Surah Al Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya menetapkan dasar-dasar akidah, tetapi juga merinci hukum-hukum muamalah dan pidana yang esensial bagi pembangunan masyarakat madani. Di antara ayat-ayat yang memuat aturan fundamental mengenai perlindungan jiwa adalah Al Baqarah ayat 178.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang memaafkan) menunaikan (pembayaran denda) kepadanya dengan baik pula. Yang demikian itu adalah keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang pedih.” (QS. Al Baqarah: 178)
Kata Qisas (الْقِصَاصُ) secara bahasa berarti ‘mengikuti jejak’ atau ‘menyamakan’. Dalam terminologi syariat, Qisas merujuk pada pembalasan setimpal terhadap pelaku tindak pidana, khususnya pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka fisik. Prinsip utamanya adalah al-mumatsalah (kesetaraan). Tujuan utama diwajibkannya Qisas bukanlah sekadar balas dendam, melainkan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah siklus kekerasan yang tidak berkesudahan.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan prinsip kesetaraan: “Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita.” Penetapan ini merupakan reformasi besar-besaran dari praktik Jahiliyah. Sebelum Islam, hukum balas dendam seringkali tidak proporsional. Jika seorang bangsawan dibunuh oleh seorang dari klan rendah, klan bangsawan tersebut menuntut Qisas atas dua atau lebih orang dari klan rendah tersebut, bahkan jika mereka tidak bersalah, semata-mata untuk menunjukkan superioritas dan memuaskan kesombongan. Islam menghapuskan ketidakadilan ini, menetapkan bahwa satu jiwa setara dengan satu jiwa, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau jenis kelamin.
Refleksi Historis: Ayat 178 ini datang untuk membatasi kebrutalan sistem balas dendam suku pra-Islam. Ia memastikan bahwa keadilan harus ditegakkan pada tingkat individual, bukan kolektif, dan harus selalu proporsional. Kesetaraan ini adalah manifestasi dari keadilan absolut Allah SWT.
Para ulama Fiqh klasik (Jumhur) pada dasarnya menerima formulasi yang disebutkan di ayat ini. Namun, terjadi perbedaan interpretasi mengenai Qisas terhadap status yang berbeda (misalnya, orang merdeka membunuh hamba sahaya). Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Syafi'i, berpendapat bahwa secara prinsip, seorang yang merdeka tidak dapat di-Qisas jika ia membunuh seorang hamba sahaya, kecuali jika ada pertimbangan lain, dan Qisas akan diganti Diyah. Namun, interpretasi modern dan kontemporer cenderung melihat bahwa, dalam semangat keadilan Islam yang lebih luas, nyawa adalah setara. Hukum perbudakan telah dihapuskan, sehingga implementasi ayat ini kini berfokus sepenuhnya pada prinsip jiwa dengan jiwa tanpa diskriminasi status ekonomi atau sosial.
Dalam konteks modern, frasa 'al-hurru bi al-hurri wal 'abdu bi al-'abdi wal untha bi al-'untha' dipahami bukan sebagai pembatasan (limitasi) tetapi sebagai penegasan kesetaraan minimal di antara kelompok-kelompok yang pada masa Jahiliyah sering diperlakukan tidak setara. Artinya, tidak boleh ada diskriminasi bahkan di dalam kelompok yang sama.
Salah satu poin Fiqh yang sangat penting dalam membahas ayat ini adalah kasus di mana sekelompok orang secara bersama-sama membunuh satu individu. Apakah Qisas diterapkan kepada seluruh kelompok tersebut? Ini menjadi perdebatan signifikan di kalangan ahli hukum:
Keputusan untuk menerapkan Qisas kepada seluruh kelompok adalah demi menjaga nyawa banyak orang. Hikmah di baliknya adalah pencegahan (zawajir). Jika Qisas hanya diterapkan pada satu orang, maka kelompok-kelompok kejahatan akan merasa aman melakukan pembunuhan, dan tujuan syariat untuk melindungi jiwa (hifz an-nafs) akan gagal total.
Keadilan dalam Islam tidaklah kaku, melainkan diimbangi dengan rahmat. Segera setelah menetapkan aturan keras Qisas, ayat 178 ini membuka pintu bagi dua opsi yang lebih ringan: pemaafan (Afw) dan pembayaran denda (Diyah). Ini adalah inti dari pernyataan: "Yang demikian itu adalah keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat."
