Memahami Siklus Pemberian Petunjuk dan Penolakan Arrogansi dalam Sejarah Bani Israil
Ayat ke-87 dari Surat Al-Baqarah merupakan salah satu ayat fundamental yang merangkum sejarah hubungan antara Allah SWT, para utusan-Nya, dan Bani Israil. Ayat ini secara tajam menggambarkan pola penerimaan dan penolakan yang dilakukan oleh umat terdahulu terhadap ajaran samawi.
Ayat ini berfungsi sebagai teguran keras terhadap Bani Israil di masa Nabi Muhammad ﷺ yang menunjukkan sikap yang sama keras kepalanya seperti leluhur mereka. Pesan utamanya adalah kontras antara rahmat Allah yang berkelanjutan dalam mengirimkan utusan, dan sikap arogan (istikbar) manusia dalam menolak petunjuk tersebut.
Untuk memahami kedalaman ayat 87, diperlukan telaah mendalam terhadap setiap frasa dan terminologi yang digunakan, yang memiliki implikasi teologis besar dalam tradisi Islam.
Frasa pertama, وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ, menegaskan pemberian Taurat kepada Nabi Musa a.s. Kata الْكِتَابَ (Al-Kitab) merujuk pada kitab suci yang mengandung hukum, syariat, dan petunjuk. Penekanan pada Musa sebagai penerima kitab pertama dalam silsilah Bani Israil adalah kunci, karena Taurat merupakan fondasi agama mereka. Penggunaan وَلَقَدْ (sungguh Kami telah) menunjukkan penegasan ilahi yang kuat atas fakta sejarah ini, menekankan bahwa petunjuk telah diberikan dengan cara yang tak terbantahkan, namun tetap saja mereka menyimpang.
Kata قَفَّيْنَا berasal dari kata dasar قَفَا, yang berarti 'mengikuti di belakang' atau 'berturut-turut'. Ini mengindikasikan bahwa setelah Musa, rentetan nabi dan rasul diutus secara kontinu kepada Bani Israil. Ini adalah manifestasi Rahmat Ilahi yang tak terputus. Rasul-rasul ini, seperti Dawud, Sulaiman, Ilyas, dan lainnya, datang untuk memperbarui dan memperkuat syariat Taurat, bukan untuk menghapusnya. Ayat ini menolak klaim bahwa petunjuk Allah hanya terbatas pada satu zaman atau satu nabi saja, melainkan merupakan proses historis yang berkelanjutan.
Silsilah kenabian ini, yang mencakup ratusan nabi dari kalangan Bani Israil, menunjukkan betapa besar perhatian Allah terhadap umat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Bani Israil sering kali menanggapi nabi-nabi ini dengan skeptisisme, penolakan, atau bahkan kekerasan. Kontinuitas nabi ini menjadi bukti sempurna (hujjah qath'iyyah) bahwa mereka tidak pernah kekurangan bimbingan ilahi.
Penyebutan Nabi Isa a.s. (Yesus) secara spesifik setelah rentetan umum rasul menunjukkan keistimewaan misinya. الْبَيِّنَاتِ berarti 'bukti-bukti nyata' atau mukjizat yang jelas. Para mufassir menjelaskan bahwa mukjizat Isa meliputi menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta sejak lahir dan penderita kusta, serta menciptakan burung dari tanah liat atas izin Allah. Bukti-bukti ini begitu kuat, sehingga penolakan terhadapnya tidak dapat dibenarkan kecuali oleh kesombongan buta.
Penyebutan mukjizat ini di sini menekankan bahwa Bani Israil tidak hanya menolak ajaran normatif, tetapi juga menolak keajaiban yang kasat mata yang seharusnya mengukuhkan kenabian Isa. Penolakan terhadap Isa menjadi titik kulminasi dari penolakan mereka terhadap bimbingan yang berkelanjutan sejak zaman Musa.
