Tafsir Mendalam Surah Al-Hadid Ayat 27: Pelajaran Tentang Rahbaniyyah dan Jalan Lurus Islam

Surah Al-Hadid, yang berarti Besi, adalah surah Madaniyyah yang kaya akan pelajaran mendalam mengenai akidah, hukum, dan keseimbangan spiritual. Di antara ayat-ayatnya yang mengandung muatan sejarah dan filosofis yang sangat penting, Ayat 27 menonjol sebagai peringatan universal bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Ayat ini tidak hanya menceritakan sejarah umat terdahulu, namun juga memberikan panduan fundamental tentang bagaimana seharusnya hubungan seorang hamba dengan Penciptanya—yaitu dengan mengikuti syariat yang diwahyukan, bukan dengan menciptakan jalan ibadah yang memberatkan diri sendiri.

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِم بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً ۚ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۖ فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami, dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil, dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (kerahiban), padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, melainkan (hanya mencari) keridaan Allah, tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang sewajarnya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahala mereka, dan banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik." (QS. Al-Hadid [57]: 27)

Konteks Sejarah dan Tafsir Lafaz (Word-by-Word Analysis)

Ayat mulia ini merupakan kelanjutan dari narasi tentang para nabi yang diutus kepada Bani Israil setelah Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim. Ayat ini secara spesifik menyoroti periode kedatangan Nabi Isa ‘Alaihissalam dan komunitas pengikutnya. Pemahaman terhadap setiap komponen ayat sangat penting untuk menangkap pesan universal yang terkandung di dalamnya.

1. Pengutusan Rasul dan Injil

Frasa awal, ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِم بِرُسُلِنَا (Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami), menegaskan kesinambungan risalah kenabian. Allah SWT senantiasa mengutus pembaharu dan pemberi peringatan secara beruntun. Kemudian disebutkan secara spesifik وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنجِيلَ (dan Kami iringkan Isa putra Maryam dan Kami berikan kepadanya Injil). Penyebutan Isa (A.S.) secara khusus menunjukkan pentingnya risalah beliau sebagai penutup dari rangkaian nabi-nabi Bani Israil dan pembawa kabar gembira tentang nabi terakhir yang akan datang.

Injil, kitab suci yang diwahyukan kepadanya, menekankan kasih sayang, kelembutan, dan pembersihan spiritual. Ini tercermin dalam sifat pengikutnya yang asli: وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً (dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun [Ra'fah] dan kasih sayang [Rahmah]). Ra'fah (rasa santun) adalah bentuk kasih sayang yang lebih halus dan lebih tinggi tingkatannya, sering kali diartikan sebagai belas kasihan yang mencegah bahaya. Sementara Rahmah (kasih sayang) adalah kelembutan hati yang mendorong untuk berbuat baik. Kedua sifat ini, Ra'fah dan Rahmah, adalah inti dari ajaran spiritual Nabi Isa yang menekankan perdamaian dan kerendahan hati.

2. Munculnya Rahbaniyyah (Kerahiban)

Pusat dari perdebatan tafsir dalam ayat ini adalah istilah وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ (Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah [kerahiban], padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka). Rahbaniyyah berasal dari kata rahaba yang berarti takut, atau hidup dalam ketakutan kepada Allah. Secara terminologi, ia merujuk pada praktik monastisisme atau kerahiban, yaitu menjauhi keduniaan secara total, menghindari pernikahan, mengasingkan diri di biara atau pegunungan, dan menghukum diri dengan praktik-praktik spiritual yang ekstrem.

Poin kritisnya adalah ibtada'uha (mereka mengada-adakannya/menginovasikannya). Ini adalah penegasan ilahi bahwa praktik tersebut bukan bagian dari syariat asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa. Mereka menciptakan jalan ini sendiri.

Lalu mengapa mereka mengadakannya? Ayat ini memberikan jawabannya: إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (melainkan (hanya mencari) keridaan Allah). Ini adalah pengakuan bahwa niat awal para pengikut tersebut, ketika pertama kali menciptakan sistem kerahiban, adalah mulia—mereka ingin mencapai kedekatan dan keridaan Allah. Ini menunjukkan bahwa niat yang baik saja tidak cukup jika jalan yang ditempuh menyimpang dari perintah yang diwahyukan (syariat). Kesalahan mereka adalah memilih cara yang tidak diperintahkan, meskipun tujuannya adalah keridaan Ilahi.

