Menggali Inti Surah Al Baqarah Ayat 91: Kritik terhadap Keimanan Selektif

I. Pengantar: Konteks Ayat 91 dalam Surah Al Baqarah

Surah Al Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai fondasi utama bagi banyak prinsip hukum dan teologis Islam. Dalam rangkaian ayat-ayat yang ditujukan kepada Bani Israil (keturunan Ya'qub), Allah SWT memaparkan sejarah panjang hubungan mereka dengan wahyu, sekaligus mengkritik penyimpangan dan penolakan yang terjadi setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ayat ke-91 muncul di tengah kritik keras terhadap sikap Bani Israil yang menolak penerimaan Al-Qur'an secara penuh, meskipun mereka mengakui kebenaran kitab-kitab suci sebelumnya.

Ayat ini secara spesifik menangani mentalitas 'pilih-pilih' dalam menerima kebenaran ilahi. Mereka bersikeras bahwa mereka hanya akan beriman pada apa yang diturunkan kepada mereka (Taurat dan Injil), sementara menolak Al-Qur'an. Penolakan ini adalah inti permasalahan teologis yang dibahas dalam ayat ini, menantang konsep kesatuan wahyu (Tawhid ar-Risalah).

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ ۗ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنبِيَاءَ اللَّهِ مِن قَبْلُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Berimanlah kepada apa yang diturunkan Allah,' mereka menjawab: 'Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.' Dan mereka kafir kepada apa yang di belakangnya (Al-Qur'an) padahal ia adalah yang hak dan membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah (wahai Muhammad): 'Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman?'” (QS. Al Baqarah: 91)

II. Tahlil Linguistik dan Struktur Retorika

Untuk memahami kedalaman ayat ini, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap struktur bahasa dan pilihan kata yang digunakan oleh Al-Qur'an. Ayat 91 ini bukan hanya pernyataan, tetapi sebuah dialog yang penuh tantangan retorika (istifham inkarī).

1. 'Bimaa Unzila 'Alainaa' (Apa yang Diturunkan kepada Kami)

Frasa ini menunjukkan eksklusivitas klaim keimanan mereka. Mereka membatasi keimanan pada Taurat dan Injil, yang diyakini secara langsung diturunkan dalam konteks historis dan geografis mereka. Sikap ini mencerminkan primordialisme yang menganggap wahyu sebagai warisan suku atau etnis, bukan sebagai Risalah universal dari Allah SWT.

Pembatasan ini juga secara halus mengabaikan prinsip bahwa Allah adalah satu, dan sumber wahyu juga satu. Jika sumbernya sama, maka wahyu yang datang kemudian—jika ia membenarkan yang terdahulu—seharusnya diterima tanpa syarat, terutama jika nabi yang membawanya (Muhammad SAW) telah dinubuatkan dalam kitab mereka sendiri.

2. 'Wa Yakfuruuna Bima Waraa'ahu' (Dan Mereka Kafir Kepada Apa yang di Belakangnya)

Lafazh 'waraa'ahu' secara harfiah berarti 'di belakangnya' atau 'setelahnya'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada Al-Qur'an yang diturunkan setelah Taurat dan Injil. Penggunaan kata 'yakfuruuna' (mereka kafir) menunjukkan bahwa penolakan mereka bukanlah sekadar keraguan, tetapi penolakan yang tegas terhadap wahyu baru tersebut.

3. 'Wa Huwal Haqq Musaddiqal Limaa Ma'ahum' (Padahal Ia Adalah yang Hak dan Membenarkan Apa yang Ada pada Mereka)

Bagian ini adalah argumen tandingan (counter-argument) yang sangat kuat dari Allah SWT. Ada dua poin krusial di sini:

  1. Huwal Haqq (Ia Adalah yang Hak): Menegaskan status Al-Qur'an sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah.
  2. Musaddiqal Limaa Ma'ahum (Membenarkan Apa yang Ada pada Mereka): Ini adalah kunci teologis. Al-Qur'an tidak datang untuk menghancurkan kebenaran Taurat dan Injil yang asli, melainkan untuk menegaskan dan mengesahkannya. Jika mereka benar-benar beriman pada kitab mereka sendiri, mereka harus beriman pada apa yang membenarkannya. Penolakan terhadap pembenar berarti penolakan terhadap apa yang dibenarkan, yang menunjukkan kontradiksi fundamental dalam klaim keimanan mereka.

4. Qul: Tantangan Retorika yang Menggugat Sejarah

Perintah 'Qul' (Katakanlah) menandai peralihan dari narasi ke tantangan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Tantangan ini berupa pertanyaan tajam: 'Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman?'

Pertanyaan ini secara efektif mematahkan klaim Bani Israil. Jika mereka mengaku beriman sepenuhnya pada Taurat dan nabi-nabi yang diutus kepada mereka, bagaimana mungkin sejarah mereka dipenuhi dengan pembangkangan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan terhadap para nabi (seperti Zakariya dan Yahya, menurut tradisi Islam dan Kristen)? Ini menunjukkan bahwa keimanan mereka bahkan terhadap 'apa yang diturunkan kepada mereka' adalah palsu dan selektif.