Ini adalah frasa yang paling banyak dibahas oleh para teolog. أَيَّدْنَاهُ (Kami perkuat dia) menunjukkan dukungan ilahi yang spesifik dan luar biasa. بِرُوحِ الْقُدُسِ (dengan Ruhul Qudus). Mayoritas mufassir klasik (seperti At-Tabari, Ibn Kathir, dan Al-Qurtubi) menafsirkan Ruhul Qudus sebagai Malaikat Jibril a.s., yang dikenal sebagai Roh Kudus yang membawa wahyu dan kekuatan ilahi.
Namun, beberapa mufassir lain juga memberikan interpretasi yang lebih luas:
Kata kerja اسْتَكْبَرْتُمْ (istikbar) adalah inti moral ayat ini. Ini bukan sekadar penolakan biasa, melainkan penolakan yang didorong oleh kesombongan, arogansi, dan rasa superioritas. Bani Israil meyakini bahwa mereka adalah kaum terpilih, sehingga mereka merasa berhak untuk menilai, memilih, dan bahkan menolak nabi yang diutus kepada mereka jika ajarannya tidak sesuai dengan hawa nafsu atau tradisi yang telah mereka buat sendiri. Kesombongan ini adalah dosa spiritual terbesar karena menghalangi hati menerima kebenaran.
Istikbar adalah penyakit kronis yang muncul ketika ajaran para rasul bertentangan dengan kepentingan pribadi, kekuasaan, atau status sosial mereka. Para nabi diutus untuk membawa perubahan (terutama keadilan dan monoteisme murni), yang seringkali mengganggu kemapanan elit Bani Israil. Mereka tidak menolak Allah, tetapi mereka menolak utusan Allah karena merasa diri mereka lebih pandai atau lebih berhak menentukan syariat.
Ayat ini menutup dengan menggambarkan dua hasil ekstrem dari istikbar: penolakan verbal (كَذَّبْتُمْ - mendustakan) dan penolakan fisik (تَقْتُلُونَ - membunuh). Penggunaan bentuk lampau (past tense) untuk 'mendustakan' (mengacu pada nabi-nabi yang telah berlalu, seperti Isa) dan bentuk sekarang/mendatang (present/future tense) untuk 'membunuh' (seperti upaya mereka membunuh Nabi Yahya, atau bahkan upaya mereka terhadap Nabi Muhammad di masa wahyu diturunkan) menunjukkan bahwa kebiasaan buruk ini masih terus berlangsung.
Tindakan membunuh utusan ilahi adalah puncak dari pengkhianatan terhadap perjanjian (mitsaq) yang telah mereka ambil. Tindakan ini menunjukkan betapa parahnya kebobrokan spiritual mereka, di mana mereka tidak hanya menolak pesan, tetapi juga berusaha memusnahkan pembawa pesan itu sendiri. Ini adalah kejahatan paling besar di sisi Allah, yang secara langsung mengancam keberlangsungan petunjuk di muka bumi.
Ayat 87 ini muncul di tengah serangkaian panjang ayat yang mengkritik Bani Israil. Surat Al-Baqarah (Sapi Betina) adalah surat Madaniyah yang membahas fondasi umat Islam yang baru terbentuk di Madinah. Kritik terhadap Bani Israil di sini memiliki tujuan ganda:
Al-Qur'an secara sengaja menyandingkan Musa dan Isa dalam satu ayat. Musa (Taurat) mewakili fondasi Syariat dan Hukum yang ketat. Isa (Injil) mewakili Roh dan Rahmat, serta penyempurnaan moral. Bani Israil telah menerima Musa, tetapi mereka mengubah Taurat. Mereka menolak Isa, meskipun ia datang dengan mukjizat yang luar biasa dan penguatan dari Ruhul Qudus.
Penyebutan kedua tokoh besar ini secara langsung menantang klaim Bani Israil pada masa Nabi Muhammad. Jika mereka mengakui Musa, mengapa mereka menolak Isa yang diperkuat oleh Allah? Dan jika mereka gagal mengikuti utusan-utusan sebelumnya, bagaimana mereka bisa mengklaim kebenaran sejati? Pertanyaan retoris di akhir ayat (أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ - Mengapa, setiap datang kepada kamu seorang rasul...) adalah klimaks retoris yang memaksa pendengar untuk merenungkan inkonsistensi sejarah mereka sendiri.