3. Kegagalan Memelihara Kewajiban

Bagian ayat yang paling tajam adalah فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا (tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang sewajarnya). Ketika seseorang menciptakan praktik agama yang melampaui batas kemampuan manusia, atau yang bertentangan dengan fitrah, sangat mungkin ia tidak akan mampu menjaganya secara konsisten. Rahbaniyyah yang ekstrem, yang menuntut penolakan total terhadap dunia, akhirnya gagal dalam dua aspek utama:

  1. Kegagalan Spiritual: Praktik ekstrem tersebut, alih-alih meningkatkan ketakwaan, malah sering kali membuka pintu bagi kesombongan, kepura-puraan, atau bahkan penyimpangan moral di balik tembok biara.
  2. Kegagalan Sosial: Dengan menolak pernikahan dan kehidupan bermasyarakat, mereka mengabaikan kewajiban-kewajiban sosial yang penting, yang seharusnya menjadi bagian integral dari ibadah mereka kepada Allah. Mereka tidak menjaga apa yang seharusnya mereka jaga: ajaran Injil yang asli, yaitu Ra'fah dan Rahmah, dan kehidupan yang seimbang.

Ayat ini menutup dengan pengadilan ilahi: فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ (Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahala mereka, dan banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik). Ini menunjukkan bahwa Allah SWT tetap membedakan antara mereka yang tetap berpegang pada ajaran Tauhid yang murni dan berbuat baik sesuai kemampuan mereka (meskipun hidup dalam lingkungan yang menyimpang) dan mayoritas yang jatuh ke dalam kefasikan karena meninggalkan syariat asli dan melanggar batasan-batasan agama.

Pelajaran Filosofis: Bid’ah dan Keseimbangan Hidup

Ayat Al-Hadid 27 adalah fondasi teologis yang kuat bagi konsep Bid'ah (inovasi dalam agama) dalam Islam. Ini mengajarkan bahwa penambahan atau pengubahan dalam praktik keagamaan, meskipun didorong oleh niat suci, dapat berujung pada penyimpangan besar yang mengalahkan tujuan utamanya.

Mengapa Rahbaniyyah Dilarang dalam Islam?

Rahbaniyyah yang diada-adakan oleh pengikut Isa (A.S.) bertentangan dengan fitrah manusia dan prinsip wasathiyyah (moderasi) dalam Islam. Rasulullah Muhammad SAW memberikan banyak penekanan pada penolakan praktik kerahiban. Beliau bersabda, "Tidak ada kerahiban dalam Islam. Kerahiban umatku adalah jihad." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya).

Islam menolak Rahbaniyyah karena ia adalah praktik yang ekstrem dan tidak seimbang. Jalan Islam adalah jalan yang terintegrasi, di mana spiritualitas tidak dicapai dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan mengatur dunia sesuai perintah Allah. Ibadah dalam Islam tidak terbatas pada biara atau masjid; ibadah meliputi mencari nafkah yang halal, berinteraksi dengan keluarga, berbuat adil, dan menjalankan hak-hak sosial.

Jika seseorang meninggalkan pernikahan untuk sepenuhnya beribadah, dia telah meninggalkan sunnah nabi dan mengabaikan hak keturunannya serta hak masyarakat untuk berkembang. Jika seseorang menolak makan makanan yang baik atau memakai pakaian yang layak, dia menyalahi perintah Allah untuk menikmati rezeki yang halal dan baik. Islam mengajarkan bahwa kezuhudan sejati adalah memiliki dunia di tangan, tetapi tidak di hati, bukan meninggalkan dunia secara fisik.

Kisah terkenal mengenai tiga orang sahabat yang ingin berlebihan dalam ibadah menjadi bukti penolakan Nabi SAW terhadap Rahbaniyyah. Salah seorang berkata, "Saya tidak akan menikah selamanya." Yang lain berkata, "Saya akan salat sepanjang malam dan tidak tidur." Yang ketiga berkata, "Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka." Ketika Nabi SAW mendengar hal ini, beliau menegur mereka, "Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku." Teguran ini merupakan tafsir praktis terhadap larangan Rahbaniyyah yang disinggung dalam Al-Hadid 27.

Peran Ijtihad vs. Bid'ah dalam Konteks Kontemporer

Ayat 27 Surah Al-Hadid mengajarkan batas antara Ijtihad (usaha menafsirkan hukum dalam koridor syariat) dan Bid'ah (inovasi yang melampaui koridor syariat). Rahbaniyyah adalah bid’ah karena mengubah bentuk ibadah inti yang telah ditetapkan oleh Allah. Ini adalah penambahan terhadap din (agama), bukan penyesuaian dunya (dunia) dengan din.