Ilustrasi Kesatuan Wahyu صدق

Kesatuan Wahyu: Al-Qur'an membenarkan (Musaddiq) wahyu terdahulu, menuntut keimanan yang komprehensif.

III. Interpretasi Klasik Para Mufasir

Ayat 91 adalah titik fokus penting dalam diskusi tafsir mengenai hubungan Islam dengan agama-agama samawi sebelumnya. Para mufasir klasik memberikan penekanan berbeda, namun dengan kesimpulan yang sama: penolakan Al-Qur'an oleh Bani Israil adalah tindakan inkonsisten dan munafik.

1. Tafsir Ibn Kathir: Fokus pada Kepalsuan Klaim Iman

Ibn Kathir menjelaskan bahwa Bani Israil (khususnya Yahudi di Madinah) menolak Al-Qur'an karena keangkuhan dan penolakan untuk menerima kenabian Muhammad SAW. Mereka mengklaim Taurat sebagai kitab yang suci, namun di saat yang sama, mereka melanggar hukum Taurat itu sendiri. Ibn Kathir menyoroti ironi historis yang diungkapkan oleh ayat tersebut. Pertanyaan tentang pembunuhan nabi adalah bukti kuat bahwa mereka tidak pernah benar-benar beriman pada Taurat, karena Taurat sendiri memerintahkan ketaatan kepada para nabi.

Menurut Ibn Kathir, Taurat telah memprediksi kedatangan Muhammad. Oleh karena itu, penolakan mereka terhadap Muhammad berarti penolakan terhadap apa yang telah mereka yakini. Keimanan selektif ini dianggap tidak sah di mata Allah.

2. Tafsir At-Tabari: Penekanan pada Makna 'Musaddiq'

Imam At-Tabari, dalam Jami' al-Bayan, fokus pada makna linguistik dan teologis dari frasa 'musaddiqal limaa ma'ahum' (membenarkan apa yang ada pada mereka). At-Tabari berpendapat bahwa pembenaran (tasdiq) Al-Qur'an terhadap kitab suci terdahulu mengharuskan Bani Israil untuk menerima Al-Qur'an.

Ia menjelaskan bahwa jika Taurat adalah kebenaran, dan Al-Qur'an menyatakan kebenaran Taurat (versi aslinya), maka Taurat sendiri telah menjadi saksi kebenaran Al-Qur'an. Dengan menolak saksi yang membenarkan kitab mereka, mereka telah mencabut validitas kitab mereka sendiri. Logika ini bersifat melingkar dan tak terhindarkan bagi mereka yang berakal sehat.

3. Tafsir Al-Qurtubi: Analisis Kasus Pembunuhan Nabi

Al-Qurtubi memberikan detail lebih lanjut mengenai sejarah kelam Bani Israil terkait pembunuhan nabi. Ia menyebutkan kisah-kisah yang merinci bagaimana para nabi diutus untuk mengoreksi penyimpangan Bani Israil, namun mereka membalasnya dengan kekerasan. Al-Qurtubi menggunakan bagian akhir ayat ('Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah...') untuk menunjukkan bahwa kontradiksi ini adalah sifat yang melekat pada Bani Israil: mereka mengklaim kesalehan tetapi secara praktis menolak ajaran utama kitab suci mereka.

Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa pengakuan lisan Bani Israil terhadap kitab mereka sendiri tidak didukung oleh amal perbuatan mereka, apalagi oleh kesediaan mereka untuk menerima wahyu baru yang bertujuan mengembalikan mereka ke jalan yang benar.

IV. Implikasi Teologis: Kesatuan Risalah dan Kewajiban Iman Universal

1. Doktrin Kesatuan Wahyu (Tawhid ar-Risalah)

Ayat 91 adalah landasan penting bagi doktrin Islam mengenai kesatuan wahyu. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT telah mengutus serangkaian nabi dan rasul dengan pesan dasar yang sama (Tauhid, Keesaan Tuhan, dan tuntutan moral). Kitab-kitab suci, dari Taurat, Zabur, Injil, hingga Al-Qur'an, adalah fase-fase dari satu Risalah Ilahi.

Oleh karena itu, menolak salah satu fase wahyu, terutama wahyu terakhir yang menyempurnakan dan memelihara keaslian pesan sebelumnya (seperti Al-Qur'an), sama saja dengan menolak sumber wahyu itu sendiri, yaitu Allah SWT.

2. Penolakan terhadap Iman Selektif (A'manul Ba'dh wa Kafarul Ba'dh)

Konsep yang paling dikritik dalam ayat ini adalah iman selektif, atau beriman pada sebagian dan menolak sebagian lainnya. Allah SWT menghendaki keimanan yang komprehensif (iman total). Ayat ini mengajarkan bahwa kebenaran tidak dibatasi oleh waktu, tempat, atau ras.