Menurut banyak mufassir, sifat istikbar yang disorot dalam ayat ini adalah akar dari semua penyimpangan teologis dan etis Bani Israil. Mereka merasa bahwa status mereka sebagai umat terpilih memberikan mereka lisensi untuk memanipulasi wahyu. Mereka menolak ajaran yang merendahkan status sosial mereka (seperti seruan kesederhanaan dari sebagian nabi) atau ajaran yang menuntut pengorbanan material.
Misalnya, mereka menolak Yahya (Yohanes Pembaptis) karena ajarannya terlalu keras dan menolak Isa karena ia tidak berasal dari garis keturunan kependetaan yang mereka harapkan dan karena ia menantang otoritas rabi yang korup. Penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ di Madinah didasarkan pada alasan yang sama: ia bukan berasal dari Bani Israil (suku Ishak), melainkan dari Bani Ismail, dan ajarannya menuntut perubahan total terhadap sistem riba dan sosial mereka yang telah mapan.
Kesombongan ini menciptakan lingkaran setan: Wahyu datang → Wahyu tidak sesuai hawa nafsu → Kesombongan muncul → Wahyu ditolak/Nabi dibunuh → Keterpurukan spiritual semakin dalam.
Konsep Ruhul Qudus (Roh Kudus) dalam ayat 87 adalah titik persimpangan penting antara teologi Islam dan Kristen, meskipun interpretasinya berbeda secara fundamental. Dalam konteks ayat ini, Ruhul Qudus adalah kekuatan atau entitas yang menguatkan Nabi Isa a.s. hingga mampu melakukan mukjizat yang sangat luar biasa, yang merupakan al-bayyinat (bukti-bukti nyata).
Penafsiran Ruhul Qudus sebagai Malaikat Jibril a.s. didukung oleh beberapa dalil dan konsensus ulama salaf. Jibril adalah malaikat yang paling suci dan bertugas membawa Ruh (wahyu) kepada para nabi. Kehadiran Jibril pada Isa menandakan:
Penguatan ini diperlukan karena misi Isa sangat sensitif dan berhadapan langsung dengan otoritas agama yang korup pada zamannya. Isa membawa pesan kasih, pengampunan, dan kritik tajam terhadap formalisme agama tanpa esensi, yang membuat para pemimpin agama Yahudi memusuhinya hingga berujung pada upaya pembunuhan.
Kata أَيَّدْنَاهُ (Kami perkuat dia) bukan hanya berarti diberi dukungan moral, tetapi diberi kemampuan supranatural. Kekuatan dari Ruhul Qudus ini membedakan mukjizat Isa dari mukjizat nabi-nabi lainnya. Misalnya, ketika Isa dihadapkan pada ancaman pembunuhan, kekuatan ilahi inilah yang menjadikannya diselamatkan (diangkat ke langit), seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Nisa.
Diskursus ini juga penting untuk menolak pandangan yang mengkultuskan Isa hingga taraf ketuhanan (syirik), karena ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Isa adalah Ibnu Maryam (putra Maryam) dan kekuatannya adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah (Kami perkuat dia), yang menunjukkan subordinasi dan statusnya sebagai hamba, bukan Tuhan yang independen. Kekuatan Ruhul Qudus bukanlah esensi ketuhanan, melainkan anugerah yang spesifik.
Lebih jauh lagi, penekanan pada penguatan Isa dengan Ruhul Qudus adalah respons Al-Qur'an terhadap konteks historis. Bani Israil menuduh Isa melakukan sihir atau tipuan. Allah membalas tuduhan ini dengan menegaskan bahwa Isa melakukan mukjizatnya bukan atas kehendak sendiri, melainkan atas dukungan penuh dari entitas paling suci, Jibril, yang memvalidasi setiap tindakan Isa sebagai kebenaran mutlak. Penolakan mereka adalah penolakan terhadap kebenaran yang suci itu sendiri.