Dalam kehidupan Muslim kontemporer, pelajaran ini sangat relevan. Setiap praktik ibadah baru yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah, meskipun bertujuan 'mencari keridaan Allah' (seperti yang dilakukan para rahib), berisiko menjerumuskan umat ke dalam kegagalan menjaga kewajiban hakiki mereka. Fokus utama harus selalu kembali kepada apa yang Allah Katakan dan apa yang Rasulullah SAW Lakukan, bukan pada apa yang kita Inginkan untuk dilakukan demi mencapai level spiritual yang tinggi.

Kisah Rahbaniyyah mengingatkan bahwa ketika manusia berusaha memaksakan kekhususan ibadah yang melampaui kemampuan fitrahnya, mereka akan gagal فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا. Kewajiban yang diabaikan bisa jadi adalah hak keluarga, hak tubuh untuk beristirahat, atau kewajiban jihad (berjuang di jalan Allah) yang merupakan bentuk kerahiban yang sah bagi umat Muhammad SAW.

Menganalisis Ra'fah dan Rahmah: Kekuatan Kasih Sayang

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai bahaya Rahbaniyyah, perlu ditekankan kembali aspek positif yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu sifat Ra'fah (santun) dan Rahmah (kasih sayang) yang Allah tanamkan pada hati pengikut Nabi Isa yang sejati. Kedua sifat ini adalah fondasi akhlak Islami dan merupakan ciri khas risalah kenabian.

Allah memuji pengikut Isa karena memiliki hati yang lembut. Sifat ini sangat penting karena ia adalah penyeimbang terhadap kecenderungan ekstremisme. Seorang yang memiliki Ra'fah dan Rahmah akan cenderung menjadi moderat, adil, dan penuh empati. Sayangnya, ketika praktik Rahbaniyyah ekstrem mulai diterapkan, sifat-sifat ini sering kali luntur. Kehidupan isolasi dan penghukuman diri cenderung menciptakan kekerasan batin atau setidaknya, ketidakpedulian terhadap penderitaan sosial di luar biara, yang berlawanan dengan semangat awal risalah Injil.

Dalam Islam, Ra'fah dan Rahmah ditekankan sebagai sifat utama Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah: "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun lagi penyayang (Ra’ufun Rahim) terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah [9]: 128). Ini menunjukkan bahwa model kenabian yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—yang merupakan kesempurnaan risalah Isa—adalah model yang aktif, bersosialisasi, peduli, dan penuh kasih sayang, bukan model yang mengasingkan diri.

Perbedaan Zuhud Islami dan Rahbaniyyah

Seringkali terjadi kekeliruan antara konsep Zuhud dalam Islam dengan Rahbaniyyah. Keduanya memang sama-sama mendorong pengekangan diri, namun substansinya sangat berbeda:

  1. Zuhud (Islam): Adalah meninggalkan kecintaan berlebihan terhadap dunia di dalam hati, namun tetap berinteraksi dengan dunia, menggunakannya sebagai sarana ibadah. Seorang zahid (orang yang zuhud) masih menikah, bekerja, dan menunaikan hak sosialnya.
  2. Rahbaniyyah (Bid'ah): Adalah meninggalkan dunia secara fisik, termasuk menolak harta, pernikahan, dan masyarakat. Ini adalah penarikan diri total yang dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesucian.

Nabi Muhammad SAW menggambarkan zuhud dengan sangat jelas: "Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud adalah engkau lebih percaya kepada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan engkau lebih menyukai pahala musibah daripada pahala keberuntungan." Zuhud adalah keadaan mental, bukan praktik fisik ekstrem. Ia adalah qana'ah (puas) dan tawakkal (berserah diri), sementara Rahbaniyyah adalah melarikan diri dari takdir dunia.

Para rahib dalam Rahbaniyyah mencoba mencapai keridaan Allah dengan cara yang tidak sah, yang pada akhirnya membawa mereka pada kekecewaan spiritual atau penyimpangan. Kegagalan mereka (فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا) adalah konsekuensi logis dari menempatkan beban yang tidak proporsional pada jiwa yang lemah.