Jika seseorang mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran, ia wajib menerima semua kebenaran yang datang dari-Nya, bahkan jika itu menantang tradisi atau kepentingan pribadi. Bani Israil gagal dalam ujian ini karena mereka mendahulukan sentimen kesukuan daripada kepatuhan universal terhadap kehendak Tuhan.

3. Pembuktian Inkonsistensi Historis

Tantangan 'Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi...' berfungsi sebagai bukti historis (Hujjah). Allah menggunakan sejarah Bani Israil sendiri untuk membuktikan kepalsuan klaim mereka. Pembunuhan nabi bukan hanya dosa moral, tetapi juga penolakan terhadap hukum yang mereka klaim mereka pegang. Ini menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap Taurat hanyalah formalitas, bukan ketaatan hati yang sebenarnya.

Inkonsistensi ini berfungsi sebagai peringatan bagi umat Islam agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama: mengklaim beriman pada Al-Qur'an tetapi menolak mengamalkan sebagian ajarannya yang dirasa berat atau tidak sesuai dengan hawa nafsu.

4. Ayat Ini sebagai Kritik Umum terhadap Materialisme Spiritual

Meskipun ditujukan kepada Bani Israil, ayat 91 memberikan pelajaran universal. Ia mengkritik siapa pun yang membatasi agama pada tradisi masa lalu sambil menutup diri dari pencerahan atau pembaruan yang datang dari sumber ilahi yang sama. Ayat ini menuntut kerendahan hati intelektual dan spiritual untuk menerima kebenaran dari mana pun datangnya, asalkan ia berasal dari sumber yang otentik dan membenarkan prinsip-prinsip dasar ketuhanan.

Ketidakmauan untuk menerima Al-Qur'an menunjukkan bahwa mereka hanya ingin berpegang pada bagian wahyu yang menguntungkan mereka, sementara menolak bagian yang menantang otoritas atau kebiasaan mereka. Sifat ini adalah penyakit spiritual yang diwujudkan dalam pembunuhan nabi di masa lalu, dan penolakan terhadap Nabi Muhammad di masa kini.

5. Tafsir Kontemporer: Relevansi Kritik terhadap Modernitas

Dalam tafsir kontemporer, seperti yang diajukan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an, kritik ini diperluas. Qutb melihat sikap Bani Israil sebagai representasi dari sifat manusia yang enggan untuk tunduk pada kebenaran yang komprehensif. Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan sebagai: orang yang mengklaim beriman pada etika atau nilai-nilai tertentu, namun menolak syariat atau hukum yang lebih luas karena dianggap tidak sesuai dengan norma sosial atau kepentingan pribadi.

Intinya adalah bahwa klaim keimanan tidak dapat berdiri sendiri jika bertentangan dengan bukti historis tindakan seseorang atau penolakan terhadap wahyu yang jelas dan sahih. Keimanan harus dibuktikan dengan ketaatan yang konsisten.

V. Analisis Mendalam Mengenai Konteks Historis dan Latar Belakang Asbabun Nuzul

1. Kehadiran Yahudi di Madinah

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah (Yastrib), wilayah tersebut dihuni oleh berbagai suku Arab dan tiga suku utama Yahudi: Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzah. Kaum Yahudi di Madinah memiliki pengetahuan mendalam tentang kitab suci dan kenabian, dan mereka sering menunggu kedatangan seorang nabi terakhir yang dinubuatkan dalam Taurat (biasanya disebut sebagai 'Nabi dari Arab' atau 'Paraclete').

Asbabun Nuzul (sebab turunnya) ayat 91 secara langsung berkaitan dengan interaksi antara Nabi Muhammad dan para ulama Yahudi ini. Ketika Nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang membenarkan kisah-kisah para nabi terdahulu, para ulama tersebut terbagi. Beberapa, seperti Abdullah bin Salam (yang kemudian masuk Islam), mengakui kebenaran tersebut. Namun, mayoritas menolak.

2. Motif Penolakan: Keangkuhan dan Kepentingan Duniawi

Ayat 91 menyingkap motif penolakan mereka:

Ketika Nabi meminta mereka untuk beriman kepada Al-Qur'an sebagai konfirmasi bagi Taurat, jawaban mereka—"Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami"—adalah penolakan yang diplomatis namun keras. Ini adalah titik di mana Allah SWT menyajikan tantangan historis mengenai pembunuhan nabi.

3. Daftar Nabi yang Dibunuh atau Disakiti

Meskipun Al-Qur'an tidak merinci nama-nama nabi secara eksklusif dalam konteks ayat ini, tradisi dan sumber-sumber lain yang dibahas oleh mufasir menunjukkan referensi kepada:

Tantangan ayat 91 adalah sebuah pukulan telak: Anda mengaku beriman pada nabi-nabi, tetapi catatan sejarah Anda menunjukkan penolakan dan kekerasan terhadap mereka. Bagaimana mungkin orang yang membunuh pembawa pesan lama dapat mengklaim keimanan yang tulus ketika dihadapkan pada pembawa pesan baru?

