruh baya, bekerja dengan ketelitian yang luar biasa, seringkali di bawah terik matahari, mengaplikasikan pengetahuan turun-temurun yang tak tertulis.
Momen penting adalah saat kami diizinkan menyambangi lumbung penyimpanan benang dan pewarna. Ruangan tersebut dipenuhi aroma tanah, rempah-rempah, dan dedaunan yang difermentasi, sebuah bukti nyata bahwa kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam telah mencapai tingkat kesempurnaan. Kemampuan mereka dalam menciptakan warna merah yang pekat dan biru indigo yang mendalam, hanya menggunakan bahan-bahan dari lingkungan sekitar, adalah sebuah keajaiban kimia alami. Kehadiran kami di sana adalah pengakuan atas nilai seni yang seringkali diremehkan oleh pasar global yang haus kecepatan dan produksi massal.
Sumba mengajarkan kami pelajaran pertama yang paling mendasar: bahwa modernitas tidak harus berarti hilangnya tradisi. Sebaliknya, tradisi dapat menjadi jangkar spiritual yang memungkinkan sebuah komunitas untuk berlayar melalui arus perubahan tanpa kehilangan arah. Menyambangi Sumba adalah memasuki sebuah museum hidup yang terus berdetak seiring dengan denyut nadi spiritual leluhur mereka.
Destinasi Kedua: Menyambangi Biodeversitas Tak Tersentuh di Raja Ampat Bagian Utara
Dari padang savana Sumba, kami terbang jauh ke timur laut, menuju jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia: Raja Ampat, Papua Barat. Meskipun Raja Ampat terkenal di mata dunia, kami memutuskan untuk menyambangi gugusan pulau-pulau kecil di bagian utara yang lebih terisolasi, jauh dari jalur kapal pesiar komersial, di mana interaksi antara manusia dan alam masih berada pada titik keseimbangan yang paling rapuh.
Misteri di Kepulauan Wayag dan Pesisir Waigeo Timur
Perjalanan ke Wayag membutuhkan navigasi yang rumit melalui perairan yang jernih namun penuh karang tajam. Tujuannya bukan hanya menikmati pemandangan karst yang ikonik, melainkan untuk menyambangi komitmen masyarakat lokal dalam konservasi. Di sini, sistem Sasi (hukum adat penutupan wilayah tangkapan) masih ditegakkan dengan kuat, sebuah praktik yang menjamin keberlanjutan sumber daya laut.
Kami berinteraksi dengan kelompok adat dari Kampung Saleo, yang bertindak sebagai penjaga informal wilayah Sasi. Mereka menjelaskan bagaimana aturan ini bekerja: periode tertentu, wilayah laut tertentu dinyatakan tertutup dari penangkapan ikan komersial, memberikan waktu bagi biota laut untuk beregenerasi. Kepatuhan terhadap Sasi didorong oleh kepercayaan spiritual bahwa melanggar aturan akan mendatangkan kutukan dari leluhur, sebuah sistem penegakan hukum yang jauh lebih efektif daripada regulasi pemerintah mana pun.
Di bawah permukaan laut, pengalaman menyambangi ekosistem ini adalah sesuatu yang tak terlukiskan. Laut Raja Ampat menyimpan lebih dari 75% spesies karang di dunia dan ribuan spesies ikan. Saat kami menyelam di area yang baru dibuka setelah periode Sasi, kehidupan laut meledak dalam palet warna yang memusingkan. Ikan pari manta raksasa berenang dengan anggun, hiu karang hitam berpatroli, dan sekolah ikan berputar membentuk pola geometris yang kompleks.
Kearifan Lokal dalam Pengobatan Hutan Mangrove
Selain keindahan bawah laut, kami juga menyambangi hutan mangrove yang melingkari pesisir Waigeo Timur. Hutan mangrove sering diabaikan, namun bagi masyarakat adat Papua, ia adalah apotek, dapur, dan benteng pertahanan. Kami belajar tentang penggunaan akar mangrove tertentu untuk mengobati penyakit kulit dan bagaimana daunnya diproses menjadi teh herbal yang dipercaya meningkatkan stamina.