Dimensi Hukum (Fiqh) dan Peringatan Keras terhadap Tasyaddud

Ayat Al-Hadid 27 ini menjadi landasan usul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) tentang pencegahan terhadap ekstremisme dan kesulitan (tasyaddud) dalam beragama. Agama Allah adalah mudah, dan barang siapa yang mempersulitnya, maka ia akan dikalahkan. Inilah esensi dari peringatan ilahi terhadap Rahbaniyyah.

Batasan dalam Menetapkan Ibadah

Para ulama sepakat bahwa ibadah adalah perkara tauqifi, artinya harus berhenti pada batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Kita hanya beribadah dengan cara dan sarana yang telah diperintahkan. Al-Hadid 27 menunjukkan bahwa niat baik saja tidak membenarkan praktik ibadah yang diada-adakan. Bahkan jika niat mereka adalah ibtigha’a ridhwanillah (mencari keridaan Allah), praktik itu tetap dicap sebagai ibtada’uha (diinovasikan), bukan katabnaha 'alaihim (Kami wajibkan atas mereka).

Pelajaran terpenting dari ayat ini bagi umat Islam adalah mengenai pencegahan ghuluw (berlebihan) dalam agama. Ketika seseorang berlebihan dalam ibadah sunnah hingga mengabaikan kewajiban (fardhu) atau hak-hak yang lain, ia telah jatuh ke dalam kesalahan Rahbaniyyah. Contohnya: seseorang yang terus-menerus beriktikaf (mengasingkan diri) di masjid namun menelantarkan nafkah keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Ia telah gagal menjaga ibadahnya dengan pemeliharaan yang sewajarnya (fama ra'awha haqqah ri'ayatiha), karena ia melanggar kewajiban yang lebih besar.

Ketidakmampuan Mengurus Kewajiban

Mengapa Allah menegaskan bahwa mereka tidak memelihara kerahiban itu dengan pemeliharaan yang sewajarnya? Karena rahbaniyyah, sebagai beban tambahan yang tidak diwajibkan, sering kali mustahil untuk dipertahankan oleh sebagian besar manusia, apalagi selama bergenerasi-generasi. Seiring berjalannya waktu, praktik tersebut mengalami degradasi:

  1. Relaksasi dan Korupsi: Setelah generasi pertama yang tulus, generasi berikutnya tidak mampu mempertahankan kekakuan praktik tersebut, yang akhirnya berujung pada relaksasi hukum dan korupsi moral di dalam biara.
  2. Dogmatisme Kaku: Bagi yang mampu bertahan, praktik ekstrem tersebut justru menimbulkan kekakuan mental dan dogmatisme, menjauhkan mereka dari Ra'fah dan Rahmah yang seharusnya menjadi inti ajaran.
  3. Pemisahan dari Realitas: Dengan mengasingkan diri, mereka kehilangan kemampuan untuk menjadi teladan aktif dan memberikan bimbingan bagi masyarakat umum, sehingga peran agama dalam masyarakat menjadi terpinggirkan.

Islam menawarkan solusi: syariat yang mudah dan dapat diterapkan oleh semua orang, di setiap waktu dan tempat. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang memberatkan diri dalam agama, melainkan ia akan dikalahkan oleh agama itu." (HR. Bukhari). Ayat Al-Hadid 27 adalah penegasan Al-Qur'an terhadap prinsip kemudahan ini.

Analisis Kritis Istilah 'Fasiqūn'

Penutup ayat ini sangat penting: وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ (dan banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik). Fasiqūn adalah mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Ini adalah label yang diberikan kepada mayoritas pengikut Rahbaniyyah. Bagaimana mereka bisa jatuh dari niat suci menjadi fasik?

Ketika mereka mengada-adakan Rahbaniyyah, mereka secara efektif menempatkan hukum buatan manusia di atas hukum Allah. Mereka membuat ibadah yang tidak diwajibkan, dan ketika mereka gagal memeliharanya, mereka akhirnya melanggar syariat asli yang diwahyukan. Kegagalan menjaga inovasi yang ekstrem tersebut berujung pada pelanggaran terhadap perintah dasar, dan inilah yang menyebabkan kefasikan. Ini adalah pelajaran keras bahwa jalan menuju neraka bisa saja dilapisi dengan niat baik yang tidak syar'i.