Silsilah nabi dari Musa hingga Isa, yang disebutkan secara padat dalam satu ayat, menegaskan konsep tauhid al-risalah (kesatuan risalah). Meskipun syariat (hukum) mungkin berbeda antar nabi, inti pesan (tauhid dan akhlak) tetap sama. Al-Qur'an menggunakan sejarah Bani Israil sebagai contoh primer bahwa menolak salah satu rasul sama saja menolak seluruh rantai kenabian, karena mereka semua datang dari sumber yang sama.
Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan bahwa umat Islam tidak boleh memecah belah kebenaran. Menerima Nabi Muhammad ﷺ wajib diikuti dengan pengakuan terhadap nabi-nabi sebelumnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an, termasuk Musa dan Isa. Mengabaikan atau meremehkan ajaran mereka adalah pengulangan dari kesalahan Bani Israil dalam menyeleksi kebenaran berdasarkan hawa nafsu.
Ayat 87 tidak hanya mencatat sejarah penolakan, tetapi juga mendiagnosis akar psikologis dari penolakan tersebut: istikbar atau kesombongan. Istikbar adalah keadaan di mana seseorang menolak kebenaran karena merasa dirinya lebih tinggi, lebih pandai, atau lebih berhak daripada pembawa kebenaran, terlepas dari bukti-bukti yang disajikan.
Para mufassir dan sejarawan Islam mengidentifikasi beberapa faktor yang memicu kesombongan Bani Israil:
Fenomena ini diwujudkan dalam tindakan mereka: mereka mendustakan (menganggap Nabi Muhammad sebagai pembohong) dan membunuh (seperti yang mereka lakukan terhadap Zakariyya dan Yahya). Penolakan mereka bukan didasarkan pada kurangnya bukti (karena Isa datang dengan al-bayyinat), melainkan didasarkan pada pertimbangan pribadi dan politik yang didominasi oleh ego.
Al-Qur'an secara eksplisit menyebut tindakan membunuh nabi sebagai kejahatan yang melampaui batas (lihat juga Al-Baqarah: 61 dan Ali Imran: 112). Tindakan ini bukan hanya kejahatan terhadap individu, tetapi pemberontakan total terhadap otoritas Ilahi. Pembunuhan para rasul ini mengakibatkan:
Istilah تَقْتُلُونَ (bentuk sekarang/akan datang) dalam ayat ini memiliki resonansi yang kuat di Madinah. Ketika ayat ini diturunkan, Bani Israil di Madinah (khususnya Yahudi Khaibar, Nadhir, dan Quraizhah) telah mendengar dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menolaknya, dan sebagian dari mereka bahkan berencana untuk membunuhnya. Oleh karena itu, penggunaan bentuk waktu ini adalah nubuat dan sekaligus peringatan: "Kamu masih meneruskan kebiasaan buruk leluhurmu!"
Ayat 87 sering dihubungkan dengan ayat berikutnya, Al-Baqarah: 88, di mana Bani Israil berkata, قُلُوبُنَا غُلْفٌ (Hati kami tertutup/tertambat). Ini adalah justifikasi mereka atas penolakan. Mereka mengklaim bahwa hati mereka sudah penuh atau tidak dapat menerima ajaran baru. Namun, Al-Qur'an membantah klaim ini, menyatakan bahwa Allah telah melaknat mereka karena kekafiran mereka, sehingga hanya sedikit yang beriman.
Ayat 87 menjelaskan mengapa hati mereka menjadi tertutup: karena mereka memilih istikbar (kesombongan) dan qatl (pembunuhan). Kesombongan adalah dosa yang mengunci hati, menjadikannya resisten terhadap cahaya petunjuk, bahkan ketika cahaya itu datang melalui mukjizat yang paling terang sekalipun.
Meskipun Al-Baqarah 87 ditujukan kepada Bani Israil, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan sangat relevan bagi umat Islam modern. Ayat ini adalah cermin bagi setiap komunitas yang menerima petunjuk Ilahi.