4. Kesinambungan Sejarah Pemberontakan

Ayat 91 menunjukkan bahwa penolakan terhadap Nabi Muhammad adalah puncak dari sejarah panjang pemberontakan Bani Israil terhadap Tuhan dan utusan-Nya. Ini bukan insiden tunggal, tetapi pola perilaku yang berulang. Mereka memberontak melawan Musa, mereka menyembah anak sapi, mereka menolak memasuki Tanah Suci, dan kemudian mereka membunuh nabi-nabi yang mencoba memperbaiki penyimpangan mereka.

Oleh karena itu, penolakan Al-Qur'an adalah manifestasi terbaru dari watak spiritual yang telah rusak, yang tidak mampu menerima otoritas ilahi yang menuntut perubahan dan kepatuhan mutlak.

5. Dampak Retorika Al-Qur'an

Al-Qur'an menggunakan teknik retorika (iltifat) yang sangat efektif. Ayat dimulai dengan narasi (orang ketiga) mengenai dialog mereka, kemudian tiba-tiba beralih ke perintah langsung kepada Nabi Muhammad ('Qul' - Katakanlah) untuk menyampaikan tantangan yang menggali ke masa lalu mereka. Peralihan ini bertujuan untuk meningkatkan dampak psikologis dan membuat tuduhan menjadi tak terhindarkan dan tak terbantah.

VI. Pelajaran Abadi dari Ayat 91: Menghindari Inkonsistensi Iman

Meskipun ditujukan kepada audiens spesifik pada abad ke-7, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al Baqarah 91 bersifat universal dan relevan bagi setiap Muslim di era modern. Ayat ini menjadi peringatan keras terhadap berbagai bentuk inkonsistensi keimanan.

1. Bahaya Selektivitas dalam Syariat

Muslim modern sering kali menghadapi godaan untuk mengamalkan aspek-aspek Islam yang mudah atau populer (ibadah ritual) sambil menolak atau mengabaikan aspek-aspek yang menantang (hukum sosial, ekonomi, atau moral yang bertentangan dengan budaya sekuler).

Ayat ini mengajarkan: Anda tidak dapat memilih-milih syariat. Klaim keimanan pada Al-Qur'an berarti menerima seluruh isinya, dari tauhid hingga tata cara muamalah (interaksi sosial). Menolak satu bagian karena alasan kenyamanan atau tekanan sosial adalah meniru pola pikir 'kami beriman pada apa yang diturunkan kepada kami' (yaitu, apa yang cocok dengan kita).

2. Pentingnya Konsistensi Akhlak dan Klaim Iman

Tantangan historis mengenai pembunuhan nabi menyoroti gap antara klaim lisan (iman) dan tindakan nyata (kekerasan/pembangkangan). Bagi umat Islam, ini berarti bahwa klaim keimanan pada Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur'an harus tercermin dalam akhlak dan perilaku yang konsisten.

Jika seseorang mengklaim mencintai Nabi tetapi mengabaikan sunnah atau moralitas yang diajarkannya, ia jatuh ke dalam jenis inkonsistensi yang dikritik dalam ayat 91. Keimanan sejati memerlukan integrasi penuh antara keyakinan hati, perkataan lisan, dan tindakan anggota tubuh.

3. Menghormati Kebenaran Terdahulu

Ayat ini mengingatkan Muslim tentang kewajiban untuk menghormati nabi dan kitab-kitab suci yang datang sebelum Al-Qur'an. Islam menghargai kesinambungan wahyu. Mengakui nabi-nabi terdahulu (Musa, Isa, Ibrahim) adalah bagian integral dari akidah Islam. Penghormatan ini diperkuat oleh fakta bahwa Al-Qur'an datang sebagai musaddiq—pembenar.

Ini mempromosikan dialog dan pemahaman bahwa semua agama samawi yang asli berasal dari sumber yang sama, meskipun Al-Qur'an berfungsi sebagai meterai terakhir dan otoritas final yang telah dipelihara keasliannya.

4. Prinsip Otoritas Ilahi di Atas Otoritas Manusia

Penolakan Bani Israil didorong oleh kepentingan para rabi yang memegang otoritas duniawi. Mereka menolak otoritas Nabi Muhammad karena takut kehilangan kekuasaan. Pelajaran bagi umat Islam adalah bahwa otoritas Allah dan Rasul-Nya harus selalu berada di atas otoritas individu, lembaga, atau tradisi yang diwariskan, jika tradisi tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Kepatuhan harus diarahkan kepada Yang Maha Benar, bukan kepada individu yang mungkin memanfaatkan agama untuk tujuan pribadi atau kelompok.

***

VII. Korelasi Inter-Ayat dalam Surah Al Baqarah

Ayat 91 tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari serangkaian kritik yang ditujukan kepada Bani Israil dalam Al Baqarah, khususnya ayat-ayat 89 hingga 101. Memahami korelasi ini memperkuat argumen teologis Al-Qur'an.

1. Hubungan dengan Ayat 89: Pengenalan dan Penolakan

Ayat 89 telah membahas bagaimana Bani Israil sudah mengetahui kedatangan Al-Qur'an dan Nabi Muhammad: “Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu.”