Ayat 27 Al-Hadid sebagai Pijakan Risalah Islam

Ayat ini berfungsi sebagai pembuka jalan bagi penerimaan syariat Islam. Setelah menceritakan tentang penyimpangan umat terdahulu (melalui inovasi Rahbaniyyah), ayat berikutnya (Ayat 28) segera menyeru kepada umat Islam untuk beriman kepada Rasulullah SAW, sehingga mereka akan mendapatkan dua kali lipat pahala (pahala karena beriman kepada nabi terdahulu dan nabi terakhir).

Penghargaan bagi Yang Beriman Sejati

Allah memastikan bahwa mereka yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip tauhid dan kasih sayang, meskipun berada di tengah-tengah penyimpangan Rahbaniyyah, tetap mendapatkan pahala mereka: فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ. Para mufassir menjelaskan bahwa ini merujuk kepada mereka yang tulus mencari kebenaran, menolak politeisme, dan yang, ketika mendengar risalah Nabi Muhammad SAW, segera beriman.

Para pengikut Rahbaniyyah yang jujur secara spiritual akan menyadari bahwa praktik yang mereka lakukan adalah beban, dan bahwa janji Allah untuk mengirimkan nabi yang membawa kemudahan dan agama yang sempurna telah tiba. Mereka adalah seperti Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhu, yang mencari kebenaran melalui berbagai guru dan akhirnya memeluk Islam, meninggalkan kehidupan kerahiban karena menyadari Islam adalah manifestasi dari ibtigha'a ridhwanillah (mencari keridaan Allah) yang sejati, namun dengan jalan yang syar'i.

Simbol Keseimbangan Islam Ilustrasi timbangan yang menunjukkan keseimbangan antara aspek duniawi (Dunya) dan spiritual (Din/Akhirat), melambangkan konsep Wasathiyyah yang menolak ekstremisme Rahbaniyyah. DUNYA AKHIRAT KESEIMBANGAN
Keseimbangan (Wasathiyyah) antara kewajiban dunia dan fokus spiritual, kontras dengan praktik Rahbaniyyah yang ekstrem.

Kesempurnaan Syariat Islam

Ayat Al-Hadid 27 adalah sebuah proklamasi bahwa syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah syariat yang final, lengkap, dan paling seimbang. Syariat ini tidak memerlukan penambahan (bid'ah) untuk mencapai kesucian, karena ia sendiri sudah mencakup semua jalan menuju keridaan Allah (ibtigha'a ridhwanillah) tanpa harus meninggalkan fitrah manusiawi.

Islam menawarkan jihad sebagai alternatif yang sah dan diwajibkan bagi Rahbaniyyah. Jihad, dalam maknanya yang luas, mencakup perjuangan melawan hawa nafsu (jihad akbar), perjuangan mencari ilmu, berbuat baik, dan berjuang secara fisik untuk membela agama. Semua bentuk jihad ini melibatkan interaksi aktif dengan masyarakat dan dunia, bukan pengasingan. Ini adalah cara yang dikatabnaha 'alaihim (diwajibkan Allah) dan yang dapat dipelihara haqqah ri'ayatiha (dengan pemeliharaan yang sewajarnya).

Konsep wasathiyyah (moderasi atau jalan tengah) yang menjadi ciri khas Islam merupakan jawaban tuntas terhadap bahaya ekstremisme Rahbaniyyah. Allah SWT berfirman: "Dan demikianlah Kami jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (wasat), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (QS. Al-Baqarah [2]: 143). Umat yang adil adalah umat yang menyeimbangkan tuntutan tubuh dan ruh, dunia dan akhirat, individu dan masyarakat.

Kegagalan umat terdahulu untuk mempertahankan Rahbaniyyah dengan baik merupakan pelajaran sejarah yang Allah berikan agar umat Nabi Muhammad tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama, yaitu menciptakan ibadah yang melampaui batasan syariat, yang pada akhirnya akan menyebabkan kesulitan dan kefasikan.

Implikasi dari Kegagalan Memelihara Rahbaniyyah

Mari kita telaah lebih dalam tentang makna frasa فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا (mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang sewajarnya). Ayat ini tidak hanya mencela praktik itu sendiri, tetapi juga konsekuensi dari praktik yang tidak diwajibkan tersebut. Praktik Rahbaniyyah yang berlebihan, meskipun dimulai dengan semangat keimanan, secara inheren mengandung benih kegagalan dan penyimpangan.