Pola utama Bani Israil adalah menerima Taurat (Musa) tetapi menolak Injil (Isa) atau sebaliknya, dan secara kolektif menolak Al-Qur'an (Muhammad). Bagi umat Islam, pelajaran ini adalah bahaya mengambil sebagian ajaran Al-Qur'an yang menyenangkan (misalnya, yang menjanjikan surga) sambil menolak bagian lain yang menuntut pengorbanan, moralitas ketat, atau perubahan sosial (misalnya, hukum ekonomi atau moralitas publik).
Jika ajaran rasul bertentangan dengan hawa nafsu (بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ), respons yang benar adalah tunduk, bukan menyombongkan diri. Ketika umat modern menolak hukum Islam yang tidak populer di mata masyarakat sekuler, atau ketika mereka menolak nasihat dari ulama yang saleh karena menyinggung gaya hidup materialistis mereka, mereka sejatinya mengulangi pola istikbar yang dikritik dalam ayat ini.
Ayat ini menekankan kesinambungan risalah (وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ). Dalam konteks ilmu keislaman, hal ini mengajarkan pentingnya menghargai warisan keilmuan para ulama pewaris nabi. Ketika umat Islam menolak ulama yang otoritatif karena fatwa atau ajaran mereka tidak sesuai dengan pemahaman instan dan dangkal, mereka mendekati jurang penolakan yang sama. Para ulama, meskipun bukan nabi, membawa amanah warisan kenabian (ilmu).
Sikap istikbar hari ini termanifestasi dalam meremehkan tradisi, meremehkan ijma' (konsensus ulama), dan menganggap diri sendiri, dengan bekal ilmu yang minim, mampu menafsirkan teks suci tanpa kerangka metodologis yang telah mapan. Ini adalah bentuk kesombongan intelektual yang berpotensi memecah belah umat.
Istikbar dalam ayat 87 bersifat kolektif—dilakukan oleh suatu kaum. Ini menunjukkan bahwa arogansi dapat menjadi penyakit struktural dalam suatu komunitas. Dalam masyarakat modern, arogansi kolektif ini terlihat ketika suatu kelompok merasa superioritas moral atau intelektual, yang pada akhirnya membenarkan tindakan ekstrem, termasuk penindasan terhadap pembawa pesan kebenaran (seperti membungkam para reformis atau ulama yang kritis).
Ayat ini mengajarkan bahwa status spiritual (seperti menjadi umat Muhammad, umat terbaik) bukanlah jaminan kekebalan dari Istikbar. Keutamaan sejati terletak pada kerendahan hati dan kepatuhan penuh terhadap ajaran Ilahi, tanpa kecuali dan tanpa syarat.
Iman sejati, yang berlawanan dengan istikbar, adalah penerimaan total terhadap semua yang dibawa oleh Allah, terlepas dari perasaan subjektif kita. Bani Israil gagal karena keimanan mereka bersyarat; mereka beriman hanya selama wahyu menguntungkan mereka. Ayat 87 menuntut keimanan yang tidak bersyarat, di mana kita mengakui bahwa keinginan Allah (wahyu) selalu lebih baik daripada keinginan kita (مَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ).
Dalam refleksi akhir, Al-Baqarah 87 adalah fondasi etika kenabian dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya tanpa bimbingan (dari Musa hingga Muhammad, dari Taurat hingga Al-Qur'an), tetapi kegagalan terletak pada hati yang sombong, yang memilih kekerasan dan penolakan daripada ketundukan. Memahami ayat ini adalah memahami sejarah agama dan tantangan abadi manusia dalam menghadapi Kebenaran.
Kajian mendalam tentang ayat ini harus terus diulang dalam setiap generasi, karena penyakit kesombongan—merasa diri lebih tahu atau lebih benar dari wahyu—adalah godaan yang abadi bagi setiap pemeluk agama. Ayat ini mengajak kita untuk introspeksi: apakah kita, seperti Bani Israil, sedang memilih untuk mendustakan atau membunuh (secara spiritual atau bahkan fisik) petunjuk yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kita?