Ayat 89 menetapkan bahwa mereka 'tahu' dan 'menolak'. Ayat 91 menjelaskan justifikasi penolakan mereka—klaim bahwa mereka hanya beriman pada Taurat—dan kemudian mematahkan justifikasi tersebut dengan tantangan historis (pembunuhan nabi).

2. Hubungan dengan Ayat 90: Pertukaran Iman dengan Dunia

Ayat 90 mengecam tindakan mereka yang menukar keimanan dengan 'harga yang murah' (keuntungan duniawi): “Alangkah buruknya (perbuatan) mereka menjual diri mereka dengan kekafiran kepada apa yang diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”

Ayat 90 memberikan motif internal (kedengkian dan keuntungan duniawi), sementara Ayat 91 memberikan justifikasi yang mereka gunakan untuk menolak (klaim kesetiaan pada Taurat) dan membantah justifikasi tersebut.

3. Hubungan dengan Ayat 101: Pelemparan Kitab Suci

Ayat 101 mengukuhkan pola perilaku penolakan mereka: “Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab melemparkan Kitab Allah ke belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak mengetahui.”

Ayat 101 adalah visualisasi dari penolakan yang diungkapkan dalam Ayat 91. Mereka secara fisik menolak wahyu baru meskipun ia membenarkan wahyu lama mereka. Ini adalah tindakan pengabaian total terhadap kebenaran ilahi.

Secara keseluruhan, rangkaian ayat-ayat ini melukiskan gambaran Bani Israil sebagai komunitas yang terjerat dalam kontradiksi teologis, di mana warisan ilahi mereka dikalahkan oleh kesombongan, kedengkian, dan kepentingan sektarian. Ayat 91 berdiri sebagai puncak dari argumentasi ini, menggunakan sejarah mereka sendiri sebagai senjata untuk membantah klaim keimanan mereka.

***

VIII. Kedalaman Filosofis Pembunuhan Para Nabi

Bagian akhir dari ayat 91, 'Qul falima taqtuluuna anbiyaa'Allah min qablu in kuntum mu'miniina' (Katakanlah: 'Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman?'), membawa implikasi filosofis yang melampaui sekadar catatan sejarah.

1. Kontradiksi Ontologis

Seorang nabi adalah perwujudan langsung dari kehendak Tuhan. Jika seseorang beriman kepada Tuhan (Ontos), maka ia harus tunduk pada kehendak dan utusan-Nya. Pembunuhan nabi adalah kontradiksi ontologis; itu adalah upaya untuk membunuh kehendak Tuhan itu sendiri. Klaim beriman kepada Tuhan sambil membunuh utusan-Nya adalah kebohongan terbesar yang dapat diucapkan manusia.

Ayat ini menyiratkan bahwa keimanan sejati (Iman Haqiqi) tidak memungkinkan pembangkangan yang sedemikian rupa. Jika mereka benar-benar beriman, mereka akan tunduk. Kenyataan bahwa mereka membunuh nabi menunjukkan bahwa mereka telah menanggalkan hakikat iman sejak lama.

2. Peran Nabi sebagai Pengganggu Kemapanan

Para nabi sering diutus untuk menantang kemapanan (status quo), baik dalam bentuk tirani politik maupun kemerosotan moral-spiritual. Dalam konteks Bani Israil, banyak nabi diutus untuk memanggil mereka kembali dari penyembahan berhala, ketidakadilan sosial, dan korupsi spiritual. Mereka yang merasa terancam oleh seruan ini, yaitu para pemimpin agama dan politik yang korup, memilih untuk melenyapkan nabi tersebut.

Al-Qur'an menggunakan sejarah ini untuk menunjukkan bahwa penolakan terhadap Nabi Muhammad adalah bagian dari pola penolakan terhadap kebenaran yang mengganggu kenyamanan. Nabi Muhammad menuntut perubahan total dari sistem yang ada di Madinah, yang mengancam kekuasaan para rabi. Karena tidak bisa membunuh Nabi Muhammad pada saat itu, mereka menggunakan penolakan teologis sebagai senjata, mengklaim kesetiaan pada Taurat sebagai alasan, padahal mereka sendiri telah menghina Taurat dengan darah nabi-nabi sebelumnya.

3. Pembunuhan Simbolis dalam Setiap Generasi

Dalam makna yang lebih luas, pembunuhan nabi tidak harus berupa tindakan fisik. Dalam konteks spiritual, 'membunuh nabi' berarti mengabaikan ajarannya, mematikan seruan kebenaran di dalam hati, atau membiarkan syariatnya mati dalam kehidupan sosial. Setiap kali seorang Muslim memilih hawa nafsunya di atas perintah Al-Qur'an, ia melakukan 'pembunuhan simbolis' terhadap esensi risalah kenabian.

Oleh karena itu, peringatan dalam ayat 91 adalah tantangan spiritual yang terus-menerus: Apakah Anda benar-benar menghidupkan ajaran Nabi Muhammad, atau Anda hanya membatasi iman pada apa yang 'diturunkan kepada Anda' (tradisi yang mudah, ritual kosong) sementara menolak kebenaran yang menuntut pengorbanan?