Afw adalah hak eksklusif yang diberikan kepada Wali Dam (wali/ahli waris korban). Mereka memiliki hak untuk memilih antara tiga opsi:
Ayat tersebut menyebutkan: “Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang memaafkan) menunaikan (pembayaran denda) kepadanya dengan baik pula.”
Frasa “memperoleh maaf dari saudaranya” (فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ) sangat mendalam. Kata ‘saudaranya’ (أَخِيهِ) merujuk kepada ahli waris korban, yang kini dihadapkan pada pelaku. Penggunaan kata ‘saudara’ (akhih) pada konteks pembunuhan adalah penekanan ilahi bahwa meskipun kejahatan besar telah terjadi, ikatan kemanusiaan dan keimanan (ukhuwah) harus tetap menjadi pertimbangan. Hal ini mendorong ahli waris untuk memilih jalan yang lebih mulia dan penuh rahmat, yaitu pemaafan.
Diyah adalah kompensasi finansial yang dibayarkan oleh pelaku pembunuhan (atau keluarganya/aqilahnya) kepada ahli waris korban sebagai pengganti Qisas. Ketika ahli waris memilih Diyah, mereka wajib “mengikutinya dengan cara yang baik” (فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ). Ini berarti tuntutan Diyah harus wajar dan sesuai dengan ketentuan syariat atau adat yang berlaku, tidak boleh berlebihan atau bersifat memeras. Sebaliknya, si pembunuh (atau yang wajib membayar) juga harus “menunaikan (pembayaran denda) kepadanya dengan baik pula” (وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ). Ini menuntut kejujuran, ketepatan waktu, dan niat baik dalam pelunasan Diyah, tanpa menunda-nunda atau mengurangi kewajiban tersebut.
Dua istilah ini, Ma’ruf (perkara yang diakui baik) dan Ihsan (kebaikan yang sempurna/optimal), adalah kunci yang membedakan sistem hukum Islam dari sekadar aturan. Dalam konteks Diyah:
Penerapan Ma’ruf dan Ihsan dalam proses hukum pidana menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya harus terwujud secara formal, tetapi juga harus dijiwai oleh moralitas yang tinggi, memastikan rekonsiliasi sosial (ishlah) terjadi.
Pilihan antara Qisas, Diyah, dan Afw bukan sekadar formalitas hukum, melainkan manifestasi nyata dari Rahmat Ilahi. Allah SWT sendiri menyatakan bahwa sistem ini adalah “keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat.”
Dalam sejarah hukum agama samawi, umat sebelum Nabi Muhammad SAW (seperti Bani Israil) diwajibkan menerapkan Qisas secara mutlak. Tidak ada opsi Diyah atau Afw. Islam datang dengan konsep Takhfif (keringanan). Keringanan ini memberikan jalan keluar bagi pelaku pembunuhan yang menyesal, serta memberikan peluang pahala besar bagi ahli waris korban yang memilih memaafkan. Keringanan ini juga mencegah pembunuhan berantai. Ketika Diyah diterima, siklus balas dendam terputus, dan konflik dapat diakhiri secara damai.
Pintu pemaafan adalah wujud rahmat Allah. Ketika seorang ahli waris memilih Afw, ia tidak hanya menyelamatkan nyawa seorang muslim (pelaku), tetapi juga mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Pilihan untuk memaafkan merupakan pengorbanan emosional yang luar biasa, dan Islam menjanjikan balasan yang setimpal atas kemuliaan hati tersebut. Ini adalah ajaran yang memprioritaskan penyembuhan hati dan masyarakat di atas pemenuhan rasa haus akan pembalasan dendam.
Dalam konteks modern, sistem ini juga penting bagi sistem peradilan. Adanya opsi Diyah dapat mengurangi beban negara dalam penahanan jangka panjang, sementara opsi Afw mendorong rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai, suatu hal yang jarang terjadi dalam sistem pidana sekuler murni.
Ayat 178 ditutup dengan peringatan tegas: “Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang pedih.” (فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ).