Penghargaan terhadap Musa, pengakuan terhadap Isa yang diperkuat oleh Ruhul Qudus, dan ketaatan kepada Nabi Muhammad ﷺ merupakan kesatuan keimanan yang harus dipegang teguh. Dengan demikian, umat Islam dapat membebaskan diri dari kutukan istikbar historis yang menimpa Bani Israil dan menegakkan perjanjian suci dengan Allah SWT secara menyeluruh dan tanpa cela.
Lebih lanjut mengenai implikasi istikbar, ketika seseorang menolak suatu ajaran yang jelas dari Al-Qur'an atau Sunnah, ia sejatinya menempatkan akal atau nafsunya di atas otoritas Ilahi. Inilah esensi dari kesombongan yang disorot oleh ayat 87. Kegagalan historis Bani Israil, sebagaimana yang dicatat dalam teks ini, bukanlah kegagalan intelektual, melainkan kegagalan moral dan spiritual yang mendalam, berakar pada cinta dunia dan ketakutan kehilangan kekuasaan. Kekuatan Ruhul Qudus yang dianugerahkan kepada Isa pun tidak cukup untuk menembus hati yang telah mengunci diri dalam benteng arogansi dan hawa nafsu.
Ayat ini mengajarkan umat Islam bahwa warisan nabi-nabi bukanlah hanya kisah sejarah yang harus dihafal, tetapi adalah pola perilaku yang harus dihindari. Setiap kali umat dihadapkan pada ujian, di mana kebenaran datang dalam bentuk yang tak terduga atau dari sumber yang dianggap rendah oleh pandangan duniawi, saat itulah kita harus waspada agar tidak mengulangi kesalahan Bani Israil. Penerimaan total terhadap semua rasul dan semua wahyu adalah bukti ketulusan iman, dan itulah yang membedakan Umat Muhammad dari umat-umat sebelumnya yang cenderung sektarian dan selektif dalam ketaatan mereka.
Bani Israil, meskipun menerima mukjizat, tetap terperangkap dalam dualitas. Mereka ingin memiliki syariat Musa yang kokoh, tetapi mereka membenci kasih dan spiritualitas Isa. Mereka menginginkan janji-janji Allah (kedudukan di dunia), tetapi menolak konsekuensi dari ketaatan penuh. Ayat 87 adalah peringatan bahwa sikap inkonsisten ini, yang didorong oleh kesombongan, pasti berujung pada kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi Tafsir, penafsiran "membunuh" (تَقْتُلُونَ) terkadang juga diinterpretasikan dalam arti metaforis: "membunuh" ajaran para nabi dengan cara mengabaikannya, memutarbalikkannya, atau mencegah penyebarannya. Meskipun makna literal (pembunuhan fisik) pasti terjadi (terhadap Yahya, Zakariyya, dan upaya terhadap Isa dan Muhammad), makna metaforis ini relevan bagi kita: menolak kebenatan dengan sengaja dan arogan sama dengan "membunuh" risalah tersebut dalam hati kita dan masyarakat kita.
Al-Baqarah Ayat 87 adalah salah satu ayat terkuat dalam Al-Qur'an yang menjelaskan sejarah Bani Israil sebagai pelajaran universal bagi seluruh manusia. Ayat ini secara ringkas menceritakan perjalanan panjang Allah dalam memberikan petunjuk (Musa, Al-Kitab, Rasul-rasul susulan, Isa, Al-Bayyinat, Ruhul Qudus) dan respons manusia yang tragis (istikbar, dusta, dan pembunuhan).
Pelajaran terpenting bagi umat Islam adalah memahami bahwa pintu petunjuk Ilahi selalu terbuka, tetapi hati yang sombong adalah satu-satunya penghalang yang nyata. Kita diperintahkan untuk menerima seluruh ajaran dan seluruh utusan Allah dengan kerendahan hati, sehingga kita terhindar dari nasib umat-umat terdahulu yang kehilangan berkah karena memilih hawa nafsu di atas wahyu.