***

IX. Penerapan Hukum dan Etika (Hukmul Ayat)

Selain implikasi teologisnya, Ayat 91 juga memiliki dasar hukum dan etika yang kuat dalam sistem Islam.

1. Prinsip Takfir (Penentuan Kekafiran)

Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata 'yakfuruuna' (mereka kafir) untuk menggambarkan sikap Bani Israil terhadap Al-Qur'an. Ini menetapkan prinsip bahwa menolak sebagian dari wahyu Allah yang mutlak, yang telah terbukti kebenarannya dan membenarkan wahyu sebelumnya, adalah tindakan kekafiran.

Dalam fikih Islam, ini mendukung konsep bahwa keimanan harus total. Tidak boleh ada pemisahan antara percaya pada Taurat dan menolak Al-Qur'an, karena ketaatan kepada Allah menuntut ketaatan pada semua utusan-Nya, sebagaimana firman Allah: “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya.” (QS. Al Baqarah: 285).

2. Larangan Fanatisme Buta (Ta'assub)

Ayat 91 menelanjangi fanatisme buta yang didasarkan pada suku atau tradisi. Fanatisme ini mendorong seseorang untuk mengutamakan warisan leluhur di atas kebenaran yang datang dari Tuhan. Etika Islam menuntut agar seseorang menjadi 'pencari kebenaran' yang objektif, siap menerima petunjuk dari mana pun datangnya, asalkan sesuai dengan kriteria wahyu yang sahih.

Sikap Bani Israil adalah 'ta'assub' terhadap Taurat (atau interpretasi mereka terhadapnya) sehingga menghalangi mereka melihat kebenaran Al-Qur'an. Ini adalah penyakit spiritual yang harus dihindari oleh setiap Muslim.

3. Bukti Hukum Pembunuhan Nabi

Ayat ini tidak hanya kritik moral, tetapi juga referensi hukum yang serius. Pembunuhan nabi adalah kejahatan terberat yang dilakukan manusia, karena ia menyerang jantung Risalah. Dengan mengangkat isu ini, Al-Qur'an mengingatkan bahwa Bani Israil yang hadir di Madinah membawa beban sejarah kejahatan nenek moyang mereka, yang menunjukkan bahwa mereka adalah pewaris mentalitas yang menolak hukum dan kebenaran ilahi.

***

X. Elaborasi Lanjut Tafsir Modern: Analisis Al-Maududi

Untuk melengkapi kedalaman analisis, kita perlu melihat bagaimana ulama abad ke-20 menafsirkan ayat ini, terutama dalam kaitannya dengan Zionisme dan identitas agama di tengah konflik modern.

1. Perspektif Sektarianisme

Abul A’la Al-Maududi, dalam Tafhim al-Qur’an, menjelaskan bahwa ayat 91 berfungsi sebagai penolakan total terhadap sektarianisme agama. Ketika Yahudi di Madinah berkata, “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,” mereka mengisolasi diri mereka dari universalitas Rahmat Tuhan.

Al-Maududi berargumen bahwa Islam, dengan mengakui semua nabi, menuntut semua pengikut nabi terdahulu untuk bersatu di bawah bendera kenabian terakhir (Muhammad SAW). Keimanan yang terpecah-pecah adalah ciri dari komunitas yang gagal memahami esensi Tauhid. Kegagalan ini, menurut Al-Maududi, telah menjadi kutukan historis bagi Bani Israil.

2. Penekanan pada Tahrif (Distorsi)

Meskipun Al-Qur'an dalam ayat 91 menyatakan dirinya 'membenarkan apa yang ada pada mereka' (musaddiqal limaa ma'ahum), para mufasir modern menekankan bahwa yang dibenarkan adalah isi Taurat yang asli dan murni, bukan versi yang telah diubah atau dimanipulasi (tahrif).

Ayat 91 secara implisit menuduh Bani Israil melindungi versi Taurat yang telah dimodifikasi, karena mereka takut Al-Qur'an akan mengekspos distorsi tersebut. Ini semakin memperkuat motif penolakan mereka: bukan karena mereka mencintai Taurat, melainkan karena mereka mencintai interpretasi dan kekuasaan yang dibangun di atas Taurat yang telah diubah.

3. Implikasi Praktis bagi Da'wah

Bagi Al-Maududi, ayat ini memberikan landasan metodologis untuk da'wah (dakwah). Ketika berdialog dengan pengikut agama samawi lainnya, Muslim harus selalu menunjuk pada kesatuan sumber wahyu. Argumen utama haruslah: Jika Anda percaya pada Tuhan yang sama dan risalah nabi Anda yang asli, maka Anda harus menerima Al-Qur'an karena ia mengkonfirmasi kebenaran dasar tersebut. Ini adalah metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui tantangan yang diabadikan dalam ayat 91.

***

XI. Kesimpulan dan Refleksi Spiritual

Al Baqarah Ayat 91 adalah salah satu ayat paling fundamental yang menetapkan prinsip keimanan komprehensif dan menolak keimanan selektif. Ayat ini menggunakan kombinasi narasi dialog, konfirmasi teologis, dan tantangan historis yang tajam untuk mematahkan klaim Bani Israil.