Melampaui batas di sini memiliki dua makna utama, tergantung pada siapa yang menjadi subjeknya:
Peringatan ini menjamin bahwa kesepakatan damai yang dicapai melalui Diyah harus dihormati oleh kedua belah pihak. Tujuan syariat adalah mengakhiri konflik, bukan sekadar menunda. Ancaman azab yang pedih berfungsi sebagai pencegah agar tidak ada pihak yang berkhianat terhadap janji rekonsiliasi.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita perlu meninjau bagaimana ahli Fiqh (hukum Islam) merinci implementasi Al Baqarah 178, terutama dalam aspek-aspek yang sensitif dan memerlukan ijtihad berkelanjutan.
Hukum Qisas dan Diyah sangat bergantung pada niat pelaku. Fiqh membagi pembunuhan menjadi beberapa kategori:
Ayat 178 ini pada dasarnya berfokus pada Qatl al-'Amd, karena hanya pada pembunuhan sengaja lah Qisas diwajibkan, dan dari situ opsi Diyah dan Afw muncul sebagai keringanan.
Diskusi tentang pembayaran Diyah (denda) harus kembali ke frasa kunci "fāttibā’un bi al-ma‘rūf wa adā’un ilayhi bi ihsān."
Diyah bukan sekadar denda, tetapi proses penyembuhan sosial. Kewajiban Diyah dalam Qatl al-'Amd umumnya adalah Diyah berat, yang standarnya ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW (misalnya 100 ekor unta dengan komposisi usia tertentu, atau nilai setara emas/perak/mata uang modern). Penerapan 'Ma'ruf' memastikan bahwa ketika Diyah diubah menjadi nilai moneter modern, penentuan jumlah tersebut harus dilakukan secara adil dan transparan, berdasarkan kesepakatan yang diakui oleh masyarakat dan otoritas.
Terkait 'Ihsan', dalam banyak kasus Syariah, Diyah berat dibayar dalam jangka waktu tertentu (misalnya tiga tahun) oleh Aqilah (kerabat) untuk meringankan beban pelaku. Pembayaran dengan ihsan menuntut agar keluarga pelaku tidak menunda-nunda pembayaran dan melakukan cicilan dengan niat baik, sementara keluarga korban harus menerima pembayaran tersebut dengan lapang dada dan tidak mempersulit prosesnya, menunjukkan belas kasih meskipun telah kehilangan orang tercinta.
Siapa yang berhak menuntut Qisas atau menerima Diyah? Mereka adalah Wali Dam, yaitu ahli waris korban. Wewenang ini bersifat hak individu (haqqul adami), bukan sepenuhnya hak Allah (haqqullah), meskipun implementasinya diatur oleh syariat.
Jika ahli waris lebih dari satu orang, semua ahli waris harus sepakat. Jika salah satu ahli waris memilih memaafkan (Afw), maka Qisas gugur untuk semua. Hal ini karena Qisas tidak dapat dibagi; jika hanya sebagian darah yang dituntut, itu bukan Qisas. Ketika Qisas gugur, maka hukuman beralih ke Diyah, yang pembagiannya dilakukan sesuai hukum waris Islam.
Meskipun ayat 178 secara spesifik membahas pembunuhan (al-qatlā), prinsip Qisas juga meluas pada luka fisik, dikenal sebagai Qisas fi ma dun an-nafs (Qisas untuk selain jiwa). Ayat terkait adalah QS Al-Maidah: 45 (mata dengan mata, hidung dengan hidung, dst.). Sama halnya dengan pembunuhan, jika Qisas fisik tidak mungkin dilakukan secara setimpal tanpa menyebabkan kerusakan lebih lanjut, atau jika ahli waris korban memilih, maka hukuman diganti dengan Diyah (Arsy), yaitu kompensasi untuk luka tersebut.
Prinsip keadilan dalam Qisas luka sangat ketat: harus dipastikan tidak melebihi batas luka yang ditimbulkan. Oleh karena itu, penerapannya memerlukan keahlian medis dan peradilan yang sangat teliti, menekankan kembali bahwa Qisas diwajibkan untuk keadilan mutlak, bukan balas dendam yang membabi buta.
Ayat 178 menyebutkan: “al-‘abdu bi al-‘abdi”. Meskipun perbudakan kini secara universal dilarang dan dihapuskan, penting untuk memahami reformasi yang dibawa oleh Islam saat ayat ini diturunkan. Di masa lalu, budak sering dianggap tidak setara nilainya dengan orang merdeka. Dengan menetapkan Qisas bagi budak yang membunuh budak, Islam menetapkan nilai yang setara bagi jiwa mereka di mata hukum pidana, sebuah langkah revolusioner saat itu.