Pengetahuan ini, yang diwariskan secara oral, adalah harta karun farmasi alam yang tak ternilai. Dengan menyambangi dan mendengarkan para tetua, kami menyadari bahwa hutan ini bukan hanya pencegah erosi, melainkan perpustakaan hidup. Kehati-hatian mereka dalam memanen—hanya mengambil yang dibutuhkan dan memastikan regenerasi—adalah model sempurna dari konservasi yang terintegrasi dengan kebutuhan hidup. Mereka memahami bahwa jika mereka merusak mangrove untuk keuntungan sesaat, mereka akan merusak masa depan mereka sendiri.
Perjalanan Sunyi ke Pedalaman Hutan Misool
Misool menawarkan tantangan yang berbeda. Kami menyambangi situs-situs arkeologi di gua-gua karst yang tersembunyi, tempat ditemukan lukisan tangan prasejarah (cap tangan) yang berwarna merah dan oker. Perjalanan menuju gua-gua ini melalui trek hutan yang lebat, menuntut kesabaran dan keahlian navigasi.
Lukisan-lukisan ini, beberapa di antaranya diyakini berusia ribuan tahun, adalah bukti tertua interaksi manusia dengan lanskap ini. Mereka adalah pesan diam dari masa lalu, menceritakan kisah tentang perburuan, ritual, dan hubungan spiritual dengan alam. Berdiri di depan dinding gua, menyentuh (dengan izin dan kehati-hatian) pigmen yang telah bertahan melalui zaman, adalah pengalaman yang merendahkan hati.
Lukisan tersebut bukan sekadar seni dekoratif; mereka adalah peta spiritual dan narasi sejarah. Masyarakat adat percaya bahwa gua-gua ini adalah gerbang menuju dunia lain. Dengan menyambangi tempat suci ini, kami menjadi bagian singkat dari rantai panjang pemeliharaan memori kolektif yang telah berlangsung tanpa putus. Raja Ampat, di balik citra turisnya, adalah wilayah yang menuntut penghargaan tertinggi terhadap Sasi—prinsip keseimbangan kosmik antara mengambil dan memberi.
Destinasi Ketiga: Menyambangi Simbol Kehidupan dan Kematian di Tana Toraja
Setelah merasakan kehangatan laut timur, kami bergerak ke Sulawesi Selatan untuk menyambangi Tana Toraja, wilayah yang terkenal dengan ritual kematiannya yang megah dan arsitektur rumah adat (Tongkonan) yang khas. Toraja adalah tempat di mana kehidupan sehari-hari selalu terkait erat dengan penghormatan terhadap leluhur dan persiapan untuk kematian, sebuah siklus tak terpisahkan.
Tongkonan: Manifestasi Kosmologi di Atap Perahu
Hal pertama yang menarik perhatian saat menyambangi desa-desa di Toraja adalah deretan rumah Tongkonan yang atapnya melengkung menyerupai perahu atau tanduk kerbau yang menjulang. Tongkonan bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah pusat spiritual dan sosial keluarga besar. Arah hadap rumah, ukiran (Passura’), dan penempatan lumbung padi (Alang) semuanya memiliki makna yang detail dan terstruktur, mencerminkan hierarki Adat dan status sosial.
Setiap ukiran pada Tongkonan, seperti motif Pa’Tedong (tanduk kerbau) atau Pa’Manuk (ayam jantan), memiliki filosofi tentang kesuburan, kemakmuran, dan keberanian. Saat kami menyambangi sebuah keluarga di Rantepao, kami diberi penjelasan mendalam mengenai orientasi rumah: utara (ulu) melambangkan surga dan arwah leluhur, sementara selatan (tangngan) melambangkan bumi dan kehidupan manusia. Ini menunjukkan bahwa arsitektur mereka adalah buku teks yang dibentuk dari kayu dan ijuk, sebuah media visual untuk menjaga ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan leluhur).