Pesan utamanya melintasi batas sejarah: Wahyu adalah satu, bersumber dari Yang Maha Esa, dan oleh karena itu, harus diterima secara utuh. Keimanan sejati tidak pernah berpihak pada kepalsuan, tidak pernah memilih-milih kebenaran, dan tidak pernah membiarkan kepentingan duniawi mengalahkan otoritas ilahi.

Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah cermin yang harus digunakan untuk menguji keimanan diri sendiri. Apakah kita 'membunuh nabi' secara simbolis dengan mengabaikan Sunnahnya? Apakah kita membatasi keimanan pada ritual yang mudah sementara menolak jihad spiritual melawan hawa nafsu dan ketidakadilan? Al-Qur'an menuntut konsistensi. Keimanan adalah perjanjian total dengan Allah SWT, yang tidak mengenal kata 'sebagian'.

Kepatuhan yang dituntut oleh Al Baqarah 91 adalah kepatuhan yang konsisten dan universal, yang mengakui kebenaran masa lalu sambil menyambut kebenaran yang mutlak dan terakhir, yaitu Al-Qur'an.

***

XII. Penutup: Pengulangan dan Penegasan Prinsip Dasar

Sebagai penegasan akhir, marilah kita ulangi poin-poin teologis yang terkandung dalam satu ayat yang sarat makna ini:

  1. Universalitas Risalah: Bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari semua risalah kenabian sebelumnya.
  2. Kewajiban Keimanan Total: Bahwa menolak bagian dari wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, padahal ia membenarkan wahyu sebelumnya, adalah tindakan kekafiran.
  3. Keimanan dan Sejarah: Bahwa klaim keimanan harus didukung oleh konsistensi perilaku, dan sejarah tindakan kita akan selalu menjadi saksi terhadap keaslian klaim kita.
  4. Tantangan Retorika Abadi: Pertanyaan 'Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah?' adalah tantangan etis dan moral yang terus bergema, meminta setiap penganut agama untuk merefleksikan apakah tindakan mereka mencerminkan ketaatan sejati.

Ayat 91 adalah batu ujian. Ia memisahkan mereka yang mencari kebenaran mutlak dari mereka yang mencari pembenaran untuk mempertahankan kekuasaan atau tradisi yang nyaman. Keberanian spiritual untuk menerima wahyu baru, meskipun ia berasal dari 'orang lain' (Arab, bukan Israil), adalah inti dari pengujian iman yang disajikan dalam Surah Al Baqarah ini.

***

XIII. Elaborasi Ekstensif Analisis Akar Kata Kunci

Untuk memenuhi kedalaman pembahasan, kita akan membedah setiap akar kata kunci utama (root word) dalam ayat ini, menggunakan ilmu morfologi Arab (Sarf) dan leksikologi (Lughah).

1. رُوّيَ (Rawā) - Digunakan dalam 'Qīla' (Dikatakan)

Kata kerja 'Qīla' (dikatakan) berasal dari akar R-W-Y, yang berarti narasi atau transmisi. Dalam konteks pasif 'qīla', ini menunjukkan sebuah ajakan atau seruan yang datang kepada mereka. Ini bukan sekadar percakapan, melainkan seruan dakwah yang formal: 'Jika seruan iman disampaikan kepada mereka...'. Ini menunjukkan bahwa kesempatan untuk beriman telah disajikan secara jelas dan formal, namun mereka menolaknya.

2. نزول (Nuzul) - Digunakan dalam 'Anzala' (Diturunkan)

Akar N-Z-L berarti 'turun'. Digunakan dalam frasa 'bimaa anzala Allah' (apa yang diturunkan Allah) dan 'maa unzila 'alainaa' (apa yang diturunkan kepada kami). Perbedaan penggunaan kata kerja ini oleh kedua pihak sangat penting:

3. كُفْر (Kufr) - Digunakan dalam 'Yakfurūna' (Mereka Kafir)

Akar K-F-R berarti menutupi, menyembunyikan, atau menolak kebenaran. Penggunaan fi'il mudhari' (kata kerja present/future) 'yakfurūna' menunjukkan bahwa penolakan (kekafiran) adalah tindakan yang berkelanjutan dan merupakan kebiasaan mereka, bukan insiden sesaat.

4. صدق (Sidq) - Digunakan dalam 'Musaddiq' (Pembenar)

Akar S-D-Q berarti jujur, benar, atau mengkonfirmasi. 'Musaddiq' adalah ism fa'il (pelaku) yang berarti 'yang membenarkan'. Ini adalah fungsi esensial Al-Qur'an. Ini bukan hanya sebuah kitab baru, tetapi sebuah otoritas yang menegaskan keaslian kitab-kitab sebelumnya. Ini adalah titik di mana logika mereka hancur. Jika Al-Qur'an jujur dalam membenarkan kitab mereka, maka menolaknya berarti menolak kebenaran itu sendiri.