Jika seorang budak membunuh orang merdeka, para ulama Fiqh klasik berdebat. Sebagian mengatakan Qisas tidak berlaku karena khawatir harta majikan akan hilang, sebagian lagi (dengan mengedepankan prinsip kesetaraan jiwa) menyatakan Qisas tetap dapat diterapkan. Namun, intinya adalah bahwa Al-Qur'an secara bertahap mendorong ke arah kesetaraan penuh dan pembebasan, menjadikan ayat ini sebagai fondasi hukum, sementara zaman modern telah membawa kita pada penghapusan status 'abdu' (budak) secara total, sehingga semua manusia diperlakukan sebagai 'al-hurr' (orang merdeka) di mata hukum.
Meskipun sistem peradilan modern di berbagai negara Muslim mengadopsi berbagai model, filosofi yang terkandung dalam Al Baqarah 178 tetap relevan sebagai kerangka etika dan keadilan.
Prinsip Qisas berfungsi sebagai deteran yang paling kuat (zawajir). Pengetahuan bahwa nyawa akan dibalas setimpal dengan nyawa (jika tidak ada maaf) menanamkan rasa takut yang mendalam terhadap pelanggaran hukum. Ini adalah manifestasi dari firman Allah dalam Surah Al-Maidah: 32, yang menyatakan bahwa membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sama dengan membunuh seluruh umat manusia.
Sistem Diyah dan Afw adalah model restorative justice (keadilan restoratif) yang efektif. Sistem ini melibatkan korban dan pelaku dalam proses penyelesaian konflik, sebuah pendekatan yang kini semakin diakui dalam psikologi kriminal. Dengan memberikan otoritas penuh kepada ahli waris untuk memaafkan, Islam menempatkan kemanusiaan, empati, dan pengampunan sebagai nilai tertinggi yang dapat mengesampingkan tuntutan keadilan formal.
Dalam masyarakat modern, proses Diyah membutuhkan mediasi dan pengawasan ketat oleh pengadilan untuk memastikan bahwa tekanan sosial tidak memaksa keluarga korban untuk memaafkan, dan bahwa pembayaran Diyah benar-benar dilakukan dengan Ihsan, tanpa merendahkan martabat kedua belah pihak.
Hukum pidana dalam Islam dibagi menjadi Hudud (hukuman yang ditetapkan) dan Qisas. Meskipun Qisas memiliki hukuman yang jelas, sifatnya yang dapat diampuni oleh manusia (ahli waris) menegaskan bahwa ini adalah hak manusia (haqqul adami). Sebaliknya, hukuman Hudud murni merupakan hak Allah (haqqullah) dan tidak dapat diampuni oleh korban atau ahli waris (misalnya, hukuman zina atau mencuri). Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa dalam hal perlindungan nyawa, keadilan di dunia ini sangat erat kaitannya dengan kehendak dan kemurahan hati individu yang dirugikan.
Kesinambungan implementasi prinsip Al Baqarah 178 menjamin bahwa sistem hukum yang diterapkan di masyarakat tidak akan menjadi sistem yang kering dari nilai-nilai spiritual. Setiap keputusan hukum, baik itu Qisas, Diyah, maupun Afw, harus senantiasa didasarkan pada keinginan untuk mencapai keridaan Allah SWT.
Ayat ini adalah salah satu hadiah terbesar yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jika umat terdahulu hanya memiliki satu pilihan (Qisas), umat ini diberikan tiga pilihan yang semuanya berpahala (Qisas menegakkan keadilan, Diyah menutup konflik, Afw mendatangkan rahmat tertinggi). Ini merupakan penekanan teologis bahwa umat ini adalah ummatan wasathan (umat pertengahan), yang mampu menyeimbangkan tuntutan keadilan yang keras dengan praktik rahmat yang mendalam.
Keringanan ini juga menggarisbawahi pentingnya pertobatan. Bagi pelaku pembunuhan yang menyesal, opsi Diyah dan Afw membuka jalan baginya untuk menebus dosa di dunia dan membersihkan hatinya, meskipun ia tetap harus bertanggung jawab di hadapan Allah atas dosa membunuh.