Ritual Kematian Rambu Solo' dan Keseimbangan Hidup
Inti dari pengalaman menyambangi Toraja adalah pemahaman tentang Rambu Solo’, upacara pemakaman yang spektakuler. Bagi orang Toraja, kematian bukanlah akhir yang mendadak, melainkan transisi yang panjang. Seseorang yang meninggal dianggap 'orang sakit' (To Makula') sampai upacara Rambu Solo' dilaksanakan. Selama periode menunggu ini—yang bisa berlangsung bertahun-tahun—jasad disimpan di rumah dan tetap diperlakukan sebagai anggota keluarga yang hidup.
Kami beruntung dapat menyaksikan persiapan Rambu Solo' skala menengah. Prosesi ini melibatkan pemotongan kerbau dan babi, yang jumlahnya melambangkan status almarhum, serta kehadiran ribuan kerabat. Pengorbanan kerbau (Tedong) dianggap sebagai kendaraan roh almarhum menuju Puya (akhirat).
Melihat ritual ini secara langsung, kami menyadari bahwa Rambu Solo' adalah mekanisme sosial yang kompleks. Ini adalah kesempatan bagi keluarga untuk menegaskan kembali ikatan kekerabatan, membayar utang sosial, dan memastikan bahwa status leluhur ditinggikan. Kami diajarkan bahwa biaya yang sangat besar dan waktu yang lama yang dibutuhkan untuk Rambu Solo' bukanlah pemborosan, melainkan investasi spiritual untuk memastikan kebahagiaan dan kemakmuran bagi generasi yang masih hidup.
Perjalanan ke Tebing Makam Lemo dan Londa
Selain upacara, Toraja terkenal dengan makam-makam yang dipahat di tebing batu yang curam (Lemo) dan gua-gua (Londa). Saat menyambangi Lemo, kami melihat patung-patung kayu yang menyerupai almarhum, yang disebut Tau-Tau, diletakkan di balkon tebing. Tau-Tau ini menghadap ke desa, seolah-olah terus mengawasi dan melindungi keturunan mereka.
Di Londa, peti mati diletakkan di dalam gua alami. Pemandu lokal kami menjelaskan bahwa penempatan makam yang tinggi dan sulit dijangkau ini mencerminkan penghormatan tertinggi, sekaligus keyakinan bahwa roh harus menjauh dari urusan duniawi. Udara di sekitar makam terasa dingin dan sakral. Ada ratusan peti mati yang bertumpuk, beberapa sudah lapuk, namun energi spiritualnya terasa kuat. Menyambangi makam-makam ini adalah pelajaran mendalam tentang penerimaan siklus hidup dan kematian—sebuah perspektif yang sangat kontras dengan budaya modern yang cenderung menyembunyikan kematian.
Toraja adalah pengingat bahwa warisan budaya dapat tumbuh subur di tengah tantangan modernisasi, selama ia terus dilakoni dengan keyakinan yang teguh. Mereka telah berhasil mengintegrasikan pariwisata tanpa mengorbankan inti ritual suci mereka, menjadikannya salah satu tempat paling otentik di Nusantara untuk menyelami hubungan antara yang hidup dan yang mati.
Destinasi Keempat: Menyambangi Peradaban Kuno di Ketinggian Dataran Tinggi Dieng
Ekspedisi kami berlanjut ke barat, ke Pulau Jawa, namun fokus kami beralih dari kemegahan candi besar yang terkenal, menuju Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah. Di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng adalah situs sejarah dan geologi yang luar biasa, rumah bagi candi-candi Hindu tertua di Jawa dan lanskap vulkanik yang unik.