Ketidakmampuan Mengelola Komitmen yang Tidak Diwajibkan

Ketika seseorang mengambil beban yang tidak diwajibkan oleh Allah—seperti sumpah untuk tidak pernah menikah, atau berdiam diri di gua selamanya—beban tersebut akan menjadi terlalu berat. Islam mengajarkan bahwa ibadah harus bersifat berkelanjutan (dawam), meskipun sedikit. Jika Rahbaniyyah menuntut kesempurnaan yang melampaui kemampuan fitrah, maka pasti akan terjadi kejatuhan.

Kejatuhan ini bisa berupa:

Tujuan Sejati: Ibtigha'a Ridhwanillah

Penting untuk diingat bahwa Allah mengakui niat awal mereka: ibtigha'a ridhwanillah (mencari keridaan Allah). Niat baik adalah kunci, tetapi niat baik harus disalurkan melalui saluran yang benar—yaitu Syariat. Islam menetapkan bahwa semua aspek kehidupan dapat menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai dengan hukum Allah.

Seorang Muslim mencari keridaan Allah melalui: salat, puasa, zakat, haji, bekerja, menikah, mendidik anak, berbuat baik kepada tetangga, dan berbakti kepada orang tua. Semua ini adalah praktik yang seimbang dan diwajibkan, yang jika dipelihara dengan baik, akan mengantar kepada keridaan Allah. Ini adalah pemeliharaan yang sewajarnya (haqqah ri'ayatiha) karena memang telah diperintahkan oleh Sang Pencipta yang Maha Tahu tentang kemampuan hamba-Nya.

Peringatan terhadap Tashdid al-Nafs (Pemberatan Diri)

Ayat ini berfungsi sebagai larangan keras terhadap praktik Tashdid al-Nafs (membebani diri secara berlebihan) dalam Islam. Rasulullah SAW selalu menekankan kemudahan dan keberlanjutan. Beliau melarang para sahabat yang berniat melakukan ibadah di luar batas normal, karena itu akan menyebabkan kebosanan, kelelahan, dan akhirnya pengabaian ibadah yang wajib.

Kesempurnaan agama terletak pada kepatuhan, bukan pada kreativitas ritual. Jika umat Islam mulai mengadopsi praktik spiritual yang tidak diajarkan—seperti praktik meditasi ekstrim yang memisahkan diri dari kehidupan sosial, atau sumpah-sumpah untuk menolak kenikmatan yang halal—mereka meniru kesalahan Rahbaniyyah dan berisiko jatuh ke dalam kegagalan yang sama, yaitu kefasikan karena mengabaikan hak-hak yang diwajibkan.

Para ulama tafsir menafsirkan ayat ini sebagai peringatan abadi bagi semua kelompok spiritual, termasuk dalam tubuh umat Islam sendiri, yang cenderung menekankan aspek riyadhah (latihan spiritual) yang terlalu keras, hingga melanggar batas-batas syari'ah. Dalam tasawuf yang benar (tasawuf sunni), syariat adalah fondasi, dan riyadhah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Rahbaniyyah adalah contoh riyadhah yang keluar dari bingkai wahyu.

Ringkasan Pelajaran Universal dari Al-Hadid 27

Surah Al-Hadid Ayat 27 menawarkan tiga pelajaran universal yang harus dipahami oleh setiap Muslim yang berupaya mencari ibtigha'a ridhwanillah, yaitu keridaan Allah:

1. Pentingnya Rujukan pada Wahyu

Ayat ini menegaskan bahwa sumber legitimasi ibadah adalah perintah ilahi (ma katabnaha 'alaihim). Jalan menuju Allah telah ditetapkan, dan menginovasikannya adalah pelanggaran, meskipun niatnya baik. Islam mewajibkan kita untuk meneladani Rasulullah SAW secara eksklusif. Setiap upaya untuk menciptakan cara baru beribadah yang tidak memiliki landasan (bid'ah) adalah meniru Rahbaniyyah.

Pentingnya mengikuti syariat secara harfiah tidak mereduksi spiritualitas; sebaliknya, ia menjamin keaslian dan keberlanjutan spiritualitas tersebut. Jalan yang ditunjukkan Rasulullah SAW adalah jalan teraman dan termudah untuk mencapai keridaan Allah.

2. Prinsip Wasathiyyah (Moderasi)

Rahbaniyyah adalah praktik ekstrem yang menolak dunia. Islam menuntut keseimbangan total. Wasathiyyah memastikan bahwa kita memberikan hak kepada Allah (ibadah ritual), hak kepada diri sendiri (istirahat, makan, menikah), dan hak kepada masyarakat (sosialisasi, nafkah, dakwah).