Melanjutkan pembahasan mengenai esensi Takhfif dan Rahmah, perlu ditekankan bahwa sistem hukum ini dirancang untuk memaksimalkan peluang bagi individu untuk kembali kepada jalan yang benar, bahkan setelah melakukan dosa besar seperti pembunuhan. Masyarakat yang menerapkan hukum dengan semangat ayat 178 adalah masyarakat yang memelihara kehidupan, bukan yang hanya berfokus pada pemusnahan pelaku. Ini adalah sistem yang menawarkan harapan dan penebusan.
Penguatan konsep Diyah dan Ihsan menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kompensasi materi yang adil, tetapi lebih jauh dari itu, ia menuntut pemulihan hubungan kemanusiaan. Pembayaran Diyah dengan ‘Ihsan’ berarti bukan sekadar menyerahkan uang, tetapi juga disertai dengan permintaan maaf yang tulus dan pengakuan atas kesalahan, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pertobatan sejati.
Ayat 178 ini secara implisit melarang balas dendam pribadi di luar kerangka hukum. Setelah aturan Qisas ditetapkan dan hak Wali Dam diakui, setiap tindakan pembalasan yang dilakukan di luar pengawasan negara atau di luar kesepakatan yang sah, dianggap sebagai Al-I’tida’ (melampaui batas) dan akan mendapatkan azab yang pedih.
Ini adalah fondasi bagi supremasi hukum dalam masyarakat Islam: semua keadilan harus dilembagakan melalui pengadilan (qadha) dan tidak boleh diserahkan kepada emosi individu atau kelompok. Ayat ini membimbing masyarakat dari anarki Jahiliyah menuju ketertiban yang berlandaskan wahyu.
Sebagai penutup, Surah Al Baqarah ayat 178 bukanlah sekadar pasal dalam kitab undang-undang. Ia adalah sebuah ajaran etika yang mendalam, sebuah model peradilan yang seimbang, dan sebuah seruan abadi kepada umat manusia untuk menempatkan keadilan pada tempatnya, sambil tidak pernah melupakan kekuatan penyembuhan dan kemuliaan dari Rahmat dan Pemaafan.
Keadilan Qisas adalah tiang penopang kehidupan, Diyah adalah jalan tengah yang bijaksana, dan Afw adalah puncak dari etika seorang Mukmin. Ketiga opsi ini disajikan oleh Allah sebagai rahmat, memastikan bahwa hukum-Nya selalu membawa kebaikan bagi kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Kata Takhfif (تَخْفِيفٌ) berasal dari akar kata *khaffa*, yang berarti ringan. Penggunaan kata ini dalam konteks hukum pidana menekankan bahwa Syariat Islam, meskipun menetapkan hukuman yang tegas, selalu bersifat memudahkan. Dalam perbandingan dengan hukum Taurat yang hanya mengenal Qisas tanpa Diyah, Takhfif ini menjadi karunia unik bagi umat Muhammad SAW. Keringanan ini tidak hanya bersifat hukum (opsionalitas), tetapi juga psikologis, memberikan harapan pembebasan bagi pelaku dan memberikan ruang bagi keluarga korban untuk mengatasi trauma melalui proses pemaafan yang mulia.
Sementara itu, Rahmah (رَحْمَةٌ) menekankan bahwa pilihan keringanan ini bukan sekadar kebijakan, melainkan manifestasi dari kasih sayang Ilahi. Seorang hakim yang menjalankan hukum Qisas, Diyah, atau Afw harus selalu mengingat bahwa di balik penerapan aturan tersebut terdapat nilai rahmat yang harus dijunjung tinggi. Rahmat ini termanifestasi dalam tuntutan untuk menunaikan Diyah dengan Ihsan, menghindari praktik pemerasan, dan memutus rantai kebencian yang ditimbulkan oleh pembunuhan.
Dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja (khatha') atau mirip sengaja (syibh al-'amd), Diyah wajib dibayar oleh Aqilah (kelompok kerabat laki-laki pihak ayah) si pembunuh. Ini adalah prinsip solidaritas sosial Islam yang sangat tua. Fungsi Aqilah adalah memastikan bahwa keluarga korban menerima kompensasi tanpa membuat si pelaku (yang mungkin tidak mampu) hancur secara finansial. Hal ini menunjukkan bahwa beban kejahatan, terutama yang tidak disengaja, dipikul oleh komunitas yang lebih luas, memperkuat ikatan sosial dan tanggung jawab kolektif. Konsep Aqilah juga memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi beban individu yang bersalah, tetapi merupakan tanggung jawab sosial yang terstruktur, menjaga agar tidak ada pihak yang terzalimi secara ekonomi.