Kompleks Candi Arjuna: Jantung Sejarah Śailendra
Kami memilih untuk menyambangi Kompleks Candi Arjuna yang diselimuti kabut pagi. Candi-candi di Dieng dibangun sekitar abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, jauh sebelum Borobudur dan Prambanan, menjadikannya tonggak penting dalam perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara. Skala candi-candi ini mungkin lebih kecil dibandingkan candi-candi era Mataram Kuno, namun keheningan dan lokasinya yang dramatis di tengah kawah purba memberikan aura mistis yang luar biasa.
Candi-candi ini didedikasikan untuk Dewa Siwa dan mencerminkan pengaruh seni Pallawa dari India Selatan. Kami menghabiskan waktu lama mengamati relief yang sederhana namun kuat, berusaha memahami mengapa peradaban memilih lokasi yang ekstrem ini, di tengah udara yang tipis dan ancaman aktivitas vulkanik, untuk mendirikan pusat spiritual mereka.
Penjelasan yang kami terima dari sejarawan lokal menyebutkan bahwa Dieng, yang berasal dari kata ‘Dihyang’ (tempat bersemayam para dewa), dipilih karena ketinggiannya yang dianggap suci, sebagai titik terdekat dengan kayangan. Ini adalah manifestasi dari tradisi pemujaan gunung yang sudah ada jauh sebelum Hindu masuk. Dengan menyambangi Dieng, kami tidak hanya melihat batu-batu purba, tetapi juga menyaksikan pertemuan antara kepercayaan asli Nusantara dan ajaran dari anak benua India.
Kawah Sikidang dan Ritual Ruwatan Rambut Gimbal
Selain sejarah, Dieng adalah wilayah yang hidup secara geologis. Kami menyambangi Kawah Sikidang, sebuah kawah yang terus-menerus mengeluarkan uap belerang, mengingatkan kami akan sifat dinamis dari bumi yang kami pijak. Kontras antara candi yang tenang dan geologi yang bergejolak menciptakan dikotomi yang menarik; seolah-olah para leluhur sengaja memilih tempat di mana batas antara hidup dan bahaya selalu nyata.
Aspek unik lain yang kami menyambangi adalah tradisi Ruwatan Rambut Gimbal. Anak-anak yang lahir dengan rambut gimbal di Dieng diyakini sebagai keturunan dewa. Rambut gimbal ini tidak boleh dipotong sembarangan; harus melalui ritual khusus yang disebut Ruwatan, yang biasanya diadakan pada bulan Suro. Ritual ini melibatkan permintaan kepada sang anak, yang permintaannya harus dipenuhi sebelum rambut dapat dipotong dan dilarungkan ke air.
Kami berinteraksi dengan komunitas yang menjaga tradisi ini. Mereka menjelaskan bahwa Ruwatan adalah bentuk pemuliaan terhadap anak-anak istimewa ini, sekaligus cara untuk menjaga keseimbangan spiritual Dataran Tinggi Dieng. Prosesi pemotongan rambut yang sakral, diiringi doa dan musik tradisional, menunjukkan bagaimana keyakinan kuno terus beradaptasi dan berintegrasi dengan Islam yang menjadi mayoritas. Dieng adalah bukti bahwa spiritualitas Nusantara bersifat cair dan mampu menyerap berbagai pengaruh tanpa kehilangan inti sakralnya.
Menelusuri Peninggalan Pertanian Kuno
Ketinggian Dieng memungkinkan produksi komoditas pertanian tertentu, seperti kentang Dieng dan Carica (pepaya gunung) yang khas. Dalam upaya menyambangi kehidupan ekonomi lokal, kami mengunjungi petani yang masih menggunakan sistem terasering tradisional di lereng-lereng curam. Mereka adalah penjaga lanskap yang telah dipelihara selama berabad-abad.
Ketahanan mereka dalam menghadapi cuaca ekstrem dan lahan yang terbatas adalah sebuah pelajaran. Mereka menjelaskan bahwa pertanian di Dieng bukan sekadar mencari nafkah, tetapi menjaga warisan nenek moyang yang telah berhasil menjinakkan alam vulkanik yang keras. Setiap tanaman yang tumbuh adalah hasil negosiasi yang halus antara manusia, tanah, dan roh-roh penjaga gunung. Menyambangi Dieng adalah merasakan denyut nadi peradaban yang dimulai di atas awan, di mana batu dan kabut menjadi saksi bisu awal mula sejarah Jawa.