Keseimbangan ini adalah yang memungkinkan umat Islam untuk memelihara ajaran agama dengan pemeliharaan yang sewajarnya (haqqah ri'ayatiha). Hanya ajaran yang seimbang dan sesuai fitrah yang dapat diwariskan dan dipertahankan oleh generasi demi generasi tanpa mengalami penyimpangan fatal atau kegagalan moral di kemudian hari.

3. Konsekuensi dari Penyimpangan

Ayat ini mengajarkan bahwa niat baik yang disalurkan melalui cara yang salah tidak menjamin keselamatan mutlak, dan bahkan dapat berujung pada kefasikan (fasiqūn). Ketika inovasi dalam agama diterapkan, ia biasanya menyebabkan pengabaian terhadap kewajiban asli, yang merupakan definisi dari keluar dari ketaatan kepada Allah.

Maka, Al-Hadid 27 adalah peringatan abadi bagi setiap generasi Muslim: Jangan pernah beranggapan bahwa jalan spiritual yang lebih berat atau lebih sulit adalah otomatis lebih disukai Allah. Jalan yang paling dicintai Allah adalah jalan yang paling sesuai dengan Sunnah Nabi-Nya, karena di dalamnya terdapat kemudahan, keberlanjutan, dan keseimbangan yang sempurna antara Ra'fah, Rahmah, dan Ibtigha’a Ridhwanillah.

Melalui kajian mendalam terhadap Surah Al-Hadid Ayat 27, kita kembali diingatkan bahwa keberhasilan umat Islam bukan terletak pada inovasi, melainkan pada kemurnian tauhid, ketulusan niat, dan kepatuhan mutlak terhadap Syariat Nabi Muhammad SAW, sebagai manifestasi tertinggi dari rahmat dan petunjuk Allah SWT bagi seluruh alam.

Setiap Muslim harus senantiasa introspeksi agar tidak meniru kesalahan umat terdahulu dengan menciptakan beban-beban spiritual yang tidak diwajibkan. Hendaklah kita menjadi umat yang adil dan moderat, yang mencari keridaan Allah melalui jalan yang telah Dia ridhai. Jalan inilah yang menjamin pahala besar bagi mereka yang beriman, dan menjauhkan dari bahaya kefasikan yang menimpa banyak dari mereka yang mengada-adakan Rahbaniyyah.

Penghayatan terhadap ayat ini harus mendorong umat untuk kembali mengkaji sunnah Nabi secara komprehensif, melihat bagaimana beliau menyeimbangkan antara kehidupan rumah tangga, politik, jihad, dan ibadah ritual. Beliau adalah teladan yang sempurna, dan jalan beliau adalah jalan yang sempurna, menolak Rahbaniyyah dari masa lalu dan segala bentuk ekstremisme di masa kini. Keseimbangan ini adalah warisan sejati dari Surah Al-Hadid 27.

Lebih jauh lagi, tafsir mengenai Ra'fah dan Rahmah sebagai sifat dasar pengikut Nabi Isa yang asli menyiratkan bahwa spiritualitas sejati harus melahirkan kelembutan dan empati, bukan kekakuan dan isolasi. Rahbaniyyah, dalam praktiknya, seringkali menghilangkan dimensi sosial agama, padahal Allah menghendaki agama menjadi mercusuar bagi masyarakat. Dengan mengisolasi diri, para rahib kehilangan kesempatan untuk mewujudkan Ra'fah dan Rahmah secara praktis di tengah-tengah kesulitan duniawi, yang mana hal tersebut merupakan ujian keimanan yang sesungguhnya.

Dalam konteks modern, bahaya Rahbaniyyah juga dapat dilihat pada pengabaian tanggung jawab duniawi yang vital, seperti keilmuan sekuler, ekonomi, atau politik, dengan dalih fokus spiritual semata. Islam menolak dikotomi tajam antara spiritual dan material. Seluruh alam semesta dan aktivitas manusia adalah ladang ibadah. Muslim sejati adalah mereka yang berhasil memadukan kesuksesan duniawi dengan integritas spiritual, menjadikan aktivitas sehari-hari—mulai dari perdagangan hingga kepemimpinan—sebagai bentuk ibadah yang haqqah ri'ayatiha, yang terjaga dengan baik sesuai tuntutan syariat.