5. قتل (Qatl) - Digunakan dalam 'Taqtulūna' (Kamu Membunuh)

Akar Q-T-L berarti membunuh. Penggunaan 'taqtulūna' dalam bentuk fi'il mudhari' di sini, merujuk pada masa lalu ('min qablu' - dari sebelumnya), adalah bentuk retoris yang menunjukkan bahwa kejahatan pembunuhan adalah kebiasaan yang terjadi berulang kali dalam sejarah mereka (seperti yang ditafsirkan oleh para ulama klasik) dan merupakan sifat yang melekat pada mereka, bukan hanya sebuah peristiwa tunggal di masa lalu.

Analisis akar kata menunjukkan bahwa Al-Qur'an memilih kata-kata dengan presisi maksimal untuk menelanjangi sifat inkonsisten Bani Israil—dari cara mereka membatasi wahyu hingga kebiasaan mereka menolak kebenaran, yang berpuncak pada pembunuhan para nabi.

***

XIV. Menghindari Tahrif Modern: Selektivitas Pemikiran

Pelajaran yang paling mendesak dari Al Baqarah 91 di abad ini adalah peringatan terhadap 'tahrif' (distorsi) dalam pemikiran, bukan hanya dalam teks. Banyak umat Islam modern menghadapi tantangan ini:

1. Menggali Kekuatan dan Kelemahan Manhaj

Manhaj (metodologi) Bani Israil yang dikritik adalah metodologi eksklusif yang membatasi diri. Mereka memandang agama sebagai identitas yang statis, bukan sebagai jalan hidup yang dinamis yang membutuhkan penyesuaian terus-menerus terhadap wahyu yang baru.

Kini, tantangan serupa muncul dalam bentuk 'islamophobia internal'—ketika seorang Muslim merasa malu atau enggan untuk menerima syariat Islam dalam ranah publik, memilih untuk membatasi Islam hanya dalam ranah spiritual pribadi. Ini adalah bentuk modern dari 'kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami' (yaitu, ritual yang dapat diterima masyarakat sekuler) dan 'kami kafir kepada apa yang di belakangnya' (yaitu, hukum sosial atau ekonomi Islam yang dianggap radikal atau kuno).

2. Kehancuran Logika Rasionalitas

Al-Qur'an selalu berdialog dengan akal. Logika dalam ayat 91 sangat rasional: Jika A membenarkan B, dan Anda percaya B, Anda wajib percaya A. Kegagalan Bani Israil adalah kegagalan rasionalitas yang didominasi oleh hawa nafsu.

Ketika umat Islam menolak ajaran yang jelas dari Al-Qur'an atau Hadits Sahih dengan alasan 'tidak masuk akal' atau 'tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan modern', padahal ilmu pengetahuan tersebut belum terbukti mutlak, mereka meniru perilaku Bani Israil dalam ayat ini. Mereka menukar kebenaran ilahi dengan kebenaran sementara buatan manusia.

***

XV. Kesatuan Iman dalam Rukun Iman

Ayat 91 memperkuat landasan salah satu Rukun Iman, yaitu ‘Iman kepada Kitab-kitab Allah’ dan ‘Iman kepada Rasul-rasul Allah’.

1. Iman kepada Kitab Suci (Iman bil Kutub)

Keimanan pada kitab suci menuntut pengakuan terhadap semua kitab suci yang diwahyukan, meskipun kita hanya mengamalkan Al-Qur'an karena ia adalah yang terakhir dan terlindungi. Menolak Al-Qur'an adalah menolak seluruh silsilah kitab suci karena Al-Qur'an menyandang otoritas pembenaran dan perlindungan ilahi.

2. Iman kepada Rasul (Iman bir Rusul)

Seorang Muslim diwajibkan percaya kepada semua nabi, tanpa membeda-bedakan. Tantangan historis pembunuhan nabi oleh Bani Israil adalah pengingat bahwa iman kepada rasul tidak hanya berarti pengakuan, tetapi ketaatan total. Kita beriman kepada Musa, Isa, Ibrahim, dan semua nabi. Namun, keimanan kita kepada mereka diwujudkan dalam kepatuhan kita kepada Rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW, karena beliau menyempurnakan Risalah mereka.

Dengan demikian, Al Baqarah 91 merangkum prinsip-prinsip sentral akidah Islam dalam satu argumen yang ringkas dan sangat kuat, menegaskan bahwa kebenaran ilahi bersifat holistik, konsisten, dan menuntut kepatuhan yang tidak terbagi.

Refleksi terakhir dari ayat 91 adalah panggilan untuk introspeksi: Di mana posisi kita dalam spektrum keimanan—apakah kita pengikut sejati yang menerima kebenaran secara menyeluruh, ataukah kita sedang menapaki jalan selektivitas yang dikutuk oleh Allah SWT? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan keselamatan spiritual kita.

***

(Artikel ini disusun melalui telaah mendalam terhadap tafsir klasik dan modern, analisis linguistik, serta konteks historis dan teologis terkait Surah Al Baqarah Ayat 91.)

🏠 Kembali ke Homepage