Destinasi Kelima: Menyambangi Akar Hidup Siberut dan Suku Mentawai
Perjalanan epik kami mencapai puncaknya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, khususnya di Pulau Siberut. Inilah wilayah di mana interaksi dengan modernitas masih sangat terbatas, dan tradisi 'Arat Sabulungan' (kepercayaan tradisional) dipeluk erat oleh komunitas Suku Mentawai yang dikenal sebagai "Sikerei" (dukun atau tabib adat).
Perjalanan Menuju Pedalaman: Menembus Hutan dan Sungai
Untuk menyambangi Mentawai secara otentik, kami harus meninggalkan semua kenyamanan. Perjalanan dimulai dengan perahu kecil, menyusuri sungai-sungai berlumpur yang membelah hutan hujan tropis lebat. Kelembaban tinggi, nyamuk, dan keterbatasan komunikasi adalah bagian tak terpisahkan dari ziarah ini. Tujuannya adalah sebuah uma (rumah komunal tradisional) yang jauh di hulu sungai.
Uma adalah arsitektur yang mencerminkan filosofi hidup Mentawai: komunal, terbuka, dan terintegrasi dengan alam. Atap dari daun sagu yang lebar melindungi dari hujan, dan lantai yang ditinggikan melindungi dari banjir dan satwa liar. Kami menghabiskan beberapa hari di uma, mengikuti ritme kehidupan mereka yang sangat tergantung pada hutan.
Sikerei dan Filosofi Arat Sabulungan
Sikerei adalah figur sentral dalam masyarakat Mentawai, bertindak sebagai penyembuh, pemimpin ritual, dan penjaga pengetahuan ekologis. Kami berkesempatan menyambangi seorang Sikerei senior yang menjelaskan inti dari Arat Sabulungan, sebuah filosofi yang percaya bahwa setiap benda di alam—pohon, batu, hewan, sungai—memiliki jiwa (kina).
Kepercayaan ini memaksakan rasa hormat yang mutlak terhadap alam. Sebelum memotong pohon atau berburu babi hutan, Sikerei harus melakukan ritual permohonan maaf kepada jiwa benda tersebut. Jika harmoni ini terganggu, diyakini akan mendatangkan penyakit atau bencana. Tattoo tradisional Mentawai, yang meliputi hampir seluruh tubuh mereka, adalah peta spiritual dan cerminan hubungan individu dengan alam dan leluhur.
Saat menyambangi Sikerei melakukan ritual penyembuhan, kami menyaksikan bagaimana ia menggunakan daun-daun dan mantra (logat) untuk mengusir roh jahat. Peralatan penyembuhan mereka sepenuhnya berasal dari hutan, sebuah bukti bahwa mereka adalah ahli botani yang sangat terampil, mampu mengidentifikasi ratusan jenis tanaman obat dengan presisi yang mengejutkan. Sikerei bukan hanya dukun; mereka adalah ensiklopedia hidup tentang keberlanjutan.
Memahami Hubungan Tubuh dan Hutan
Aspek lain yang menarik adalah gaya hidup nomaden yang semi-menetap dan sistem pangan mereka yang didominasi sagu. Proses pemanenan sagu, dari menebang pohon hingga menghasilkan pati yang siap dimakan, adalah kerja keras yang dilakukan secara komunal. Ini adalah sistem yang mengajarkan kesabaran dan kerja sama.
Mereka hidup dengan prinsip 'seadanya'. Minimnya akumulasi harta benda mencerminkan filosofi egaliter. Dengan menyambangi Mentawai, kami menyaksikan sebuah peradaban yang telah berhasil menolak laju konsumerisme dan mempertahankan kesejahteraan spiritual di atas kekayaan materi. Keheningan hutan di Siberut, diselingi suara burung dan kapak yang memotong sagu, adalah soundtrack bagi kehidupan yang otentik dan bersahaja.