Penting ditekankan bahwa peringatan Allah dalam ayat ini bukanlah sekadar catatan sejarah tentang Kristiani, melainkan peta jalan abadi bagi umat Muhammad. Ketika umat Islam mulai terobsesi dengan ritual yang melelahkan atau menciptakan tradisi spiritual yang tidak bersumber dari Sunnah, dengan keyakinan bahwa cara itu akan membawa mereka lebih dekat kepada Allah, mereka tanpa sadar telah menapak jejak Rahbaniyyah. Kesalahan fatalnya terletak pada arogansi spiritual, yang menganggap ajaran Nabi Muhammad SAW kurang memadai sehingga perlu ditambahkan.

Sejumlah ulama kontemporer mengingatkan bahwa setiap gerakan dalam Islam yang mendorong pengikutnya untuk meninggalkan hak-hak dasar hidup—seperti hak untuk berpendapat, hak untuk belajar sains, atau hak untuk menikah—telah mencerminkan semangat Rahbaniyyah yang dicela dalam Al-Hadid 27. Keutamaan Islam terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa kompromi pada prinsip dasar, dan pada kemudahannya untuk diterapkan oleh setiap individu, kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, lajang atau berkeluarga. Inilah makna terdalam dari agama yang Hanif, agama yang lurus dan seimbang.

Pelajaran tentang ibtigha'a ridhwanillah (mencari keridaan Allah) harus selalu diikuti dengan kaidah ittiba' (mengikuti) Nabi Muhammad SAW. Jika keridaan Allah dapat dicapai dengan cara yang diinovasikan, maka risalah Nabi Muhammad SAW tidak akan diperlukan sebagai penutup dan penyempurna. Namun, karena Rahbaniyyah gagal secara historis dan spiritual (fama ra'awha haqqah ri'ayatiha), maka Allah mengirimkan risalah Islam yang menyempurnakan dan membatalkan semua jalan yang tidak syar'i.

Oleh karena itu, penekanan pada sunnah Nabi, baik dalam hal ibadah ritual maupun kehidupan sehari-hari (muamalat), adalah benteng pertahanan umat dari jebakan Rahbaniyyah dan segala bentuk bid’ah yang muncul dari keinginan berlebihan untuk menonjol dalam ibadah. Kita harus takut kepada Allah, tetapi ketakutan itu harus disalurkan melalui ketaatan yang diwajibkan, bukan melalui penambahan yang memberatkan diri.

Ketika Allah berfirman, وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ, ini memberikan pukulan telak. Mayoritas pengikut Rahbaniyyah gagal total. Ini menunjukkan betapa berbahayanya menempuh jalan yang tidak diwahyukan. Jalan yang tidak syar'i tidak hanya gagal mengantarkan pada keridaan, tetapi juga menjerumuskan pada kefasikan. Kewaspadaan terhadap bid’ah, yang merupakan inti dari pesan ayat ini, adalah kewajiban yang harus diemban oleh setiap individu Muslim dan komunitas secara keseluruhan, demi menjaga kemurnian Din ini dari segala bentuk distorsi dan pembebanan yang tidak perlu. Pemahaman yang mendalam tentang Surah Al-Hadid Ayat 27 adalah jaminan untuk tetap berada di jalan wasathiyyah.

Penyebutan Nabi Isa (A.S.) dan Injil menunjukkan bahwa agama sebelum Islam pun mengajarkan Ra'fah dan Rahmah. Kerahiban (Rahbaniyyah) adalah penyelewengan dari ajaran asli Nabi Isa yang penuh kasih sayang dan santun. Ketika orang-orang mengisolasi diri, mereka kehilangan koneksi dengan lingkungan sosial dan kesulitan untuk menerapkan Ra'fah dan Rahmah secara efektif. Islam, sebaliknya, menjadikan interaksi sosial, seperti memberikan sedekah, berbuat baik kepada tetangga, dan memelihara silaturahmi, sebagai ibadah yang sangat ditekankan, melengkapi ibadah ritual. Inilah pemeliharaan yang sewajarnya yang hilang dari para rahib.

Kesimpulannya, Al-Hadid 27 adalah mercusuar yang memandu umat Islam agar tidak tersesat dalam lautan inovasi spiritual. Ia mengajak kembali kepada fondasi yang kokoh: ikutilah apa yang diwajibkan Allah, hiduplah seimbang sesuai fitrah, dan jadikan Ra'fah serta Rahmah sebagai pedoman interaksi sosial. Hanya dengan kepatuhan total dan jalan tengah ini kita bisa berharap termasuk dalam golongan yang beriman yang dijanjikan pahala, dan terhindar dari label fasik.

🏠 Kembali ke Homepage