Pengaturan Diyah oleh Aqilah juga mencerminkan tujuan Syariah untuk menjaga kesinambungan hidup dan ekonomi keluarga. Tanpa sistem ini, keluarga pelaku yang tidak sengaja membunuh bisa jatuh miskin atau terpaksa menjual semua aset mereka untuk membayar denda yang sangat besar, sehingga memicu krisis sosial lebih lanjut. Islam menawarkan mekanisme perlindungan melalui jaring pengaman sosial yang diwujudkan oleh Aqilah. Pembayaran Diyah yang dilakukan oleh Aqilah ini juga harus dilakukan dalam periode waktu tertentu, biasanya tiga tahun, memberikan keringanan finansial bagi mereka yang menanggungnya, selaras dengan semangat Takhfif dari ayat 178 ini.
Ayat ini menyebutkan "wal unthā bi al-unthā" (wanita dengan wanita). Meskipun ini adalah penegasan kesetaraan minimal, para ulama telah lama sepakat bahwa jika seorang pria membunuh seorang wanita, Qisas tetap berlaku. Sebaliknya, jika seorang wanita membunuh seorang pria, Qisas juga berlaku. Ayat ini bukan dimaksudkan untuk membatasi Qisas hanya antar kelompok yang sama, melainkan untuk melawan adat Jahiliyah yang merendahkan status wanita, di mana jika seorang wanita bangsawan dibunuh, kaumnya mungkin menuntut dua pria dari klan lain sebagai pembalasan. Islam menyamaratakan: satu jiwa adalah satu jiwa.
Interpretasi ini sangat penting: jiwa seorang wanita memiliki nilai yang sama persis dengan jiwa seorang pria di hadapan hukum Qisas. Meskipun terdapat perbedaan teknis dalam jumlah Diyah antara pria dan wanita (yang merupakan isu fiqh lain), dalam hal Qisas (pembalasan nyawa), tidak ada perbedaan nilai sama sekali. Prinsip ini adalah kunci keadilan gender dalam hukum pidana Islam yang sering disalahpahami oleh pihak luar.
Meskipun Qisas, Diyah, dan Afw adalah hukum di dunia, aspek yang tidak terlihat adalah Tawba (pertobatan) yang diminta dari pelaku. Ayat 178 ini memberikan kesempatan bagi pelaku untuk bertaubat melalui penerimaan Diyah atau Afw, yang memungkinkan mereka melanjutkan hidup dan memperbaiki diri. Jika pelaku di-Qisas, itu adalah penebus dosa di dunia. Jika dia diampuni (Afw), maka kewajibannya untuk bertaubat kepada Allah menjadi semakin besar. Sistem ini mengintegrasikan hukum pidana dengan teologi, memastikan bahwa hukuman di dunia ini tidak menutup pintu rahmat Allah di akhirat, asalkan dibarengi dengan penyesalan yang mendalam dan perbaikan diri (ishlah).
Konsekuensi dari penolakan terhadap keringanan ini, yaitu jika seseorang melakukan pembunuhan sengaja dan tidak ada maaf, adalah Qisas. Ini adalah jalan terakhir yang harus diambil untuk menjaga integritas masyarakat. Imam Al-Syafi'i menekankan bahwa kewajiban Qisas adalah untuk menyelamatkan nyawa, sebagaimana firman Allah, "Dan bagi kamu dalam qisas ada (jaminan) kehidupan, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179). Dengan membunuh satu pembunuh, nyawa ribuan orang lainnya terselamatkan karena adanya efek jera dan pencegahan anarki. Ini adalah paradoks hukum Islam: hukuman mati diterapkan demi menjaga kehidupan.
Seluruh ayat 178, dengan segala detail Fiqh dan konteks historisnya, menyajikan sebuah panduan komprehensif tentang bagaimana sebuah masyarakat harus merespons kejahatan terbesar—pembunuhan—dengan kombinasi ketegasan, moralitas, dan rahmat yang tiada tandingannya. Ia memastikan bahwa keadilan tidak pernah buta terhadap kemanusiaan, dan kemanusiaan tidak pernah mengabaikan tuntutan keadilan.