Kepulauan Mentawai memberikan penutup yang sempurna bagi ekspedisi ini. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah hiruk pikuk globalisasi, masih ada tempat di mana manusia hidup berdasarkan kontrak abadi dengan hutan, di mana setiap napas adalah ucapan syukur, dan setiap tindakan adalah penghormatan terhadap roh-roh alam.
Visualisasi metaforis dari jalur yang telah ditempuh dalam menyambangi warisan Nusantara.
Refleksi Akhir: Makna Sejati Menyambangi
Ekspedisi menyambangi lima titik pusaka tersembunyi Nusantara—dari megalitik Sumba, keanekaragaman hayati Raja Ampat, kosmologi kematian Toraja, sejarah kuno Dieng, hingga kearifan ekologis Mentawai—bukanlah sekadar daftar perjalanan geografis. Ini adalah sebuah mosaik tentang ketahanan spiritual manusia dihadapkan pada perubahan zaman yang tak terelakkan.
Setelah menempuh ribuan kilometer, merasakan berbagai iklim, dan berinteraksi dengan ratusan individu dari latar belakang adat yang berbeda, satu kesimpulan yang muncul adalah bahwa kekayaan sejati Indonesia terletak pada kedalaman filosofi hidup masyarakatnya. Mereka tidak sekadar 'bertahan', mereka 'menjaga'. Mereka menjaga warisan tidak sebagai kewajiban museum, tetapi sebagai kebutuhan spiritual untuk mempertahankan keseimbangan kosmik.
Tanggung Jawab Setelah Menyambangi
Pengalaman menyambangi tempat-tempat suci ini membawa tanggung jawab baru. Kita tidak bisa lagi melihat Indonesia hanya melalui lensa ekonomi atau politik, melainkan harus melalui lensa budaya dan ekologi. Setiap tempat yang kami singgahi mengajarkan bahwa konservasi budaya dan konservasi alam adalah dua sisi mata uang yang sama. Hukum Sasi di Raja Ampat, ritual Ruwatan di Dieng, dan Arat Sabulungan di Mentawai semuanya berakar pada prinsip yang sama: menghormati batas-batas yang ditetapkan oleh alam dan leluhur.
Sumba mengajarkan kami nilai kesabaran dan pentingnya narasi leluhur; Raja Ampat menegaskan vitalitas ekosistem yang dijaga oleh hukum adat; Toraja menawarkan pemahaman tentang siklus kehidupan dan penghormatan tanpa batas; Dieng menunjukkan bagaimana spiritualitas dapat bersemi di tengah lanskap yang keras; dan Mentawai memberikan model ideal integrasi penuh dengan hutan hujan. Masing-masing adalah fragmen dari sebuah identitas kolektif yang lebih besar.
Perjalanan ini menegaskan bahwa untuk benar-benar mengenal Indonesia, seseorang harus bersedia untuk turun dari jalur utama, menghadapi tantangan, dan yang paling penting, bersedia mendengarkan. Mendengarkan bisikan gunung, mendengarkan deru ombak, dan mendengarkan suara tetua adat yang menyimpan kearifan ribuan tahun di dalam ingatan mereka. Menyambangi adalah sebuah undangan untuk kembali ke akar, untuk menemukan bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan masa lalu, tetapi membawanya serta ke masa depan dengan penuh hormat dan kesadaran.
Warisan ini, yang telah dipertahankan melalui lagu, tarian, ukiran, dan ritual, adalah hadiah terbesar Nusantara bagi dunia. Adalah tugas kita, sebagai pewaris dan penikmat kekayaan ini, untuk memastikan bahwa tradisi menyambangi, menghormati, dan belajar ini terus berlanjut, sehingga generasi mendatang dapat terus mengambil pelajaran dari harta karun budaya yang tak ternilai ini.